"Setiap keputusan yang kau buat adalah langkah menuju pemahaman dirimu sendiri. Percayalah pada instingmu. Kau memiliki kekuatan dalam diri untuk menghadapi semua ini. Dan ingat, tidak ada salahnya mencari bantuan ketika kau merasa kesulitan." Ujar Mrs. Bonny hangat.Wanita paruh baya itu seakan sangat mengerti posisi Luna, setiap kata yang terucap darinya mampu membawa ketenangan bagi Luna. Luna merasakan harapan tumbuh di dalam hatinya. Mungkin, perlahan-lahan, dia akan menemukan jalannya. "Di sini tidak akan ada yang ikut campur dalam keputusanmu, meski kau melahirkan bayi di luar pernikahan. Kami tidak akan memaksamu melakukan apa pun yang tidak kau inginkan, Luna. Kami juga tidak memberikan label padamu atau pada keputusan yang akan kau ambil. Tapi aku berharap kau menyisihkan waktu untuk merancang masa depanmu, dan apa yang akan kau lakukan setelah meninggalkan Hopeful." Mrs. Bonny menjeda sejenak ucapannya, dia mengamati wajah Luna yang mulai terlihat rileks dan tidak cem
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Luna berjalan menuju mobil bersama Ruby. Mereka berhenti, dan Ruby berbalik untuk melihat lagi rumah yang akan di tempati oleh Luna mulai dari sekarang. Perasaannya masih kalut, entah mengapa dia ragu untuk melepas Luna di sana seorang diri."Aku tidak tahu apa yang aku harapkan, Lun. Tapi yang jelas bukan seperti ini." Ruby tampak lesu dan netranya memerah seperti menahan tangis."Di mana pun tempatnya, bagiku asal bukan di rumah itu lebih baik." Ujar Luna dengan nada dingin. Dia sudah memutuskan untuk pergi, jadi dia akan menepatinya.Ruby melihat tirai defensif yang selalu terlihat di wajah Luna, setiap kali sepupunya itu menjawab semacam tadi. Campuran antara rasa kasihan dan lega meliputi perasaan Ruby.Dia kasihan karena rumah Luna tidak pernah menyediakan cinta dan kasih sayang yang berhak di terima oleh setiap anak, lega karena sekarang Luna tidak perlu bertemu lagi dengan ayahnya dan mendapat kekerasan berulang kali seperti dulu.Mungkin di
Sehari setelah kemunculan Santo Orlando di rumah keluarga Ganeston dengan semua ancaman dan tuduhannya, selama itu juga Clay hanya bisa tidur sebentar. Hal itu membuatnya sulit berkonsentrasi pada perkembangan kasus hukum untuk analisis kelas yang akan dia lalui. Di dalam rumah, Vivian mendengar suara mobil putranya baru saja tiba di halaman. Suara bantingan pintu mobil terdengar jelas hingga ke dalam rumah. Vivian beranjak dari sofa menuju ruang kerja suaminya, terlihat Theodore sedang duduk di kursi putarnya. "Sayang, dia sudah pulang. Apa kau yakin dengan semua yang sudah kita putuskan?" tanya Vivian. "Ya, seyakin yang aku rasakan sekarang." "Baiklah, tapi haruskan kau menghadapinya di sini? lebih baik kita tunggu saja di sofa ruang keluarga." Saran Vivian pada suaminya. Namun, belum juga mereka beranjak pintu ruang kerja sudah di buka lebih dulu dari luar. Sosok Clay muncul dan terlihat kacau. Clay berdiri di ambang pintu, tatapannya tampak lelah hingga dia tidak menyada
Mata Vivian menatap curiga ke arah putranya, dia menegakan kembali tubuhnya. Menandakan bahwa wanita paruh baya itu mulai serius. "Oh, kalian sedang bertengkar? jadi kau mengajak Luna berkencan untuk... membalas Venus? kau bukan hanya menyakiti satu wanita, Clay. Tapi dua orang wanita sekaligus! kau tega sekali, Clay." Tutur Vivian menunjukan kekecewaannya."Ibu, kau selalu menyukai Venus. Selama ini hanya dia yang bisa ibu terima dan sambut dengan hangat."Vivian mengangguk, dia tidak menampik fakta tersebut. "Kau benar, aku dan ayahmu memang mengagumi Venus. Tapi, saat ini tanggung jawabmu pada Luna lebih besar, dari pada Venus. Lagi pula, aku sama sekali tidak meragukannya jika kau memang ingin menikahi Venus, pasti kau sudah melamarnya beberapa tahun yang lalu.""Aku dan Venus sudah pernah membahasnya, hanya saja aku ingin menyelesaikan sekolahku dulu begitu juga dengan Venus." Jelas Clay membela diri."Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang perlu aku katakan padamu, Clay." Theod
Vivian menatap Clay, lalu berpindah menatap suaminya. "Pria itu memang gila, bagaimana nasib cucuku, astaga." "Kau benar, Vivi. Dia tidak mungkin berhenti hanya dengan meneror melalui panggilan, apa kau tahu itu?" tanya Theodore pada istrinya. "Ya, aku tahu." Vivian menoleh ke arah Clay. "Apa kau tahu ke mana kira-kira dia pergi, Clay?" "Tidak tahu, Bu. Yang dia katakan padaku hanyalah dia memiliki rencana, aku tidak tahu jika rencana itu adalah dia kabur secepat ini." "Apa kau mengenal teman-temannya?" kali ini Theodore bertanya. "Aku hanya mengenal sepupunya, Ruby, yang sedang berkencan dengan Gabriel." Jawab Clay.Vivian menghela napas panjang, tangannya yang gemetar mencengkeram lengan Theodore. "Ruby, kau bilang? apa dia tinggal di kota ini?"Clay mengangguk ragu. "Iya, Bu. Tapi aku tidak yakin Ruby tahu banyak soal rencana dia. Dia jarang sekali bicara tentang hal-hal serius."Theodore melirik istrinya, sorot matanya penuh kekhawatiran. "Kalau begitu, kita harus bertemu
Suasana tenang kediaman Ganeston seketika berubah tegang, Santo celingukan mencari keberadaan Clay di dalam mansion tersebut."Keluar kau bajingan, aku sudah bilang akan menghabisimu! sekarang aku datang ke sini untuk melakukannya." Teriak Santo mengejutkan semua orang yang ada di sana.Saat itulah Clay muncul dari ruang makan, begitu sampai di samping orang tuanya rahang Clay ditangkap oleh tangan besar yang kapalan tanpa peringatan lebih dulu.Kepala Clay tersentak ke belakang, suara rintihan terdengar dari pria itu saat kepalan tinju milik Santo menghantam wajah Clay, dan membuat Vivian menjerit dan meminta suaminya untuk membantu putra mereka.Tubuh Clay terlempar ke belakang hingga menabrak vas bunga yang terbuat dar keramik, sementara Santo terus saja mengejarnya.Sebelum Theodore berhasil menahan tangan besar milik Santo, tinjuan pria itu sudah melayang lebih dulu ke wajah Clay untuk yang kedua kalinya."Ya tuhan, telepon polisi sekarang, Robia!" teriak Vivian pada pelayannya y
Luna baru saja selesai makan malam bersama teman barunya di Hopeful, hingga dia mendengar suara telepon berdering di lorong. Seseorang berteriak ke dalam rumah. "Telepon... Orlando!" Sambil berlari menuruni tangga, Luna sudah bisa menebak siapa orang yang melakukan panggilan malam-malam begini. Dia yakin jika itu Ruby, dia tidak sabar untuk mendengar kabar tentang ibunya. Kemarin, Luna sudah mengirimkan surat pos dan mungkin besok atau lusa surat itu akan sampai ke tempat ibunya. "Halo," sapa Luna. "Lun, apa kau sudah membaca koran hari ini?" tanya Ruby dari seberang telepon. "Belum, aku ada kelas hari ini. Aku tidak punya waktu luang untuk membaca koran, By." Terdengar suara Ruby yang menghela napas berat, "Kau harus membacanya, aku rasa kau mungkin penasaran." Tiba-tiba Luna di serang rasa panik. Pikirannya melayang pada sosok ibunya, dia takut jika yang ada di dalam koran itu adalah berita buruk tentang kondisi ibunya. "A-apakah ibuku..." "Ibumu baik-baik saja,
Situasi tidak bisa di ubah, sungguh ironis bahwa yang di ketahui Luna Orlando tentang Clay Ganeston hanyalah sebatas nama pria itu. Clay pasti kaya, pikir Luna sambil mengamati ruang depan yang megah, dan kini ada di depan matanya.Bagian dalam ruang depan yang megah, itu menyingkap sebuah ruang tamu formal. Dengan paduan warna putih dan emas, di bagian atasnya terdapat lampu gantung yang terbuat dari kristal dengan ukuran besar."Rumahnya besar banget." Gumam Luna takjub.Di belakang Luna, terdapat tangga yang mengarah ke lantai dua. Sedangkan di hadapannya, berdiri pintu dobel, sebuah meja besar yang kaki ukirannya menyentuh karpet seperti ujung jari seorang balerina.Lampu beraksen kuningan yang di pantulkan oleh cermin berbingkai emas, menambah kesan elegant sekaligus glamor secara bersamaan."Sepertinya cermin itu harganya lebih mahal dari rumahku." Cetus Luna terkekeh sendiri.Di samping cermin, terdapat vas besar yang juga terbuat dari kuningan, yang berisi daun kayu putih keri
Luna baru saja selesai makan malam bersama teman barunya di Hopeful, hingga dia mendengar suara telepon berdering di lorong. Seseorang berteriak ke dalam rumah. "Telepon... Orlando!" Sambil berlari menuruni tangga, Luna sudah bisa menebak siapa orang yang melakukan panggilan malam-malam begini. Dia yakin jika itu Ruby, dia tidak sabar untuk mendengar kabar tentang ibunya. Kemarin, Luna sudah mengirimkan surat pos dan mungkin besok atau lusa surat itu akan sampai ke tempat ibunya. "Halo," sapa Luna. "Lun, apa kau sudah membaca koran hari ini?" tanya Ruby dari seberang telepon. "Belum, aku ada kelas hari ini. Aku tidak punya waktu luang untuk membaca koran, By." Terdengar suara Ruby yang menghela napas berat, "Kau harus membacanya, aku rasa kau mungkin penasaran." Tiba-tiba Luna di serang rasa panik. Pikirannya melayang pada sosok ibunya, dia takut jika yang ada di dalam koran itu adalah berita buruk tentang kondisi ibunya. "A-apakah ibuku..." "Ibumu baik-baik saja,
Suasana tenang kediaman Ganeston seketika berubah tegang, Santo celingukan mencari keberadaan Clay di dalam mansion tersebut."Keluar kau bajingan, aku sudah bilang akan menghabisimu! sekarang aku datang ke sini untuk melakukannya." Teriak Santo mengejutkan semua orang yang ada di sana.Saat itulah Clay muncul dari ruang makan, begitu sampai di samping orang tuanya rahang Clay ditangkap oleh tangan besar yang kapalan tanpa peringatan lebih dulu.Kepala Clay tersentak ke belakang, suara rintihan terdengar dari pria itu saat kepalan tinju milik Santo menghantam wajah Clay, dan membuat Vivian menjerit dan meminta suaminya untuk membantu putra mereka.Tubuh Clay terlempar ke belakang hingga menabrak vas bunga yang terbuat dar keramik, sementara Santo terus saja mengejarnya.Sebelum Theodore berhasil menahan tangan besar milik Santo, tinjuan pria itu sudah melayang lebih dulu ke wajah Clay untuk yang kedua kalinya."Ya tuhan, telepon polisi sekarang, Robia!" teriak Vivian pada pelayannya y
Vivian menatap Clay, lalu berpindah menatap suaminya. "Pria itu memang gila, bagaimana nasib cucuku, astaga." "Kau benar, Vivi. Dia tidak mungkin berhenti hanya dengan meneror melalui panggilan, apa kau tahu itu?" tanya Theodore pada istrinya. "Ya, aku tahu." Vivian menoleh ke arah Clay. "Apa kau tahu ke mana kira-kira dia pergi, Clay?" "Tidak tahu, Bu. Yang dia katakan padaku hanyalah dia memiliki rencana, aku tidak tahu jika rencana itu adalah dia kabur secepat ini." "Apa kau mengenal teman-temannya?" kali ini Theodore bertanya. "Aku hanya mengenal sepupunya, Ruby, yang sedang berkencan dengan Gabriel." Jawab Clay.Vivian menghela napas panjang, tangannya yang gemetar mencengkeram lengan Theodore. "Ruby, kau bilang? apa dia tinggal di kota ini?"Clay mengangguk ragu. "Iya, Bu. Tapi aku tidak yakin Ruby tahu banyak soal rencana dia. Dia jarang sekali bicara tentang hal-hal serius."Theodore melirik istrinya, sorot matanya penuh kekhawatiran. "Kalau begitu, kita harus bertemu
Mata Vivian menatap curiga ke arah putranya, dia menegakan kembali tubuhnya. Menandakan bahwa wanita paruh baya itu mulai serius. "Oh, kalian sedang bertengkar? jadi kau mengajak Luna berkencan untuk... membalas Venus? kau bukan hanya menyakiti satu wanita, Clay. Tapi dua orang wanita sekaligus! kau tega sekali, Clay." Tutur Vivian menunjukan kekecewaannya."Ibu, kau selalu menyukai Venus. Selama ini hanya dia yang bisa ibu terima dan sambut dengan hangat."Vivian mengangguk, dia tidak menampik fakta tersebut. "Kau benar, aku dan ayahmu memang mengagumi Venus. Tapi, saat ini tanggung jawabmu pada Luna lebih besar, dari pada Venus. Lagi pula, aku sama sekali tidak meragukannya jika kau memang ingin menikahi Venus, pasti kau sudah melamarnya beberapa tahun yang lalu.""Aku dan Venus sudah pernah membahasnya, hanya saja aku ingin menyelesaikan sekolahku dulu begitu juga dengan Venus." Jelas Clay membela diri."Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang perlu aku katakan padamu, Clay." Theod
Sehari setelah kemunculan Santo Orlando di rumah keluarga Ganeston dengan semua ancaman dan tuduhannya, selama itu juga Clay hanya bisa tidur sebentar. Hal itu membuatnya sulit berkonsentrasi pada perkembangan kasus hukum untuk analisis kelas yang akan dia lalui. Di dalam rumah, Vivian mendengar suara mobil putranya baru saja tiba di halaman. Suara bantingan pintu mobil terdengar jelas hingga ke dalam rumah. Vivian beranjak dari sofa menuju ruang kerja suaminya, terlihat Theodore sedang duduk di kursi putarnya. "Sayang, dia sudah pulang. Apa kau yakin dengan semua yang sudah kita putuskan?" tanya Vivian. "Ya, seyakin yang aku rasakan sekarang." "Baiklah, tapi haruskan kau menghadapinya di sini? lebih baik kita tunggu saja di sofa ruang keluarga." Saran Vivian pada suaminya. Namun, belum juga mereka beranjak pintu ruang kerja sudah di buka lebih dulu dari luar. Sosok Clay muncul dan terlihat kacau. Clay berdiri di ambang pintu, tatapannya tampak lelah hingga dia tidak menyada
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Luna berjalan menuju mobil bersama Ruby. Mereka berhenti, dan Ruby berbalik untuk melihat lagi rumah yang akan di tempati oleh Luna mulai dari sekarang. Perasaannya masih kalut, entah mengapa dia ragu untuk melepas Luna di sana seorang diri."Aku tidak tahu apa yang aku harapkan, Lun. Tapi yang jelas bukan seperti ini." Ruby tampak lesu dan netranya memerah seperti menahan tangis."Di mana pun tempatnya, bagiku asal bukan di rumah itu lebih baik." Ujar Luna dengan nada dingin. Dia sudah memutuskan untuk pergi, jadi dia akan menepatinya.Ruby melihat tirai defensif yang selalu terlihat di wajah Luna, setiap kali sepupunya itu menjawab semacam tadi. Campuran antara rasa kasihan dan lega meliputi perasaan Ruby.Dia kasihan karena rumah Luna tidak pernah menyediakan cinta dan kasih sayang yang berhak di terima oleh setiap anak, lega karena sekarang Luna tidak perlu bertemu lagi dengan ayahnya dan mendapat kekerasan berulang kali seperti dulu.Mungkin di
"Setiap keputusan yang kau buat adalah langkah menuju pemahaman dirimu sendiri. Percayalah pada instingmu. Kau memiliki kekuatan dalam diri untuk menghadapi semua ini. Dan ingat, tidak ada salahnya mencari bantuan ketika kau merasa kesulitan." Ujar Mrs. Bonny hangat.Wanita paruh baya itu seakan sangat mengerti posisi Luna, setiap kata yang terucap darinya mampu membawa ketenangan bagi Luna. Luna merasakan harapan tumbuh di dalam hatinya. Mungkin, perlahan-lahan, dia akan menemukan jalannya. "Di sini tidak akan ada yang ikut campur dalam keputusanmu, meski kau melahirkan bayi di luar pernikahan. Kami tidak akan memaksamu melakukan apa pun yang tidak kau inginkan, Luna. Kami juga tidak memberikan label padamu atau pada keputusan yang akan kau ambil. Tapi aku berharap kau menyisihkan waktu untuk merancang masa depanmu, dan apa yang akan kau lakukan setelah meninggalkan Hopeful." Mrs. Bonny menjeda sejenak ucapannya, dia mengamati wajah Luna yang mulai terlihat rileks dan tidak cem
Saat mereka semua mengikuti Evelyn, gadis itu mengatakan pada Luna dan Ruby. "Seperti yang aku katakan tadi, Charlie adalah maskot kami di sini. Kami hanya mengetahui tentangnya sedikit, dia gadis yang sedikit tertutup. Lalu, Mrs. Bonny dia yang mengelola tempat ini. Setelah kita bicara dengannya, aku akan membantumu untuk menyesuaikan diri di sini." "Oh, terima kasih banyak, Evelyn." Sahut Luna. Evelyn mengangguk singkat, "Apa kalian sudah makan siang?" "Belum," jawab Ruby singkat. Apa pun dugaan Ruby sebelumnya mengenai tempat ini, tidak ada satu pun yang cocok. Keempat gadis yang tadi dia temui, semua menunjukkan keramahan dan ketulusan yang lebih besar dari yang dia harapkan. Mereka semua terlihat bahagia, ceria, dan ringan tangan. Saat mengikuti Evelyn yang sedang hamil besar, mereka menyusuri lorong mengarah pada bagian belakang bangunan tersebut, Ruby merasa semakin tenang meninggalkan Luna di penampungan khusus wanita hamil tanpa suami. Mereka semua masuk ke ruanga
Ruby mendecakan lidah, dia menatap jalanan yang sudah di padati kendaraan. "Luna, kau jangan pernah berubah pikiran. Hanya ini kesempatan untukmu bisa lari dari rumah itu.""Aku tahu, tapi bagian inilah yang paling tidak aku sukai. Membuat ibuku berpikir bahwa aku kabur ke luar kota, dia pasti akan khawatir setengah mati.""Mungkin selama beberapa waktu dia akan khawatir, tapi surat darimu akan meyakinkannya bahwa kau baik-baik saja dan itu bisa mencegah ayahmu untuk datang ke universitas. Tidak mungkin ayahmu akan curiga, bahwa kau masih berada di kota ini. Lalu, begitu bayimu lahir, kau bisa menemui ibumu lagi." Ujar Ruby menenangkan.Luna menatap sepupunya dengan sorot mata memohon, "Bisakah aku minta tolong padamu, By?""Apa?" Ruby melirik Luna dengan ekor matanya."Kau akan menelponku dan mengecek keberadaan ibuku bahwa dia baik-baik saja, aku mohon."Seulas senyum tulus muncul di bibir Ruby, "Aku sudah mengatakan padamu, bahwa aku akan melakukannya. Kau tenang saja, dan ingat...