Wijaya mendapatkan pesan dari Helena agar menemuinya kembali di salah satu tempat tinggalnya, yang tidak dihiraukan Wijaya. Langkahnya terhenti saat melihat Regan dan Mira berada di rumahnya, tapi dengan segera mengubah mode wajahnya menjadi datar sebelum mendekati mereka. Vita yang melihat kehadiran Wijaya tersenyum dengan Devan yang berada dalam gendongannya, Wijaya memilih duduk samping Regan yang sibuk dengan bacaan korannya.
“Mira merindukan Devan makanya ke sini pagi” Wijaya hanya mengangguk memberi kode pada Regan untuk ikut dengannya ke ruang kerja.
Wijaya menatap Regan tajam “apa yang terjadi dengan kalian berdua?” Regan menatap bingung “kamu dan Mira, jangan buat dia stress karena saat ini sedang hamil anakmu dan juga sebentar lagi melahirkan.”
“Ada kesalahan kecil buat sikapku seperti ini” Wijaya mengangkat alisnya “hormonnya yang tidak menentu membuat aku pusing di mana moodnya selalu berubah dan aku bingung harus bagaimana dan tadi dia bilang kangen De
Menjelajahi leher jenjang Helena dengan menghisapnya perlahan membuat sang pemilik bergerak dan secara otomatis bagian bawah mereka juga ikut bergerak, rangsangan yang Wijaya berikan membuat Helena mengeluarkan erangan. Wijaya tidak hanya menghisap lidahnya pada leher jenjang Helena tapi juga memainkan bukit kembar serta jarinya yang memberikan rangsangan pada bibir bagian bawah milik Helena, suara erangan yang keluar dari bibir Helena membuat Wijaya semakin mabuk atas apa yang terjadi. Helena yang tidak tahan mulai menggerakkan bagian bawahnya sehingga beberapa kali bagian dalam mereka menyentuh satu sama lain di dalam, Wijaya tidak akan memberikan tanda pada leher Helena karena tidak ingin Austin tahu apa yang terjadi pada istrinya.“Wijaya aku mau keluar.”Wijaya mengangkat tubuh Helena hingga penyatuan mereka terlepas dan membuat Helena menatap tajam kearah Wijaya, tapi tidak berlangsung lama karena Wijaya meminta Helena membungkuk sehingga dirinya memasukkan dari ar
Menatap wajah Austin yang tampak biasa saja setelah tuntutan cerai yang diberikan Helena, Wijaya sangat yakin jika perasaan sahabatnya ini sedang sangat kacau. Wijaya sendiri tidak tahu jika akan berakhir seperti ini karena di pertemuan terakhir tidak ada pembicaraan mengenai ini, menghembuskan nafas panjang menghilangkan pikiran mengenai Helena karena memang bukan bagian penting dari dirinya.“Aku gak nyangka kalau Helena akan seperti ini” Wijaya menatap Vita yang bersama Mira “padahal dia sangat menyenangkan dan karena ini kita kehilangan teman cewek lagi, kamu jangan ninggalin aku.”Mira tersenyum “apaan sih ngomongnya, tapi apa tidak ada petunjuk sama sekali ya?.”Tidak mempedulikan pembicaraan kedua wanita itu, Wijaya memutuskan bermain dengan Devan agar tidak memikirkan Helena. Membawa Devan ke taman belakang meninggalkan kedua wanita tersebut berbicara mengenai Helena, jika Wijaya masih mendengarkan nama Helena ak
Wijaya menatap tidak percaya atas apa yang dikatakan Regan karena selama ini sahabatnya yang satu ini selalu sehat dan juga menetapkan hidup sehat tidak seperti yang lain, bagaimana bisa terkena kanker otak. Menarik nafas dengan bersikap tenang agar tidak membuat Regan stres dengan sikapnya nanti, tapi ketika memandang wajah Regan di mana tidak ada kebohongan sama sekali.“Kamu sudah cek dengan benar?” Regan mengangguk “aku tidak akan menikahi Mira karena bagiku Vita seorang satu – satunya istriku.”“Aku sudah menebak semua ini” menatap Wijaya sedih “aku pun tidak menyangka bahwa akan divonis penyakit ini dan tidak tahu harus bagaimana.”Wijaya menghembuskan nafas panjang “jalani hidup dengan kegembiraan dan jangan memikirkan penyakit itu, penyakit itu datangnya dari pikiran jadi buatlah pikiran positif dengan tetap melakukan pengobatan dan pasrahkan pada Tuhan.”Regan tersenyum menatap Wijaya “memang aku gak salah cerita ke kamu karena tahu bagaimana menenan
1 Tahun KemudianRegan menjalani berbagai macam pengobatan dan mengenai niatnya yang menginginkan Mira menikah dengan Wijaya tidak akan terjadi karena Wijaya menolaknya, tapi untuk menjaga Mira akan dilakukan dengan senang hati. Mira sudah melahirkan putri cantik bernama Tina yang langsung membuat Vita bahagia karena keinginannya terwujud yaitu menjodohkan Devan dengan Tina, yang membuat lain menggelengkan kepala mendengar keinginan Vita tersebut.Perusahaan yang Wijaya pegang berkembang pesat begitu juga dengan ketiga sahabatnya, proyek yang Wijaya jalani bersama Regan di bidang properti juga berjalan lancar tidak ada kendala. Saat ini kantor mereka di Bandung berjalan lancar dan beberapa rumah yang ditawarkan mendapatkan respon bagus dari masyarakat sekitar. Ketukan pintu membuat Wijaya mengalihkan perhatian dari berkas yang ada dihadapannya dan ternyata Muklis masuk seakan memberikan kabar yang sangat penting.“Pak Bobby menghubungi anda dan meminta untuk bersia
Membawa bayi mungil yang baru lahir menuju rumah yang membuat Vita terkejut saat menggendong Devan, tapi tetap menerima sang bayi dengan langsung menggendongnya. Wijaya menjelaskan sesuai dengan apa yang Bobby katakan tanpa ditambah atau dikurangi, Helena benar-benar menyiapkan semuanya termasuk Surat untuk menjaga bayi mungil yang diberi nama Sovia. Melihat reaksi Vita membuat Wijaya sedikit merasa bersalah tapi segera dihilangkan karena semua hanya masa lalu dan Helena sendiri sudah pergi selama-lamanya, Wijaya tidak langsung meninggalkan rumah sakit karena ingin melihat bagaimana proses pemakaman Helena.“Sovia namanya yang cocok untuk putri kecil ini” Wijaya menatap Vita yang setia menggendong Sovia “panggil Via aja ya biar enak” Wijaya mengangguk “dia sepertinya butuh susu coba aku kasih air susu milikku dulu.”Wijaya menatap Vita yang membawa Sovia atau Via ke dalam, setidaknya bernafas lega karena menerima bayi mungil yang juga merupakan darah dagingnya. Berharap
Pandangan Wijaya mengarah pada bagaimana Vita memperlakukan bayi mungil itu bahkan membuat Devan serta Tina ikut serta dengan mengajarkan bahwa mereka adalah saudara dan saling menyayangi, perasaan bersalah menghampiri Wijaya saat melihat pemandangan yang ada dihadapannya. Melihat keberadaan Mira yang tidak ada sama sekali membuat Wijaya mengerutkan keningnya, tapi tidak membuat langkah Wijaya terhenti untuk mendatangi Vita yang sibuk dengan ketiga malaikat kecil ini.“Di mana yang lain?.”“Mira belanja sama Regan meninggalkan Tina di sini” Vita menjawab tanpa menatap Wijaya “apa anak ini benar akan menjadi anak kita?” Wijaya hanya mengangguk “kalau begitu harus segera untuk mematenkan anak ini sebagai anak kita karena aku tidak ingin menjadi masalah di kehidupan depan.”“Baiklah besok akan aku urus semuanya” Vita menatap Wijaya dengan tatapan bersinar “terima kasih banyak” Vita tersenyum lalu mengangguk.Wijaya menatap Vita dengan berbagai macam perasa
Fokus dengan pekerjaan itu yang Wijaya lakukan meski saat ini ketiga sahabatnya sudah mulai sibuk dengan kegiatannya masing – masing, urusan mengenai adopsi dari Via berjalan lancar dengan bantuan Bobby. Tanpa sepengetahuan banyak orang dimana Bobby dan Wijaya selalu berhubungan mengenai pekerjaan, Yuta yang sering datang ke tempatnya juga tidak tahu banyak mengenai hal itu. Wijaya mengakui Yuta sangat pas dalam memberikan masukkan dan mulai belajar secara tidak langsung dari Yuta setiap kali mereka bertemu klien, Yuta mengajarkan banyak hal dalam bisnis terutama dalam mengambil keputusan.Setiap pulang disambut Vita dengan menggendong Via yang memang masih kecil sedangkan Devan sendiri sudah mulai banyak tingkah, Wijaya sudah meminta Vita untuk mengambil jasa orang lain membantu dirinya tapi selalu ditolak dengan alasan bahwa masih mampu. Wijaya tidak bisa berkata apa pun ketika melihat Vita sangat menyayangi Via, tidak akan melakukan tindakan bodoh dengan mengatakan sebenarn
Menatap wanita yang Vita katakan semalam disaat Wijaya baru saja pulang bekerja, penampilan sederhana dari sang wanita membuat Wijaya paham mengapa Vita menerima wanita ini. Satu hal yang menarik perhatian Wijaya adalah bentuk tubuhnya yang sangat pas ditempatnya, pandangan Wijaya beralih pada Vita dengan tidak sengaja membandingkan mereka berdua, hal lain dari pandangan Wijaya adalah tatapan Nina yang terkesan malu – malu tapi dirinya sangat yakin jika wanita ini sudah cukup pengalaman.“Bagaimana pendapatmu?” Vita mengikuti Wijaya sampai ke kamar “pengasuh anak – anak itu.”“Usia berapa dia?” menatap Vita yang sibuk menyusui Via.“Sekitar dua puluhan tapi masih dibawah kita lah, kenapa?” Wijaya menggelengkan kepala “Devan dibawa sama mama papa tadi maunya Via juga tapi aku ada janji sama Nina jadinya gak ikut.”“Mau nyusul kesana?” Vita menatap Wijaya ragu lalu menganggu
“Dalam...lebih keras.” Suara erangan Tania membuat Wijaya semakin dalam dan kasar memasukkan adiknya kedalam rumah, tangan Wijaya tidak tinggal diam dengan meremas bukit kembar milik Tania yang membuatnya semakin semangat bermain didalam sana. Kehamilan Tania kedua ini membuatnya semakin menggairahkan dan Wijaya meminta mereka tidak menggunakan pakaian saat berada didalam kamar. “Aku mau keluar.” Tania membuka suaranya membuat Wijaya bergerak semakin cepat dan kasar sampai akhirnya mereka mencapai klimaks secara bersamaan. Wijaya semakin mendorong adiknya kedalam dengan beberapa kali cairannya keluar dalam jumlah yang banyak, membiarkan sesaat didalam sebelum akhirnya melepaskan penyatuan mereka. Tania mengambil posisi berjongkok membersihkan adik kecilnya dari cairan mereka berdua, tangannya hanya meremas rambut Tania perlahan sebelum akhirnya adik kecilnya benar-benar bersih. “Bagaimana kabar dia?” tanya Wijaya membelai perut Tania pelan. “S
Kabar yang mereka dapatkan membuat semua langsung menuju rumah sakit, perasaan tidak tenangnya benar-benar terbukti. Tania hanya bisa memeluk dan menepuk punggung Wijaya agar bisa tenang, tapi tidak berlangsung lama saat mendengar hal yang membuat Wijaya jatuh.“Aku malu sama Regan dan Mira nggak bisa menjaga putrinya dengan baik.” Wijaya menangis dipelukan Tania.Wijaya harus benar-benar kuat, Devan sendiri benar-benar tidak bisa menahan dirinya. Wijaya tahu apa yang Devan rasakan saat ini, hanya saja harus terlihat kuat depan mereka semua. Memasuki ruangan Via yang selalu menangis merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bima sendiri berada disamping Via tidak berhenti menenangkannya.“Mili sudah masuk penjara.” Nanda memberikan informasi yang hanya diangguki Wijaya “Pasalnya percobaan pembunuhan, hanya saja mereka menggunakan gangguan kejiwaan Mili dan kemungkinan akan dibebaskan.”“Bagaimana bisa?” Wijay
“Perasaanku semakin tidak tenang sama sekali.” Wijaya bergerak bolak balik membuat Tania dan Tari memutar bola matanya malas.“Mereka baik-baik saja, Pa.” Tari menenangkan Wijaya entah sudah ke berapa kali.“Mereka jadi balik?” tanya Wijaya kesekian kalinya yang diangguki Tania dan Tari kembali.“Nanda dan yang lain pasti menjaga Via.” Tania menenangkan perasaan Wijaya.“Aku mungkin terlalu berlebihan.”Wijaya menyandarkan dirinya di sofa dengan Tania yang berada disampingnya dan Tari dihadapannya yang masih sibuk dengan laptopnya. Wijaya tahu bahkan sangat tahu jika perasaannya tidak pernah salah, wanita seperti Mili akan bisa melakukan segala macam cara licik untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.Pengawal yang diminta menjaga keluarganya atau mereka yang menyelidiki Mili tidak memberikan informasi apapun dan itu semua membuat Wijaya semakin merasa tidak tenang. Tep
Menghabiskan waktu di Bali semakin membuat perasaan tidak menentu sama sekali, permasalahan Via belum selesai sama sekali membuat pikirannya menjadi tidak tenang. Ditambah kehamilan Tina yang berada jauh disana juga menjadi beban pikiran Wijaya, Tania berkali-kali mengatakan jika semuanya baik-baik saja tetap tidak membuat semua menjadi tenang.“Mereka ada di Singapore jadi tenang saja, Nanda juga mengecek semuanya. Mili nggak mungkin berbuat aneh-aneh sama Tina, dendam Mili hanya pada Via.” Tania mengatakan itu berulang kali.“Keputusanku tidak salah, kan?” Wijaya menatap Tania meminta persetujuan yang diangguki pelan “Aku meminta mereka mengurus Singapore, Vian sendiri sudah harus memperbaiki yang ada disini.”“Kamu mau memikirkan mereka atau menikmati malam indah kita?” Tania membelai wajah Wijaya pelan dengan mencium bibirnya penuh gairah.Sentuhan Tania membuat Wijaya tidak bisa menahan diri dengan mena
“Kenapa?” tanya Tania saat duduk disamping Wijaya setelah meletakkan minuman “Ada yang mengganggu pikiran kamu?”Wijaya tersenyum dengan menggelengkan kepala, menarik Tania agar duduk dipangkuannya tidak lupa membelai perutnya yang mulai membesar. Wijaya tidak pernah melakukan hal kecil seperti ini pada Vita sebelumnya dan tentu saja Helena, hanya Tania yang mendapatkan perlakuan special dari dirinya.“Memang memikirkan apa? Masalah Via?” Tania membelai wajah Wijaya perlahan yang hanya dijawab dengan gelengan kepala “Lalu?”“Kalau aku meninggal terlebih dahulu apa kamu akan menikah?” pertanyaan Wijaya membuat Tania mengerutkan keningnya “Aku cuman nggak mau kamu kesepian jadinya aku tanya hal ini.”Tania mengangkat bahu “Satu hal yang pasti kalau kamu meninggal terlebih dahulu jangan lupa wariskan semua harta kamu ke aku dan anak-anak kita bukan anak-anak kamu sama Vita.”
Melihat Tania marah adalah hal yang membuat Wijaya pusing, Tania bisa mendiamkannya selama berhati-hati, tidak tahu akan melakukan apa karena apapun yang dilakukannya tidak akan berdampak apapun.“Coba papa ingat-ingat melakukan kesalahan apa.” Tari berkata dengan santai.“Kalian tadi liatin papa itu kenapa sih?” tanya Wijaya penasaran membuat Tari mengangkat bahu.“Pa, sebenarnya kenapa papa bisa bertahan sama mama kalau nggak saling cinta?” Tari mencoba bertanya hal lain agar tidak perlu memikirkan masalah Tania saat ini.“Kalian yang buat kita bertahan.” Wijaya menatap Tari lembut “Kami dulu berjanji satu sama lain, meskipun kita menikah karena dijodohkan tapi kami ingin pernikahan yang normal pada umumnya.”“Papa bahagia sama mama?” tanya Tari penuh selidik.Wijaya tersenyum “Mama kamu adalah teman dan partner yang terbaik pernah ada.”“Papa
Bali adalah tempat untuk menenangkan diri yang terbaik, mengajak semua keluarga ke Bali setelah permasalahan yang dialami Bima dan Via. Kehamilan Tania sendiri berkembang dengan cepat membuat Wijaya harus ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan, banyak hal yang menjadi pertimbangannya.“Kamu kapan lulus sih?” Wijaya menatap malas pada Tari.“Sidang aja belum bicara lulus.” Tari menjawab santai dengan mata tetap fokus pada laptop “Kita sampai kapan disini?”“Belum tahu, secara masih banyak yang harus diselesaikan.” Wijaya menjawab santai.“Papa juga kenapa kasih ijin Mbak Via nikah sama Mas Bima, Mas Rifat calon yang ok dibandingkan Mas Bima.” Tari mengalihkan pandangan kearah Wijaya yang menghembuskan nafas panjang.“Kamu tahu kan kalau papa sama mama nggak saling cinta, jadi papa nggak mau kakak kamu atau kamu mengalami hal yang sama kaya kita.” Wijaya menjelaskan pelan mem
“Jangan terlalu keras sama Via.” Tania membelai wajah Wijaya setelah melepaskan penyatuan mereka “Via sendiri belum berpengalaman.”“Andaikan dia menikah sama Rifat pasti semuanya nggak akan begini.” Wijaya mengusap wajah dengan kedua tangannya “Kurang apa sih memang Rifat?”“Cinta, Via nggak cinta sama Rifat.” Tania menjawab santai “Kamu mau mereka hidup tanpa cinta? Seperti kamu sama Vita dulu, lalu Via tetap melakukannya sama Bima.”Wijaya membenarkan perkataan Tania mengenai hal itu, tidak mungkin dirinya membuat sang anak hidup tanpa cinta. Wijaya tidak mau anak-anaknya merasakan apa yang dia rasakan, pengalaman dirinya dengan Vita adalah guru paling berharga.“Devan dan Tina saling cinta?” tanya Tania tiba-tiba yang membuat Wijaya bingung “Aku ngerasa mereka kaya saudara bukan pasangan suami istri, tapi pandanganku aja jadi jangan diambil hati.”Pe
“Kalian harus pergi dari rumah ini.” Muklis berkata dengan wajah seriusnya “Mili tidak terima mereka menikah.”Wijaya hanya diam memandang semua yang ada di ruangan, putrinya Via tampak frustasi dengan Tania dan Tina yang berada disampingnya. Mencoba untuk bersikap tenang dengan memandang Bima yang seakan tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang Muklis katakan.“Kamu sudah menebak semua ini terjadi?” tembak Wijaya membuat suasana sunyi menatap kearah Wijaya dan Bima bergantian.Bima menghembuskan nafas kasar “Sedikitnya sudah, maaf tidak memberitahukan semuanya.”“Lalu apa rencana kamu?” Wijaya bertanya dengan menatap dalam pada Bima yang terdiam “Kalau menikah sama Via nggak ada rencana buat mengatasi ini buat apa?”“MAS! Kamu bisa nggak usah pakai emosi? Kasihan Via juga kalau begini dan seharusnya ini semua tugas kita bagaimanapun kita saudara yang harus sal