“Seriusan?” terdengar jelas suara itu begitu terkejut. “Papa kamu nyuruh dokter Yudha langsung ke sana?”
Karina mencebik, ia tengah rebahan malas di atas kasur dengan ponsel menempel di telinga. Siapa lagi yang dia telepon kalau bukan Heni? Menceritakan semua nasib sial yang tidak kunjung berhenti semenjak Karina mengucapkan sumpah itu secara sembarangan.
“Seriuslah, Hen! Aku sendiri nggak tahu papa pengen ketemu dia buat apa.”
Tentu Karina tidak tahu, bukankah papanya sama sekali tidak buka suara perihal tujuannya memanggil Yudha menghadap? Katanya suruh lihat nanti, apanya yang mau dilihat? Yudha? Ah ... ketemu lelaki itu hanya akan membuat migrain Karina kambuh!
“Langsung dikawinin paling, Rin!” ujar Heni asal. “Udah dikroscek sama papamu, kan?”
“HUS!” Karina melotot, untung saja Heni ada jauh di sana, kalau tidak, sudah Karina pastika bantal akan melayang dan membungkam mul
Yudha meraih ranselnya, segera melangkah keluar kamar begitu semua barang-barang bawaannya siap. Setelah pulang nanti, ia perlu berterimakasih banyak-banyak pada sejawatnya yang dengan sukarela mau menggantikan jadwalnya tiga hari ini. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa mangkir? Stevan memang sejawat paling the best dalam sepanjang karier Yudha sebagai dokter!“Bu, Yudha pamit nggak balik, ya?” ia menemui sang ibu yang sibuk di dapur membantu asisten rumah tangganya memasak.Ningsih sontak terbelalak, ia membalikkan badan dan menatap Yudha yang nampak santai dengan celana jeans hitam dan kaos polos warna hitam ini. Mata Ningsih menyorot, menatap Yudha dari ujung kaki sampai ujung kepala.“Yud ... mau kemana?” tentu itu yang Ningsih tanyakan ketika ia mendapati tas ransel itu sudah bertengger di pundak anak lelakinya. Bukan apa-apa, tas itu lebih besar dari yang biasa Yudha bawa mengajar.“Yudha mau nyusul Karin, Bu.” Ja
Karina tengah rebahan malas di atas kasur, ketika pintu kamarnya diketuk. Tanpa beranjak ataupun merubah posisinya, Karina berteriak mempersilahkan siapapun orang yang mengetuk pintunya itu masuk ke dalam kamar. Dari posisinya yang terbaring dengan kepala menjutai ke bawah itu, Karina bisa lihat Mbok Iin masuk ke dalam.“Astaga, Non! Ngapain?” tentu wanita paruh baya itu terkejut dengan posisi Karina rebahan yang terlihat begitu absurb.Sebodoh amat! Selain tengah meratapi nasib, Karina juga memanfaatkan waktu yang dia punya untuk goleran malas sebelum dia kemudian disibukkan dengan segala macam tetek-bengek urusan perkoasan.“Meratapi nasib, Mbok! Nggak tahu juga mau ngapain!” balas Karina tanpa beranjak dari posisinya.Mbok Iin lantas geleng-geleng kepala, masuk kemudian duduk di tepi ranjang, tepat berada di sisi Karina.“Kalau gitu mending turun deh, ada tamu nyariin bapak, Non!”Mata Karina membulat.
Karina sudah duduk di jok yang ada tepat di sebelah sosok itu. Nampak Yudha yang kini memakai hem lengan panjang warna abu dan celana bahan, membawa mobilnya melintasi jalanan Jakarta yang cukup padat. Papanya sudah memberi titah, meminta agar Yudha diantar menemui dirinya di rumah sakit untuk kemudian bicara banyak hal sekalian makan siang. Firasat Karina tidak enak, jangan-jangan sang papa akan setuju dan memberi ACC mereka menikah? Tidak! Karina tidak mau! Tapi daripada nanti dihamili dulu, bukankah lebih baik mereka memang menikah? Toh mereka sudah buat perjanjian, Karina akan aman sampai nanti waktunya dia meminta cerai. "Tumben diem, sariawan?"Karina menoleh, mengerucutkan bibirnya sambil bersandar malas di mobil. Katanya Yudha selalu pusing yang berujung hipertensi kalau dengar dia ngoceh, kenapa sekarang Karina diam, Yudha bingung? "Ntar kalo saya ngomong Dokter sakit kepala lagi!" Jawab Karina apa adanya. Dari sudu
Karina menatap nanar lelaki yang tengah nyengir lebar ke arahnya itu. Nampak gigi putih dan rapi miliknya terlihat begitu indah berpadu dengan senyumannya. Apa tadi dia bilang? Seret? Ah ... sedetik kemudian Karina menyesal sudah menyentuh dan menarik tangan lelaki menyebalkan ini! Karina bergidik, segera lari masuk ke dalam lift begitu pintu lfit terbuka. Yudha melangkah masuk, berdiri tepat di sisi Karina dengan jarak yang begitu dekat, membuat perpaduan aroma lavender, jeruk dan lemon kembali memanjakan indra penciuman Karina. Karina sendiri heran, parfum apa yang lelaki ini pakai? Kenapa baunya bisa seenak ini? Mungkin kalau tidak ilfeel setengah mati dengan si pemakai parfum, Karina ingin berada terus di dekatnya. Tapi masalahnya, tiap dekat dengan Yudha, kepala Karina bisa dipastikan auto pusing! Tidak peduli seenak ini bau parfum yang menguar dari tubuhnya. Tidak ada percakapan yang terjadi sampai kemudian pintu lift kembali terbuka. Secepat kilat Karina melan
Yudha tidak peduli dengan penolakan keras Karina dan bagaimana masamnya wajah gadis itu ketika dia menggenggam dan menarik Karina keluar dari ruangan. Yang jelas, entah mengapa ketika tangannya mengenggam tangan Karina seperti ini, rasanya begitu lain dan damai.Tangan itu cukup mungil, sangat kecil malah jika dibandingkan dengan telapak tangannya yang besar. Ya ... sepadanlah dengan postur tubuh Karina yang mungil menggemaskan. Yudha mencengkeram tangan itu dengan sedikit kuat, tidak mau buruannya lepas begitu saja.Dengan langkah santai ia melewati antrian pasien, tidak dia hiraukan tatapan mereka yang nampak dia dan Karina dengan tatapan menyelidik. Langkah Yudha terus menuju sosok itu, lelaki paruh baya dengan snelli lengan panjang yang nampak tengah berbincang dengan sesama sejawatnya.“Nah ini anak gadisku, Gung. Alhamdulilah sudah beres skripsi tinggal nunggu wisuda lalu lanjut koas.”Yudha segera melepaskan tangan Karina, tidak s
Suasana resto itu cukup sepi, memang restoran yang Karina datangi sekarang bersama dua lelaki ini termasuk dalam restoran ekslusif dan mewah. Tidak heran suasananya tidak begitu ramai. Begitu privasi dan itu makin membuat Karina tidak karu-karuan. Meja itu begitu besar, cukup untuk sepuluh orang tetapi hanya terisi tiga. Sebuah setting tempat yang cukup biasa untuk restoran ini karena dia memang di desain untuk acara pernikahan. Restoran yang mencangkup convention privat bagi beberapa orang yang ingin pestanya begitu privasi dan intim. "Nak Yudha serius mau ngajak Karina nikah?" Tanya Ahmad yang hampir saja membuat Karina tersedak nasi dalam mulutnya. Yudha yang tengah mengaduk nasi di atas piring sontak menengadahkan wajah, menatap Ahmad dengan tatapan serius. "Tentu, Prof. Saya sangat serius." Jawabnya mantap yang mampu membuat Karina tertegun di tempatnya duduk. "Karina itu manja setengah mati loh! Maklum anak bungsu mana cewek se
“Dok, serius!” Karina kini merengek, memohon agar Yudha mau berbaik hati menceritakan kepadanya perihal apa-apa saja yang akan dia lakukan bersama sang papa.“Iya saya juga serius, Karin.” Yudha tersenyum, ia membawa mobil milik kakak nomor 2 Karina itu kembali menuju rumah.Karina mencebik, kenapa sulit sekali mengajak lelaki ini bekerja sama? Apa susahnya sih menceritakan kemana mereka akan pergi? Apa yang hendak mereka lakukan? Tinggal mengirim pesan pada Karina, semua beres, bukan?Yudha nampak begitu tenang, masih sangat tenang setelah mengantarkan ayah Karina kembali ke rumah sakit. Setelah mereka selesai bicara panjang lebar dan makan siang. Sementara, Karina sendiri risau dan sangat penasaran dengan apa yang hendak papanya lakukan.“Pengen banget sih tahu? Saya dapat kompensasi apa kalau mau berkerja sama dengan kamu, Rin?” tanya Yudha ketika Karina hanya diam membisu.Karina melotot. Kompensasi? Bisa-bis
“Paaa ... Karin mau ikut!” rengek Karina saat sang papa ketika mereka sudah bersiap hendak ke bandara.Setelah makan malam berempat, Ahmad segera bersiap-siap untuk pergi berdua dengan Yudha, semuanya sudah disiapkan termasuk mobil. Mereka tinggal membawanya ke bandara dan take off bersama pesawat yang sudah Ahmad siapkan tiketnya. Ahmad tersenyum, mengacak rambut Karina dengan begitu gemas. “Kau mau duduk di mana kalau ikut? Di sayap pesawat?” goda Ahmad sambil tersenyum, membuat Karina mengerucutkan bibirnya dengan kesal. “Aaaa Papa!” tentu Karina tidak ingin diam saja dengan rasa penasaran yang menyiksanya.“Sudah, kan tadi papa sudah bilang kamu di rumah aja, kangen-kangenan sama mama. Oke?” kembali Ahmad tersenyum, menoleh ke arah Yudha yang langsung paham apa maksud dari tatapan itu.Yudha melangkah mendekati Dewi mengulurkan tangan guna berpamitan pada nyonya rumah yang sudah menyambut kedatangannya dengan begitu hangat dan ramah.“Dokter Dewi, saya mo
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?