Heni tengah menjemur keset di gerbang kost ketika melihat mobil putih itu berhenti di depan gerbang kost-nya. Alis Heni berkerut, bukankah itu ...
"Loh, mobil dokter Yudha, kan? Kok sampai sini?" Heni mendadak pucat, jangan bilang kalau dosennya itu kemari hendak mencari Karina. Karina tidak membuat ulah, kan? Kabur misalnya?
Heni hendak lari ke dalam kamar kost ketika mendapati yang turun dari mobil itu bukanlah sosok yang dia takuti datang kemari, melainkan Karina yang nampak cemberut melangkah mendekatinya.
"Loh, Rin? Itu, kan ...."
Karina hanya menghela napas panjang, masuk ke dalam gerbang dan duduk di kursi teras. Heni melangkah mendekati Karina yang menopang dagu sambil cemberut.
"Dokter Yudha-nya mana?" tanya Heni yang masih heran kenapa mobil dosen kece itu bisa Karina bawa? Ah ... agaknya Heni lupa, Karina kan calon istrinya!
"Di rumah sakit, lagi praktik. Kenapa?" tanya Karina yang masih cemberu
Yudha menyeka keringat yang mengucur, melepas gown dan bersiap membersihkan diri setelah berperang melawan malaikat maut di dalam kamar operasi.Dia melirik jam dinding, sudah sore ternyata. Mendadak bayangan cantik menggemaskan itu muncul di kepalanya. Di mana calon istrinya itu berada sekarang?Yudha tersenyum, segera mencuci bersih-bersih tangannya dan hendak berganti pakaian, ketika tepukan itu mendarat di bahunya."Yud, sudah selesai?"Yudha menoleh, langsung menundukkan kepala sebagai wujud hormat kepada sosok itu. Siapa lagi kalau bukan Profesor Hasyim, direktur rumah sakit yang juga seorang guru besar di kampus tempat Yudha mengajar."Sudah, Prof. Alhamdulillah semua lancar." Jawab Yudha sambil tersenyum."Dengar-dengar gosip di kampus, kamu mau nikah, Yud?"Yudha membelalakkan mata, ah ... Agaknya memang satu universitas sudah dengar semua kabar itu. Maka tidak heran sekelas Profesor Hasyim pun t
Karina tercekat, wajah itu begitu dekat dengan wajahnya. Menampilkan sebentuk wajah dengan rahang kokoh, hidung mancung yang sialnya begitu indah dan mempesona di mata Karina. Sorot mata tajam itu berubah begitu lembut, membuat sesuatu dalam hati Karina bergejolak luar biasa. "Aduh!" Karina memekik ketika Yudha tiba-tiba menarik dan memaksanya berdiri, tangan yang tadi dia gunakan untuk menangkap tubuhnya, kini berkacak pinggang dan sorot mata itu kembali begitu tajam. "Kamu itu sembrono sekali sih? Bisa hati-hati nggak?" Omelnya yang seketika membuat rasa kagum yang sempat muncul, hancur berkeping-keping hingga tidak bersisa. "Namanya juga nggak sengaja, Dok! Galak amat sih!" Karina mencebik, segera pergi dari depan lelaki itu sambil bersungut-sungut. Ia membuka pintu mobil, naik ke dalam mobil dan segera duduk di jok samping supir. Kenapa lelaki itu sangat menyebalkan sih? Dulu ibunya ngidam apa sampai-sampai punya anak macam zombie seperti
Yudha segera menangkap tubuh itu, mendekapnya ke dalam pelukan sebelum tubuh itu jatuh tersungkur mencium tanah. Kini tubuh mereka menempel satu sama lain, kepala Karina sukses mendarat di dadanya, membuat Yudha yakin seyakin-yakinnya gadis itu tidak memerlukan stetoskop lagi untuk mendengar degup kencang di rongga dada Yudha. Karina segera melepaskan diri, membuat Yudha tersentak dan mempertahankan tangan Karina dalam genggamannya. Mata mereka beradu, dapat Yudha lihat mata yang biasanya bersorot tajam menatapnya itu kini memerah berurai air mata. "Rin ... Saya minta maaf."Mata Karina terbelalak, mulutnya setengah terbuka. Yudha lihat betul ekspresi terkejut itu. Tangan Yudha meraih satu tangan Karina, menggenggamnya dan meremas tangan itu dengan lembut. "Saya minta maaf kalau sudah bikin kamu kesel. Kita jadi nikah, kan, Rin? Please ... Cuma kamu yang bisa nolongin saya, Rin." Mohon Yudha dengan begitu tulus. Sebodoh amat dia terkesan mengej
"Karena saya nggak cinta sama Dokter!"Yudha tertegun. Dari sorot mata yang Karina tampilkan, dia tahu kalau Karina serius dengan apa yang dia ucapkan. Karina tidak mencintainya? Bukankah itu sudah terlihat dari bagaimana hubungan mereka selama ini? Tetapi meskipun begitu, kenapa rasanya hati Yudha begitu sakit mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Karina? Yudha menghela napas panjang. Otaknya mendadak blank. Dia sampai tidak tahu harus bicara apa. Harus ngomong apa. Semua kemampuan berpikir otaknya mendadak lenyap! Yang Yudha tahu hanya satu, hatinya bisa begitu sakit dengan apa yang dia dengar dari mulut Karina."Bagaimana kita bisa menikah kalau saya sendiri tidak mencintai Dokter? Ah bukan hanya saya, Dokter pun saya rasa nggak ada perasaan cinta pada saya, bukan?"Tidak ada perasaan cinta? Apakah benar? Yudha sendiri tidak yakin. Hanya saya tiap dia tengah bersama dengan gadis ini, Yudha merasa kesal sete
Yudha membelokkan mobilnya ke minimarket, bersandar lemas di mobil setelah mematikan mesin. Matanya terpejam, dipijatnya pelipis dengan perlahan-lahan. Kepalanya pusing! Selalu pusing tiap berhadapan dengan Karina. Entah Yudha juga tidak tahu, apakah dia diciptakan Tuhan hanya untuk membuatnya sakit kepala seperti ini? Apakah dia salah satu makhluk yang Tuhan ciptakan hanya untuk menguji kesabaran Yudha? Tapi bukankah menggoda dan menguji kesabaran manusia itu adalah jobdesk para setan?“Ya ampun, Yud! Begini amat sih, Yud!” Yudha frustasi.Kenapa sih orang belum menikah selalu dipermasalahkan? Memang kenapa kalau diumur yang sekarang ini Yudha belum menikah? Belum ingin menikah? Kenapa lingkungan dan stigma masyarakat terlalu mengurusi hal macam ini? Apakah lebih baik menikah lalu bercerai daripada memutuskan untuk sendiri sampai kemudian dia benar-benar siap dan mantab untuk menikah?Cerai?Yudha mendengus perlahan. Mendengar kata cerai, hat
Yudha tertegun di tempatnya duduk. Karina bahkan sudah siap berdiri di depan gerbang kostnya. Gadis itu tampak begitu manis dan cantik dengan dress tartan warna hitam. Rambutnya dia curly bagian bawah. Membuat fokus Yudha hilang dan pasangannya hanya tertuju pada sosok itu. Mata Yudha mengikuti pergerakan Karina hingga Karina masuk dan duduk di sebelahnya. Gadis itu langsung sibuk mengenakan sabuk pengaman dan Yudha masih terpesona dengan penampilannya malam ini. "Dok? Halo?" Karina mengibaskan tangan tepat di wajah Yudha, membuat Yudha tersentak dari lamunan dan tergagap karena terkejut. "Eh ... I-iya?" Sudah Yudha pastikan, bahwa wajahnya sekarang ini pasti memerah. Yudha memalingkan wajah, kembali fokus ke depan sambil mencuri pandang sebentar pada kaca mobil dan benar saja! Wajahnya memerah, malu karena ketahuan gadis rese itu tengah menatapnya tanpa kedip. "Dokter baik-baik saja?"Mobil sudah melaju dengan Yudha yang mati-matian berusaha tenang dan cool s
"Ini enak banget, Bu!" Suara riang itu meluncur begitu saja dari mulut Karina, membuat Yudha menoleh dan menatap gadis yang duduk di sisinya. Sedetik kemudian Yudha melirik sang ibu, terlihat sangat wajah itu berseri-seri dengan senyum merekah yang sejak Karina datang tadi tidak lenyap dari wajahnya. "Ini kesukaan Yudha, Rin. Mau Ibu ajarin masaknya?"Hampir saja Yudha tersedak, untungnya dia masih bisa menahan diri. Masih membisu mengamati dua wanita yang asyik ngobrol sambil menyantap makan malam mereka. Bisa Yudha lihat Karina nyengir lebar, wajahnya begitu cantik menggemaskan kalau seperti ini. Tidak seperti beberapa saat yang lalu, begitu menyebalkan. Yudha penasaran, apa reaksi Karina dengan penawaran yang diberikan sang ibu yang hendak mengajarinya memasak. "Tapi Karin sama sekali nggak bisa masak, Bu." Desisnya dengan wajah memerah. Mampus! Bisa habis Yudha setelah ini! Tahu sendiri ibunya itu begitu cerewe
Yudha sudah masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan Karina. Gadis itu malah menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan dengan senyum merekah. Yudha hanya tersenyum ketika melihat Ningsih balas melambaikan tangan dengan senyum lebar. Agaknya malam ini semua rencananya sukses! Yudha mulai membawa mobilnya melaju pergi, tugasnya masih ada satu yaitu mengantarkan Karina pulang ke kostnya. Nampak plastik yang tadi ibunya sodorkan pada Karina bertengger dengan begitu manis di atas pangkuan Karina, membuat Yudha kembali takjub, betapa gadis itu ternyata punya sisi lain. "Ibunya Dokter baik banget ya? Ramah, murah senyum, nggak kayak anaknya." Celoteh Karina yang langsung membuat Yudha mendelik kesal. "Apakah anaknya yang kamu maksud itu saya, Rin?" Yudha tersenyum kecut, mulai, kan gadis ini? Terdengar helaan napas panjang dari sosok itu, membuat Yudha menghirup oksigen banyak-banyak guna memenuhi stok sabarnya. Pasti setelah ini akan ada obrolan
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?