"Rin, kau sakit?"
Hari ini mereka sudah pindah ke stase obsgyn. Heni terkejut ketika mendapati Karina nampak berbeda tidak seperti biasanya. Wajah itu nampak pucat, sedang PMS, kah? Dia nampak lesu dan tidak bersemangat."Entah, Hen. Kepala rasanya pusing." Desis Karina yang langsung menjatuhkan diri di kursi.Heni ikut menjatuhkan pantatnya di kursi yang ada di sebelah Karina. Tangannya refleks menyentuh dahi Karina. Memastikan dia tidak demam, meksipun caranya sebenarnya tidak boleh seperti ini. Normal, tidak terasa panas. Itu artinya normal, kan? Meskipun Heni tidak tahu pasti berapa derajat suhu tubuh Karina saat ini."Pucet banget kamu, Rin! Kamu nggak lagi hamil, kan?"DEG!Karina nampak terkejut bukan main mendengar pertanyaan itu. Hamil? Spontan Karina merogoh ponsel, membuka aplikasi pemantau siklus bulanannya dan mata Karina kontan membelalak, membuat Heni mendekatkan wajah guna kepo apa yang membuat Karina terkejutHeni dengan sedikit tergesa melangkah hendak keluar dari gedung rumah sakit. Ia begitu tidak sabar ingin lihat apakah benar Karina hamil? Ah tidak masalah kan, sebenarnya? Kan Karina sudah bersuami dan bukankah Heni sudah tidak sabar ingin dapat ponakan? Kira-kira secantik atau seganteng apa nanti anak mereka? Bapak - ibunya bibit unggul semua! Senyum Heni merekah, ia hendak melangkah keluar ketika samar-samar ia mendengar obrolan itu. Obrolan yang menyebut nama Yudha dan Karina. "Serius? Jadi dokter Tasya itu mantan pacarnya dokter Yudha?" Perawat itu tampak asyik berghibah, membuat Heni jadi memperlambat langkahnya. "Serius! Dia sendiri cerita sama anak-anaknya di poli! Mereka pacaran dari pre-klinik. Putus karena ya dokter Tasya-nya ngaku khilaf terus nikah sama residen di tempat dia internship!"Deg!Jantung Heni rasanya mau lepas. Jadi dokter cantik itu dan dokter Yudha ... "Pantes! Habis itu dokter Yudha betah jomblo! D
Yudha mengibaskan tangan itu dengan sedikit kasar. Sorot matanya sedikit tajam. Tidak peduli mata itu berkaca-kaca, Yudha sudah tidak mau tahu lagi apapun tentang dia, baginya semua sudah selesai dan tidak ada yang perlu dibahas lagi. "Apa lagi? Jangan buang waktuku dengan percuma, oke?" Yudha hendak kembali melangkah ketika tangan itu kembali mencekalnya. "Yud, tunggu dulu!"Yudha mendesah, segera mengibaskan tangannya agar genggaman tangan itu terlepas. Kepalanya mendadak pusing. Yang dia takutkan tentu jika ada yang melihat atau mendengar apa yang mereka bicarakan sekarang. Apalagi kalau orang itu Karina, bisa habis Yudha nanti. "Apa lagi sih? Aku sibuk, tolong!""Satu aja, tolong jawab pertanyaanku!" Tasya masih menahan langkah Yudha, membuat Yudha menghirup udara banyak-banyak lalu kembali menatap sosok itu dengan tajam. "Apa?""Dia siapamu, Yud?" Tanya Tasya tanpa memalingkan pandangan dari wajah Yudha.
"Heh!" Brian kini menimpuk bahu Heni keras-keras. "Aku panik setengah mati lihat kamu nangis kayak gini dan ternyata kamu nangis kayak gini cuma karena nonton drakor?" Hampir saja Brian berteriak keras-keras, matanya melotot tajam. Sungguh dia tidak mengerti kalau wanita bisa seabsurd ini! "Mas nggak tahu, tadi itu--.""Dah-dah! Sana deh! Kesel aku sama kamu!" Brian bangkit melangkah hendak kembali ke IGD. Baru beberapa langkah dia kembali menoleh, menatap tajam ke arah Heni yang melongo menatap kepergiannya. "Nanti pulang bareng, awas pulang sendiri!" Ancam Brian lalu kembali melangkah pergi meninggalkan Heni. Heni tersenyum geli. Ia menghela napas lega ketika sosok itu lenyap di belokan. Satu tangan Heni menyeka air mata. Hampir saja dia bablas bicara apa yang tadi dia dengar dan lihat dengan mata kepalanya sendiri. Brian sahabat kakak Karina, bisa heboh nanti kalau Heni menceritakan semua itu pada Brian. Heni menyandarkan tubuh di kursi itu.
"Rin ..."Karina mengangkat wajah mendengar panggilan itu. Memaksakan diri tersenyum sambil menatap Heni yang melangkah masuk mendekatinya. "Kamu kenapa? Kok nangis?" Tanya Heni yang kembali membuat Karina kembali memaksakan diri tersenyum. "Aku nggak nangis kok!" Jawabnya berdusta. Heni menghela napas panjang, satu tangannya terulur menyingkap rambut Karina yang menutupi sebagian wajah, membawa rambut itu kebelakang telinga. "Kita temenan berapa tahun sih, Rin? Aku tahu betul, kamu habis nangis!" Heni tidak mau dibohongi, meskipun kini sebenarnya dia lah yang membohongi Karina. Ah ... Bukan bermaksud berbohong, tetapi Heni tahu betul dia tidak seharusnya masuk ke sana. Dia orang lain dalam masalah ini, tidak peduli dia begitu dekat dengan Karina. Mungkin nanti ada saatnya memang Heni harus bicara, tapi tidak saat ini. Karina menghela napas panjang, ia memejamkan mata barang sejenak lalu menatap Heni dengan mata me
"Positif!"Desis Karina lirih. Sebenarnya dia tidak terlalu terkejut, bukankah tadi dokter Retno sudah memberitahunya? Dari tiga buah testpack, Karina hanya menggunakan satu. Untuk apa dipakai semua? Toh semua sudah sangat jelas. Karina mendesah, dengan lunglai dia melangkah keluar dari kamar mandi. Dokter Retno berbaik hati menyuruhnya istirahat hari ini. Dia hanya diminta visiting beberapa pasien yang akan dokter Hanif tindak besok pagi. Benar kata Heni tadi, besok akan ada banyak bayi lahir dan mereka akan jadi saksi bagaimana para bayi itu kemudian harus menjalani kehidupan di dunia tipu-tipu ini. Karina meraih ponselnya, mencoba menghubungi sang suami. Biasanya di jam-jam seperti ini, Yudha tengah bersiap masuk ke dalam OK. Jadi sebelum dia masuk dan berperang di dalam, lebih baik Karina temui dan hendak sampaikan dulu kabar ini. Karina menempelkan ponsel di telinga. Berharap Yudha segera mengangkat panggilannya dan mengatakan di mana posi
"Ka-kamu hamil, Sayang?"Karina mengangguk pelan, hal yang sontak membuat Yudha kembali meraih tubuh itu ke dalam pelukannya. Air mata Yudha menitik. Ia terlampau bahagia sampai menitikkan air mata. Sementara sang istri, bisa Yudha dengar isak tangis Karina kembali pecah."Koasku gimana, Mas? Jujur aku belum siap."Sebuah rintihan yang membuat hati Yudha mencelos. Bukankah sejak awal Karina sudah mengatakan hal itu? Mengatakan bahwa ia sama sekali belum siap untuk hamil buah cinta mereka? Yudha merasakan hatinya pedih. Ia mempererat pelukan itu sambil menjatuhkan kecupan berkali-kali di puncak kepala Karina."Mas ngerti, Mas minta maaf nggak hati-hati." desis Yudha dengan penuh rasa penyesalan.Ingatan Yudha memutar memori saat dimana mereka saling memadu kasih. Kapan hal ini terjadi? Maksudnya, di momen yang mana hingga kemudian sperma Yudha bisa tumpah dan membuahi sel telur Karina?Yudha ingat betul bahwa mereka selalu menghit
Karina melangkah turun dari taksi online yang dia tumpangi dari rumah sakit. Ia sangat bersyukur diizinkan pulang oleh Retno setelah dia memergoki Karina kembali sesegukan menangis. Tidak hanya diizinkan pulang, Karina dibebastugaskan hari ini. Sungguh Karina selalu dipertemukan residen dan senior yang begitu baik hati. Apakah efek karena dia istri dokter spesialis di rumah sakit itu? Entah, karina tidak tahu! Karina menghela napas panjang. Dia tidak pulang, tidak kembali ke rumah setelah dari rumah sakit. Yang dia tuju sekarang adalah toko buku! Dia perlu membeli beberapa buku, novel atau apapun itu untuk sekedar menenangkan dirinya. Karina melangkah masuk. Ia hampir sampai di lantai tempat di mana deretan buku berjejer di masing-masing rak ketika di depan meja besar berisi novel, nampak gadis yang begitu dia kenal tengah berdiri di sana dengan tas dalam gendongannya. "Dinda?" Panggil Karina dengan senyum lebar. Gadis dengan seragam
"Yud!"Yudha yang baru saja melangkah keluar dari ruang nomor 3 itu sontak menoleh. Ia bahkan masih dengan gown dan perintilan lainnya ketika lelaki dengan snelli lengan panjang itu sontak membantunya melepaskan gown dengan wajah tampak begitu panik. "Udah kelar, kan, Yud?" Tanya sosok itu sambil melemparkan gown itu ke atas meja. Hal yang sebenarnya sangat tidak boleh dilakukan kalau tidak ingin para perawat OK mengamuk tempat mereka di buat berantakan. "Kalau aku udah keluar begini tentu kau tahu apa artinya, kan, Suf?" Yudha tersenyum, melepas handscoon yang ia kenakan. "Bagus! Buruan ke IGD, Yud!"Yudha menoleh, padahal ia belum mengambil napas untuk sekedar melepaskan penat dan stress yang dia rasakan dan sekarang sja sudah harus kembali menerima pasien? Hebat sekali! "Kasus apa?" Tanya Yudha dengan alis berkerut. "Istrimu di IGD, Yud! Lagi ditangani dokter Anwar!"Bagai disambar petir, Yudha langsung