“Eh ... apaan sih?” tentu Karina berteriak, ia baru saja masuk ke dalam kamar dan Yudha langsung menyerangnya seperti ini.
Pelukan itu begitu erat, hembusan nafas itu bahkan menyapa belakang telinga Karina dengan begitu posesif. Karina sebagai seorang wanita ‘dewasa’ tentu paham kemana arah dan maksud di balik serangan itu terhadapnya.
“Apa katamu?” bisik Yudha sensual, “Aku mau kamu, Sayang!”
Karina menepuk lengan kekar itu, membalikkan badan dan mencubit gemas hidung mancung Yudha. Terdengar tawa Yudha pecah, ia terbahak sementara Karina mencebik lalu melangkah menuju kamar mandi.
“Et! Mau kemana?” Yudha menarik tangan sang istri sebelum mencapai pintu kamar mandi.
“Mau ke kamar mandi lah, Mas! Gimana sih?” Karina benar-benar tidak mengerti, ada apa dengan suaminya ini? Ditatapnya Yudha dengan gemas. Ingin rasanya ia menipuk kepala Yudha, namun ia sadar, itu tidak boleh! Dosa
"Mas!" Karina mengguncang lengan itu, ia sudah beres mandi, sementara Yudha? Tidur tengkurap dengan begitu pulas tanpa sehelai benang pun. "Hmm?"Sebuah respon yang jujur sangat Karina benci. Kembali dia mengguncang tubuh itu dengan sedikit posesif. Hingga kemudian perlahan-lahan mata itu terbuka, menatap Karina dengan sorot mata yang masih mengantuk. "Kenapa, Sayang? Mau nambah?"Plak! Sebuah gebukan gemas mendarat di lengan itu, Yudha bahkan sampai terkejut, ia lantas merubah posisinya jadi terlentang, dengan mata yang masih setengah mengantuk, dia mencoba membuka matanya lebar-lebar. "Apaan sih? Kenapa Sayangku?" Yudha lihat betul bagaimana jeleknya wajah Karina, dan itu artinya adalah Karina tengah merajuk! "Izin kerumah Heni boleh, ya? Mumpung masih jam segini. Bosen di rumah."Sudah lama Karina tidak pergi dan nongkrong di kost Heni. Saling ghibah sambil merampok persediaan camilan gadis itu. Pulang b
Yudha menghentikan mobil di depan gerbang kost eksklusif tempat Heni indekost. Nampak gadis yang dicari sang istri tengah berdiri di depan gerbang dengan seorang lelaki yang Yudha tahu betul siapa dia! Lelaki yang tempo lalu duduk dan meremas tangan istrinya di cafetaria rumah sakit. Lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabat kakak iparnya sendiri. Nampak mereka ngobrol serius, membuat Yudha dan Karina bisa kompak saling pandang. "Mereka beneran pacaran?" Tentu harus Yudha pastikan itu. Bagi Yudha, dokter umum itu adalah ancaman! Terlebih sudah jelas dia punya perasaan terhadap Karina! "Kayaknya sih gitu, Sayang. Mereka udah PP bareng terus." Gumam Karina sambil tersenyum lebar. "Baguslah!" Karina menoleh, alisnya berkerut. "Bagus gimana, Mas?"Yudha mencubit gemas pipi Karina, "Ya bagus dong! Itu artinya dia udah nggak ada lagi waktu buat gangguin kamu. Udah ada Heni, kan?"Tawa Karina pecah, ia balas me
"Rin, kau sakit?"Hari ini mereka sudah pindah ke stase obsgyn. Heni terkejut ketika mendapati Karina nampak berbeda tidak seperti biasanya. Wajah itu nampak pucat, sedang PMS, kah? Dia nampak lesu dan tidak bersemangat. "Entah, Hen. Kepala rasanya pusing." Desis Karina yang langsung menjatuhkan diri di kursi. Heni ikut menjatuhkan pantatnya di kursi yang ada di sebelah Karina. Tangannya refleks menyentuh dahi Karina. Memastikan dia tidak demam, meksipun caranya sebenarnya tidak boleh seperti ini. Normal, tidak terasa panas. Itu artinya normal, kan? Meskipun Heni tidak tahu pasti berapa derajat suhu tubuh Karina saat ini. "Pucet banget kamu, Rin! Kamu nggak lagi hamil, kan?"DEG! Karina nampak terkejut bukan main mendengar pertanyaan itu. Hamil? Spontan Karina merogoh ponsel, membuka aplikasi pemantau siklus bulanannya dan mata Karina kontan membelalak, membuat Heni mendekatkan wajah guna kepo apa yang membuat Karina terkejut
Heni dengan sedikit tergesa melangkah hendak keluar dari gedung rumah sakit. Ia begitu tidak sabar ingin lihat apakah benar Karina hamil? Ah tidak masalah kan, sebenarnya? Kan Karina sudah bersuami dan bukankah Heni sudah tidak sabar ingin dapat ponakan? Kira-kira secantik atau seganteng apa nanti anak mereka? Bapak - ibunya bibit unggul semua! Senyum Heni merekah, ia hendak melangkah keluar ketika samar-samar ia mendengar obrolan itu. Obrolan yang menyebut nama Yudha dan Karina. "Serius? Jadi dokter Tasya itu mantan pacarnya dokter Yudha?" Perawat itu tampak asyik berghibah, membuat Heni jadi memperlambat langkahnya. "Serius! Dia sendiri cerita sama anak-anaknya di poli! Mereka pacaran dari pre-klinik. Putus karena ya dokter Tasya-nya ngaku khilaf terus nikah sama residen di tempat dia internship!"Deg!Jantung Heni rasanya mau lepas. Jadi dokter cantik itu dan dokter Yudha ... "Pantes! Habis itu dokter Yudha betah jomblo! D
Yudha mengibaskan tangan itu dengan sedikit kasar. Sorot matanya sedikit tajam. Tidak peduli mata itu berkaca-kaca, Yudha sudah tidak mau tahu lagi apapun tentang dia, baginya semua sudah selesai dan tidak ada yang perlu dibahas lagi. "Apa lagi? Jangan buang waktuku dengan percuma, oke?" Yudha hendak kembali melangkah ketika tangan itu kembali mencekalnya. "Yud, tunggu dulu!"Yudha mendesah, segera mengibaskan tangannya agar genggaman tangan itu terlepas. Kepalanya mendadak pusing. Yang dia takutkan tentu jika ada yang melihat atau mendengar apa yang mereka bicarakan sekarang. Apalagi kalau orang itu Karina, bisa habis Yudha nanti. "Apa lagi sih? Aku sibuk, tolong!""Satu aja, tolong jawab pertanyaanku!" Tasya masih menahan langkah Yudha, membuat Yudha menghirup udara banyak-banyak lalu kembali menatap sosok itu dengan tajam. "Apa?""Dia siapamu, Yud?" Tanya Tasya tanpa memalingkan pandangan dari wajah Yudha.
"Heh!" Brian kini menimpuk bahu Heni keras-keras. "Aku panik setengah mati lihat kamu nangis kayak gini dan ternyata kamu nangis kayak gini cuma karena nonton drakor?" Hampir saja Brian berteriak keras-keras, matanya melotot tajam. Sungguh dia tidak mengerti kalau wanita bisa seabsurd ini! "Mas nggak tahu, tadi itu--.""Dah-dah! Sana deh! Kesel aku sama kamu!" Brian bangkit melangkah hendak kembali ke IGD. Baru beberapa langkah dia kembali menoleh, menatap tajam ke arah Heni yang melongo menatap kepergiannya. "Nanti pulang bareng, awas pulang sendiri!" Ancam Brian lalu kembali melangkah pergi meninggalkan Heni. Heni tersenyum geli. Ia menghela napas lega ketika sosok itu lenyap di belokan. Satu tangan Heni menyeka air mata. Hampir saja dia bablas bicara apa yang tadi dia dengar dan lihat dengan mata kepalanya sendiri. Brian sahabat kakak Karina, bisa heboh nanti kalau Heni menceritakan semua itu pada Brian. Heni menyandarkan tubuh di kursi itu.
"Rin ..."Karina mengangkat wajah mendengar panggilan itu. Memaksakan diri tersenyum sambil menatap Heni yang melangkah masuk mendekatinya. "Kamu kenapa? Kok nangis?" Tanya Heni yang kembali membuat Karina kembali memaksakan diri tersenyum. "Aku nggak nangis kok!" Jawabnya berdusta. Heni menghela napas panjang, satu tangannya terulur menyingkap rambut Karina yang menutupi sebagian wajah, membawa rambut itu kebelakang telinga. "Kita temenan berapa tahun sih, Rin? Aku tahu betul, kamu habis nangis!" Heni tidak mau dibohongi, meskipun kini sebenarnya dia lah yang membohongi Karina. Ah ... Bukan bermaksud berbohong, tetapi Heni tahu betul dia tidak seharusnya masuk ke sana. Dia orang lain dalam masalah ini, tidak peduli dia begitu dekat dengan Karina. Mungkin nanti ada saatnya memang Heni harus bicara, tapi tidak saat ini. Karina menghela napas panjang, ia memejamkan mata barang sejenak lalu menatap Heni dengan mata me
"Positif!"Desis Karina lirih. Sebenarnya dia tidak terlalu terkejut, bukankah tadi dokter Retno sudah memberitahunya? Dari tiga buah testpack, Karina hanya menggunakan satu. Untuk apa dipakai semua? Toh semua sudah sangat jelas. Karina mendesah, dengan lunglai dia melangkah keluar dari kamar mandi. Dokter Retno berbaik hati menyuruhnya istirahat hari ini. Dia hanya diminta visiting beberapa pasien yang akan dokter Hanif tindak besok pagi. Benar kata Heni tadi, besok akan ada banyak bayi lahir dan mereka akan jadi saksi bagaimana para bayi itu kemudian harus menjalani kehidupan di dunia tipu-tipu ini. Karina meraih ponselnya, mencoba menghubungi sang suami. Biasanya di jam-jam seperti ini, Yudha tengah bersiap masuk ke dalam OK. Jadi sebelum dia masuk dan berperang di dalam, lebih baik Karina temui dan hendak sampaikan dulu kabar ini. Karina menempelkan ponsel di telinga. Berharap Yudha segera mengangkat panggilannya dan mengatakan di mana posi