Setelah mengajar di sekolah ANN dan kampusnya, Juan pulang ke rumah dan bertemu Alice yang sedang main sepatu roda di taman depan dekat rumahnya. Pandangan Alice terlihat memelas seperti sedang meminta maaf, namun Juan mengacuhkannya. "Juan...Juan...." Teriak Alice membuat Catherine yang baru saja datang dan melintas dengan mobilnya melirik ke arah Alice dan Juan yang acuh begitu saja. Catherine memarkirkan mobilnya di dalam garasi, begitu juga mobil Juan. Brug! Pintu mobil Catherine banting, lalu menguncinya menggunakan remote kontrol. "Dia itu siapa?" tanya Catherine sambil menunggu Juan yang sedang berjalan ke arahnya. "Siapa, siapa?" tanya Juan pura-pura tidak mengerti. "Itu, gadis berambut ikal di taman depan!" Catherine berucap sambil melirik ke arah gerbang. "Lupakan sajalah, Bu. Tidak penting!" jawabnya singkat. Mendengar ribut-ribut dari bawah Erick langsung turun yang dari tadi sibuk bersama Mark dan Alexander di dalam ruangan penelitiannya. "Kalian ini, datang-datan
Baru saja Juan hendak membuka pintu rumahnya, Catherine tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Juan, sayang...ajak Ann untuk makan malam terlebih dahulu," ucapnya sambil menoleh pada mereka berdua. Juan memandang pada ibunya, lalu pada Ann yang sedang dipegangnya. "Mau tidak?" Ann menoleh pada Cathrine dan mengangguk pelan tanda setuju. Tangan Juan yang tadinya menggenggam lengan, kini berganti pada jemari Ann. Ann beraksi biasa saja karena dipikirnya Juan hanya membantunya agar tidak gugup dan malu. Sementara Cathrine sudah memastikan kalau Juan bukan hanya menaksir Ann ini, tetapi dia mencintainya. Ann dan Juan duduk berdampingan di dalam ruang makan yang mewah. "Nah ini adalah soup burung dara kesukaan mertua Tante, beliau bukan mertua buat Tante ini, tapi sudah Tante anggap seperti orang tua sendiri," ucapnya sambil menaruh mangkuk soup di atas meja. Asisten rumah Cathrine membawakan cake strawberry, "Itu kesukaan Juan!" Catherine memberitahu sambil mengambil piring isi cake. Ann
Kemudian tangan Jacob pun meraih kotak berbentuk hati itu dan menaruh dua lembar ratusan $NZ ke dalamnya, lalu meninggalkan Cristin bersama Khaty yang terpaku melihat itu. *** Sore ini Ann sengaja berjalan ke arah taman bermaksud untuk menemui Alice. Setibanya di sana dia pun menemukan Alice sedang asik dengan sepatu rodanya. Sebelum mendekat ke arahnya Ann menghela napas terlebih dahulu, lalu melanjutkan kembali langkahnya. "Alice...." Sapa Ann sambil menepuk pundaknya pelan. "Ann!" Alice membalikan badannya agak terkejut. "Kita perlu bicara! Sepertinya kamu salah paham antara aku dan Juan!" ucap Ann berniat mengklarifikasi. Tiba-tiba Rita sudah berdiri di belakang Ann. "Tante dan ayahnya Alice tadinya ingin memisahkan persahabatan kalian karena takut kamu seperti ayahmu," lirihnya pelan dan jelas. "Akan tetapi, Tante salah!" imbuhnya melanjutkan sambil memegang pergelangan tangan Ann dan mengajaknya duduk di kursi taman.
Raymond adalah kakak dari dokter Zayn satu-satunya, dia pun langsung mendatangi ibunya, Martha."Ray telah selesai di dunia ini, Bu. Ray minta minta maaf...." Tuturnya pelan sambil menatap wajah ibunya dan kemudian disambut oleh ibunya dengan rangkulan erat yang membuat Raymond nyaman di dalamnya."Tak perlu minta maaf, ibu mengerti semuanya." Sahutan menenangkan ke luar dari mulut ibunya yang sangat bijaksana dalam menyikapi kesilapan anaknya.Zayn datang, tangannya menarik kasar ujung kursi kayu, "Alah, Abang ini kapan sih bisa benar dalam berbuat! Dari dulu melakukan kesalahan yang itu-itu saja!""Istri Abang mana sekarang?" tambah Zayn sambil menyuap roti goreng hangat yang baru saja ibunya sajikan."Hush, kamu itu...Abangmu ini baru mengarah ke jalan yang tepat, kemarin-kemarin kesasar. Kamu jangan buat Abangmu kembali nyasar!" sela Martha dengan bijak.Martha mengerti kenapa Raymond seperti itu dan dia pun percaya kalau anak sulungnya
Trek! Pintu ruangan dibuka. Suster yang ada di sana bingung melihat Zayn ada di dalam rumah sakit, "Dokter? Dokter 'kan tidak ada pasien hari ini!" sapanya sambil menghampiri. Zayn tidak menggubris pertanyaan Suster tersebut, dia langsung membuka lemari tempat menyimpan filenya dan mengambil photocopy KTP milik Natalie. "Nah, ini dia!" ucapnya tersenyum merekah. Kemudian Zayn pun meninggalkan ruangan dan malam ini juga langsung menuju alamat yang tertera. *** Di dalam rumah kecil yang sederhana milik peninggalan Loriez, Natalie berniat untuk meneruskan aktifitas seperti ibunya dulu, dan itu juga sesuai dengan keahliannya. Karena dia tidak bisa mengikuti jejak neneknya yang mengurus ternak dan bercocok tanam milik saudagar kaya. Sebab menurutnya itu akan membuat dirinya hitam, terlebih lagi Natalie memiliki alergi pada rumput pakan ternak tersebut. Tangannya memegang dua lembar uang ratusan $NZ yang ditinggalkan Ann dari pemberiannya. "Aku akan
Di dalam dapurnya yang serba terbatas, Natalie mulai memutar otaknya untuk bisa memanggang, mengukus berbagai macam kue. "Ini dioven di mana, ya?" ucapnya bingung sambil mengaduk-aduk adonan yang sudah siap dipanggang. Sedangkan Zayn sudah memperhatikannya sejak dari tadi, dia pun menghampiri. Pandangannya pada panci besar yang terkait pada paku di tiang kayu di ujung dapur. Kemudian, mengambilnya dan meletakan itu di atas tungku. Lalu, "Letakanlah di dalam!" titah Zayn seraya menatap wajah bingung Natalie. Natalie pun hanya menurut saja sambil bibirnya tersenyum merekah, setelahnya panci itu pun ditutupnya, dan ditaruhlah beberapa bara api di atasnya bermaksud agar adonan yang ada di dalam panci matang secara sempurna. Aktivitas Natalie pun pada adonan kue yang sudah dikukusnya, "Makanlah, kamu pasti lapar 'kan!" ucapnya sambil menaruh piring di atas bangku terbuat dari bambu, dan secangkir teh pun menjadi temannya. Zayn mengambil kue itu dan memakannya, "Wow, kamu ternyata mahir
Setelah selesai dengan tugas di rumah sakit, Zayn bergegas pulang ke rumahnya. Baru saja akan ke luar dari mobilnya, teleponnya berdering. Cepat sekali dia mengangkatnya, "Halo?" Sahutan terdengar di seberang sana. "Hey, Nat! Ini nomor kamu?" ucap sumringah Zayn sambil masuk ke dalam rumahnya dan sejenak menghentikan perbincangan. Ternyata di dalam sudah ada abangnya dan Zean. "Kalian sedang apa di sini?" gertak Zayn tidak bersahabat. Zean melirik ke arahnya,"Dokter Zay, kenapa kamu benci padaku?" tanyanya pelan. "Atau karena Natalie, ya? Kamu suka sama bekas aku?" sinis Zean melecehkan. Raymond ikut berbicara, "Zay, kamu ini dokter dan tidak pantas buat Natalie yang tidak berpendidikan." Raymond ternyata sudah mengetahui sosok Natalie karena ada barang-barangnya yang tertinggal di dalam apartemen. Di dalam apartemen pun Zean menemukan handphone kecil milik Natalie terselip di sudut sofa. Lalu, dia memeriksannya dan diketahui kalau yang menerornya dulu adalah Natalie. "Lihat i
Ann mengirim pesan ke Jeanne dan Sylvie untuk ke luar dari kios pelan-pelan tanpa curiga. Dan dibaca pesan tersebut oleh mereka berdua. Sedangkan posisi Ann sudah ada di dekat halte bus sebrang kios. "Kenapa sih Ann, diam-diam begini?" tanya Sylvie yang sudah ada di hadapannya. Jeanne pun datang, "Terus si Rania?" ucapnya, matanya pun menoleh ke arah Juan yang sudah melihat mereka bertiga di depan kios sambil memasang muka marah. Ann hanya tersenyum lalu masuk ke dalam bus yang baru datang. "Biarkan Rania mengenal Juan!" ujarnya sambil membuka handphone-nya karena saat bersamaan pesan masuk dan itu dari Juan. Setelah membaca pesan, matanya melirik pada kedua temannya. "Dukunglah mereka berdua!" tambahnya sambil mengetik pesan balasan untuk Juan. "Saling mengenalah, aku tidak apa-apa." Sylvie mengambil handphone Ann, lalu membacanya, "Isi pesan apa, dijawab apa!" ucapnya sambil menatap wajah Ann, karena dia mengetahui kalau jawaban Ann tidak nyambung dengan isi pesan. "Kamu tid
Setelah pamitan pada ibu, ayah serta Renata yang baru pulang dari sekolah. Ann langsung masuk ke dalam mobil milik pribadinya, dan sopir pun sudah duduk di depan stir. Sementara Juan masih bergeming di dekat pintu mobil, "Ann, kamu ikut mobilku, aku mau mengantarkanmu." Pinta Juan sembari menatap wajah gadis yang sudah duduk di atas jok mobil belakang. Ann menggelengkan kepalanya. "Aku sama sopir saja!" singkatnya. "Ayo Pak, kita jalan agar tidak ketinggalan pesawat." Ann menambahkan dengan melirik ke arah sopir. Sementara Juan yang masih terpaku di depan pintu mobil, akhirnya duduk di sebelah Ann. Sopir bergegas melajukan mobil. Sedangkan Juan serta Ann saling membisu di belakang, setelah beberapa saat Juan memiringkan badannya menghadap Ann yang sedang membaca buku. "Yang kamu lihat minggu lalu tidak sesuai penglihatanmu!" jelasnya pelan dengan tangan hendak meraih tangan Ann, akan tetapi ditepis olehnya. Ann pun beraksi sama disertai menatap wajah Juan. Kemudian berbicara ketus,
Pesawat pribadi Erick yang ditumpangi dirinya serta Ann sudah mendarat dengan selamat di kota terkenal akan bangunan bersejarahnya namun berarsitektur kuno ini. Hawa sejuk musim semi serta rintikan hujan menyambut kedatangan dua manusia yang berbeda usia ini. "Selamat datang di London, Sir!" ucap Pengawal dari kolega Erick dengan ramah. Ann semakin tajkub pada sosok Erick ini. Sosoknya bagi Ann adalah inspirasinya. Kemudian para pengawal membawa Erick dan Ann agak jauh dari perkotaan. Selama perjalanan pandangan mata Ann menembus kaca jendela mobil jauh ke luar sana. Ya, jauh tidak karuan, hatinya kini hampa karena di sampingnya tidak ada sosok penguatnya. Akan tetapi berbeda setelah melihat handphonenya penuh dengan pesan dari Juan. Pesan-pesan itu seolah asupan energi semangatnya dia pun akhirnya tersenyum. Mobil berhenti di depan bangunan dengan arsitek paling unik di antara bangunan ataupun rumah lainnya. "Ayo, Ann!" ajak Erick yang sedang memperhatikan gadis belia
Alarm jam yang terdapat di atas nakas Jeanne berdering keras persis di sebelah kuping Ann. Suaranya yang memekakan hingga menusuk genderang telinganya, membuat dirinya dengan cepat meraih jam tersebut serta melihatnya. Di sana terlihat pukul 04:25, Ann pun menoleh ke arah samping dimana Jeanne dan Sylvie tidur. "Ke mana mereka?" ucap Ann pada diri sendiri, karena menampaki teman-temannya memang sudah tidak ada di sampingnya. Ann pun bergegas duduk serta memperhatikan ke seluruh ruangan, ranjang Sylvie pun kosong. Matanya hanya melihat ke arah tempat tidur Rania yang dirinya masih tertidur pulas. "Ke mana mereka sepagi ini?" lagi-lagi Ann berbicara sendiri. Cepat sekali Ann masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan aktivitasnya. Setelahnya dia pun dengan segera berjalan ke arah dapur. "Juan? Jeanne? Sylvie?" ucap Ann agak terkejut karena mereka sudah ada di dalam dapur. "Pagi, Ann." Sapa Sylvie sambil memberikan secangkir susu coklat hangat. Ann tak
Natalie beserta kecemburuan dan iri hatinya. Sementara Ruth dan Ann mereka berdua menikmati kebersamaan dengan saling bercanda tawa terkadang diselangi pelukan mesra. "Tante pinjam Ann sebentar!" ucap Juan pada Ruth. Juan melakukan itu agar Ruth tidak mencolok memperlakukan Ann hingga membuat Natalie cemberut. "Nat, temankan Tante Ruth sejenak!" Juan menoleh pada Natalie yang masih berdiri bergeming serta memasang muka tak bersahabat. Ruth sepertinya tidak mengerti dengan gelagat Natalie, dia malah berasumsi kalau Juan bereaksi seperti itu karena dirinya sudah tahu isi hati Juan pada putrinya. Kemudian menoleh pada Ann, "Ikutlah Ann, biar Juan tidak sewot melulu!" godanya. Ann mendelik ke arah Juan serta menghampiri, "Mau apa sih?" Juan tidak menjawab pertanyaan dari Ann, melainkan dengan cepat meraih jemarinya lalu menggenggamnya. Ann bertanya kembali, "Mau ke mana?" Juan berbisik ke petugas yang ada di depan pintu tad
Ann menepuk pipinya pelan serta menggercapkan secara cepat kedua bola matanya."Iya, ini Kakak!" Natalie meyakinkan sambil menghampiri adiknya. Tangan kanannya meraih jemari gadis yang memakai pakaian adat Selandia Baru ini pelan sekali, sedangkan tangan kirinya mengelus halus pipi kirinya. "Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, dan kamu memang cantik!" ucap Natalie dengan pandangan menatap tajam wajah adiknya.Ann tersenyum tipis serta langsung memeluk kakaknya ini. "Kakak kok bisa ada di sini?" desisnya tepat di kuping Natalie.Natalie merenggangkan pelukannya, dia menuntun adiknya ke arah sudut ruang ramah tamah yang sebelumnya Natalie memotong tart strawberri coklat dan menaruhnya di atas piring kecil lalu mengguyurkan coklat cair di atasnya. "Nih, dari pada colak colek seperti tadi! Jorok tahu!" sindir Natalie sambil memberikan piring kecil isi kue pada adiknya ini. Sumringah Ann mengambilnya serta langsung memakannya sembari dihayati.&n
Napas Catherine tersengal melihat kesedihan saudaranya itu, dia pun turut merasakan bagaimana perasaan Ruth bertahun lamanya. Memahami kalau Ruth bukanlah seorang ibu yang melepaskan tanggung jawab begitu saja, akan tetapi beberapa alasan hingga membuat dirinya terpaksa melakukan semua, terlebih lagi demi keluarganya.Setegar-tegarnya Ruth, namun malam ini dia nampak rapuh. Air matanya mengalir deras di depan anak kandungnya yang sedang tertidur pulas. Tangan halusnya membelai rambut panjang Ann terhampar di atas bantal berbalut sarung berwarna putih. Satu kecupan hangat pun berlabuh di atas pipi mulus gadis belia ini. Kendati tertidur, Ann masih merasakan kecupan serta belaian dari ibu kandungnya ini. Akan tetapi dia berpura-pura memejamkan matanya.'Aku menyayangi kalian,Bu.' Bisik hati Ann dalam senyap. Ann mengerti semua kejadian ini terjadi karena ujian dari Tuhan. Mariez juga Ruth hanya sekedar korban dari para manusia yang telah dikendalikan hawa naf
Ann masih membaca semua tulisan-tulisan tangan hasil dari nenek Ann. Dia merupakan saksi dimana Ruth melahirkan, serta hanya Ann inilah yang mendukung segala hal akan kelahiran putri dari Ruth ini. Nenek Ann tidak menceritakan kisah cinta Johan dan Ruth karena Ruth saat itu telah dijodohkan pada kerabat suaminya, walaupun akhirnya kandas begitu saja seiring penolakan halus dari Ruth sendiri. Ditambah lagi kisah kaburnya Ruth terdengar ke seluruh keluarga besar Arthurian. Thony bukan tidak tahu kalau putrinya sudah menikah juga telah memiliki putri, akan tetapi dia belum tahu siapa asal usul Johan. Hingga akhirnya Thoby menjelaskan semuanya. Namun, saat itu sudah terlambat. Terlebih lagi diketahui oleh Thony kalau Johan telah memiliki istri, dia tidak ingin jika putrinya disandang perusak rumah tangga orang. Thony sekeluarga seolah tega, walaupun kadang-kadang perasaan tidak tega menyelimuti mereka pada bayi yang putrinya secara paksa ditinggalkan begitu saja.
Johan masih tidak percaya pada pernyataan dari Dean. Akan tetapi setelah dia mengingat ulang sikap Mariez dan tingkah lakunya sewaktu berumah tangga bersamanya. Mariez memang agak keras serta cerewet. Dia pun menyadari cerewetnya Mariez disebabkan oleh kelelahannya. Ya, sekarang perasaan Johan tersayat, menyadari bahwa dirinya tidak pernah memperlakukan almarhum istrinya dengan baik. "Maafkan aku, Mar." Ucapnya pelan sekali. Dean belum puas untuk membuat Johan agar merasa lebih bersalah, "Tahu tidak, Dean? Mariez istrimu itu jangankan mau berselingkuh denganku, kalau berpapasan saja sepertinya kalau ada jalan lain, dia akan menghindariku. Dia wanita luar biasa. Sayangnya, dia mendapat suami bangsat sepertimu!" "Cukup! Hentikan! Atau aku bunuh kamu!" ucap Johan sambil berusaha untuk menerjang Dean. Akan tetapi Antonio dan Erick melerainya, "Cepat pergi kamu Dean! Beritahu Ruth kalau suaminya telah ke luar dari penjara!" "Kamu beruntung Johan dicint
"Kenapa? Karena sudah selingkuh dan membuat Natalie? Entah Renata juga bayi yang dikubur pun itu anakku atau bukan!" jawab Johan sinis. Ann menyolot, "Jadi, aku ini bukan anak ibu? Lantas, aku anak siapa?" Johan nampak meraba sakunya, lalu dikeluarkan dompet dari dalamnya. "Nih, ini ibumu! Ruth Arthurian!" tegas dan ketus Johan menjelaskan sedangkan tangannya memberikan secarik foto. Tubuh gadis ini gemetar tidak berani mengambil foto itu. Dadanya sesak dan tidak ada nyali untuk menghadapi kenyataan. Air matanya sudah deras membasahi pipinya, linangan itu ada karena bercampur antara emosi, sakit hati serta kaget. Seketika Ann pun masuk ke dalam kamarnya dengan cepat. "Kalau sekarang kamu mengatakan omong kosong, aku pun harus tahu semua omong kosong foto-foto yang berasal dari rumah kakek Thoby dan ayah Juan!" pikirnya sembari mengambil foto-foto tersebut dan kembali ke ruang makan. "Aku sudah mendengar omong kosongmu,