Satu rangkaian itu terjadi ketika benakku mengeras.
Aku sedang mengusap keningnya, menyibakkan rambut ke belakang telinga dinginnya, lalu menelusuri pipi yang kehilangan kelembutan. Dia masih terlihat bak putri tidur, meskipun tidak seperti di kamera: membesar seolah bisa menyantap apa pun di hadapannya, termasuk aku. Dia tetap mendebarkan.
Aku menatap matanya, dan tiba-tiba matanya terbuka.
Mata kelabu itu menunjukkan warna, langsung mengarah ke mataku.
Tepat ketika aku berada dalam jarak beberapa jengkal dari hidungnya.
Ketika aku memikirkannya kembali, dalam waktu yang terkesan lambat, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya dan remang-remang kemerahan lilin memantulkan citra merah di bola matanya. Dia bangkit, sampai segalanya berhenti berproses. Tangannya melingkar di punggungku, dan aku segera kehilangan fokus. Dia mendorongku, memelukku seolah berniat meremukkan tulang rusuk, dan suara napas yang teratur itu kini terdengar cepat, dan de
Aku terdiam. Barangkali sudah sewajarnya aku heran atau menuntut, tetapi mulutku bungkam. Aku melihat Helva mengatur napas—aku yakin dia memikirkan hal yang sama. Di mana kami melakukan kesalahan?“Tidak ada waktu,” cetus Helva. “Kami ulur sedemikian rupa. Pergi—”“Tidak,” tegasku. “Kalian ikut.”Aku di posisi yang, paling tidak, tahu kalau tidak segera setuju, barangkali Marvin dan John kedua akan muncul. Namun, aku tidak mau ada pengorbanan, dan kalau itu memang diperlukan, aku yang akan berkorban, bukan mereka.Aku memberinya pesan kriptogram itu. “Kalian harus ikut.”Dan akhirnya dia mendesis. “Baiklah. Sekarang jam empat dua belas. Kalau sampai jam lima salah satu dari kita tidak segera muncul, dia harus ditinggal.”“Sepakat.”***Rena gemetar—meski mengatakannya sangat tegas di telingaku: “Aku tidak mau kembali.&rdq
Terlalu banyak serangan yang kudapat.Aku merasa mataku akan menutup, tetapi aku sadar kalau kakiku harus terus bergerak. Kesadaranku belum hilang. Sudut terjauh mataku masih bisa melihat air danau keruh dengan hiasan gelembung napas. Sedetik sebelum menabrak air, aku berhasil mengamankan satu tarikan napas, tetapi sentakan antara punggung dengan air mengacaukan momen itu. Begitu menyadarinya, sudah terlalu banyak air keruh mengalir di kerongkonganku. Sesak. Tubuhku semakin tenggelam.Aku tidak yakin apa perbedaan danau ini dengan danau Kawasan Normal selain dipisahkan tebing tinggi dan air yang keruh, tetapi tampaknya tubuhku mulai bisa merasakannya. Betapa tekanan di danau ini jauh lebih kuat dibanding lompatan indah ke danau Kawasan Normal di umurku yang ketiga belas. Segera setelah aku menyadari itu, penglihatanku kabur. Aku terbenam sepenuhnya.Dan tiba-tiba aku melihat nuansa aneh yang membuatku berada di ambang batas. Tubuhku seperti mengecil dan aku melo
Kesadaranku kembali karena seluruh tubuhku berguncang. Tidak satu pun mimpi muncul. Segalanya hanya terasa tenang, hanyut, dan begitu adiktif. Saat itu, samar-samar aku mendengar suara Rena yang mengobrol. Awalnya begitu kabur, tetapi perlahan, suaranya bertambah. Seperti milik Helva.Dan ketika jemariku bergerak, segalanya mulai jelas.Aku membuka mata. Secara perlahan, tidak seperti Rena yang brutal. Maka tepat ketika itulah, senyum khas yang manis itu kembali.Tepat di atasku.“Aha, tukang tidur sudah bangun.”Itu langsung membuka mataku sepenuhnya. Kepalaku terbaring di bawah—tepat di pangkuannya. Aku mungkin bisa langsung bangkit dan merona, tetapi saat itu aku tetap diam, yang membuatnya mengangkat alis. “Hm... ketagihan?”“Selamat pagi,” kataku, sangat normal.Mobil bergetar. Aku melirik, Helva di kursi sopir. Dari sudut ini, aku sudah bisa mengerti di mana kami berada: perjalanan turun
5 Desember pagi. Kami sampai di pom bensin terdekat, yang secara teknis tempat kami bertemu kembali dengan Marie dan Ben. Tentu saja mereka langsung menunjukkan aura cemas berlebih—terutama Marie yang mempertanyakan semua kejadian. Jadi, aku menjelaskan semua dengan bahasa yang terdengar halus.Rena dan Helva membeli baju ketika kami bicara delapan mata.“Ini jelas undangan,” komentar Ben pada pesan Tracy Lockwood.“Tapi dari tiga tahun lalu?” tanya Marie.“Itu masalahnya,” balas Tokio Eki Furuzawa. “Tapi tidak ada jaminan juga itu dari tiga tahun lalu. Maksudku, kita harus dengar asumsi Charlie.”“Bisa jadi Tracy Lockwood memakai nama Redie Lockwood hanya untuk memastikan si target penerima mau menggapai ini. Kalau dia memakai nama asli, mungkin target penerimanya tidak mau menggapainya.”“Siapa target penerimanya?” tanya Ben, langsung.“Rena. H
Pukul 18.23, mobil kami berpacu lagi. Tokio Eki Furuzawa kembali di kursi sopir, sementara aku di sampingnya. Helva dan Rena bertugas mencari sinyal. Kami bahkan hampir mendengar Rena mengumpat untuk pertama kalinya.Tiga puluh menit kemudian, titik koordinat berhasil didapatkan.Maka pukul 20.12, akhirnya kami memasuki Kawasan Normal.Kami melewati danau tempat aku dan Rena pernah menatap kebahagiaan, lalu melewati kontainer Louist yang tidak lagi berbekas. Aku benci memikirkannya, tetapi bagian melankolis dalam diriku sepertinya belum menerima kepergiannya. Kawasan Normal juga tidak berubah, kecuali komentar Tokio Eki Furuzawa, “Ini pertama kali aku melihat Kawasan Normal. Dari jalan utama ini tidak kelihatan.”Di ujung persimpangan kumuh, kami menemukan toko kelontong. Tutup. Padahal aku sempat punya ekspektasi melihat Laura menyapu bagian halaman atau Kakek menyiram bunga-bunga—yang menurut Rena, “Aku menanamnya di pot.”
Tentu saja kami semua terkejut. Terutama Helva.Olso Bertoin hanya berkata, “Helva. Putriku semakin cantik,” tetapi semua terasa begitu janggal dan menggantung.Helva membeku. Dan saat momen itu, Olso Bertoin terlihat ingin memeluk Helva, tetapi—dengan kurang ajar—Tokio Eki Furuzawa menyergah. Olso Bertoin terhenti. Semestinya aku menuntut Tokio Eki Furuszawa, tetapi aku terkejut Olso Bertoin tidak lagi kekar. Hanya berkeriput dengan rambut kusut bak gelandangan—persis. Dia berusaha tersenyum. “Tuanku menunggu kalian.”“Kurasa kau harus minta maaf pada seseorang,” cetusku. Aku menatapnya tajam, dan tiba-tiba seseorang menendangku. Aku menoleh, mendapati Helva. Dia mengalihkan pandangan, tidak bicara apa pun. Sepertinya itu caranya bicara agar tidak mempedulikan itu. Maka kami masuk dan aku menggerutu pada Rena.“Charlie terlalu santai,” katanya.Dan aku juga baru sadar Rena gugup. Di
Olso Bertoin menawarkan tempat duduk, tetapi aku tidak mau. Aku hanya berdiri di sisi Tracy Lockwood, menatap tajam, dan Tokio Eki Furuzawa di sisiku. Helva dan Rena saling menemani agak jauh. Emosiku tertahan kuat.“Bagaimana menurutmu?” tanya Tracy Lockwood, sepertinya merujuk ke ruangan. “Aku kelewat suka dekorasi alam. Terasa menyejukkan.”“Seperti karangan bunga,” komentarku, tajam. “Berapa lama kau di sini?”“Empat tahun?” Dia menjawab itu tanpa jeda. “Mau membunuhku?”Dia masih bisa menggertak. Jadi, aku mencoba memikirkan semuanya. Dan benar. Ada ribuan pertanyaan yang harus terucap padanya. Namun, semua tidak ada artinya kalau tidak bertanya, “Siapa yang mendepakmu dari kursi itu?”“Pertanyaan retorik,” dengusnya. “Kau tahu siapa dia.”Semestinya itu sudah cukup membuatku meninjunya karena dia masih bisa sok. Namun, dia benar.
8 Desember.Sandover meledak dalam keguncangan besar, tentu saja.Kembali ke kediaman Tokio Eki Furuzawa, kami—atau lebih tepatnya, aku dan Rena—mengalami beberapa hal yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Ini pertama kali kami terlepas dari belenggu pengawasan setelah berbulan-bulan tidak bisa bebas berpergian. Dan kalau berpikir pers akan menjauhi kami, itu naif. Meski Tracy Lockwood membuat rekaman yang menjelaskan semua kondisi sejak insiden ibuku hingga hari ini, pers tetap membutuhkan konfirmasi. Itu ditayangkan secara nasional, di berbagai platform, dan jelas, banyak kecaman mengarah ke Lockwood.Kabar baiknya: Tracy Lockwood dipindahkan ke Rumah Sakit Sandover, yang menurut Tokio Eki Furuzawa, suatu keajaiban dia masih hidup sampai detik ini. Dan saat itu juga, dia memasuki fase kritis. Kupikirkan cerita rakyat soal orang yang tidak bisa pergi karena memiliki penyesalan, dan kubayangkan dia seperti itu. Sebelum jiwanya melayang, dia perlu
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak