Baru saja menginjakkan kaki di loteng, Helva menyambutku tanpa menoleh. “Selamat datang, Kuda Jantan. Begitu cara menyebutnya? Kau menemukan sedikit pencerahan?” Dia memainkan Solitaire di meja komputer. “Kupikir aku harus turun karena kau tidak segera naik. Baik-baik saja?”
“Jati diriku menangis,” kataku. “Di mana Paman?”
“Kurasa sedang menangisi jati diri juga.”
Aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Tokio Eki Furuzawa—dan ketemu. Dia membaca arsip Koran Bawah Tanah. Kami cukup terpisah, tetapi aura di sekitarnya bisa kurasakan. Aura yang keras, seolah dia memusatkan seluruh perhatiannya. Jadi, ya, barangkali aku tahu apa yang dia cari. Dia pasti mencarinya. Sudah sewajarnya dia mencari kejelasan masa lalunya.
“Kalian menemukan sesuatu?” tanyaku, duduk di samping Helva.
“Komputer di depanmu,” katanya.
Aku menggerakkan kursor di komputer depanku
Kami berkumpul di meja komputer, duduk membaca pesan itu. Tokio Eki Furuzawa mendengar penjelasanku tentang Rena yang meninggalkan pesan. Aku tahu dia tidak akan kaget, tetapi dia kelihatan lelah sampai tidak punya minat untuk berpura-pura. “Kode ini—tidak. Malvia Lockwood itu siapa?” “Kurasa Redie Lockwood dijodohkan setelah kejadian ini,” dugaku. Helva menatapku skeptis, dan aku mengangkat bahu. “Dia ini Tracy Lockwood. Kau ingat Rena dijodohkan dengan Regan Reeves?” “Jadi?” sela Tokio Eki Furuzawa. “Apa arti pesan Rena?” “Ini tampak seperti koordinat,” ujar Helva ke baris pertama. “Aku ingat ada tiga cara penulisan koordinat. Pertama dengan derajat, menit, detik. Kedua dengan derajat dan menit desimal. Ketiga dengan derajat desimal. Ini yang ketiga. Kurasa Rena berniat merumitkan pesannya.” “Yah, tidak ada jaminan kita yang mendapat pesan ini,” kataku. “Tapi kurasa kita bisa memecahkan kode ini begitu memasukkan angkanya ke situs peta. Masa
Lima belas menit pertama sejak kami keluar Distrik Lockwood, itu momen paling mendebarkan sepanjang hidupku—secara harfiah.Karena sebelum kami berhasil keluar dari Distrik Lockwood, petugas polisi menghentikan mobil. Beruntungnya, jauh sebelum mereka menghadang, Tokio Eki Furuzawa sudah berkata, “Lilit tubuhmu dengan selimut, sembunyi di bawah kasur lipat, bantal, dan segala hal di jok belakang. Helva, bantu dia.”Jadi, beberapa meter sebelum polisi menghentikan kami, aku sudah berada di jok belakang, menumpuk diriku dengan semua yang ada, dan terhimpit di dasar jok. Seharusnya itu hangat, sempit, dan sesak, tetapi tubuhku menggigil. Aku sulit mengendalikan diri sampai suara petugas terdengar.“Tanda pengenal?”Suara petugas itu mirip Orie Cottland. Aku tahu itu fantasi dan seharusnya itu tidak lagi berpengaruh. Namun, desakan aneh itu kembali ke kerongkonganku. Segalanya terasa menyeramkan seolah momen ini persis seperti sa
“Ada cahaya,” kata Tokio Eki Furuzawa.Kami menoleh, dan dari posisi makam, jendela samping rumah bisa terlihat sangat jelas. Cahaya—seperti lilin terlihat. Dan tepat saat kami mengatakan itu, api itu padam. Jadi, Tokio Eki Furuzawa memerintah, “Ayo. Sebelum dia pergi.”Penyergapan tanpa rencana. Aku tahu ini idiot.Kami segera berlari ke jendela, dan tak ada satu pun dari kami yang berjalan menyusuri jalan setapak. Benar. Dengan idiot—atau tepatnya—kepercayaan tinggi, kami menembus ilalang. Jenis ilalang yang mirip sesuatu di pinggir sungai, tetapi dengan tinggi menghalangi pandangan. Maka jelas, rasanya gatal ketika menyentuh kulit. Kami berlari cepat, dan Tokio Eki Furuzawa lebih dulu terpisah. Helva masih di sebelahku, berkata pelan, “Pakai maskermu. Tidak ada jaminan itu—”“ARGH!” kata suara Tokio Eki Furuzawa.Kami berhenti, kepalaku linglung. Dan Helva menggamit jemariku
Ben babak belur.Itu pertama kali aku melihatnya sejak empat tahun lalu. Dia masih konsisten dengan rambut pendeknya, muka serius—yang sebenarnya jauh berkebalikan dari sifatnya yang suka melucu—dan ketika dia membuka jaket hitam yang kurang lebih penuh lumpur, postur atlet tergambarkan begitu sempurna pada dirinya. Dia bilang kalau bermain voli, yang kurasa tidak akan membuatnya berotot seperti itu, tetapi kupikirkan dia juga konsisten dengan bela dirinya.“Kurasa beribu-ribu maaf dariku takkan cukup memaafkanku,” katanya.“Yah, secara teknis, aku hampir menusukmu,” kata Tokio Eki Furuzawa.Jadi, kami saling meminta maaf, yang entah bagaimana membuatku hampir tertawa ketika mendengar adu tonjok antara Tokio Eki Furuzawa dengan Ben. Dia, lebih tepatnya Tokio Eki Furuzawa, berniat menyerang titik lumpuh Ben. Hanya saja, gagal karena Ben selalu lebih cepat. Jadi, kami tertawa, yang menurut Helva sangat aneh karena sepuluh
“Kurasa aku memang brengsek,” kataku, setelah keluar rumah.“Kau tidak perlu mengumumkannya seperti itu, Sayang,” kata Marie seperti membenarkan. “Kau menahan pikiran itu sejak tadi?”“Kupikir aku sangat brengsek karena membuat Rena seperti ini.”Helva mendesis. “Dengar, kita ini brengsek pada jalannya masing-masing.” Aku menatapnya tanpa ekspresi, dan dia mengangkat bahu. “Aku cuma mau bilang kalau aku juga brengsek yang mungkin jauh lebih brengsek—meski aku yakin kau jauh lebih brengsek dariku. Tapi barangkali Rena juga brengsek.”“Itu pemilihan kata yang cukup berani,” komentar Marie.“Tapi—” Aku terdiam sejenak. “Kau ingat makam itu?”Dan Helva membisu. “Sebenarnya aku berniat bercanda. Tapi aku mengerti. Jadi, kurasa kau mau melempar sesuatu ke danau?”“Kedengarannya asyik,” kata Marie.
Pagi hanya tinggal menunggu waktu, tetapi kami memutuskan tidur.Hanya saja, dua orang harus tetap terjaga sepanjang malam. Setidaknya, itu yang dilakukan Marie dan Ben sepanjang mereka di tempat ini. Jadi, karena mereka terlihat lelah, kami meminta mereka tidur, sehingga tersisa aku, Helva, Tokio Eki Furuzawa. Lalu mempertimbangkan kondisiku, mereka menyuruhku tidur.Jadi, aku tidur bersama Ben dan Marie di ruang utama yang gelap.Dan gagal. Ketika Marie sudah terlelap tenang dan Ben mengeluarkan suara dengkuran, mataku tidak bisa terpejam. Jadi, aku bangun, menghampiri Tokio Eki Furuzawa dan Helva yang masih di ruangan Rena.“Bukankah kubilang tidur?” kata Helva.“Kau tahu aku.”“Belum sampai sepuluh menit sejak kau pergi.”“Kau tahu aku.”Tokio Eki Furuzawa menghela napas. “Kebetulan kita berempat memang harus bicara. Tiga orang dari Sandover. Empat ditambah Rena. Kemaril
Satu rangkaian itu terjadi ketika benakku mengeras.Aku sedang mengusap keningnya, menyibakkan rambut ke belakang telinga dinginnya, lalu menelusuri pipi yang kehilangan kelembutan. Dia masih terlihat bak putri tidur, meskipun tidak seperti di kamera: membesar seolah bisa menyantap apa pun di hadapannya, termasuk aku. Dia tetap mendebarkan.Aku menatap matanya, dan tiba-tiba matanya terbuka.Mata kelabu itu menunjukkan warna, langsung mengarah ke mataku.Tepat ketika aku berada dalam jarak beberapa jengkal dari hidungnya.Ketika aku memikirkannya kembali, dalam waktu yang terkesan lambat, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya dan remang-remang kemerahan lilin memantulkan citra merah di bola matanya. Dia bangkit, sampai segalanya berhenti berproses. Tangannya melingkar di punggungku, dan aku segera kehilangan fokus. Dia mendorongku, memelukku seolah berniat meremukkan tulang rusuk, dan suara napas yang teratur itu kini terdengar cepat, dan de
Aku terdiam. Barangkali sudah sewajarnya aku heran atau menuntut, tetapi mulutku bungkam. Aku melihat Helva mengatur napas—aku yakin dia memikirkan hal yang sama. Di mana kami melakukan kesalahan?“Tidak ada waktu,” cetus Helva. “Kami ulur sedemikian rupa. Pergi—”“Tidak,” tegasku. “Kalian ikut.”Aku di posisi yang, paling tidak, tahu kalau tidak segera setuju, barangkali Marvin dan John kedua akan muncul. Namun, aku tidak mau ada pengorbanan, dan kalau itu memang diperlukan, aku yang akan berkorban, bukan mereka.Aku memberinya pesan kriptogram itu. “Kalian harus ikut.”Dan akhirnya dia mendesis. “Baiklah. Sekarang jam empat dua belas. Kalau sampai jam lima salah satu dari kita tidak segera muncul, dia harus ditinggal.”“Sepakat.”***Rena gemetar—meski mengatakannya sangat tegas di telingaku: “Aku tidak mau kembali.&rdq
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak