Pada akhirnya, aku kembali ke Rumah Pohon melebihi jam sebelas. Semua itu karena Louist melarang Helva pergi. Maksudku, ya, begitu malam tiba, sembari memastikan tidak ada yang mengikuti, kami pergi ke toko kelontong.
Dan Louist menyambut kami, yang cukup membuat Helva takut.
Namun, setelah beberapa perbincangan—aku tidak tahu bagaimana—tetapi selama aku tetap di sana, Helva bisa menenangkan diri. Jadi, Louist ingin bertanya banyak hal terkait kecelakaan Redie Lockwood, dan—tentu saja, Helva tidak tahu apa-apa. Dia seperti Bu Hiroko, bahkan balik bertanya, “Itu pembunuhan?”
Jadi, kami menjelaskan beberapa hal tentang perkembangan penyelidikan yang membuat Helva terheran-heran. “Kalian menyelidiki semua itu? Sungguh?”
“Dia yang paling banyak menemukan petunjuk,” kata Louist, menunjukku.
“Bukan hal yang patut dibanggakan,” komentarku.
Helva terlihat penasaran denganku. Jadi, kam
Empat tahun lalu. Ada yang aneh dengan Festival Lockwood.Semua orang memerhatikan kami dengan pandangan skeptis. Sebagian curi-curi pandang, tetapi ada juga yang langsung memberikan sorot mengerikan. Mereka menjauhi kami. Setiap berjalan, jalan kami selalu lengang. Semua seperti memutar, berusaha menghindari kontak seolah kami tidak pernah mandi.Padahal kakakku itu gadis yang sangat menarik. Aku percaya saat ini dia orang paling cantik di dunia. Dia berdiri dengan blus putih yang ditutup kardigan merah, didukung dengan wajah khasnya yang memikat. Rambut melebihi bahunya terurai, tampak serasi dengan topeng karakter yang tergantung di kepalanya. Mata biru lautnya berpendar penuh harapan, seperti memberi cahaya pada orang lain. Dia tidak pernah menghilangkan senyum dari wajahnya, sehingga satu gambaran yang akan disebut orang-orang saat mendengar nama Alicia Redrich adalah senyumnya.Kuingat, dia memelukku. Secara tiba-tiba. Kami berniat membeli makanan hangat,
Kehidupan untuk terlihat normal-ku terus berjalan.Sebenarnya aku tidak ingin bertemu neraka, tetapi memikirkan bagaimana kandung kemihku harus menahan desakan air sampai jam pulang sekolah tiba, tidak mungkin. Jadi, begitu jam istirahat tiba, aku bergegas menuju toilet paling ujung—yang terkenal paling seram—hanya untuk berjaga-jaga kalau Regan Reeves datang mengajakku berkelahi. Toilet itu sepi, tidak ada siapa pun. Aku menoleh berulang kali memastikan sebelum masuk kamar mandi agar tidak ada yang mengikuti. Tidak ada siapa pun, jadi aku masuk ke dalam bilik toilet.Sepertinya telingaku agak tuli saat buang air kecil karena aku tidak dengar apa pun di balik bilik toilet, kecuali suara yang muncul di bilik toiletku sendiri. Jadi, selama dua menit lebih, aku baru keluar, memutuskan cuci tangan, dan terdengar suara gadis berkata, “Cerdas juga memilih toilet paling ujung.”Aku terkejut, hampir melompat karena kupikir salah toilet, tetapi ur
Sore harinya, ketika aku berniat meminjam mobil Kakek, di toko kelontong ada Laura yang sedang bercanda dengan Kakek. Akhir-akhir ini Louist disibukkan rutinitas mempersiapkan rencananya. Festival Lockwood tersisa empat hari lagi.Aku masuk melewati pintu kasa, mendapati canda tawa Kakek dan Laura berhenti. Aku tidak sedang ingin bercanda, jadi ketika mereka mengamatiku, aku hanya diam. Laura mengamatiku seperti mencari lelucon menohok.Dan saat aku sampai di meja konter, dia berkata, “Kau kelihatan pucat.”“Oh ya?” Laura memberikan cermin, jadi aku melihat diriku sendiri. Entah bagaimana aku merasa ini wajahku yang biasanya. “Kau meledek, ya?”“Bisakah kau berpikir aku cemas atau sejenisnya?”“Situasinya memang rumit,” kata Kakek. “Kau harus ekstra hati-hati. Aku sudah dengar banyak hal dari Louist. Kau harus lebih banyak memerhatikan gerak-gerikmu. Jangan sembrono seperti biasanya.
Ketika Laura pergi, akhirnya aku bisa bertanya pada Kakek.“Jadi, apa yang harus kulakukan, Kek?”Cukup aneh melihat Kakek tidak lagi terbahak-bahak atau melawak, tetapi kupikirkan kalau yang memancing dia melakukan itu biasanya aku. Dan aku—tidak sedang ingin bercanda. Jelas kalau kami bicara lebih serius. Bahkan rasanya obrolan ini paling serius setelah Laura terlibat dalam pembunuhan Louist satu tahun lalu.“Aku tidak yakin harus memberimu saran, Nak.”“Kurasa aku bukan hanya terkena skak. Ini jebakan berlapis.”Aku berpikir kalau Laura mungkin bisa mengamankan Rena. Setidaknya itu bisa membuat mereka menjauh dari lingkungan mengerikan ini. Aku bisa meminta mereka pergi ke tempat paling jauh yang tidak bisa digapai siapa pun, dan mereka tidak boleh kembali—sekali pun—ke Sandover.Hanya saja, tidak mungkin. Mereka sama-sama dibayangi trauma.“Bagaimana dengannya?” tan
Aku janji pada Rena akan pulang sebelum pukul delapan, jadi ketika jarum jam hampir menyentuh pukul tujuh, aku membuka pintu Rumah Pohon, berjalan ke tempatnya—yang aku tahu sedang di ruang kerja—dan bersedekap tepat di ambang pintu. Dia sedang membaca buku menutupi wajahnya.“Mulai tertarik lagi dengan filsafat, Ratu Filsuf?” tanyaku.“Selamat datang,” sambutnya, tanpa melihat. “Benar-benar menepati janji.”“Kangen denganku?”“Sepertinya ada yang salah dengan kepalamu.”Sejujurnya melihat Rena membaca membuatku termotivasi. Maksudku, aku tetap murid sekolah. Meski sebagian besar waktuku dihabiskan menangani orang-orang gila yang suka adu tonjok, aku tetap murid sekolah yang mendapatkan indeks prestasi di akhir semester. Kuharap aku bisa bilang aman karena—Rena bilang—aku cukup jenius kalau benar-benar serius mengejar akademik. Namun, karena itu mustahil, mengingat
“Kau bisa mengendarai mobil?” tanyaku.“Bukannya seperti di zona permainan?” Dia memasukkan persneling, dan kami langsung tersendat. Mesinnya mati. Dia menyalakannya, berulang kali, tetapi mesin tetap tidak bergeming. Mobil Kakek memang istimewa. Camaro antik warna biru yang tidak bisa menyala sekali coba. Kau perlu menendang bannya, memukul setir, mengumpat dalam bahasa mobil, baru menyala. Rena tidak melakukan semua itu. Lucu sekali melihatnya panik dengan wajah kaku.Jadi, setelah dia berkeringat, dia baru menoleh. “Aku tidak punya SIM, jadi ini wajar, kan?”“Menyalakan mobil tidak butuh SIM.”“Jangan menyalahkanku begitu.” Dia sungguhan panik. “Tapi iya. Salahku. Tapi bagaimana ini? Charlie. Jangan menjailiku.”“Nyalakan saja pakai perasaan.”“Tidak pakai kunci?”“Itu pertanyaan terbodoh hari ini. Gantian.”Kami berpi
Pukul 21.43.Dosa terbesarku pada Rena yang barangkali akan kututup rapat sampai mati, adalah aku memberinya obat tidur dengan dosis wajar agar dia bisa tidur dan tidak tahu apa yang akan kulakukan setelah ini. Aku yakin dia tidak pernah ketinggalan Festival Lockwood, jadi mungkin ini pertama kali untuknya.Aku membuatnya berbaring di ruang kerja, lalu memberinya selimut.Dan aku memutuskan duduk di sisinya, menemani kesunyian yang mungkin akan terasa berbeda pada esok hari. Itu pertama kalinya aku membayangkan diriku sebagai Louist yang bersiap pada rencana pembunuhannya. Dia pasti merasa kacau, dan kupikirkan perkataan Laura yang mengatakan kalau Louist sebenarnya ingin berhenti. Kubayangkan itu benar. Detik-detik saat kau tahu akan melakukan sesuatu yang sangat jahat bisa membuatmu bergetar dan menangis.Maka dalam momen nostalgia itu, aku mendengar napas Rena yang beradu dengan suara malam. Kali ini tidak akan ada permainan pura-pura tidur yang biasa
Pukul 23.09. Kediaman Lee Hudson. Kembang api pertama diluncurkan.Seharusnya di area kediaman Lee Hudson terdapat satu bangunan bergaya kolonial yang berdiri paling megah dan bersinar. Bangunan itu tampak seolah selalu memantulkan cahaya. Dan—benar, itu yang terjadi saat ini.Hanya saja, bukan karena cahaya bulan.Namun, api.Dan juga asap tebal. Kediaman Lee Hudson hangus terbakar. Api membara sangat hebat. Kupikirkan itu karena Louist, tetapi dia mengeras, sama sepertiku, terkejut dengan fakta tidak terbantahkan ini.“Kita harus menjauh,” kataku.Dan akhirnya kami menjauh. Kediaman Lee Hudson dikelilingi hutan kecil, tempat pepohonan tumbuh tinggi. Jadi, kami memutuskan pergi ke area belakang.“Periksa sekitar!” seru Louist. “Kalau sejauh lima ratus meter tidak ada orang—” Dan dia menghentikan suaranya. Sorot matanya tertuju tepat ke satu titik. Bahunya tiba-tiba merosot. “Breng
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak