Beranda / Romansa / Angkasa Merah di Kota Kertas / 29. HARI KESEPULUH, KAWASAN NORMAL #1

Share

29. HARI KESEPULUH, KAWASAN NORMAL #1

last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-05 14:00:20

Itu pertama kalinya aku mengalami mimpi buruk sejak Rena bersamaku.

Entahlah, aku tidak terlalu ingin memikirkan itu. Yang jelas: aku punya niat meledakkan diri kalau mengingat itu. Sebenarnya ada suatu perjanjian tidak tertulis kalau dia tidak boleh menangis di depanku lagi, dan, ya, kami sama-sama berjanji karena topik masa lalu bisa menyinggung kami berdua—sekaligus. Namun, siapa yang menyangka kalau janji itu dipecahkan olehku?

Belum lagi, dia Rena. Gadis yang, kau tahu, kalau ingin jail, dia akan benar-benar jail sampai ubun-ubun. Selama dua hari ini, dia tidak berhenti menggoda. Dia akan berhenti di dekatku, memasang senyum sangat lebar, lalu berkata, “Kau imut kalau menangis. Mau menangis lagi di pelukanku?”

“Tutup mulutmu atau aku menangis setiap hari.”

“Kalau mau memelukku, belikan aku donat paling enak di muka bumi.”

Di sisi lain, aku juga semakin dalam menyelidiki kecelakaan Rena bersama Louist.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   30. HARI KESEPULUH, KAWASAN NORMAL #2

    Aku memutuskan ke toko kelontong, meminjam motor butut Kakek. Di sana ada Louist. Jadi, aku meminta bantuannya agar memberi pengamanan ekstra selama kami berada di Kawasan Normal.“Rasanya aku jadi budakmu,” katanya. “Kau yakin?”“Selama aku bisa membuatnya tertutup, kurasa aman.” Dia memberi kunci motor. “Sudah waktunya dia tahu semua ini.”“Yah, aku tahu ini akan terjadi.” Dia memberiku bola karet. “Bom asap dan sedikit gas air mata. Kau bisa membayarnya dengan jam kerja.”“Ini kerja rodi,” kataku. Namun, kami sepakat.Jadi, aku kembali dengan motor yang memiliki knalpot tidak bersuara. Aku meminta Rena memakai hoodie, dan dia tertawa saat aku memberinya topi.“Penyamaran ini lagi. Kau suka, ya?”“Sepertinya satu minggu berdiam di satu tempat membuatmu gila.”Dan tiba-tiba aku mencium aroma tertentu yang cukup mengusik

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-08
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   31. HARI KESEPULUH, PEMAKAMAN

    Begitu meletakkan bunga di makam ayahku, Rena terdiam begitu lama dan aku hanya membisu saat dia mulai menangis. Aku tidak yakin gagasan apa yang membuatnya seperti ini, tetapi tampaknya dia memang akan seperti ini.“Kurasa aku juga akan menangis meminta restu ibumu,” kataku.Dia menendang bokongku.Sayangnya, suasana bersahabat itu tak bertahan lama. Saat di depan makam ibuku, giliranku yang merasa sedih. Benak kecilku tahu kalau selalu memendam—bahwa aku gagal mengikhlaskan kepergiannya. Mungkin aku melupakannya, tetapi rasa sakitnya membekas seolah aku tidak mau itu hilang. Dan tampaknya itu sudah tergambarkan di wajahku karena Rena mulai menyandarkan kepalanya.“Astaga. Kau semakin berani saja,” kataku, mengusap mata meskipun tidak menangis. “Aku punya dua pertanyaan untukmu.”“Kuharap kau tidak sedang menggodaku karena situasinya seperti ini.”“Pertanyaan ibuku. Apa orang yang

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-11
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   32. NAVIGATOR #1

    Hari kedua belas Rena di Rumah Pohon, segalanya meledak.Tepat setelah periode keempat, Regan Reeves mencegatku keluar dari kelas fisika, lalu sekonyong-konyong menonjokku dengan telak. Biasanya dia tak pernah bisa menyentuh wajahku, tetapi kali ini dia berhasil. Aku menabrak pintu, bahkan terbanting hingga kembali masuk ke kelas.Harga diri membuatku segera bangkit, tetapi sungguh, ini menyakitkan.“KAU MENCULIK RENA!” Dia langsung menuduh, berniat menghajarku lagi, tetapi Sir Bram merelai kami tepat sebelum tinjuku bersarang. Dia menahanku, sementara murid-murid lain menahan Regan Reeves.Aku berniat melawan Sir Bram karena akal sehat para penghuni Akademi Grinover pasti sudah hilang untuk menghadapiku. Jadi, aku berontak, berniat lepas dari genggamannya. Namun, tiba-tiba Sir Bram berbisik.“Kalau kau punya waktu melawan, lebih baik pergi dari sini.”Itu membuatku membeku. Sir Bram terkesan bicara di telingaku. Maka

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-14
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   33. NAVIGATOR #2

    Aku tidak tahu apa yang terjadi antara Helva dengan Bu Hiroko. Yang aku tahu: Bu Hiroko tidak kembali sejak bicara dengan Helva.Dia baru muncul lagi saat jam pulang sekolah.Pada waktu itu juga Bu Hiroko langsung menyerangku dengan raut cemas bercampur emosi. Kerutan di keningnya seperti akan menamparku, dan tangannya seperti akan menonjokku. Aku sedang membaca majalah, hingga refleks menjauh begitu melihatnya menghampiriku seperti itu.Aku terhimpit antara tembok dengan Bu Hiroko, ketika dia mencengkeram kausku dengan tatapan sangat tajam.“Charlie, kau tahu apa yang sudah kau lakukan?”“Tidak tahu,” kataku, panik. “Yang mana?”“Kau tahu posisimu sudah terpojok? Apa yang akan kau lakukan?”Aku berusaha berpikir jernih. Sebenarnya aku tidak terlalu khawatir tentang ke depannya. Namun, kupikirkan Bu Hiroko—sudah semestinya dia cemas.Aku menelan ludah. “Kurasa aku haru

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   34. NAVIGATOR #3

    Area 7 Distrik Lockwood. Ramai. Aku menunggu di persimpangan yang dikelilingi pusat perbelanjaan sembari sesekali melirik ke arah kafe. Ternyata kafe itu tutup. Baru dibuka sekitar pukul 17:30. Helva memperhitungkan segalanya. Dia pasti punya rencana, meski aku tak tahu itu untukku, atau untuk dirinya sendiri, atau untuk tahu tentang Rena. Aku tak punya tempat lain untuk melihat, jadi aku berdiri di halte persimpangan, titik yang paling bisa dilihat kamera pengawas.Kalau Rena iseng melihat layar, ada kemungkinan dia melihatku.Pukul 17:35. Seolah tahu mobil boks yang melintas pelan itu dirinya, aku mengacungkan jempol ke jalan, selayaknya orang mencari tumpangan.Dan dia berhenti. Jendelanya terbuka. Tampaknya dia juga sudah mengerti soal titik buta kamera pengawas. Dari sudut ini, meskipun duduk di kursi sopir, dia tidak akan terlihat. “Masuk,” katanya.Aku baru naik, duduk, dia langsung memerintah. “Matikan ponselmu.”&ld

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-20
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   35. NAVIGATOR #4

    Pada akhirnya, aku kembali ke Rumah Pohon melebihi jam sebelas. Semua itu karena Louist melarang Helva pergi. Maksudku, ya, begitu malam tiba, sembari memastikan tidak ada yang mengikuti, kami pergi ke toko kelontong.Dan Louist menyambut kami, yang cukup membuat Helva takut.Namun, setelah beberapa perbincangan—aku tidak tahu bagaimana—tetapi selama aku tetap di sana, Helva bisa menenangkan diri. Jadi, Louist ingin bertanya banyak hal terkait kecelakaan Redie Lockwood, dan—tentu saja, Helva tidak tahu apa-apa. Dia seperti Bu Hiroko, bahkan balik bertanya, “Itu pembunuhan?”Jadi, kami menjelaskan beberapa hal tentang perkembangan penyelidikan yang membuat Helva terheran-heran. “Kalian menyelidiki semua itu? Sungguh?”“Dia yang paling banyak menemukan petunjuk,” kata Louist, menunjukku.“Bukan hal yang patut dibanggakan,” komentarku.Helva terlihat penasaran denganku. Jadi, kam

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-23
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   36. OKTOBER 2017, FESTIVAL LOCKWOOD

    Empat tahun lalu. Ada yang aneh dengan Festival Lockwood.Semua orang memerhatikan kami dengan pandangan skeptis. Sebagian curi-curi pandang, tetapi ada juga yang langsung memberikan sorot mengerikan. Mereka menjauhi kami. Setiap berjalan, jalan kami selalu lengang. Semua seperti memutar, berusaha menghindari kontak seolah kami tidak pernah mandi.Padahal kakakku itu gadis yang sangat menarik. Aku percaya saat ini dia orang paling cantik di dunia. Dia berdiri dengan blus putih yang ditutup kardigan merah, didukung dengan wajah khasnya yang memikat. Rambut melebihi bahunya terurai, tampak serasi dengan topeng karakter yang tergantung di kepalanya. Mata biru lautnya berpendar penuh harapan, seperti memberi cahaya pada orang lain. Dia tidak pernah menghilangkan senyum dari wajahnya, sehingga satu gambaran yang akan disebut orang-orang saat mendengar nama Alicia Redrich adalah senyumnya.Kuingat, dia memelukku. Secara tiba-tiba. Kami berniat membeli makanan hangat,

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-26
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   37. HARI KETIGA BELAS, PERGI #1

    Kehidupan untuk terlihat normal-ku terus berjalan.Sebenarnya aku tidak ingin bertemu neraka, tetapi memikirkan bagaimana kandung kemihku harus menahan desakan air sampai jam pulang sekolah tiba, tidak mungkin. Jadi, begitu jam istirahat tiba, aku bergegas menuju toilet paling ujung—yang terkenal paling seram—hanya untuk berjaga-jaga kalau Regan Reeves datang mengajakku berkelahi. Toilet itu sepi, tidak ada siapa pun. Aku menoleh berulang kali memastikan sebelum masuk kamar mandi agar tidak ada yang mengikuti. Tidak ada siapa pun, jadi aku masuk ke dalam bilik toilet.Sepertinya telingaku agak tuli saat buang air kecil karena aku tidak dengar apa pun di balik bilik toilet, kecuali suara yang muncul di bilik toiletku sendiri. Jadi, selama dua menit lebih, aku baru keluar, memutuskan cuci tangan, dan terdengar suara gadis berkata, “Cerdas juga memilih toilet paling ujung.”Aku terkejut, hampir melompat karena kupikir salah toilet, tetapi ur

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29

Bab terbaru

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   93. EPILOG

    18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   92. ABU PEMBAKARAN #3

    Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   91. ABU PEMBAKARAN #2

    Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   90. ABU PEMBAKARAN #1

    13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   89. SALAM TERAKHIR #3

    12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   88. SALAM TERAKHIR #2

    “Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   87. SALAM TERAKHIR #1

    11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   86. TAMAN HIJAU LOCKWOOD

    11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   85. MEMBARA #2

    Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak

DMCA.com Protection Status