Begitu Fea turun dari mobil para awak media berusaha mendekat. Tapi sekuriti dengan sikap menghalangi, memaksa mereka berdiri hanya pada batas yang diberikan. Di depan pintu utama gedung, Riko berdiri menunggu Fea. Pria itu terlihat gagah dan tampan dengan setelan lengkap. Hatinya pun sedikit bergejolak, menantikan apa yang terjadi saat keluarga kedua mempelai dan seluruh yang hadir tahu jika mempelai wanita ternyata berbeda orang. "Selamat datang." Senyum Riko merekah, dia memandang Fea yang tepat ada di depannya. Tidak terlihat begitu jelas, tapi pasti wanita cantik yang tengah melihat pada Riko. "Aku gugup sekali, Pak." Fea bicara di dekat telinga Riko. Riko makin lebar tersenyum. Dari suaranya sekarang dia yakin, Fea memang yang ada di sisinya dan bersiap menuju altar, menemui Arnon yang ada di sana. "Kamu siap?" tanya Riko. "Uuffhh ... ya, aku siap." Fea memegang lengan Riko. Pemimpin acara yang melihat pengantin wanita ada di depan pintu memberi arahan agar semua hadirin b
"Papa, aku sudah katakan, aku cinta Fea, tidak mungkin aku menikahi Stefi. Jika Papa di posisiku, apa yang Papa lakukan? Memilih wanita yang Papa cintai atau melepasnya demi harta yang sebenarnya ga perlu dikejar?" Dengan tegas Arnon berkata pada Ardiansyah. Ardiansyah menegakkan badannya. Dia melihat Fea yang memandang padanya dengan sedikit takut. Wajah gadis itu begitu lembut. Ardiansyah tahu, Fea pasti tulus cinta putranya. Ardiansyah kembali melihat pada pendeta dan mengangguk, meminta acara dilanjutkan. Dia mengatakan siapa mempelai wanita yang bersanding dengan Arnon. Pendeta itu sangat terkejut. Ini tidak pernah terjadi selama dia melayani pernikahan, bahwa mempelai wanita yang datang berbeda dengan yang didaftarkan sebelumnya. Pendeta maju dan mendekat pada Arnon dan Fea. Dia memastikan bahwa kedua mempelai siap meneruskan acara. Arnon dan Fea memberikan jawaban mereka. Kemudian pendeta itu kembali ke tempatnya semula. Lalu Ardiansyah kembali duduk di kursinya, di sisi
Upacara pernikahan selesai. Suasana tidak menyenangkan dan penuh kemeriahan sebagaimana pesta pernikahan umumnya. Deasy dan keluarganya tidak menyalami Arnon dan Fea. Tidak juga menghampiri Arnella dan Ardiansyah. Mereka langsung meninggalkan tempat itu, tanpa mengatakan apa-apa. Antara marah dan malu, itu yang Deasy rasakan. Deasy harus bertemu Stefi dan meminta penjelasan pada putrinya tentang yang terjadi hari ini. Dari pesan yang dia terima, Deasy sangat yakin, Stefi sudah mengatur semuanya. Tapi kenapa harus begini? Apa Stefi tidak berpikir, orang akan mencemoohkan dia. Berita simpang siur bisa saja terjadi. Apalagi keluarga Hendrawan yang merasa dipermalukan. Mereka bisa menyerang Stefi dan menghancurkan hidupnya. Tentu saja, awak media terus merubung dan mencari tahu apa yang terjadi. Beberapa tamu yang hadir juga jadi sasaran pertanyaan mereka. Para tamu itu menjawab apa yang mereka tahu, lalu mulai dibumbui ini itu sesuai pemahaman mereka yang muncul di pikiran mereka. "Sel
Kata-kata Arnon membuat Fea melongo. Bukan Fea tidak tahu soal gaun tidur yang seksi, tapi Fea tidak biasa mengenakan pakaian tidur seperti itu. Dia suka yang simpel saja. Dia bawa baju ganti yang dia punya. Apakah wajib, kalau pengantin harus memakainya? "Aku ... ga punya. Ini baju tidurku. Adem buat dipakai." Fea memandang Arnon. Senyum Arnon mengembang lagi. Dia melebarkan tangan merangkul Fea. Kalau saja dia tahu Fea sepolos ini, Arnon yang akan menyiapkan lingerie buat Fea. Dia bisa pesan pada Stefi atau salah satu asistennya. "Nggak apa-apa. Malam ini aku ampuni. Besok, akan beda ceritanya." Arnon menempelkan pipinya pada pipi Fea. "Ih, apa dosa ga pakai gaun tidur seksi? Aneh, deh." Fea melirik Arnon, masih dengan pipi mereka menempel. "Aku makin gemes sama kamu, Fea. Hmm ..." Dan dengan cepat, Arnon memegang wajah Fea, mencium lagi bibir mungil Fea. Fea agak terkejut dengan serangan tiba-tiba Arnon. Tapi dia tidak mengelak. Kali ini Fea mencoba lebih berani dan membala
Rumah di ujung jalan itu tidak begitu besar, tapi bagus dan megah. Sebuah mobil masuk ke halaman dan langsung ke garasi. Dari dalam mobil itu seorang pria tampan dan gagah turun, diikuti seorang wanita dengan rambut ikal sebahu. Cantik dan menarik. Keduanya masuk ke dalam rumah lewat pintu samping. Ruangan yang mereka masuki adalah ruang keluarga, bagian luas dari rumah itu, nyaman dan sejuk berada di sana. "Ini rumahku, Stefi. Aku tinggal dengan ibuku. Hanya berdua. Aku harap kamu akan betah di sini." Irvan memandang Stefi yang berdiri mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan itu. "Rumah kamu apik. Nice." Stefi tersenyum. "Ya, ini rumah orang tuaku, tapi sudah aku renov tahun lalu. Kamu bisa pakai kamar sebelah sini." Irvan melangkah menuju ke kamar tamu yang berjajar dengan ruang keluarga. Stefi mengikuti Irvan. Pintu kamar terbuka dan Stefi bisa melihat kamar tamu terlihat luas karena penataan interior yang baik meskipun ruangan tidak
Fea menggerakkan badannya, tapi ada sesuatu yang menahan dan terasa berat. Fea membuka mata. Wajah tampan yang begitu dekat ada di depannya. Dada Fea seketika berdebar. Arnon, tidur, tampak pulas. Tangan pria itu memeluk pinggang Fea. Fea tersenyum. Semalam rupanya dia tertidur saat menunggu Arnon mandi. Acara istimewa malam pertama lewat. Fea masih mengenakan baby doll utuh. Arnon juga memakai kaos meski tanpa lengan. "Suamiku ..." lirih Fea berucap sambil tersenyum. "Kamu tampan sekali. Tidak salah Tuhan memenuhi hatiku dengan cinta untuk kamu." Fea menyentuh lembut pipi Arnon. Tidak ada gerakan. Arnon benar-benar terlelap. "Apa semalam kamu ga bisa tidur?" bisik Fea. "Maaf, malam pertama kita berlalu begitu saja." Pelan-pelan, Fea memindahkan tangan Arnon. Dia turun dari ranjang dan menuju interkom di meja kecil dekat meja rias. Fea memesan makan pagi dan minta dibawakan ke kamar. Dia mau buat kejutan buat Arno
Kemewahan dan kekayaan tidak menjamin kebahagiaan. Tidak jarang kebahagiaan justru hadir dalam kejadian-kejadian kecil di sekitar kita. Jika kita menyadarinya, selalu ada keajaiban yang hadir dalam hari-hari yang kita lewati. *** Perlahan pesawat mulai mengangkasa. Menerjang angin dan menembus awan-awan. Fea sedikit gemetar. Tangan dan kakinya terasa dingin. Tapi wajahnya terasa panas. Dia memegang lengan Arnon kuat-kuat. Pengalaman pertama naik pesawat, Fea sangat tegang. Arnon tersenyum tipis melihat Fea sampai sedikit pucat. Dia membiarkan Fea meremas lengannya dengan kepala menempel di dada Arnon. "It is okay, Honey. You are safe." Arnon berbisik. "Aku takut." Fea bergumam. "Posisi pesawat sudah stabil. Lihatlah." Arnon menunjuk keluar jendela. Perlahan Fea mengangkat kepala dan mengarahkan pandangan ke arah yang Arnon tunjuk. "Wow, cantik. Cantik sekali. Awan dekat sekali, Arnon." Rasa takut Fea perlahan memudar. Dia berusaha menikmati suasana di sekitarnya. Se
Ponsel masih menempel di telinga Arnella. Dia menunggu Deasy mengatakan di mana Stefi. Arnella ingin sekali bertemu dan mengadakan perhitungan dengan Stefi. Dia tidak menyangka gadis itu melakukan kegilaan semacam ini. Benar-benar mengacaukan rencananya. "Aku tidak tahu. Dia tidak pulang. Dan juga dia tidak mau mengatakan ada di mana. Aku sangat cemas sekarang," jawab Deasy. Suaranya berubah lebih rendah dan terdengar sedih. "Dokter, bagaimana bisa Stefi berbuat hal sebodoh ini? Kurang apa Arnon? Aku menawarkan hidup yang baik buat dia di masa depan? Apa yang dia lakukan?!" Arnella sangat geram karena merasa dihabisi dengan kejadian ini. "Nyonya, aku tahu putriku salah. Kalau memang tidak mau dari awal lebih baik dia mengatakannya. Tetapi lihat Arnon, dia juga tidak menolak. Dia akhirnya setuju dengan rencana ini, meskipun dengan jelas dia punya kekasih. Aku sangat yakin, Arnon pun terlibat dengan semua ini. "Stefi, dia hanya menuruti kata hatinya, tidak mau menjalani pernikahan ya
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b