"Tuan dan Nyonya?" Fea melihat Arnon. Tiba-tiba saja tangannya terasa dingin. "Iya, Fea. Aku sudah janji akan segera mengenalkan calon istriku pada mereka." Arnon tersenyum lebar. Mereka hampir tiba di rumah besar. Debaran di dada Fea makin tak menentu. Tapi dia tak bisa mundur. Arnon adalah cintanya. Selama ini dia berdoa agar Tuhan nyatakan kebenaran. Ini yang dia terima. Cintanya buat Arnon tak pernah mati, itu berarti Tuhan mau dia dan Arnon bersama. Ya, Fea harus siap berhadapan dengan orang tua Arnon. "Secepat itu?" Fea hanya memastikan bahwa tidak sesegera itu dia harus bertemu Nyonya Arnella. Apalagi terakhir dia bersama nyonya ketiga, Fea mendapat dua gaun cantik untuk dia kenakan saat pergi bersama Irvan. Apa yang Nyonya Arnella akan katakan kemudian jika ternyata Fea muncul di hadapannya dengan status sebagai calon istri putra semata wayangnya? "Kenapa? Cepat atau lambat apa bedanya? Kita sudah bersama sejak kecil. Tinggal dan besar di rumah yang sama. Hanya aku tidak p
Mata Fea melirik ke jam dinding di ruangannya. Baru sejam kerja sejak selesai makan siang. Dan Arnon menghubungi dia, membuat gadis cantik itu terkejut lagi. "Kamu mau aku ikut kamu?" Fea bertanya memastikan apa yang Arnon maksud. Rania yang mendengar kata-kata Fea menoleh, penasaran mau apa lagi Arnon kali ini. "Iya, Fea. Jam empat opening. Kamu temani aku." Armon meminta Fea mendampingi dia di acara opening resto. "Aku harus kerja, Arnon." Fea menolak. Bukan tidak suka tapi waktunya tidak tepat. Mendadak dan di hari kerja. "Tenang saja. Aku urus izin kamu. Aku sudah di depan kantor kamu, Sayang." Arnon menutup telpon. "Arnon," panggil Fea, tapi telpon tidak nyambung lagi. "Mau apa dia?" tanya Rania. "Dia ajak aku ikut opening resto. Sekarang." Fea menjawab Rania dengan tatapan tidak lega. "Ahhh ..." Rania mengangkat kedua alisnya. Mulai lagi Arnon mau seenaknya. "Fea?!" Ada yang memanggil Fea dari depan ruangannya. Fea dan Rania menoleh. Isti ada di sana. "Dipanggil Pak I
Tangan Fea terasa dingin dan berkeringat. Berada di sisi Arnon adalah hal yang dia sukai. Tetapi jika di dekat Arnon juga ada para wanita yang biasa bersama pria itu, membuat Fea tidak senang. Namun begitu, Fea berusaha tetap tenang. Dia harus bersikap dengan benar. "Kapan kamu akan membawaku jalan lagi, Sayang? Kamu terlalu sibuk dengan resto kamu atau dengan yang lain?" Gladys menyentuh pundak Arnon dengan jari-jari digerakkan di sana, mulai merayu. Widya pun tak kalah ingin mengambil hati Arnon. "Terakhir bersama, kamu sedang galau. Apa kamu tidak ingin mengulang malam menyenangkan, Arnon?" Arnon tersenyum, tipis. Dia melepas tangan wanita-wanita yang biasanya memuaskan dirinya itu. "Bisa kalian kembali duduk? Acara belum selesai." Arnon melihat ke kiri kanannya, pada Gladys dan Widya bergantian. Fea melirik ke arah Arnon, lalu mengalihkan pandangan melihat biduan yang sedang menyanyi sepenuh jiwa di depan seluruh tamu. Widya menoleh pada Fea. Dia bisa melihat Fea sedikit gugu
Terus terang saja, Fea tersinggung dengan kata-kata Arnon. Apa Arnon tidak kenal Fea, sehingga berpikiran seburuk itu tentang Fea? "Hei, Honey, Sayang, bukan ... bukan itu maksudku." Arnon dengan cepat menangkap kedua tangan Fea. "Aku tahu kamu ga mungkin akan mengkhianati apa yang kamu yakini, kalau kamu menjaga dirimu utuh untuk pria yang akan menjadi pendamping kamu. Aku ga akan lupa." Cepat Arnon meralat perkataannya. Fea tidak bergeming, masih menatap Arnon lurus dengan pandangan tajam. "Maksudku, bahkan jika dia memberikan kecupan di pipi kamu, aku merasa marah." Arnon mengatakan apa yang dia pikirkan. Fea sedikit lega. Dan juga senang. Jika Arnon cemburu, berarti dia sungguh cinta pada Fea. "Jangan marah lagi. Aku yang harus berjuang sekarang, membuktikan aku bisa menjaga diriku. Aku menyiapkan diri untuk menjadi pria yang hanya akan di sisi kamu, ga lagi bersama siapapun. Maaf." Arnon mengusap lembut pipi Fea. "Oke." Fea menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Arnon kem
Arnon lari mengejar Fea. Gadis itu berlari menuju kamarnya. Marah. Fea sangat marah. Jadi ini yang sebenarnya? Arnon mendekati dia karena ada persyaratan yang harus Arnon penuhi untuk mendapat warisan papanya? Sampai di kamar, Fea menarik kopernya. Dia akan pergi. Secpeat mungkin! Cukup semua permainan ini. Fea tidak mau terlibat lebih jauh. "Fea!" Arnon di depan pintu. Dia menatap pada Fea dengan wajah merah dan pandangan sangat gelisah. "Terima kasih, Arnon. Untuk semuanya. Aku pamit. Semoga kamu akan menemukan wanita yang tepat buat menjadi bahan permainan kamu." Fea merasa dadanya bergemuruh. Dia ingin berteriak dan memukul Arnon. "Fea, kamu salah paham." Arnon maju dan mendekat. Dia memegang tangan Fea melepaskan tangan gadis itu dari kopernya. "Salah paham?" Fea menatap tajam pada Arnon. "Benar, ada persyaratan yang Papa dan Mama beri buatku. Ya, untuk perusahaan Papa. Tapi tidak begitu, Fea. Aku tidak butuh perusahaan itu. Tidak. Mama yang mendesak aku. Jadi, aku ..."
Thank you buat setiap reader dari tulisan ini. Yang teruang di kisah Fea dan Arnon hanyalah sekelumit cerita dua anak manusia. Ada terlalu banyak kisah lain yang bisa ditulis dan diceritakan. Berikut mungkin hal yang perlu kita renungkan, tentang kehidupan. Setiap orang tidak bisa memilih kapan dia akan lahir, kapan dia akan meninggalkan semesta. Tidak juga bisa memilih pada orang tua mana dia akan menjadi anaknya, menjadi bagian hidup mereka hingga akhir hayatnya. Yang terjadi, semua itu kedaulatan Sang Khalik menetapkan yang sesuai dengan setiap orang menurut pemandangan-Nya. Begitu pun perjalanan hidup yang dilalui setiap insan. Terlalu sering mendapati hal yang tak terduga datang, tiba-tiba ada di depan mata. Ada kalanya dengan mudah diatasi. Tidak menutup kemungkinan situasi begitu rumit tidak bisa dihindari, hanya harus dihadapi. Pernahkah menanyakan pada Sang Pemberi Hidup, mengapa jalan ini y
Pagi datang. Hari telah berganti. Fea membuka matanya. Dia memandang langit-langit di atasnya. Dia di mana? Astaga! Ini kamar kos. Ini bukan kamar tempat dia tinggal di rumah besar Hendrawan. Ingatan Fea segera berhenti pada kejadian malam sebelumnya. Hatinya kembali perih. Air mata tak bisa dia tahan, mulai membasahi pipinya. Dia usap dengan telapak tangannya. Dia duduk dan menekuk kedua lututnya. Dia menoleh ke sisi kanan, Rania tidur miring membelakangi Fea. Rania begitu sayang Fea. Dia sampai memilih menginap, menemani Fea, meninggalkan suaminya sendirian. "Maafkan aku, Rania. Aku membuat kamu ikut susah." Fea merasa bersalah juga pada Rania karena apa yang dia alami. Terdengar dering dari ponsel Rania. Segera Rania terbangun dan meraih ponselnya. Jaka yang menghubungi. "Hah? Mas Jaka di depan? Oh, ok. Bentar ya, Mas." Rania turu dari ranjang. Dia ke kamar mandi. Fea hanya memperhatikan saja Rania sampai hilang di balik pintu kamar mandi. Beberapa menit Rania kembal
Mobil Arnon masuk ke halaman luas rumah besar itu. Dia memarkirnya di tempat biasa, lalu segera dia masuk ke dalam rumah. Satu yang akan dia lakukan, menghadapi Nyonya Arnella, mamanya sendiri. Arnon sangat kesal dan marah karena wanita itu yang justru merusak hidupnya. Seorang ibu yang seharusnya mendukung anaknya, memberikan hal terbaik yang diperlukan, tetapi Arnella berbeda. Apa yang dia lakukan hanya untuk kesenangannya sendiri. "Mama!" Arnon berteriak memanggil Arnella. Dia menuju ke kamar mamanya, tapi kosong. Jam segini kadang wanita itu hanya bermain ponsel sambil rebahan di kamarnya. Arnon keluar dan mencari ke ruangan lain. Dia melihat seorang pelayan di ruang besar dan bertanya di mana Nyonya Arnella. Arnella sedang ada di ruang olahraga di sisi agak belakang rumah. Dengan cepat Arnon menuju ke ruangan itu. Di dalam, Arnella sedang senam mengikuti video yang dia lihat di layar besar di depannya. Arnon mematikan video dan membuat Arnella sontak menoleh padanya. Wanita i
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b