Mobil Arnon masuk ke halaman luas rumah besar itu. Dia memarkirnya di tempat biasa, lalu segera dia masuk ke dalam rumah. Satu yang akan dia lakukan, menghadapi Nyonya Arnella, mamanya sendiri. Arnon sangat kesal dan marah karena wanita itu yang justru merusak hidupnya. Seorang ibu yang seharusnya mendukung anaknya, memberikan hal terbaik yang diperlukan, tetapi Arnella berbeda. Apa yang dia lakukan hanya untuk kesenangannya sendiri. "Mama!" Arnon berteriak memanggil Arnella. Dia menuju ke kamar mamanya, tapi kosong. Jam segini kadang wanita itu hanya bermain ponsel sambil rebahan di kamarnya. Arnon keluar dan mencari ke ruangan lain. Dia melihat seorang pelayan di ruang besar dan bertanya di mana Nyonya Arnella. Arnella sedang ada di ruang olahraga di sisi agak belakang rumah. Dengan cepat Arnon menuju ke ruangan itu. Di dalam, Arnella sedang senam mengikuti video yang dia lihat di layar besar di depannya. Arnon mematikan video dan membuat Arnella sontak menoleh padanya. Wanita i
Pagi itu, sebelum jam delapan Arnon sudah memarkir mobil di depan kantor Fea. Dia sengaja datang pagi sekali, agar bisa melihat Fea datang. Ternyata Irvan yang datang lebih dulu. Irvan langsung melihat mobil mewah Arnon yang terparkir manis di halaman kantor. Irvan yakin Arnon mengantar Fea. Tapi sepagi ini? Arnon yang bersandar di pintu mobil memandang Irvan yang berdiri melihat ke arahnya. Irvan merasa ini saat yang bagus dia bicara dengan Tuan Muda. Irvan mendekati Arnon. "Pagi sekali Tuan Muda mengantar Fea." Irvan menyapa Arnon. Arnon menatap Irvan. "Apa kabar?" Ternyata Arnon tidak memberi respon atas perkataan Irvan. "Tentu saja tidak baik. Kekasihku, berjalan menjauh. Dia melepaskan aku, untuk seseorang yang aku tidak yakin sungguh-sungguh sayang padanya." Irvan membalas tatapan Arnon. "Kamu terlalu yakin dengan pikiran kamu. Kekasihmu tidak cinta padamu. Itu kenyataannya. Dia memaksa dirinya ada di sisi kamu. Dia kembali pada rumah yang tepat untuk tinggal." Arnon m
Irvan tidak menduga dia kembali ke rumah besar ini dan menemui lagi Nyonya Arnella. Seperti pertama kali Irvan datang, dengan gaya sok anggun dan elegan, Arnella duduk di kursinya. Kali ini di tangannya ada sebuah majalah yang sedang dia baca. Saat mengetahui ada yang masuk ke ruangan itu, Arnella meletakkan majalah di tangannya, di sisinya. Dia melihat Irvan yang berjalan masuk diiringi dua pria suruhannya. Wajahnya yang cantik memang menawan, dengan body masih bisa dibilang sangat bagus, jika dilihat dari umurnya. Arnella memang sangat menjaga diri dan penampilannya. "Duduklah, Irvan. Terima kasih, Rio, Alle, kerja kalian bagus," ucap Arnella. "Baik, Nyonya. Permisi." Salah satu dari pria itu menyahut. Mereka sedikit membungkuk, memberi hormat pada Arnella lalu kembali melangkah, meninggalkan ruangan itu. Irvan sudah duduk. Sama seperti saat pertama kali datang, di kursi itu lagi Irvan duduk. "Kamu tidak bisa menepati janji. Karena itu aku mau menolong kamu, Irvan. Aku sudah me
Hati Fea terenyuh. Apa yang Arnon katakan membuatnya kembali terbawa pada masa-masa dia dan Arnon remaja. Tidak sedikit waktu Arnon mengeluh dan protes tentang hidupnya. Dia punya semua yang dia butuh, kecuali perhatian dan cinta dari papa mama. Setiap Arnon mengeluh, Fea akan menghiburnya, memberi senyum paling manis agar Arnon kembali tenang dan ceria. "Ada aku dan Nenek Ellina yang sayang kamu. Kamu ga menghitung kami, hah?" Itu yang Fea katakan. "Iya, aku tahu, kamu dan Nenek sayang aku." Arnon berkata dengan wajah masih sedikit kesal. "Kalau gitu senyum, Tuan Muda. Dan buatkan Fea makanan paling istimewa." Fea meggoyang-goyangkan kepala, membuat rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda berkibar di belakang kepalanya. "Oke. Kamu mau makan apa?" Dengan semangat yang mulai bangkit lagi, Arnon mengajak Fea ke dapur. Di sana Arnon melepas semua marah dan kecewa dengan membuat masakan. Nenek Ellina, dia yang menemukan bakat Arnon hingga Tuan Muda bercita-cita jadi chef dan punya
Mata bulat Fea memandang pada Arnon. Pria tampan itu menunggu Fea melanjutkan kalimatnya. "Kenapa?" Sekali lagi Arnon bertanya. "Aku lapar." Bibir mungil Fea bicara. Arnon langsung menarik Fea kembali dalam pelukannya. "Ahh ... Arnon!" Fea terkejut dan sedikit berteriak. Dekapan Arnon kali ini cukup kuat sampai Fea merasa sakit di kedua lengannya. "Kamu paling tidak bisa diajak romantis. Hmm?" ucap Arnon. Dia tersenyum, melonggarkan pelukannya dan mengecup kening Fea, bukan sekali, beberapa kali. Arnon ingat saat di pantai, dia hampir mendaratkan kecupan di bibir Fea, gadis itu berdalih ingin buang air kecil. Kali ini, karena dia merasa lapar. Sepintar itu Fea mencari cara agar tidak mendapat sentuhan dari Arnon. "Aku memang lapar," ujar Fea. Fea menoleh ke dinding. Jam menunjukkan hampir jam enam sore. "Ini waktunya makan malam." "Baiklah ..." Arnon berdiri. "Aku akan membuatkan masakan istimewa. Kamu mau apa?" Fea melihat sekeliling. Apartemen ini cantik, menarik, dan sang
Pertanyaan yang Ardina lontarkan bukan pertanyaan senang, tapi pertanyaan ingin tahu karena rasa tidak suka. Arnon menegakkan badannya, lalu meraih tangan Fea. Dia genggam erat tangan Fea sambil menatap kedua kakak tirinya itu. "Ya, ini calon istriku." Arnon berkata dengan yakin. Ardina dan Ardan menatap Fea lekat-lekat. Mereka tidak pernah merasa tahu gadis yang duduk di sisi Arnon itu. Sedikit banyak mereka tahu wanita seperti apa yang beberapa kali tampak berdampingan dengan Arnon saat ada acara-acara para pebisnis. Gadis ini belum pernah mereka lihat. Dari penampilannya jelas dia bukan wanita berkelas. "Kamu putri siapa? Orang tuamu punya perusahaan apa?" Tajam pertanyaan Ardina selanjutnya. Fea seketika merasa telinganya panas dengan pertanyaan yang diajukan padanya. Pertanyaan yang sangat menyudutkan. "Aku ..." Fea membuka mulutnya. Arnon dengan cepat menyahut. "Siapa kekasihku dan seperti apa wanita yang akan mendampingi aku adalah urusanku. Aku tidak perlu menjelaskan apa
Kembali di taman kota. Fea duduk menatap ke kolam di depannya. Rasanya seperti kembali pada kali pertama dia bertemu Irvan saat mengatakan bersedia jadi kekasih Irvan. Di sisi Fea, Irvan duduk dengan posisi sama, menatap kolam di depan mereka. Hari masih terang, tapi panas matahari sudah tidak ada lagi. Nyaman dan sejuk menikmati udara sore di taman ini. Hati Fea juga terasa lebih tenang menikmati keindahan di sekitarnya. "Aku dengar kamu keluar dari rumah Arnon. Kalian ada masalah?" Kalimat pertama yang Irvan tanyakan. Fea menoleh dan memandang Irvan. "Ya, begitulah. Kenapa kamu mau tahu?" Irvan tersenyum. "Aku siap kapanpun kamu kembali padaku, Fea. Rencanaku belum berubah. Aku akan menikahi kamu, kita punya rumah dan tinggal bersama. Bahagia sebagai sebuah keluarga bersama anak-anak yang akan lahir, seperti yang kamu impikan." Jadi Irvan masih berharap bisa bersama Fea lagi? Apakah Irvan tahu kalau Fea ingin melepaskan Arnon juga? Fea masih melihat lurus pada Irvan. Rasanya Fe
"Aku tidak mau ada alasan apapun. Aku tunggu kamu di rumah, malam ini." Suara Arnella yang terdengar tegas, sedikit mengancam membuat Arnon kesal. Arnon meletakkan ponsel di meja dengan muka mengkerut. Arnella memaksa Arnon pulang karena ada yang penting harus dia bicarakan dengan Arnon. Arnon benar-benar tidak ingin bertemu mamanya. Tapi kalau Arnon tidak datang, dia kuatir Arnella akan melakukan sesuatu yang merugikan Arnon tanpa bisa dia hindari. Akhirnya Arnon meluncur menuju rumah besar Hendrawan setelah pekerjaan hari itu selesai. Arnon akan menemui Arnella sebentar saja, lalu segera bertemu dengan Fea. Arnon mencoba menebak apa yang diinginkan Arnella, jika itu hanya akan menyudutkan dirinya Arnon akan tegas menolak. "Arnon, akhirnya." Arnella tersenyum menyambut putranya. "Kamu ga rindu rumah? Ga ingin istirahat di kamar kamu? Sama sekali kamu ga pulang. Diancam dulu baru kamu datang." Arnella duduk di ruang makan dengan penampilan cukup lengkap. Apa ada acara istimewa?
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b