Sherlita berdiri menatap ke arah pintu. Lukman di dekat pintu juga menatap ke arah Sherlita dengan wajah tampak bingung.
"Eh, Papa ... sebenarnya ..."
"Jadi kalian sedang bermasalah dan tidak mau bicara apa-apa padaku?" tegas Lukmasn bicara. Dia minta penjelasan dari putrinya.
"Ini tidak seperti yang Papa pikirkan. Robby ..." Dada Sherlita berdetak cepat. Ini yang dia takutkan. Jika papanya tahu yang terjadi, dia akan sangat marah dan terluka.
"Kalau begitu, jelaskan padaku, semuanya. Semuanya, Sherlita!" Lukman maju beberapa langkah. Dia menarik kursi yang ada di depan meja rias di kamar itu, lalu duduk. Dia masih menatap pada Sherlita, menunggu penjelasan.
"Sher ... katakan saja, it will be okay." Terdengar sayup suara Fea dari ponsel yang Sherlita genggam.
"Ok," kata Sherlita lalu tangannya memencet tombol mengakhiri panggilan Fea.
Sherlita duduk, di tepi tempat tidur. Dia menata hatinya dan berpikir bagaimana mengatakan sem
Sherlita maju dua langkah mendekat ke sisi Lukman. Dia genggam tangan papanya, memandang pria hampir enam puluh tahun itu dengan tatapan sedih."Maafkan aku, please ..." kata Sherlita lirih. "Karena aku Papa jadi sakit."Lukman menggeleng lemah. "Bukan kamu, bukan, Nak. Papa yang minta maaf, kamu sedang perlu dukungan, Papa justru merepotkan kamu.""Nggak, Papa kok mikir begitu." Sherlita ingin menangis mendengar ucapan Lukman. "Yang penting Papa cepat sehat, aku butuh Papa. Please, Pa ...""Ya, Papa akan cepat sehat, Papa janji." Lukman mengangguk, mencoba bicara dengan nada meyakinkan.Fea menemani Lukman di rumah itu, sedang Sherlita harus mengurus beberapa hal di kantor. Sementara Arnon juga tidak bisa tidak mengutak-atik urusan pekerjaan sambil memastikan si kembar baik dan aman.Sebenarnya dalam waktu beberapa hari Fea dan Arnon sudah harus balik ke kota asal, karena Fernan sudah pulih. Mereka harus sekolah, Arnon juga perlu mela
Senyum Fea lebar saat mereka sampai ke tujuan. Rumah besar keluarga Hendrawan. Rumah itu ternyata sangat Fea rindukan. Rumah tempat dia pertama melihat Arnon, bertumbuh jadi dewasa, mengenal cinta, dan arti keluarga. Semua ada di rumah besar itu. "Kita turun. Lihat, Oma dan Opa menunggu." Fea berkata pada si kembar, meminta mereka keluar dari mobil. Dari teras tampak Arnella dan Ardiansyah berjalan ke arah mereka. Kedua orang tua itu tidak sabar ingin segera memeluk cucu mereka. "Opa! Oma!" Bersahutan Fernan dan Arfen lari menghambur ke pelukan Arnella dan Ardiansyah. Tawa gembira terdengar dari kedua kakek dan nenek mereka. "Aduh ... Opa sudah kangen sekali sama kalian. Rumah sepi, tidak suara teriakan dan nyanyian dari cucu ganteng Opa." Ardiansya menggendong Arfen di pelukannya. "Opa, aku bawa oleh-oleh buat Opa." Arfen merogoh saku celananya. "Apa itu?" tanya Ardiansyah. Dia turunkan Arfen kembali. Arfen menunjukkan s
Pintu rumah cantik dan megah itu terbuka. Sherlita memandang Robby yang berdiri di depannya.Sesuai janjinya, Robby pulang."Hai ..." Robby menyapa dengan suara berat. Tampak jelas dia lelah."Masuklah." Sherlita menahan diri agar tidak menangis. Rasa rindu yang memuncak, ingin sekali memeluk suaminya, tapi tertahan marah karena luka yang menganga.Sherlita berbalik, masuk ke dalam rumah. Robby mengangkat koper kecilnya dan mengikuti langkah Sherlita."Bisa aku langsung bicara saja? Aku tidak akan tenang sebelum aku mengutarakan semuanya." Robby menahan Sherlita agar tidak terus masuk ke ruang dalam.Sherlita berhenti, dia membalikkan badan dan memandang Robby. "Oke, bicaralah. Apapun itu, aku siap."Robby bisa melihat Sherlita sedang sedih, resah, dan juga kecewa. Namun, tidak ada marah lagi di sana. Mungkin benar, Sherlita benar-benar siap dengan semua yang Robby akan ucapkan padanya.Robby meletakkan lagi koper yang ada di tangannya
Fernan melepas pelukannya dan memandang Fea dengan wajah sedikit melow. "Bu guru bilang, mau pergi mission trip," kata bocah itu. "Oya? Kenapa kamu tidak semangat?" tanya Fea. "Katanya di sana ada teman yang ga punya mama dan papa. Mereka tinggal di rumah besar dirawat orang lain. Kasihan, Mama." Fernan menjawab dengan polosnya. "Ah, kalian akan ke panti asuhan?" tanya Fea lagi. Arfen yang ada di sebelah Fernan menyahut, "Iya. Kita akan kumpulin barang untuk mereka, biar ada alat sekolah dan pakaian, juga dapat makanan." "Oke, nanti kita siapkan. Sekarang, kita pulang, ya?" Fea berdiri, menggandeng kedua kembarnya di kiri dan kanan. Masuk ke dalam mobil, Fea langsung cek catatan dari sekolah. Ada surat pemberitahuan untuk kegiatan Mission Trip yang akan dilangsungkan minggu berikutnya. Menarik juga. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk bisa melihat sekelling, pada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dari mereka yang leb
Fea makin menajamkan pandangan pada Ibu Tinah. Ingatan Fea dengan cepat melaju pada beberapa tahun lalu, saat dia masih remaja, di rumah besar, ketika neneknya masih ada. Ya, tidak salah lagi, Fea ingat Ibu Tinah.Wajah wanita itu memang terlihat lebih umur, tetapi guratan senyumnya Fea masih kenal. Fea tidak menyangka dia bisa bertemu dengan Ibu Tinah di panti ini. Ibu Tinah dan keluarganya meninggalkan rumah besar, saat Fea masih duduk di bangku SMP. Setelah itu tidak pernah ada lagi kabar dari Ibu Tinah maupun keluarganya."Baiklah, Anak-anak semua! Kita akan segera mulai acara kita, ya??" Ibu pimpinan membuyarkan lamunan Fea. Fea kembali mengikuti acara yang dipimpin oleh salah satu guru."Semua senang hari ini!?" Dengan senyum ceria dan semangat, guru muda dengan wajah lumayan cantik itu berdiri di depan semua anak yang hadir."Senang, Bu!!" Suara riuh menyambut sapaan ibu guru itu."Oke, semua sekarang berdiri! Coba tangan di pinggang!"
Senyum kecut muncul di wajah Bu Tinah. Melihat itu, Fea merasa tidak nyaman untuk meneruskan pembicaraan."Bu, maaf, kalau Ibu rasa ...""Tidak apa-apa, Fea. Semua sudah terjadi. Meskipun disesali, tidak mungkin diulang." Bu Tinah menjawab, memotong perkataan Fea. "Kami keluar dari rumah besar dan tinggal di kontrakan kecil. Kupikir suamiku akan bertobat dan menyesali kesalahannya."Fea menatap Bu Tinah. Kalimat yang dia katakan seolah membuka kisah yang lebih pilu."Dia mencoba mencari kerja ke sana sini, hanya bertahan beberapa waktu, selalu saja dipecat. Sebab kebiasaan minum dan berjudinya sulit dia lepaskan. Aku juga tidak habis pikir, bagaimana bisa dia begitu terikat dengan dua hal bodoh itu. Sejak kenal dia tidak pernah aku melihat dia bersikap buruk. Tapi ternyata ..."Tatapan Bu Tinah kembali sedih. "... dia tak berdaya, tahu dia salah, tetapi tak mampu menjauh dari kebiasaan buruknya. Sedang aku tidak bisa kerja penuh seperti saat
Fea yang baru muncul tahu mengapa Arnon cukup kaget dengan ucapan Fernan. Dia tersenyum dan menghampiri suaminya."Ada kisah serunya, Ar. Tanya saja dua kembar kita.""Oya?" Arnon menoleh pada Fea.Fea bergeser menyambut Sherlita dan Robby. Memeluk mereka dengan hangat, penuh kelegaan. Yang lalu, terakhir kali mereka bertemu Robby dan Sherlita sedang bersitegang karena keusilan wanita yang terobsesi dengan Robby. Hampir saja pernikahan mereka buyar. Melihat keduanya kembali mesra, hati Fea terasa sejuk."Bagus kalian datang pas mau makan malam. Yuk, sekalian. Sambil ngobrol, sambil kangen-kangenan." Fea mengajak mereka ke ruang makan.Suasana meriah berlanjut di meja makan. Apalagi Arnella dan Ardiansyah ikut bergabung dengan mereka. Cerita ini dan itu membuat kegembiraan lengkap. Termasuk cerita si kembar tentang teman-temannya di panti. Mereka punya teman baru yang menyenangkan dan akan jadi teman selamanya.Arnon seolah-olah dibawa
Fea tidak bisa menahan keinginan Wati untuk ikut menemui Bu Tinah di panti. Fea tetap minta Wati tidak bicara apa-apa lebih dulu tentang pertemuan dengan Bu Tinah selama di rumah. Mereka akan pergi ke panti sepulang Sherlita dan Robby dari bulan madu kedua mereka.Sementara menunggu waktu itu, Fea berkomunikasi dengan Bu Tinah. Dia bicara tentang hal-hal biasa, kabar, kegiatan, dan soal-soal umumnya hari-hari yang yang mereka lalui. Juga Fea menanyakan Danar. Dan benar, Danar memant anak kedua Bu Tinah, yang ditinggal pergi suaminya saat dalam kandungan."Dia senang sekali bisa berkenalan dengan anak kamu, Fea. Danar bilang anak-anak kamu lucu seperti boneka. Kalau dia punya adik pingin seperti itu. Aku tertawa saja mendengar Danar cerita tentang anak-anak kamu." Itu yang Bu Tinah ucapkan saat bertelpon dengan Fea."Iya, Bu. Siapa yang menduga kan, anak-anak kita bisa berteman," kata Fea. "Oya, Bu, kalau di panti apa yang paling diperlukan selain kebutuhan sehar
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b