Fea tidak bisa menahan keinginan Wati untuk ikut menemui Bu Tinah di panti. Fea tetap minta Wati tidak bicara apa-apa lebih dulu tentang pertemuan dengan Bu Tinah selama di rumah. Mereka akan pergi ke panti sepulang Sherlita dan Robby dari bulan madu kedua mereka.
Sementara menunggu waktu itu, Fea berkomunikasi dengan Bu Tinah. Dia bicara tentang hal-hal biasa, kabar, kegiatan, dan soal-soal umumnya hari-hari yang yang mereka lalui. Juga Fea menanyakan Danar. Dan benar, Danar memant anak kedua Bu Tinah, yang ditinggal pergi suaminya saat dalam kandungan.
"Dia senang sekali bisa berkenalan dengan anak kamu, Fea. Danar bilang anak-anak kamu lucu seperti boneka. Kalau dia punya adik pingin seperti itu. Aku tertawa saja mendengar Danar cerita tentang anak-anak kamu." Itu yang Bu Tinah ucapkan saat bertelpon dengan Fea.
"Iya, Bu. Siapa yang menduga kan, anak-anak kita bisa berteman," kata Fea. "Oya, Bu, kalau di panti apa yang paling diperlukan selain kebutuhan sehar
Panti masih ramai dengan suara anak-anak bermain. Si kembar tampak senang di antara anak-anka itu. Bahkan Robby, Sherlita, dan Arnon tidak canggung ikut bermain dengan mereka. Sedangkan Fea, Wati, dan Tinah, duduk di taman samping melanjutkan kisah lama yang belum tuntas dikupas. "Setelah suamiku meninggal, aku kacau. Aku bingung dan panik. Dengan anak masih bocah, lalu bayi dalam kandungan, aku tidak tahu harus berbuat apa. Di tengah keputusasaan aku tidak sengaja bertemu Bu Liani, pimpinan panti ini. Saat itu aku sedang memeriksakan kandungan, yang terakhir kali menurut pikiranku. "Bu Liani begitu baik dan ramah. Tanpa sengaja saja kami berbincang, bercerita, hingga dia mengetahui keadaanku. Dia dengan tangan terbuka mengajak aku ke sini. Aku boleh bekerja di sini, tinggal selama kapanpun aku mau." Air mata menitik di ujung mata Tinah. "Tuhan tak pernah terlambat memberi pertolongan, meskipun tampaknya sangat lambat." Wati menyahut. "Mbak Wati benar
Arnon dan Fea tersenyum lebar. Kedua kembar mereka terlalu senang karena punya teman baru dari panti. Teman-teman di sekolah seperti jadi kurang berarti saja bagi mereka. Fea maklum sekali, karena si kembar memang tidak punya teman selain yang dikenal di sekolah atau beberapa teman dari anak-anak relasi Arnon dan Fea. Karena itu saat punya teman baru dengan lingkungan berbeda pasti sesuatu yang istimewa buat mereka."Baiklah, baiklah. Nanti kita atur, ya? Kalian mau buat acara bagaimana? Biar Papa dan Mama siapkan." Arnon mengiyakan saja keinginan Arfen."Papa, pesta es krim. Pasti seru," ujar Fernan. "Sama ... mandi bola ..."Orang-orang dewasa di sekitar dua kembar itu senyum-senyum. Mereka mendengarkan saja mereka mengungkapkan apa yang muncul di pikiran mereka. Bagus buat mereka, berimajinasi dan mengembangkan daya pikir mereka.Usai makan malam, Sherlita dan Robby pamit kembali ke hotel. Mereka akan pulang keesokan harinya lalu menyiapkan semua berka
Fea mengubah panggilan suara ke video. Dia ingin melihat wajah Sherlita dan memastikan yang dia pikirkan tentang kendala soal adopsi dari panti itu benar."Apa yang masih belum beres?" tanya Fea."Sebenarnya tidak ada yang terlalu rumit. Pengacaraku sudah mengurus semuanya. Dia bilang semua aman saja. Tapi, ternyata masih perlu masa percobaan untuk aku dianggap layak jadi mama Davis. Setidaknya empat bulan. Lalu dipantau lagi perkembangan dia sampai enam bulan. Beneran diserahkan kalau udah dua tahun. Kesal nggak, sih?" Sherlita sedikit menggerutu karena aturan yang dia terima mengenai proses pengadopsian anak."Oh, sampai begitu?" Fea juga tidak mengira ternyata butuh waktu lama baru si anak bisa sepenuhnya jadi tanggung jawab orang tua yang mengadopsi."Serius. Apa mungkin kami main-main pingin merawat anak? Ga sabar aku, Fea." Sherlita masih belum lega."Bukannya dulu, Om Lukman dan Tante Lovi juga sama, ya? Waktu kamu mereka bawa pulang?" Fea m
"Pak Rahmat! Samir!" Suara keras Arnon menggelegar ke seluruh ruangan di rumah besar itu.Samir dan Rahmat tergopoh-gopoh datang menemui Arnon."Ya, Tuan Muda!" sahut keduanya sambil berdiri berjajar di depan Arnon."Segera urus dengan sekuriti. aku tidak mau sampai pers akan mengganggu para tamu. Sudah paham yang aku maksudkan?" Arnon tidak mau berpanjang lidah."Siap, Boss! Kalau macam-macam, mereka dituntut, kan?" Samir langsung menimpali cepat."Ya. Kalau sampai berita miring yang muncul, aku ga tanggung-tanggung kejar mereka. Itu pasti," jelas Arnon. "Sekarang silakan diurus, aku mau mandi. Gerah banget rasanya.""Siap, Boss!" Kedua pria itu mengangkat tangan memberi hormat.Arnon berbalik dan melangkah cepat menuju ke lantai atas, ke kamarnya."Siapa yang bikin ulah, siapa yang repot." Samir menggerutu."Orang punya duit itu bebas. Ga usah ngiri. Ntra kalau kamu udah kaya, bikin juga yang lebih seru. Buat hutan saa
"Nyonya, kapan saja, bisa hubungi saya. Atau, jika Nyonya tidak keberatan, saya bisa kontak, ya?" Herni yang masih di tempatnya mengulurkan tangan, bersalaman dengan Fea dan Sherlita."Tentu, Bu. Silakan saja." Sherlita mengangguk sambil tersenyum."Eh, kalau ada rekan atau keluarga mungkin ingin mengadopsi anak ..." Herni sedikit ragu mengutarakan kata-katanya."Oh, ya ... nanti juga kami hubungi." Dengan cepat Sherlita menjawab."Baik, saya permisi. Terima kasih." Herni berbalik dan menyusul segera ke dalam mobil.Fea dan Sherlita melambai hingga kendaraan yang mengantar rombongan itu meninggalkan halaman rumah besar. Arnon dan Robby sudah mengarahkan langkah balik ke dalam rumah."Davis sudah tidur?" tanya Fea."Yup. Dan si kembar tidak mau pergi. Mereka menungggui Davis yang terlelap. Beneran mereka pingin adik, Fea." Sherlita menggoda Fea."Ah, mulai lagi," sahut Fea dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ya, Arnon? Kenapa?" Fea menarik nafas panjang. Dia menetralkan dadanya, masih terkejut mendapat telpon tiba-tiba. "Fea, aku kena masalah!" Suara Arnon tedengar cemas. "Bisa bantu aku, please!?" "Arnon! Ada apa?" Dengan cepat Fea berdiri. Tidak tahu apa yang terjadi tapi Fea tiba-tiba saja menjadi cemas. Jika tidak serius, Arnon tidak akan memberi kabar dengan cara mengejutkan begini. "Kamu ke bandara sekarang, tidak ada waktu. Aku tidak bisa jelaskan di telpon. Waktuku tidak banyak, Fea." Arnon menjawab cepat, masih dengan suara cemas. "Bandara!? Arnon? Ada apa?" Fea makin bingung. "Pergi saja. Nanti aku jelaskan. Aku tunggu, Fea!" Dan Arnon menutup telpon. Fea terduduk. Dengan tanagn sedikit gemetar. Ada apa ini? "Ya Tuhan ... apa yang terjadi?" Fea berucap dengan memegang dadanya. Dia seketika ingat kecelakaan yang Arnon alami. Kecelakaan yang hampir merenggut nyawa Arnon. Dia hilang ingatan dan berbulan-bulan baru bis
Wajah Fea menoleh cepat ke arah pintu. Seseorang berdiri di sana. Fea berdiri dan memandang pada pria itu. Pria setengah baya, kira-kira hampir seusia Riko. "Selamat pagi, Pak. Saya Fernita Hendrawan. Suami saya menghubungi menyampaikan dia ada masalah. Bisakah beritahu saya apa yang terjadi?" Dengan cepat Fea bicara. Tidak sabar dia ingin segera tahu ada apa dengan Arnon. "Ibu, bisakah Ibu duduk sebentar. Saya tidak biasa bicara sesuatu yang serius dengan berdiri. Mari, silakan." Pria itu menunjuk ke kursi, lalu dia sendiri memutar langkahnya, dia duduk di kuris di belakang meja kerjanya. "Ah, baik." Dengan cepat juga Fea duduk. Dia silangkan kaki kanan di atas lutut. Kedua tangannya menangkup lututnya dan memandang pada pria itu. "Tuan Arnon Hendrawan." Santai, tenang, pria itu menyebut nama Arnon. "Ya, itu suami saya," sahut Fea. Dia memandang oria itu dengan harap-harap cemas. Kasus apa yang membelit Arnon? "Apa Tuan Arnon sama sek
Tepuk tangan terdengar dari orang-orang yang ada di dalam kabin pesawat itu. Fea mengangkat wajahnya. Kedua pipinya basah karena menangis. Dia melihat ke sekelilingnya. "Selamat hari pernikahan, Nyonya Hendrawan. Kita akan segera memulai perjalanan kita." Salah satu pria yang tadi berjalan di belakang Fea, bicara denagn senyum lebar. "Jadi ... semua ini ..." Fea masih merasa gemetar. Tangannya begitu dingin, suaranya pun belum normal. Dia menoleh pada Arnon yang juga belum melepas pelukan di pinggang Fea. "Kejutan buat wanita paling istimewa. Istriku tercinta." Arnon mengusap pipi Fea yang basah. "Kamu bisa tega kayak gitu sama aku, Ar." Fea memegang tangan Arnon yang masih menyentuh pipinya. "Kamu ga tahu rasa hatiku? Aku benar-benar panik, bingung, kuatir ... Segala macam campur aduk. Astaga ..." "Kru pesawat ini luar biasa, kan? Kamu tidak terpikir sama sekali kalau ini hanya settingan?" Arnon tersenyum lebar. "Nggak. Sa
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b