Arfen dan Fernan masuk ke kamar tempat Arnon dirawat. Arnon sudah pindah dari ruang IGD. Kedua bocah itu berlari kecil mendekati ranjang Arnon. Mereka berhenti kira-kira tiga meter dan menatap Arnon yang duduk menonton TV di dinding di depan ranjang. Dia tampak serius dengan tayangan yang muncul di layar kaca.
"Papa!" panggil Fernan.
Arnon tidak bergerak, masih melihat tayangan kartun di layar TV.
Fernan melangkah maju. "Papa!" Lebih keras bocah itu memanggil. Sedang Arfen sudah ada di sisinya.
Di belakang mereka Arnella dan Ardiansyah memperhatikan. Siang itu sepulang sekolah, si kembar sengaja dibawa ke rumah sakit. Harapan Arnella dengan melihat kembarnya yang lucu dan pintar akan membuat ingatan Arnon cepat kembali.
Arnon menoleh. Dia terbelalak kaget karena ada dua anak kecil yang berwajah sama berdiri memandang ke arahnya.
"Papa!" Arfen gantian memanggil. "Sudah sembuh?"
Arnon menegakkan badannya yang sebelumnya ber
Langkah Fea terhenti di depan kamar Arnon dirawat. Di dalam kamar, dia melihat Arnon sedang asyik bermain dengan Arfen dan Fernan. Terdengar tawa lepas dari bibirnya sambil memutar pesawat mainan yang dia pegang. Wajah Arnon tampak ceria bermain bersama si kembar. Hati Fea terenyuh melihat itu."Mereka teman, Fea. Arnon menjadi teman si kembar. Dia seperti kakak saja buat kedua anaknya. Lihat, wajahnya begitu gembira." Arnella menyambut Fea, memberi kabar apa yang tengah berlangsung di dalam kamar itu."Dia tidak ingat si kembar?" tanya Fea dengan hati perih.Arnella menggeleng. "Dia terpesona melihat dua anak dengan wajah sama berdiri di depannya. Tapi dia sangat senang karena punya teman."Fea melanjutkan langkahnya. Dia mendekati ranjang, Arnella pun sama."Bagusnya, dia ingat aku dan papanya. Meski awalnya dia merasa heran, papa dan mamanya terlihat tua," lanjut Arnella."Ah, baguslah ..." Fea mengangkat wajahnya memandang lurus pada Arn
Kedua mata Arnon tak berkedip. Fea mengatakan janji padanya, tidak akan pernah pergi, mereka akan selalu bersama. Arnon ingat, ingat sekali kejadian itu. Dia sedang sakit, merasa sedih, dan merasa sendirian, merasa tidak ada yang peduli. Hanya Fea dan nenek yang mau memperhatikan dia. Itu yang dia rasakan. Karena itu Arnon meminta Fea untuk tetap bersamanya sampai kapanpun. "Kamu janji?" Arnon memandang masih tanpa kedip. "Iya, Arnon, aku akan terus sama kamu. Sampai tua, sampai kapanpun." Fea mengulang lagi janjinya. Arnon menggenggam erat tangan Fea. Ada senyum kecil di sana, di ujung bibirnya. Perlahan, dia mulai bisa yakin wanita cantik yang selalu datang mengurusnya itu memang Fea. Wati terenyuh menyaksikan adegan itu. Butiran bening tak bsia dia tahan, dia menangis. "Lalu nenek mana?" tanya Arnon, tidak mau dia lepaskan tangan Fea. "Ayo kita duduk di situ." Fea mengajak Arnon duduk di kursi di dapur. Arnon menurut. Mereka duduk b
Tangan Arnon teracung ke arah Fea. Wajahnya tampak sedikit takut. Fea kembali mendekat. Begitu Fea berdiri di sisi ranjang, Arnon memeluk Fea dengan erat. "Nenek tidak ada lagi. Aku ga mau kamu juga pergi. Aku ga mau." Dengan suara sendu, di tengah rasa takut Arnon bicara. "Aku tidak akan pergi, Arnon. Aku gadis kesayangan kamu. Tidak akan aku pergi. Aku janji." Fea membalas pelukan Arnon. Matanya terpejam. Yang muncul di pikiran Fea, saat Arnon menarik dia dalam pelukannya, di pinggir pantai hari itu, Arnon berbisik dia meminta Fea menikah dengannya. Pelukan itu yang Fea rindukan. Pelukan cinta yang besar seorang sahabat yang menyadari dia cinta mati pada sahabatnya. "Temani aku, Fea," pintar Arnon. "Tentu. Aku akan temani kamu." Fea memilih menuruti yang Arnon mau. Arnon melepas Fea dari pelukannya lalu dia rebahkan badannya. Kepalanya masih terasa sesekali berdenyut seperti dipukul-pukul. Arnon memejamk
Wati berdiri di depan Fea. DIa tersenyum kecil tetapi juga masih ada raut sedih bergelayut di wajahnya. "Kenapa, Mbak?" tanya Fea. Sebenarnya apa yang Arnon mau kali ini. "Tuan Muda minta omelet, Nyonya. Tapi Omelet nenek," jawab Wati. "Omelet nenek?" Fea mengerutkan kening. Dia langsung mengerti apa yang terjadi. "Arnon mengancam tidak mau makan kalau dia tidak dapat omelet nenek?" Wati mengangguk.Maish terbayang di kepalanya senyum kesal Arnon saat dia disuguhi sup ayam untuk makan. "Rania, aku harus pergi. Tunggu sebentar, aku ..." "Kalau ada yang bisa aku bantu, Fea." Rania menawarkan diri. "Baiklah. Kita ke dapur. Aku akan coba memasak omelet buat Arnon. Ala Nenek Ellina." Fea melangkah masuk ke dalam rumah. Wati dan Rania bergegas mengikuti di belakangnya. Fea harus bergegas, jika tidak Arnon bisa berteriak-terika karena marah. Saat dia bocah, memang akan menyebalkan dia melakukan itu. Tetapi itu wajar, dia masih
Riko menatap Arnon yang serius memperhatikan gambar di tangannya. Ekspresi wajahnya tampak campur aduk. Ada senyum, tapi juga jelas dia sedang berpikir sementara matanya tidak beralih dari gambar itu. Gambar seorang anak laki-laki dan perempuan yang bergandengan tangan."Ini gambar Fea." Arnon mengangkat mukanya dan melihat pada Riko. Arnon tidak lupa seperti apa coretan Fea di atas kertas. "Bapak dapat gambar ini dari mana?""Kamu membawa gambar itu ke kantor, Arnon. Ada di atas meja kerja kamu. Bahkan sejak masih depot kecil yang kamu punya, gambar itu juga ada di mejamu." Riko berusaha mengingatkan Arnon tentang gambar itu.Arnon memejamkan matanya. Sesuatu menggelitik di dadanya. Ada sekelebatan bayangan senyum gadis kecil sedang menyodorkan gambar itu padanya. Arnon bisa ingat saat pertama Fea memberikan gambar itu. Yang dia tidak ingat, dia membawanya ke meja di kantor. Kantor apa? Arnon saja masih bocah, masih sekolah."Bapak pasti salah. Aku
Tangan Fea memeluk Arnon yang tertidur lelap. Setelah akhirnya kerinduan tertuang hingga tuntas, Arnon benar-benar pulas. Fea memandang wajah Arnon dan mengusap pipinya pelan. Arnon belum pulih, tapi dia bisa bersikap sebagai pria dewasa, sebagai suami Fea. "Terima kash, Ar. Aku tahu kamu merasa seperti sedang melakukan malam pertama. Kamu sedikit bingung dan canggung. Aneh sekali." Fea bergumam lirih. "Kuharap apa yang terjadi malam ini akan membuka ingatan kamu. Kita sudah disatukan sekian lama, cinta kita sangat kuat. Yang terjadi kali ini tidak akan mengubah cinta itu. Aku yakin." Fea masih menatap wajah tampan Arnon yang masih membuat Fea terpesona. "Aku bisa tidur di sisi kamu, memelukmu. Sejak kamu pulang dari rumah sakit, aku tidur di kamar sebelah dengan anak-anak. Sesekali aku hanya bisa mencium kening dan pipimu saat kamu tidur. Andaikan, saat kamu bangun kamu ingat semuanya. Andaikan." Fea kembali merangkul pinggang Arnon dan memejamkan mata
Mata Arnon tidak berkedip. Dia memperhatikan satu demi satu foto, lembar demi lembar dari tumpukan album kenangan. Arnella memberikan semua album yang dia simpan sejak Arnon bayi hingga dia menginjak dewasa. Arnon mencoba menelusuri semua ingatannya dengan melihat kenangan yang tersimpan melalui foto-foto itu. "Kamu bisa ingat yang mana, Arnon?" Arnella bertanya. Arnon menoleh. "Banyak, tapi melompat-lompat di kepalaku, Ma. Aku bingung." "Baiklah. Jangan kamu paksakan. Fokus pada yang paling kamu ingat saja," kata Arnella. Arnon termenung. Pikirannya justru tertarik pada situasi yang terjadidi rumah itu. Dia ingat sekali, saat dia kecil, papanya jarang di rumah. Tapi sejak dia pulang dari rumah sakit, Ardiansyah setiap hari muncul. Buat Arnon itu sesuatu yang aneh. "Ma, papa tidak pulang ke rumah Nyonya satu dan dua?" Arnon bertanya. Arnella tidak langsung menjawab. Pertanyaan Arnon pendek, tetapi perlu jawaban panjang. Arnella berpiki
Ardiansyah menarik nafas panjang. Semua sudah berlalu, tetapi setiap dia ingat kedua anaknya dari istri pertama, hatinya selalu merasa tidak nyaman. Ardan dan Ardina, mereka meninggal karena kecelakaan pesawat bersama dengan ibu mereka. Banyak hal yang dia bisa ingat dari kedua anak pertama dan keduanya itu. Masa-masa awal pernikahan, masa-masa awal Ardiansyah berjuang hingga menjadi kaya raya, sukses dengan semua usaha yang dia jalani, Ardan dan Ardina yang paling tahu. Mereka juga yang pertama menolak, marah, dan terluka saat Ardiansyah memilih menikah lagi. Ardan dan Ardina harus menerima dia punya dua ibu tiri dari pernikahan kedua dan ketiga Ardiansyah. "Bukankah mereka yang pegang peranan penting di perusahaan?" Arnon memastikan pendapatnya tidak salah. Ardiansyah memandang Arnon. Ingatannya semakin membaik. Meski kadang campur aduk. Tiba-tiba dia balik ke masa remaja, kadang saat dia sudah kuliah. Tapi hampir tidak pernah lagi balik di masa dia bocah.
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b