"Tidurlah, nanti laparmu akan hilang."
Kuusap kelopak mata anak tiriku, dengan tangan gemetar. Betapa tidak, hati ini pilu karena hampir setiap hari perutnya tidak terisi banyak nasi.
"Aku masih lapar, Bu," begitulah lirihnya setiap menjelang tidur.
Anak itu selalu menurut. Setelah ia tertidur, aku selalu memasak secangkir beras hingga pada saat Subuh tiba, beras itu berubah menjadi tiga centong nasi.
Waktu itu sahur pertama di bulan Ramadhan 1998, anak tiriku baru berusia tujuh tahun. Ia kubangungkan dengan perasaan was-was di hati, takut kalau-kalau sudah meninggal dalam tidurnya karena kelaparan.
"Faihatun ... bangun, Nak," kucolek tubuhnya menggunakan jari telunjuk, hati ini sungguh khawatir ketakutan itu akan terjadi.
Alhamdulillah akhirnya ia membuka mata, walau dengan pelan dan tampak lemas.
"Ayo sahur," kata itu kubisikkan di telinganya.
Fai mengangguk, kuminumkan segelas air putih untuk menambah tenaganya. Kemudian menuntunnya ke meja makan.
"Duduk yang benar, Ibu akan ambilkan nasi untukmu."
Kusendok dua centong nasi untuk Fai, dan secentong untukku.
"Sahur sama apa, Bu?" Ia bertanya dalam keadaan masih mengantuk.
"Goreng tempe," jawabku.
Pekerjaanku hanyalah sebagai buruh cuci dengan gaji tak seberapa. Aku tak bisa memberi banyak fasilitas dan kenyamanan untuk Faihatun. Tetapi anak itu tak pernah sedikit pun mengeluh, walau seringkali ia terlihat ingin seperti teman-temannya yang berkecukupan. Setiap kali dia minta uang jajan dan aku bilang 'tak punya', maka ia akan mengangguk dan kembali bermain.
"Alhamdulillah." Fai mengucap syukur seraya mengangkat kedua telapak tangannya, sejajar dengan wajah polosnya.
Beberapa potong tempe cukup untuk membuatnya bersyukur. Anak kecil itu, entah karena dia memang shalehah ... atau karena takut kepadaku, ia tak pernah meneteskan air matanya. Padahal aku yakin, dalam hatinya ia menyimpan banyak kesedihan.
Fai makan sahur dengan lahap, aku melihatnya dengan mata berlinang. Kasihan, harus hidup menderita bersamaku setelah ditinggal ibu dan bapaknya.
"Boleh gak, pulang sekolah nanti aku main ke makam ibuku?" tanyanya di tengah-tengah makan.
"Boleh, tapi pulang dulu ke rumah. Ganti baju, nanti kuantar," jawabku.
Ia kembali menyuap dengan perasaan gembira.
Kak Lisna—ibu kandung Faihatun—meninggal akibat serangan jantung, saat mendengar kabar pernikahanku dengan suaminya. Orang menyebutku sebagai wanita perebut suami orang. Dulu, aku begitu menggilai Mas Hendra hingga lupa diri dan merebutnya dari Kak Lisna.
'Maafkan aku, Kak. Sekarang aku telah menyadari kesalahanku yang telah mengganggu rumahtanggamu,' batinku empat tahun lalu, tepat di sahur pertama ramadhan tahun 1994, ketika mendengar kabar Kak Lisna meninggal.
Setelah kematian ibunya, Fai tinggal bersamaku, waktu itu ia masih berumur tiga tahun. Aku merawatnya semampuku. Awalnya, aku tak sayang. Tapi lama-lama, naluri keibuanku muncul dan pelan-pelan tumbuhlah rasa kasih terhadap anak itu.
"Bapak kapan pulang, Bu?" Fai bertanya lagi, kali ini pertanyaannya membuatku kaget sekaligus bingung. Karena aku pun tak tahu jawabannya.
"Berdoa saja, semoga lebaran nanti bapakmu pulang."
"Berarti masih lama, Bu. Lebaran masih dua puluh sembilan hari lagi," ucapnya dengan nada kecewa.
Aku pura-pura tersenyum menanggapinya. "Sudah, Fai ... lanjutkan makan sahurmu, nanti keburu adzan Subuh," kataku, mencoba mengalihkan perhatian. "Hari ini belajar puasa sampai tamat, ya. Ibu dapat pekerjaan di rumah Juragan Guntur, mudah-mudahan pulang bawa banyak uang biar bisa masak yang enak buat buka puasa."
"Baik, Bu," jawabnya patuh, kemudian melanjutkan makannya.
Namanya Faihatun. Dia anak tiriku. Ditinggal wafat ibunya, dan ditinggal kabur bapaknya. Anak kecil yang tak dapat kucukupi kebutuhannya, dan sering tidur dengan perut lapar.
Berkali-kali aku pernah menyerah, tapi entah mengapa ... di bulan ramadhan tahun 1998, ada hal istimewa yang membuatku bersemangat untuk membesarkannya.
🍂🍂
Kini aku terkenang kembali memori itu, dan air mataku mulai menggenang. Apalagi, harus menerima kenyataan hidup yang seakan 'bercanda', tak kusangka nasib kami berubah baik. Ini antara perasaan sedih bercampur haru.
Namun diantara kenikmatan yang kini didapat, masih ada satu yang kurang, yaitu Mas Hendra—bapaknya Faihatun—belum juga kembali setelah puluhan tahun. Aku tak tahu di mana rimbanya sekarang.
Anaknya—Faihatun—pun kini sudah besar, tumbuh menjadi seorang gadis berusia 30 tahun, dengan karir yang cemerlang. Dua tahun lalu ia diangkat menjadi PNS, dan bekerja di Dinas Kesehatan.
Aku hanya bisa memandangi Faihatun yang tengah mempersiapkan sahur pertama di ramadhan tahun 2021 ini. Dia memaksaku untuk tetap duduk di kursi roda, padahal aku ingin sekali membantunya memasak.
"Sebentar ya, Bu. Itu tempenya tinggal nunggu matang, masih di wajan," katanya seraya menata menu sahur di atas meja, ia tampak ceria dan bersemangat menyambut hari pertama puasa. Paras cantiknya mengingatkanku pada Kak Lisna, Fai mirip dengan ibu kandungnya.
Daging ayam, sayur sop, sambal, tahu dan tempe goreng. Lengkap dengan buah-buahan dan susu kurma. Berbanding terbalik dengan yang kusuguhkan padanya dua puluh tiga tahun yang lalu, saat sahur pertama di bulan Ramadhan tahun 1998.
"Ayo dimakan, Bu, nanti keburu adzan Subuh," katanya.
Namun aku tak sanggup membuka mulut untuk menyuap makanan, air mataku tak sanggup kubendung lagi.
"Kenapa, Bu? Apa kaki Ibu terasa sakit?" tanyanya khawatir.
Aku menggelengkan kepala sambil mengusap air mata dengan tisu.
Kaki kiriku memang tak bisa dipakai berjalan, karena mengalami patah tulang akibat terpeleset ketika masih menjadi buruh cuci. Waktu itu aku bekerja lembur di sebuah laundry untuk kejar setoran uang kuliah Fai, rasa kantuk membuatku lalai dan akhirnya menginjak sabun yang tumpah, hingga terpeleset.
"Ibu terharu, teringat puluhan tahun yang lalu saat kita sering kelaparan. Bahkan kau pun sering tidur dengan perut lapar. Karena ketidakberdayaanku mencari uang, kau pun tak mendapat cukup makanan. Sekarang, kau melayani Ibu dengan begitu mulia. Ibu tak pernah sekalipun merasakan lapar selama tinggal denganmu," ucapku tersedu-sedu.
"Jangan bicara seperti itu, Bu. Semua adalah takdir Alloh, Dia telah menggariskan perjalanan hidup kita. Kesusahan yang dulu, tak perlu dikenang lagi. Lebih baik kita bersyukur karena kehidupan kita sekarang berkecukupan," katanya dengan lemah lembut, secercah senyuman merekah di bibir manisnya. Meskipun Fai bukan anak kandungku, tapi dia begitu memuliakanku.
"Alhamdulillah," ucapku lirih, menahan sedih dan haru.
Fai menghampiri dan berdiri di belakangku, kemudian melanjutkan bicara, "Ibu pun dengan sabar telah merawatku, dari aku kecil hingga saat ini. Meski aku bukan anak kandungmu, tapi kasih sayangmu benar-benar tulus," balasnya seraya mengusap-usap pundaku. "Aku menyayangimu, Bu."
Semakin mengungkapkan kasih sayangnya, semakin keras aku menangis. Andai dia tahu apa saja yang pernah kulakukan padanya, apakah ia masih akan tetap menyayangiku?
"Fai suapi Ibu, ya," ucapnya, menyendok nasi dengan sesuwir daging ayam. "Kalau lauknya mau ganti, bilang aja ya, Bu," lanjutnya.Buka puasa di hari ke dua Ramadhan 2021. Aku disuapi Faihatun karena anak itu yang meminta. Di matanya, aku ini sudah renta ... padahal sebenarnya untuk sekedar menyuap nasi aku masih mampu."Alhamdulillah tadi Fai dapat uang insentif dari kantor, jadi pulangnya bisa beli lauk yang banyak untuk menu buka puasa. Ini semua kesukaan Ibu, Fai sengaja belikan. Maaf ya, Fai gak masak karena lelah habis bekerja," katanya, sambil menyuap sendokan kedua."Sudah cukup menyuapiku. Sekarang giliranmu yang buka puasa. Ibu bisa makan sendiri," balasku seraya mengambil sendok dari tangan Fai. "Makanan ini sangat banyak. Bagaimana kalau tidak habis? Lain kali kalau masak atau beli, secukupnya saja," lanjutku.Meja makan penuh dengan hidangan. Terlalu banyak untuk ukuran berdua. Mubazir kalau tidak habis, kami tak mungkin memakan semuanya."Kan bisa dikasihkan, Bu," jawab F
"Kamu pulang saja dulu, saya lagi repot ngurusin tamu," paksa Nyonya Guntur ketika aku kukuh ingin mendapatkan upah sore itu juga. Akhirnya aku pun pulang, karena Nyonya Guntur sudah mulai terlihat jengkel. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berputar-putar mengakali harus masak apa untuk buka hari itu. Di rumah tinggal segenggam beras dan sebuah wortel yang kupunya. Terdengar suara azan maghrib, sekaligus pertanda waktu buka puasa. Aku berjalan sangat lambat hingga tidak bisa mengejar waktu untuk sampai di rumah sebelum magrib. Teringat Faihatun yang seharian kutinggalkan bekerja, sedang apakah dia di rumah sendirian? Perasaanku khawatir, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. Apalagi di rumah tidak ada makanan, dengan apa dia akan berbuka?Teganya Juragan dan Nyonya Guntur kepadaku. Sudah dua hari bekerja hingga lelah, namun tak sepeser pun uang yang dibayarkan mereka. Padahal, makanan begitu banyak tergeletak di meja makannya. Tak bisakah mereka memberiku sedikit untuk k
Fai menganggukkan kepala pada Bu Mardiyah sebagai salam hormat. "Itu Fai, ya? Wah ... Fai tumbuh jadi gadis yang cantik," ujar Bu Mardiyah."Iya, Bu." Faihatun tersipu mendapat pujian dari Bu Mardiyah.Aku mendengarkan percakapan mereka berdua yang terlihat sangat asyik. Bu Mardiyah berpindah tempat duduk mendekati Fai."Fai masih ingat sama Dian?" tanya Bu Mardiyah."Iya, Bu. Dian teman Fai waktu masih kecil," jawab Fai."Sekarang Dian sudah jadi PNS. Berkat kamu, Fai ....""Lho? Kok berkat saya, Bu?" Fai terlihat heran. Aku menepuk pundaknya."Di desa, kami hidup sulit. Selepas diwisuda, Dian selalu termenung di teras rumah. Kupikir karena ia frustasi belum mendapatkan pekerjaan. Setelah kutanya ... rupanya ia sedang mengingatmu. Sebagai seorang ibu, tentu saya tahu apa yang sedang dialaminya. Akhirnya saya jadikan kerinduannya padamu sebagai motivasi untuk membuatnya bangkit," jelas Bu Mardiyah.Fai masih tampak kebingungan, atau pura-pura bingung? Entahlah, yang pasti ia sangat t
"Lho, kok malah nanya ... ya suruh masuk, atuh. Kan kasihan," jawabku."Hihi, Fai gugup, Bu ...," kata Fai."Bersikap sewajarnya saja." Aku menasihati FaiSelama ini, Fai tak pernah berpacaran atau sekedar memiliki teman lelaki. Aku cukup mengkhawatirkan hal itu karena usia Fai sudah tiga puluh tahun, usia yang cukup untuk berumahtangga. Sementara aku pun mulai lemah dimakan usia yang menginjak lima puluh delapan tahun. Aku ingin, Fai segera bertemu jodohnya.Tak lama kemudian, Fai mengajak Dian masuk ke rumah dan duduk di sampingku. Mereka tampak serasi walaupun masih malu-malu, karena lama tak bertemu. Seandainya mereka berjodoh, aku sangat senang. Insyaalloh, mereka sama-sama shaleh. Dulu, keduanya tumbuh bersama dan harus terpisah saat menginjak remaja."Bu, apa kabar?" sapa Dian seraya memberikanku beberapa bingkisan buah tangan yang dibungkus hiasan indah."Alhamdulillah," jawabku. "Kudengar, keluargamu kembali pindah ke sini. Saya senang tetanggaan dengan kalian lagi.""Iya, Bu
"Ibu mau nyuci lagi? Di mana, Bu?" tanya Fai."Belum tahu, Fai. Belum ada yang nyuruh Ibu," jawabku.Fai mengangguk. Aku mengajaknya tidur agar dia tidak mengantuk ketika bangun sahur nanti. Tempat tidur kami hanyalah selembar kasur lepek yang sudah usang, diletakkan di lantai karena ranjang satu-satunya yang kami punya sudah dijual untuk membeli beras dan membayar kebutuhan.Rumah yang kutinggali bersama Fai waktu itu adalah peninggalan ayahku. Sebelumnya, kami tinggal bersama Mas Hendra di rumah gedong. Namun, dijual beserta isinya karena harus menutupi utang dagang. Ketiga toko yang dimiliki Mas Hendra juga dijual. Kami bangkrut, dan Mas Hendra kabur. Alhasil, aku dan Fai harus kembali ke rumah gubuk peninggalan ayahku."Bu, Fai lapar," katanya ketika mata hendak terlelap."Masih ada nasi dan goreng telur sisa buka puasa tadi maghrib. Sebentar, Ibu ambilkan ya," kataku.Fai menggeleng. "Bukan, Bu. Fai ingin makan cemilan, bukan makan nasi," lirihnya, memelas."Tak ada Fai. Tidurla
"Bu, saya kan mau beli, bukan mau mengemis. Kenapa menyiram saya dengan kopi hitam?" lirihku. "Rasakan itu, perebut suami orang! Dulu kau merebut Hendra dari Lisna, karena kau matre! Sekarang kau jatuh miskin! Rasakanlah! Sana kau pergi, jangan belanja di tokoku! Tak sudi aku menerima uang darimu!" hardik Bu Beni.Aku menahan air mata agar tak mengalir lebih deras. Kekesalannya padaku adalah hal wajar, aku dulu memang orang sombong yang membanggakan kecantikanku. Aku juga telah merebut suami orang, hingga semua orang membenciku. Kini setelah miskin, aku sadari semua kesalahanku dan bertaubat. Namun, rupanya beberapa orang memang belum bisa melupakan masa laluku. Dan masih mencapku sebagai pelakor.Langkah kaki membawaku pulang ke rumah, bajuku kotor terkena siraman air kopi. Sesampai di rumah, Fai berlari ke arahku, ia baru saja pulang sekolah, masih mengenakan seragamnya yang mulai kekecilan."Kenapa baju Ibu kotor?" Fai bertanya."Ibu terjatuh," jawabku singkat lalu bergegas masuk
"Dih, bicaramu udah kayak ustad aja," seloroh Pak Handoko."Aku mengutip kata-kata seorang bijak, Pak," jawab Dian.Kami semua tertawa. Bu Mardiyah menepuk lengan suaminya, "biarkan Dian 'beraksi' di hadapan calon mertuanya, Pak!" katanya sambil mengedipkan mata, membuat suasana semakin hangat karena kami tertawa lagi."Memang bener, kok. Kita juga pernah mengalaminya waktu usaha Bapak bangkrut dan harus pindah ke desa. Segala macam kesulitan datang bertubi-bertubi," lanjut Dian."Iya betul, Bu. Di dunia ini bukan hanya kalian saja yang pernah mengalami kemiskinan dan hinaan, kami juga pernah!" ucap Bu Mardiyah padaku. "Saya juga kaget ketika mendengar toko kain Pak Handoko bangkrut, jadi ikut sedih. Apalagi kalian langsung pindah dari kampung ini, hilang tetangga baik saya satu-satunya," responku. "Bu Mardiyah tahu sendiri kan, waktu itu semua orang menjauhi saya. Hanya kalian yang masih mau kenal dengan saya.""Ternyata, tidak ada yang kekal di dunia ini. Kekayaan kami harus sirna,
"Justru, itu akan membantumu. Setelah Fai pulang sekolah, kamu bisa mengantarnya ke pondok dan menjemputnya kembali saat pulang kerja. Dengan begitu, kamu bisa tenang meninggalkannya mencari nafkah," kata Pak RT."Pekerjaan saya juga gak tetap, Pak," keluhku."Saya dengar, Juragan Guntur membeli dua mesin cuci. Dia hendak membuka usaha cuci baju, dan membutuhkan pegawai. Sepulang dari sini, cepat-cepatlah kamu melamar ke rumahnya. Siapa tahu jadi rezekimu bekerja di tempatnya. Juragan Guntur tak pernah pelit dalam memberi, gajimu nanti pasti lumayan." Pak RT memberiku arahan.Mendengar kabar itu, aku sangat senang. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kini terbuka lebar. Aku pun pulang dengan melangkahkan kaki sedikit berlari, agar sampai di rumah Juragan Guntur dengan segera, untuk meminta pekerjaan padanya.*"Untung kamu datang tepat waktu, Nis. Sudah banyak yang datang minta pekerjaan. Tapi saya hanya butuh tiga orang, yang dua orang sudah saya tetapkan. Tinggal satu orang lagi,
Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. “Itu Dian, Fai,” ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. “Aku tahu,” jawabku. “Kalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,” lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. “Dari mana aku harus mulai bicara?” tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. “Ayo kutemani,” bisiknya. “Kau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.” Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. “Kau yakin, Mel?” tanyaku. “Soal apa?” “Kau sudah mengikhla
“Pelankan suaramu, Fai!” titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. “Fai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak
Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i
“Siapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, “ jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. “Kalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. “ Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. “Gak suka, ah. Geli, “ balas Meli. “Ayo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.” Ayah membujuk
“Ya, itu buktinya,” ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya ‘simeut’. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. “Dari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?” tanyaku. “Tadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!” jawab Meli dengan raut wajah gembira. “Katanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.” Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. “Oh ya, aku sama sekal
“Sudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,” jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, “kenapa, Di?” “Benar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,” jawab Bu Mardiyah. “Setelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.” “Bu—“ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. “Benarkah itu, Di?” tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. “Ah, jangan
“Kena AC mobil,” jawabku. Akhirnya, mau tak mau aku harus menatapnya juga. Dian tersenyum tipis dan sikapnya masih canggung. Mengetahui kedatanganku dan Linda untuk menjenguk Bu Mardiyah, Dian langsung mempersilakan kami masuk. Hampir tak ada perabot yang mengisi rumahnya. Hanya TV yang terpajang di atas rak dan lemari kaca kosong di sebelah pinggir. Ditambah satu set sofa lengkap dengan meja tamu di dekat pintu masuk. Setelah puluhan tahun, ini baru pertama kalinya aku masuk lagi ke rumah Dian. Walau rumahnya besar, tapi isinya kosong. Keadaan yang jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat keluarga Bu Mardiyah masih berjaya. Perabotan rumahnya lengkap dan mahal. Bahkan, terkadang ia menyombongkan barang-barang yang dimilikinya. Ternyata seperti inilah gambaran hidup, tak selamanya yang kita miliki kekal dalam genggaman, kalau tidak bijak menggunakan harta maka bisa lenyap kapan saja. Dan melihat kondisi rumah ini sekarang, aku jadi percaya bahwa keuangan Dian sedang tidak baik-
Tiba-tiba seseorang menggandeng tanganku di tengah kerumunan, membuatku tersadar. Ternyata Linda. Ia menarikku ke depan toko kue.“Kamu bikin kaget aja. Kukira orang iseng,” kataku.Linda mengernyit dan terlihat khawatir. “Habisnya kamu melamun dan diem di tempat, di tengah-tengah jalan lagi. Gimana kalau kesenggol orang? Aku merhatiin kamu lho, dari tadi aku di sini dan langsung kutarik aja tanganmu. Kamu mikirin apa sih Fai, sampai kayak orang linglung begitu?”Aku mengerjap, pikiranku masih terpaut pada Dian. Aku dan Linda janjian di toko kue yang letaknya di dalam pusat perbelanjaan ini. Hanya saja karena pikiranku tak fokus, aku jadi banyak melamun dan kakiku seakan terkunci.“Kamu mikirin apa?” ulang Linda sambil memilih kue. “Eum, apa soal pernikahanmu yang gagal ya?” Aku mengangguk.“Kalau kamu butuh teman curhat, ngomong aja ke aku. Gak apa-apa kok, sesekali kan kamu perlu sharing, jangan nyimpan semuanya sendiri. Gak baik buat kesehatan mentalmu,” lanjut Linda.Aku pun men
“Sakit apa, Pak?” Salah seorang diantara mereka berhenti dan bertanya pada Dian. Aku mendengarkan sambil menyirami tanaman. “Sudah seminggu ini badan Ibu mengigil. Tak tahu kenapa. Cuma Ibu cuek, dia rasa baik-baik saja. Puncaknya, tengah malam tadi Ibu tak bisa bangun,” jawab Dian. Seminggu? Berarti ketika Bu Mardiyah menemuiku saat aku hendak pergi ke Batukaras beberapa hari yang lalu, ia sedang sakit? Pantas saja waktu itu aku melihatnya pakai syal yang dililitkan ke leher. Semalam waktu datang ke rumah, syal itu masih terpasang dan Bu Mardiyah juga memakai mantel tebal. Namun, ia terlihat baik-baik saja. “Cepat sembuh untuk ibumu, Pak. Saya salut sama Pak Dian, mau menggantikan pekerjaan ibumu di saat ia sedang sakit.” “Cepat carikan menantu untuk Bu Mardiyah, Pak.” Begitulah kata-kata terakhir mereka sebelum berangkat ke pasar. Dian langsung menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandangan. Dian masih sama seperti yang dulu. Penuh kasih sayang dan berbudi. Kurasa ia memang tid