Fai menganggukkan kepala pada Bu Mardiyah sebagai salam hormat.
"Itu Fai, ya? Wah ... Fai tumbuh jadi gadis yang cantik," ujar Bu Mardiyah.
"Iya, Bu." Faihatun tersipu mendapat pujian dari Bu Mardiyah.
Aku mendengarkan percakapan mereka berdua yang terlihat sangat asyik. Bu Mardiyah berpindah tempat duduk mendekati Fai.
"Fai masih ingat sama Dian?" tanya Bu Mardiyah.
"Iya, Bu. Dian teman Fai waktu masih kecil," jawab Fai.
"Sekarang Dian sudah jadi PNS. Berkat kamu, Fai ...."
"Lho? Kok berkat saya, Bu?" Fai terlihat heran. Aku menepuk pundaknya.
"Di desa, kami hidup sulit. Selepas diwisuda, Dian selalu termenung di teras rumah. Kupikir karena ia frustasi belum mendapatkan pekerjaan. Setelah kutanya ... rupanya ia sedang mengingatmu. Sebagai seorang ibu, tentu saya tahu apa yang sedang dialaminya. Akhirnya saya jadikan kerinduannya padamu sebagai motivasi untuk membuatnya bangkit," jelas Bu Mardiyah.
Fai masih tampak kebingungan, atau pura-pura bingung? Entahlah, yang pasti ia sangat tersanjung mendengar cerita itu. "Saya tidak mengerti maksud Ibu," kata Fai sambil tersipu.
"Dian menyukaimu, dia kangen sama kamu!" Aku membantu menjelaskan. Fai dan Bu Mardiyah tertawa kecil. "Bu Mardiyah memanfaatkan kesempatan itu agar anaknya mau mencari pekerjaan yang layak, sehingga bisa menabung untuk biaya pindah ke desa ini lagi. Dian ingin tetanggaan sama kamu, Fai. Biar bisa dekat-dekat terus," lanjutku.
Bu Mardiyah mengusap-usap pundak Fai. Anakku itu tersenyum kemudian menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.
"Kenapa, kok malu-malu begitu?" Bu Mardiyah menggoda Fai.
"Jelas, saya malu," ucapnya.
"Lha, kan kamu dan Dian sudah dewasa. Sudah saatnya untuk mengakui perasaan. Perasaan suka itu wajar," kataku.
Pertemuan dengan tetangga lamaku malam ini membawa kabar bahagia untuk Fai. Sudah lama anakku menahan kerinduan pada lelaki yang dicintainya itu. Walaupun Fai tak pernah menceritakannya, tetapi aku tahu banyak hal tentang kecintaannya pada Dian—teman semasa kecilnya—karena setiap menjelang tidur, Fai selalu menuliskan perasaannya di buku diary, lalu menggeletakkannya begitu saja, sehingga aku bisa membacanya.
Waktu salat tarawih pun tiba. Kami mengatur shaf serapi mungkin.
🍂🍂🍂
"Bilang apa ketika mendapat nikmat yang banyak, Fai?" tanyaku mengetes.
"Alhamdulillahirobbil'alamiin," jawab Fai seraya mengangkat kedua telapak tangannya, sejajar dengan wajah polosnya.
"Bagus. Anak pintar!" Aku memang selalu memberinya pujian setiap kali dia melakukan hal yang benar.
Malam itu, makanan yang diberikan Juragan dan Nyonya guntur sudah habis kami makan. Rasa lapar setelah seharian berpuasa dan bekerja keras, membuat perutku minta nambah lagi dan lagi. Terlebih Fai, dia sangat lahap karena baru pertama kali mendapat makanan lezat.
"Bu, Nyonya Guntur orang kaya, ya?" Fai bertanya.
"Iya, Fai," jawabku.
"Kalau kita? Orang miskin, ya?" Fai bertanya lagi, membuatku kesulitan menjawab.
"Fai kenapa bertanya seperti itu?"
Anak itu hanya bisa menunduk, dengan ekspresi yang takut dimarahi. Mungkin ia berpikir aku akan memarahinya. "Fai, Ibu tidak marah padamu. Ibu hanya ingin tahu, kenapa Fai bertanya seperti itu?"
"Bu, kenapa orang lain kaya sementara kita miskin?" Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah memberiku pertanyaan yang lebih sulit lagi.
Aku berpikir sejenak untuk menemukan jawabannya. Akhirnya aku teringat ceramah sewaktu menepi di teras masjid.
"Fai, di mata Alloh tidak ada yang namanya kaya atau miskin ... yang ada hanyalah beriman atau tidak. Alloh telah menjamin rezeki semua makhluknya, mau yang kaya atau yang miskin ... pasti diberi rezeki oleh-Nya. Tugas kita hanya berusaha dan bersyukur. Lagipula, tidak ada bedanya yang kaya dan yang miskin," jawabku menirukan perkataan ustad di masjid sore itu.
Entahlah, anak sekecil itu apakah akan mengerti atau tidak dengan maksud perkataanku barusan.
"Jelas beda, Bu. Orang kaya bisa makan enak sementara orang miskin sering kelaparan. Kita sering kelaparan, berarti kita orang miskin kan, Bu?"
Astaghfirulloh, aku hanya bisa membatin kala itu. Bagaimana anak sekecil Fai bisa berpikiran begitu? Walaupun apa yang dikatakannya benar, tapi dari mana Fai mendapatkan kata-kata itu?
"Fai ... dari mana kamu mendapat kata-kata itu?" tanyaku.
"Tadi sewaktu pulang sekolah, Fai mengantar Dian ke rumahnya. Terus main sebentar di sana. Bu Mardiyah mengajak Fai ngobrol dan dia bilang seperti itu. Dia menyuruh Fai untuk menanyakannya kepada ibu, karena Fai tak percaya apa yang dikatakannya," jawabnya.
Subhanalloh, ternyata Bu Mardiyah dalangnya! Dia meracuni pikiran Fai dengan perbedaan kaya dan miskin. Aku tak berkenan dengan hal itu, karena takut anak sekecil Fai akan salah mengartikannya kemudian menjadi minder dengan kemiskinannya.
Waktu itu, ketika masih berjaya dengan usaha kainnya ... Bu Mardiyah memang orang yang cenderung sombong.
"Fai lebih percaya ibu atau Bu Mardiyah?" tanyaku lagi. "Dengar, tak ada yang namanya kaya atu miskin di mata Alloh. Yang ada hanya orang yang beriman dan tidak beriman. Itulah yang harus kau ingat. Kaya atau miskin tak penting! Yang penting kita beriman!" tegasku.
Fai menunduk patuh. Ia berhenti menjawab dan tak membantah lagi.
"Mengerti, Fai?"
"Iya, Bu ...," jawabnya.
Perdebatan dengan Fai kecil, berhenti saat itu juga. Kemudian kami membereskan bekas makan yang berserakan di meja. Semua makanan yang dikirim masak sudah habis. Tinggal sisa beras, minyak, telur dan bumbu-bumbu. Beberapa potong buah masih tersisa, kusimpan di tempat yang baik agar tak cepat busuk. Akan kujadikan menu sahur.
"Fai, nanti sahur dengan ceplok telur saja, ya," kataku pada Fai..
"Baik, Bu. Alhamdulillah," jawabnya.
Aku tersenyum penuh syukur. Anak itu tak lagi mengeluhkan perihal kaya atau miskin, dan bersyukur ketika mendengar menu sahur hanya dengan telur ceplok.
Dengan perut terisi penuh, malam itu kami mencuci piring bersama. Fai memaksa untuk membantuku walau sudah kucegah. Katanya, "kasihan Ibu, sudah lelah seharian bekerja."
Hingga adzan Isya berkumandang, terdengar suara anak kecil memanggil Fai.
"Faihatun ... ayo berangkat tarawih!" sahutnya.
"Bu, itu suara Dian!" ujar Fai dengan tangan masih penuh sabun cuci piring.
"Ya sudah, kamu berangkat tarawih duluan, nanti ibu menyusul. Bersihkan dulu tanganmu!" titahku.
Fai berlari kecil mengambil mukena ke kamar, kemudian berangkat tarawih bersama Dian. Setiap langkah kaki mungil itu masih kuingat hingga sekarang.
🍂🍂🍂
Hari keempat di bulan Ramadhan tahun 2021, kami baru saja tiba di rumah setelah selesai shalat tarawih berjamaah di masjid.
Fai membantuku duduk di sofa untuk menonton TV ketika suara pintu rumah diketuk.
"Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar.
Fai mendekati pintu, dan mengintip dari jendela. Kemudian ia kembali lagi kepadaku dan berbisik, "Bu ... itu Dian! Suruh masuk atau jangan?" katanya.
"Lho, kok malah nanya ... ya suruh masuk, atuh. Kan kasihan," jawabku."Hihi, Fai gugup, Bu ...," kata Fai."Bersikap sewajarnya saja." Aku menasihati FaiSelama ini, Fai tak pernah berpacaran atau sekedar memiliki teman lelaki. Aku cukup mengkhawatirkan hal itu karena usia Fai sudah tiga puluh tahun, usia yang cukup untuk berumahtangga. Sementara aku pun mulai lemah dimakan usia yang menginjak lima puluh delapan tahun. Aku ingin, Fai segera bertemu jodohnya.Tak lama kemudian, Fai mengajak Dian masuk ke rumah dan duduk di sampingku. Mereka tampak serasi walaupun masih malu-malu, karena lama tak bertemu. Seandainya mereka berjodoh, aku sangat senang. Insyaalloh, mereka sama-sama shaleh. Dulu, keduanya tumbuh bersama dan harus terpisah saat menginjak remaja."Bu, apa kabar?" sapa Dian seraya memberikanku beberapa bingkisan buah tangan yang dibungkus hiasan indah."Alhamdulillah," jawabku. "Kudengar, keluargamu kembali pindah ke sini. Saya senang tetanggaan dengan kalian lagi.""Iya, Bu
"Ibu mau nyuci lagi? Di mana, Bu?" tanya Fai."Belum tahu, Fai. Belum ada yang nyuruh Ibu," jawabku.Fai mengangguk. Aku mengajaknya tidur agar dia tidak mengantuk ketika bangun sahur nanti. Tempat tidur kami hanyalah selembar kasur lepek yang sudah usang, diletakkan di lantai karena ranjang satu-satunya yang kami punya sudah dijual untuk membeli beras dan membayar kebutuhan.Rumah yang kutinggali bersama Fai waktu itu adalah peninggalan ayahku. Sebelumnya, kami tinggal bersama Mas Hendra di rumah gedong. Namun, dijual beserta isinya karena harus menutupi utang dagang. Ketiga toko yang dimiliki Mas Hendra juga dijual. Kami bangkrut, dan Mas Hendra kabur. Alhasil, aku dan Fai harus kembali ke rumah gubuk peninggalan ayahku."Bu, Fai lapar," katanya ketika mata hendak terlelap."Masih ada nasi dan goreng telur sisa buka puasa tadi maghrib. Sebentar, Ibu ambilkan ya," kataku.Fai menggeleng. "Bukan, Bu. Fai ingin makan cemilan, bukan makan nasi," lirihnya, memelas."Tak ada Fai. Tidurla
"Bu, saya kan mau beli, bukan mau mengemis. Kenapa menyiram saya dengan kopi hitam?" lirihku. "Rasakan itu, perebut suami orang! Dulu kau merebut Hendra dari Lisna, karena kau matre! Sekarang kau jatuh miskin! Rasakanlah! Sana kau pergi, jangan belanja di tokoku! Tak sudi aku menerima uang darimu!" hardik Bu Beni.Aku menahan air mata agar tak mengalir lebih deras. Kekesalannya padaku adalah hal wajar, aku dulu memang orang sombong yang membanggakan kecantikanku. Aku juga telah merebut suami orang, hingga semua orang membenciku. Kini setelah miskin, aku sadari semua kesalahanku dan bertaubat. Namun, rupanya beberapa orang memang belum bisa melupakan masa laluku. Dan masih mencapku sebagai pelakor.Langkah kaki membawaku pulang ke rumah, bajuku kotor terkena siraman air kopi. Sesampai di rumah, Fai berlari ke arahku, ia baru saja pulang sekolah, masih mengenakan seragamnya yang mulai kekecilan."Kenapa baju Ibu kotor?" Fai bertanya."Ibu terjatuh," jawabku singkat lalu bergegas masuk
"Dih, bicaramu udah kayak ustad aja," seloroh Pak Handoko."Aku mengutip kata-kata seorang bijak, Pak," jawab Dian.Kami semua tertawa. Bu Mardiyah menepuk lengan suaminya, "biarkan Dian 'beraksi' di hadapan calon mertuanya, Pak!" katanya sambil mengedipkan mata, membuat suasana semakin hangat karena kami tertawa lagi."Memang bener, kok. Kita juga pernah mengalaminya waktu usaha Bapak bangkrut dan harus pindah ke desa. Segala macam kesulitan datang bertubi-bertubi," lanjut Dian."Iya betul, Bu. Di dunia ini bukan hanya kalian saja yang pernah mengalami kemiskinan dan hinaan, kami juga pernah!" ucap Bu Mardiyah padaku. "Saya juga kaget ketika mendengar toko kain Pak Handoko bangkrut, jadi ikut sedih. Apalagi kalian langsung pindah dari kampung ini, hilang tetangga baik saya satu-satunya," responku. "Bu Mardiyah tahu sendiri kan, waktu itu semua orang menjauhi saya. Hanya kalian yang masih mau kenal dengan saya.""Ternyata, tidak ada yang kekal di dunia ini. Kekayaan kami harus sirna,
"Justru, itu akan membantumu. Setelah Fai pulang sekolah, kamu bisa mengantarnya ke pondok dan menjemputnya kembali saat pulang kerja. Dengan begitu, kamu bisa tenang meninggalkannya mencari nafkah," kata Pak RT."Pekerjaan saya juga gak tetap, Pak," keluhku."Saya dengar, Juragan Guntur membeli dua mesin cuci. Dia hendak membuka usaha cuci baju, dan membutuhkan pegawai. Sepulang dari sini, cepat-cepatlah kamu melamar ke rumahnya. Siapa tahu jadi rezekimu bekerja di tempatnya. Juragan Guntur tak pernah pelit dalam memberi, gajimu nanti pasti lumayan." Pak RT memberiku arahan.Mendengar kabar itu, aku sangat senang. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kini terbuka lebar. Aku pun pulang dengan melangkahkan kaki sedikit berlari, agar sampai di rumah Juragan Guntur dengan segera, untuk meminta pekerjaan padanya.*"Untung kamu datang tepat waktu, Nis. Sudah banyak yang datang minta pekerjaan. Tapi saya hanya butuh tiga orang, yang dua orang sudah saya tetapkan. Tinggal satu orang lagi,
Di malam takbir tahun 1998, Nyonya Guntur mengalami kecelakaan sepulang membagi THR kepada fakir miskin yang hidup di jalanan. Ia ditabrak orang tak dikenal dan langsung meninggal di lokasi kejadian.Empat bulan setelahnya, aku diperistri Juragan Guntur setelah mendapat keputusan perceraian dari pengadilan agama, dan selesai masa iddah.Pernikahan itu bukan tanpa pertimbangan. Dahulu, Nyonya Guntur menerimaku bekerja di rumahnya bukan hanya untuk menjadi buruh cuci saja, melainkan sekaligus untuk mengasuh Meli. Sehingga ketika Nyonya meninggal, Meli sangat terpukul. Ia tak mau jauh dariku. Aku pulang ke rumah pun, ia selalu memaksa ikut. Karena itulah akhirnya Juragan Guntur menikahiku demi Meli, agar aku setiap hari bisa tinggal di rumahnya.Aku pun menikah dengan Juragan demi Fai. Karena Juragan menjanjikan hidup yang layak untuk kami. Namun, pernikahanku bukanlah pernikahan yang indah. Walaupun orang mengenalku sebagai Nyonya Guntur yang baru, kenyataannya aku tetaplah Anisa Si Bur
*Pernah ada yang bertanya padaku, kenapa bisa mencintai anak tiri seperti anak sendiri. Jawabanku, mungkin karena aku tak memiliki anak kandung, sehingga tak tahu bedanya menyayangi keduanya.Yang kutahu, manusia dibekali kasih sayang oleh Yang Maha Kuasa. Dan itu tidak dibatasi untuk diberikan kepada orang-orang tertentu saja. Kasih sayang, harus kita berikan pada siapa pun yang membutuhkan.Fai dan Meli sangat butuh kasih sayangku. Maka aku pun harus memberikannya pada mereka. Jika boleh berkata bijak, itulah alasanku yang sesungguhnya.Pagi ini aku duduk di teras rumah, di atas sebuah kursi rotan yang masih kokoh walau sudah berpuluh tahun kududuki. Kursi peninggalan orangtuaku, yang tak pernah bergeser posisinya sejak rumah ini masih berupa gubuk, hingga kini telah direnovasi menjadi rumah kekinian yang sangat layak huni. Di atas kursi inilah aku melihat Meli tengah menyiram bunga di halaman. Sesekali matanya melirik ke rumah Bu Mardiyah, berharap bisa menangkap sosok Dian pujaa
Kedatangan Meli membekukan suasana. Ia bak tamu tak diundang, yang tak diharapkan kehadirannya oleh Fai. Sementara, Meli masih berdiri di sana. Ia menatap lekat pada Dian, tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Cincin emas putih melingkar di jari manis Fai, Meli mengalihkan pandangannya pada itu. Ia pasti sudah mengerti apa yang telah terjadi antara Fai dan Dian.Dari sini aku menyaksikan sendiri perubahan raut wajah Meli. Ia kecewa, marah, dan ingin berontak. Genangan di sudut matanya mulai menetes. Namun, itu bukanlah tangisan kesedihan. Sesuatu pasti pernah terjadi antara Meli dengan Dian. "Inikah jawabanmu?" Meli bersuara, seperti meminta kepastian kepada lelaki yang kini telah resmi menjadi calon suami Fai.Dian tampak menahan kaget melihat kedatangan Meli, apalagi ketika mendapatkan pertanyaan itu, ia sama sekali tak berani mengangkat kepalanya dan terus menunduk. Dan Fai ... tak perlu kuceritakan sehancur apa perasaannya saat Meli merusak momen bahagia yang sudah lama
Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. “Itu Dian, Fai,” ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. “Aku tahu,” jawabku. “Kalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,” lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. “Dari mana aku harus mulai bicara?” tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. “Ayo kutemani,” bisiknya. “Kau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.” Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. “Kau yakin, Mel?” tanyaku. “Soal apa?” “Kau sudah mengikhla
“Pelankan suaramu, Fai!” titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. “Fai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak
Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i
“Siapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, “ jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. “Kalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. “ Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. “Gak suka, ah. Geli, “ balas Meli. “Ayo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.” Ayah membujuk
“Ya, itu buktinya,” ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya ‘simeut’. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. “Dari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?” tanyaku. “Tadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!” jawab Meli dengan raut wajah gembira. “Katanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.” Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. “Oh ya, aku sama sekal
“Sudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,” jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, “kenapa, Di?” “Benar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,” jawab Bu Mardiyah. “Setelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.” “Bu—“ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. “Benarkah itu, Di?” tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. “Ah, jangan
“Kena AC mobil,” jawabku. Akhirnya, mau tak mau aku harus menatapnya juga. Dian tersenyum tipis dan sikapnya masih canggung. Mengetahui kedatanganku dan Linda untuk menjenguk Bu Mardiyah, Dian langsung mempersilakan kami masuk. Hampir tak ada perabot yang mengisi rumahnya. Hanya TV yang terpajang di atas rak dan lemari kaca kosong di sebelah pinggir. Ditambah satu set sofa lengkap dengan meja tamu di dekat pintu masuk. Setelah puluhan tahun, ini baru pertama kalinya aku masuk lagi ke rumah Dian. Walau rumahnya besar, tapi isinya kosong. Keadaan yang jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat keluarga Bu Mardiyah masih berjaya. Perabotan rumahnya lengkap dan mahal. Bahkan, terkadang ia menyombongkan barang-barang yang dimilikinya. Ternyata seperti inilah gambaran hidup, tak selamanya yang kita miliki kekal dalam genggaman, kalau tidak bijak menggunakan harta maka bisa lenyap kapan saja. Dan melihat kondisi rumah ini sekarang, aku jadi percaya bahwa keuangan Dian sedang tidak baik-
Tiba-tiba seseorang menggandeng tanganku di tengah kerumunan, membuatku tersadar. Ternyata Linda. Ia menarikku ke depan toko kue.“Kamu bikin kaget aja. Kukira orang iseng,” kataku.Linda mengernyit dan terlihat khawatir. “Habisnya kamu melamun dan diem di tempat, di tengah-tengah jalan lagi. Gimana kalau kesenggol orang? Aku merhatiin kamu lho, dari tadi aku di sini dan langsung kutarik aja tanganmu. Kamu mikirin apa sih Fai, sampai kayak orang linglung begitu?”Aku mengerjap, pikiranku masih terpaut pada Dian. Aku dan Linda janjian di toko kue yang letaknya di dalam pusat perbelanjaan ini. Hanya saja karena pikiranku tak fokus, aku jadi banyak melamun dan kakiku seakan terkunci.“Kamu mikirin apa?” ulang Linda sambil memilih kue. “Eum, apa soal pernikahanmu yang gagal ya?” Aku mengangguk.“Kalau kamu butuh teman curhat, ngomong aja ke aku. Gak apa-apa kok, sesekali kan kamu perlu sharing, jangan nyimpan semuanya sendiri. Gak baik buat kesehatan mentalmu,” lanjut Linda.Aku pun men
“Sakit apa, Pak?” Salah seorang diantara mereka berhenti dan bertanya pada Dian. Aku mendengarkan sambil menyirami tanaman. “Sudah seminggu ini badan Ibu mengigil. Tak tahu kenapa. Cuma Ibu cuek, dia rasa baik-baik saja. Puncaknya, tengah malam tadi Ibu tak bisa bangun,” jawab Dian. Seminggu? Berarti ketika Bu Mardiyah menemuiku saat aku hendak pergi ke Batukaras beberapa hari yang lalu, ia sedang sakit? Pantas saja waktu itu aku melihatnya pakai syal yang dililitkan ke leher. Semalam waktu datang ke rumah, syal itu masih terpasang dan Bu Mardiyah juga memakai mantel tebal. Namun, ia terlihat baik-baik saja. “Cepat sembuh untuk ibumu, Pak. Saya salut sama Pak Dian, mau menggantikan pekerjaan ibumu di saat ia sedang sakit.” “Cepat carikan menantu untuk Bu Mardiyah, Pak.” Begitulah kata-kata terakhir mereka sebelum berangkat ke pasar. Dian langsung menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandangan. Dian masih sama seperti yang dulu. Penuh kasih sayang dan berbudi. Kurasa ia memang tid