Begitu membuka pintu, Jeceline terpaku melihat Hillary dengan perut membesar di depan pintu. Adegan yang sama persis saat pertama kali kebenaran pahit terungkap. Jika dulu wanita di depannya terasa asing, tapi sekarang tak lagi. Seberapa keras Jeceline menghindari masalah ini, tetap tak bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi. Justru semakin membuat luka lebih besar. “Untuk apa kau datang kemari?” tanya Jeceline masih memasang wajah datar. Hillary tak menjawab, dia segera menerobos masuk, bahkan dengan sengaja menggunakan perut besarnya untuk menyingkirkan Jeceline yang menghalangi pintu masuk. Tentu saja Jeceline tak mungkin mendorongnya keluar dan mencelakai dua nyawa sekaligus. “Jangan melewati batas, Hillary. Meski kau mengandung anak Kevin, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya masuk ke rumah orang!” Jeceline menutup kembali pintu rumah lalu mengikuti Hillary dari belakang yang dengan santainya berjalan dan duduk di sofa ruang tamu. “Bu Selin juga tahu sendi
Rupanya ancaman Hillary berhasil, dari cara bicara Kevin terdengar sangat mengkhawatirkan sesuatu hal terjadi pada calon anaknya, bahkan tanpa memikirkan perasaan Jeceline Kevin memintanya untuk menjaga bayi di dalam kandungan Hillary. Jeceline terdiam, membendung sendiri bening di kelopak matanya yang secara tiba-tiba muncul akibat mendengarkan permintaan Kevin yang benar-benar tak berperasaan. Dalam keterpaksaan bibir Jeceline menyetujui keinginan itu, tapi bukan berarti karena memikirkan nyawa bayi dalam perut Hillary melainkan tak ingin membuat Kevin tidak fokus dengan pekerjaannya. “Tapi Kevin, anakmu membutuhkanmu sekarang. Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus pulang sekarang!” bentak Hillary mulai kesal. Ancamannya sama sekali tidak dianggap oleh Kevin, dan justru membuat dia malu di hadapan Jeceline karena tidak menunjukkan kemenangannya. Jeceline yang sudah tak tahan dengan sikap Hillary, merampas ponsel dan segera mengakhiri panggilan itu. “Selin....” Hil
Sejenak Kevin terdiam, memikirkan sesuatu, “Hillary adalah gadis yang sangat kasihan, Julius, kau tahu itu. Mungkin di awal aku keliru dengan perasaanku dan mengira itu adalah cinta. Namun sekarang tidak akan lagi, sebab seseorang yang mencintaiku telah terluka begitu dalam.” Julius mengangguk mengerti dengan maksud Kevin. Dia kembali fokus menyetir dan tak lagi mengajukan pertanyaan yang jelas akan membuat suasana hati Kevin berubah. Apalagi saat Hillary datang membawa masalah, sikap Kevin berubah, dia lebih pendiam dari biasanya bahkan sering lupa dan tidak konsentrasi di depan umum. Bahkan berat badannya turun drastis sebab tak punya selera makan seperti biasa. Di sisi lain, Hillary yang terbaring di ranjang, menolak untuk makan karena kesal dengan Kevin. Dia sengaja berbuat seperti itu untuk mencari perhatian terlebih ingin membalaskan dendam pada Jeceline karena meremehkannya. Namun begitu seorang perempuan masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi sepiring makan
“Tidak mungkin!” Kevin menepis perkataan Hillary sebab baginya Jeceline tidak akan pernah melakukan hal buruk seperti itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Dia meraih tangan Hillary sekali lagi sembari menepuk punggung telapak tangannya, “dia itu istriku, aku sangat mengenal temperamennya seperti apa. Apalagi kau sekarang mengandung anakku, tentu saja dia lebih tak ingin sesuatu hal buruk terjadi padamu.” Hillary tersedu, dalam hatinya begitu kesal sebab Kevin sangat mempercayai Jeceline. Namun hal ini tak membuat dia menyerah untuk mencapai tujuannya. Tangan yang dipegang Kevin ditarik perlahan bersamaan dengan embusan napas pasrah yang terdengar begitu panjang. “Aku sangat merasa bersalah sebab telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kalian, jadi memikirkan untuk datang menemui Bu Selin dan meminta maaf padanya ... tapi tak disangka dia malah menyuruhku meminum racun tikus.” Hillary tersedu di sela perkataan sembari mengelus lembut perutnya yang membulat besar, “tapi
Dering ponsel yang berbunyi melerai rangkulan Kevin di tubuh Hillary. Dia merogoh saku setelan jas. Efek terkejut terpancar dari matanya begitu mengetahui penelepon itu adalah Jeceline. Ekspresi Kevin diperhatikan jelas oleh Hillary, “apa itu Selin?” Pertanyaan itu dibalas dengan anggukkan kepala Kevin. Namun Hillary begitu cepat menahan tangan Kevin, menghentikan niat untuk menjawab panggilan itu. “Tinggallah semalam di sini. Temani aku,” bujuk Hillary meratap Kevin, “aku mohon Kevin, demi anakmu, temani dia malam ini saja,” lagi ucapnya sambil mengelus perut yang membesar. Kevin terdiam sejenak, menatap ragu di layar ponsel lalu menoleh ke wajah Hillary. Semenit dia habiskan untuk berpikir mengenai keputusan apa yang harus diambil hingga pada akhirnya ponsel berhenti berdering. Kevin mengangguk, memilih untuk menyetujui permintaan Hillary. Namun bukan berarti karena memiliki perasaan lebih terhadap Hillary, tapi rasa empati dengan kondisi tubuhnya dan juga demi c
Kevin terdiam, membiarkan Jeceline keluar dari mobil dengan sendirinya. Dia masih mencerna apa maksud dari perkataan Jeceline yang membuat suatu pukulan kuat di dalam dada. “Julius, apa Bu Selin tahu aku menginap semalaman di villa Hillary?” tanya Kevin mencurigai maksud perkataan Jeceline yang menyinggungnya. Julius memaku sejenak dalam satu titik, memasang ekspresi seolah berusaha mengingat sesuatu. “Mungkin suara mobil yang kudengar tadi malam adalah mobil Bu Selin,” jawab Julius menerka-nerka. Kevin mengatup rapat kedua bibirnya, merutuki diri sendiri karena Jeceline telah mengetahui kebohongannya. “Kenapa kau tidak memberitahukan masalah ini padaku secepatnya?!” kesal Kevin menatap pantulan bayangan Julius di cermin yang ada di depan. “Tuan, semalam aku ingin memberitahukan hal itu padamu, tapi tidak mungkin aku mengganggu kalian berdua di dalam kamar,” balas Julius mengelak kesalahan yang ditimpahkan padanya. “Kau pikir apa yang aku lakukan bersama Hillar
“Semalam aku hanya menemani dia tidur, tidak lebih dari itu. Aku juga terpaksa menuruti permintaannya hanya karena mengingat anakku di dalam rahimnya. Dia sedang sakit, Selin, aku hanya mengkhawatirkan calon anakku.” Jeceline masih terdiam, tenggelam dalam sorotan manik hitam Kevin, mendengar serta memahami bagaimana perasaan Kevin jika mereka bertukar posisi. Namun hati Jeceline sudah terlanjur kecewa, bagaimana bisa seorang anak yang belum terlahir menggantikan posisinya secepat itu. Jika nanti anak itu terlahir, suasana dalam kehidupan rumah tangga mereka sudah tak sama lagi karena anak itu adalah bukti pengkhianatan Kevin yang akan hidup bersama dengannya. Bahkan mungkin nanti akan merampas hak anak pertama dalam kehidupan mereka berdua. Jeceline menghela napas panjang begitu mengingat acara pembukaan yayasan panti asuhan. Di sana banyak sekali anak-anak yang datang dengan nasib berbeda-beda, dibuang di depan pintu yayasan, diterlantarkan di jalanan, dan ada yang s
“Selama tujuh tahun ini, aku selalu mempercayaimu, memahami kesibukkanmu di luar sana meski sebenarnya aku sangat membutuhkan waktu berduaan yang lama bersamamu tanpa halangan panggilan tugasmu itu!” Jeceline mengungkapkan semua beban yang selama ini disimpannya karena tak mau Kevin terbeban. Namun sekarang, setelah mendapatkan luka teramat dalam, simpul itu telah terlepas sendiri. Kevin terbungkam, memilih tidak menyela saat Jeceline mengeluarkan semua bebannya selama tujuh tahun ini. Tanpa sadar kelopak mata Kevin mulai berkaca-kaca memperhatikan sorot mata Jeceline, seolah merasakan apa yang dirasakan istrinya itu. Sementara Jeceline masih terus mengungkapkan semua keluh kesah yang dia pendam sendiri. Dalam hatinya ada rasa lega meski telah bercampur dengan kepedihan. Bening di mata sudah tak bisa tertahankan sejak tadi, mengalir begitu saja setiap kali berucap. Saat semua telah berhasil dikeluarkan, dia terdiam. Suasana menjadi hening sebab Kevin tidak merespon. Je
Tangan Jeceline bergetar.Sayang sekali semua adegan itu hanya dalam pikiran. Hatinya tak cukup kuat untuk bertindak jahat.Selang beberapa jam bel rumah berbunyi.Ting!Tong!Bunyi bel yang tak berhenti membangunkan Jeceline yang saat itu tengah tertidur.Tak mau Hillary mendahuluinya membukakan pintu, ia pun bergegas keluar dari kamar.Klek!“Paket Makanannya, Bu.”Jeceline menatap bingung ke arah tas belanjaan yang dijinjing lelaki pengantar pesanan.“Maaf, Pak. Tapi aku tidak memesan apapun.”Lelaki yang berdiri di depan Jeceline kembali lagi mengecek nama pengirim di ponselnya lalu menunjukkan riwayat pemesanan.Jeceline akhirnya sadar. Ia menerima pesanan dan membayarnya.“Apa itu pesananku?”Baru saja berbalik, Hillary telah berdiri di depannya.“Kau membeli sebanyak ini, apa bisa dihabiskan?”Hillary tersenyum menantang sambil mengelus perutnya, “ini bukan keinginanku. Aku juga tak mengerti dengan perasaan ini.”“Aku harap, Bu Selin bisa memakluminya,” tambahnya lagi lalu mera
Rasanya seperti mimpi buruk yang berulang kali muncul dalam alam bawah sadar, seolah tak ingin membuatnya tersadar. Begitu masuk ke dalam rumah, bayangan seseorang yang dia kenali duduk bersandar di sofa tepat di ruang tamu. Rasa lelah bercampur dengan kekesalan mendesak langkah kaki Serafhine menuju ke ruang tamu. “Bagaimana kau bisa masuk?” Pertanyaan Jeceline tersela oleh suara yang sangat dikenali. Sontak dia menengok ke samping tepat dimana suara itu berasal. “Selin, kau sudah pulang? Maaf karena panik aku lupa memberitahukan hal ini padamu.” Lupa? Bagaimana mungkin hal sebesar ini bisa dilupakan. Pikiran Jeceline mulai mengada-ada dengan alasan yang kurang tepat dari Kevin. Bahkan ketika hendak berucap, kesabaran Jeceline diuji lagi sebab Kevin berjalan melewatinya dan justru memilih duduk di samping Hillary sambil memberikan segelas air minum. Berharap pemandangan yang ada di depan hanya mimpi. Kevin tidak mungkin
Bentakkan Leonora membuat semua terdiam. Kedua telapak tangannya yang masih menempel di meja kaca dikepalkan kuat bersamaan dengan tatapan kesal ke arah Bryan. “Lelaki tertua? Kau lupa perbuatan apa yang kau lakukan hingga membuat keluarga kita hancur!? Perlu aku mengingatkanmu lagi?!” Kedua lelaki yang tadinya begitu percaya diri kini memasang ekspresi berbeda. Bryan memilih diam dan pergi dari sana, sedangkan Kevin yang berusaha untuk menenangkan diri justru tak tahan dengan perkataan yang mengingatkan kembali tragedi yang terjadi pada ayahnya hingga dia terpaksa pergi meninggalkan Jeceline dan Leonora. Suasana makan malam yang dikira akan penuh dengan kehangatan, ternyata hanya membangkitkan dendam membara di masa lalu. Ditatapnya manik hitam milik dari wanita yang dikenal tegas dan tak pernah menunjukkan kelemahan. Kecanggungan Jeceline berubah saat melihat sepasang mata Leonora memerah. Meski sengaja disembunyikan, tapi sebagai seoran
Bryan melerai rangkulannya lalu tertawa kecil melihat Leanora, “apa Ibu sedang mengkhawatirkanku? Terima kasih! Aku sangat terharu. Kalau aku tidak di penjara hal semenarik ini tidak akan pernah aku nikmati.” “Apa maksudmu, Bryan? Kau adalah anakku juga—” “Sayang sekali,” sela Bryan memotong perkataan Leanora, “ucapanmu ini sedikit tak masuk akal. Diakui anak olehmu setelah keluar penjara membuatku merasa berada dalam mimpi.” “Tapi tak masalah, semua itu hanya masa lalu. Sekarang adalah lembaran baru bagiku, dan bagi keluarga besar kita, bukan?” “Baik! Kalau begitu lakukan saja sesukamu,” sambung Jeceline mengakhiri topik pembicaraan, “aku dan Ibu akan menyiapkan makan malam kita. Kevin, kau juga harus beristirahat.” Jeceline melirik Kevin sebelum menarik tangan Leanora untuk pergi meninggalkan mereka berdua. “Kau lihat, sikap anak itu sama sekali tidak berubah! Dia sama sekali tidak menghormatiku dan tidak mengan
“Lama tak jumpa, Selin. Bagaimana kabarmu?”!!! Mata Jeceline memaku melihat seorang pria yang tak asing berdiri di depan, menghalangi jalannya. “Bryan?—” “Sudah begitu lama, aku pikir kau telah melupakanku, Selin. Tak menyangka kau mengenaliku. Apa kau tak merindukanku?” Jeceline masih terpaku. Potongan rambut dan bentuk tubuh Bryan telah banyak berubah, tapi tetap saja cara berbicara dan tindakannya tidak berubah. “Berhenti di sana!” cegat Jeceline mengarahkan telapak tangannya ke depan hingga menghentikan langkah kaki Bryan yang sebentar lagi memposisikan begitu dekat jarak mereka berdua. “Kenapa? Apa Nyonya Andriko malu karena berbicara dengan seseorang sepertiku? Apa ini alasannya kalian tak menjemput kepulanganku?” “Bukan seperti itu, Bryan. Aku tak mau menimbulkan rumor buruk jika kita berdua bertemu di tempat umum seperti ini. Kevin dan Ibu baru-baru saja ke penjara tapi kau telah keluar sebelu
Leanora menundukkan wajahnya, “anggap saja Ibu tak pernah mengatakan hal ini. Dan tolong jangan memberitahukan pada Kevin kalau Ibu telah mengatakannya padamu. Dia akan marah besar pada Ibu.” ?? Apa hubungannya dengan dia? Rahasia keluarga apa lagi yang tersembunyi? “Aku justru akan mencari tahu lewat Kevin jika Ibu tidak mengatakannya dengan jelas.” Sorot mata Jeceline menjadi tegas. Diamnya mengartikan penantian penjelasan dari Leanora. Beberapa detik berlalu Leanora terlihat gelisah dengan tatapan Jeceline. Baru kali ini dia bimbang untuk mengatakan sesuatu. Biasanya dia tak pernah mementingkan perasaan orang lain dengan kata-kata menusuk, tapi sekarang seperti ada yang membungkam bibirnya agar tak berucap. “Karena Ibu sudah datang, apa salahnya jika memberitahukan semua padaku.” “Selin, sebenarnya….” Leanora menghentikan perkataannya, dia merogoh ke dalam tas lalu mengeluarkan map dan segera disodorkan ke arah Jeceline. Tanpa ragu-ragu, Jeceline yang ter
Jeceline mengangguk beberapa kali. Senyum muncul di wajahnya, “sangat puas dan sangat menikmatinya.” “Hmp!” dengus Kevin menyingkirkan tangan Jeceline yang masih merangkul tubuhnya, tapi tindakan itu tak berhasil sebab tangan Jeceline semakin erat. “Kevin, apa kau pikir kekhawatiranku terhadapnya karena alasan lain?” “Aku tahu, tapi tetap saja aku tak suka kau mengkhawatirkannya. Bagaimana pun kalian berdua pernah memiliki perasaan satu sama lain. Aku takut—” “Tidak lagi, Kev!” sela Jeceline meletakkan cepat jemari tangannya menempel di bibir Kevin. “Perasaanku terhadapnya telah menghilang sejak lama. Sejak aku memilihmu untuk menjadi pasangan hidupku.” Jeceline berucap pelan hingga terdengar suara serak lembutnya. “Aku mengkhawatirkannya karena aku takut dia melakukan kesalahan yang sama, mencelakaimu seperti dulu. Bagaimana pun aku masih mengingat apa yang dia katakan di saat terakhir, aku takut dia membalaskan semuanya pada kita.” Kira-kira hanya sep
“Ibu, cukup!” gertak Kevin dengan suara lantang. Aura di dalam ruangan semakin dingin. Kedua orang ini selalu tak pernah akur setiap kali bertemu. Untung saja mereka berada dalam ruang VIP, jadi tak akan ada yang melihat atau pun mendengar seperti apa konflik di antara ibu dan anak ini. Jeceline menenangkan Kevin dengan menyentuh pahanya, “tenanglah. Jangan bicara terlalu kasar pada Ibu.” Bagi Jeceline singgungan ini sudah menjadi makanan sehari-hari setiap kali bertemu dengan Leanora. Jadi telinganya sudah kebal, perkataan itu tak akan berpengaruh lagi. “Kalau kamu mendengarkan perkataan Ibu untuk mengikuti program bayi tabung, pasti sudah ada seorang anak dalam keluarga kita … kamu juga, Selin! Sama sekali tidak bertanggung jawab menjadi seorang Istri! Sudah tujuh tahun mengerami telur, tapi belum bisa menetaskannya!” Seakan menipis oksigen di dalam ruangan hingga membuat napas Jeceline terasa sesak ketika mendengar bentakkan Leanora. Kesabaran juga telah hab
“Meskipun begitu, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya menganggapmu sebagai mata pencariannya.” “Dia juga karena terpaksa, Selin,” protes Kevin menyela perkataan Jeceline. Tatapan tak senang itu muncul, “kalau aku tahu dia melakukan hal itu hanya demi mendapatkan uang untuk membiayai keluarga, tentu saja aku….” Kevin menjeda ucapannya, seolah tak ingin meneruskan pembicaraan. Jeceline masih memandang dalam diam, tapi saat dibantah emosinya memuncak lagi, “aku apa?” sorot mata tegas yang menyimpan kekecewaan tepat menuju ke manik Kevin. Jeceline masih menunggu jawaban, tapi bibir Kevin mengatup kaku. “Kau akan memberikannya uang yang sangat banyak begitu saja pada seorang gadis yang sama sekali tidak memberikan keuntungan terhadapmu? … atau kau akan menolak gadis secantik dia yang datang menjajahkan tubuhnya sendiri untuk kau nikmati?” lagi Jeceline melemparkan tumpukkan pertanyaan. Kevin menunduk penuh penyesalan. Dia menggelengkan kepala lalu meluruskan kembali w