Dua garis biru adalah hal pertama yang membuat jantung seorang gadis berusia 17 tahun terpacu cepat. Dia menutup mulutnya merasa tak yakin pada apa yang kini dilihatnya.
Bagaimana bisa, ada dua garis di tespack itu. Tidak, itu adalah pertanyaan bodoh, yang pasti dia tahu betul mengapa dia menjadi seterpuruk ini.
Satu bulan yang lalu, dia dan kekasihnya yang sama-sama masih duduk di bangku SMA pergi ke sebuah hotel. Dan sialnya lagi dirinya tak menolak saat sang kekasih meminta sesuatu yang harusnya ia jaga dengan baik, tapi sayang janji manis dari kekasihnya membuat mata dan pikirannya seakan buta.
Sekarang apa yang bisa dia lakukan, tidak ada. Dia hanya bisa menangis di balik pintu kamar mandi sambil menutup mulutnya erat-erat. Tangan bergetar miliknya sedari tadi berusaha menghubungi pacarnya, tapi selalu saja. Tidak diangkat, perubahan ini sekarang yang semakin membuatnya takut luar biasa.
"Gentari?" Suara ketukan dari luar membuat jantungnya berdetak tak karuan.
Dia Gentari Parwani, gadis yang kini berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang sudah mati rasa. Mamanya sudah memanggil, itu artinya makan malam sudah siap.
Dia tinggal bertiga di rumah sederhana tak bertingkat itu, dengan mama dan adik prempuannya.
Ayah dari Gentari sudah meninggal sejak lima tahun lalu akibat penyakit, adiknya bernama Gina Saputri saat itu baru saja memasuki jenjang SMA yang Gentari yakini akan semakin membuat beban mamanya berkali-kali lipat. Lalu sekarang, dia hamil? Astaga, musibah macam apa ini.
"Gentari, ayo makan, Nak. Makanan udah siap lho," kata sang mama lagi seraya mengetuk pintu lebih keras, siapa tahu putrinya tak mendengar.
Gentari menghapus jejak air matanya, yang kini hanya terlihat sia-sia sebab matanya sangat sembab. Siapa pun yang melihatnya akan mudah menebak kalau dia sehabis menangis.
Gentari membuang alat sialan itu begitu saja di dalam tong sampah yang terdapat di dalam sana. Seakan jijik, Gentari membersihkan tangannya dengan mengelap pada baju. Gentari menarik napas panjang, lalu membuang dan setelahnya Gentari membuka pintu.
"Ayo, Ma." Gentari menunduk, dia berjalan duluan. Sungguh dia tak sanggup menatap mata sang mama, Gentari tidak bisa, dirinya merasa amat berdosa. Sekarang bernpas pun menjadi hal yang sulit baginya.
Ami--mama Gentari menatap bingung anaknya itu, dilihatnya kini punggung Gentari sudah keluar dari kamar mandi. Ami ikut menyusul.
Di dapur tidak ada meja makan, di sana sudah terhidang lauk pauk seadanya. Beralaskan tikar mereka akan makan. Beginilah suasana rumah Gentari, sangat sederhana dan jauh dari kata mewah.
Gina tampak antusias menatap kehadiran sang kakak, jujur saja dia sudah amat lapar. Gina menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya meminta Gentari agar duduk di sana. Gentari dengan kepalanya yang masih menunduk duduk di sana.
Gina tersenyum manis ke arah kakaknya, tapi Gentari masih enggan mengangkat kepala, kedua tangannya saat ini tengah meremas kuat baju yang ia kenakan tepat di bagian perut.
"Kak Gentar, nasinya mau berapa centong?" Gina mengambil satu piring lalu mengisi piring tersebut dengan nasi.
"S--satu," jawab Gentari.
Gina mengangguk cepat, dia lalu berpindah pada wadah lain yang berisi ayam rendang. Ini adalah kejadian langka, ya. Gina bahkan lupa kapan terakhir kali dia makan daging ayam.
"Hari ini gorengan yang aku jual laku keras, Kak. Jadi, mama masak ayam, deh. Ya, kan. Ma?" tanya Gina sambil menatap sang mama.
Mia yang duduk tepat di depan putri-putrinya mengangguk singkat.
"Iya, Gentar. Ayo makan! Jarang-jarang loh kita makan ayam," ungkap sang mama. Hal itu terdegar perih sekali bagi Gentari. Satu tetes air matanya kembali jatuh tanpa sepengetahuan adik dan mamanya.
Untuk makan enak saja mereka harus menunggu hasil yang lebih dari hasil jual gorengan, tapi. Bukannya membantu meringankan beban Gentari malah membuat malu keluarganya.
Satu piring dengan lauk ayam rendang sudah Gina letakkan di depan Gentari.
"Ayo, Kak. Makan!" suruh Gina.
Tangan Gentari masih saja bergetar hebat, dia sudah memegang sendoknya. Tapi, tak kuasa megangkat benda mati itu. Namun, karena desakan dari sang adik, akhirnya Gentari menyendokkan nasi ke mulutnya. Setelah itu Gentari menangis lagi, dia kini terisak dan itu berhasil menarik perhatian mama dan adiknya.
Gina yang pertama kali menyentuh pundak Gentari. Mendapatkan sentuhan itu Gentari langsung memeluk erat sang adik.
Gina amat terkejut ada apa dengan kakaknya. Tidak biasanya Gentari menangis pilu sambil memeluknya begitu erat. Terakhir kali Gentari menangis begini saat dia mendapat kabar meninggalnya sang papa.
"Kak, kenapa?" tanya Gina dengan panik. Dia sudah melupakan makanannya yang sedap itu.
Mia pun kini ikut mendekat dia cemas melihat Gentari menangis saat makan padahal Mia sangat yakin sekarang mereka sedang baik-baik saja.
"Nak, kamu kenapa Gentari. Sayang?"
Pertanyaan dari Mia kembali menyayat-nyayat hati Gentari, mendengar suara mamanya membuat dia merasa sangat berdosa, dia tahu suara mamanya sarat akan keletihan. Gentari amat tahu bagaimana lima tahun belakangan ini sang mama mati-matian bekerja keras di rumah orang besar.
Mamanya bekerja menjadi asisten rumah tangga, bos mamanya terkenal baik. Tapi, walaupun begitu Gentari tetap saja merasa tak tega melihat Mia harus pergi pagi pulang siang dari sana.
"Gentari, ada apa, Nak? Kamu ada masalah di sekolah, cerita sama Mama, Sayang," desak Mia, dari nada bicara begitu kentara kecemasan.
Gentari tak sanggup dia tidak mau semakin digerogoti rasa bersalah. Buru-buru Gentari bangkit dia berlari cepat menuju kamarnya. Melihat itu semakin membuat Mia serta Gina bingung.
Mereka pun akhirnya ikut menyusul Gentari. Mia mengetuk-ngetuk pintu kamar anak gadisnya, tapi Gentari tampaknya enggan membukakan pintu.
Gentari kembali menangis, kali ini benar-benar histeris. Dia menjambaki rambutnya bahkan sampai memukul tubuhnya sendiri.
Ketukan dari luar semakin kuat saja, tentu saja mereka cemas melihat Gentari menangis tanpa sebab yang jelas.
"Gentari kamu kenapa? Jangan buat Mama takut, Nak." Terdegar suara Mia yang kini sudah bergetar. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca.
Apa yang bisa Gentari lakukan, dia tidak bisa apa-apa. Gentari rasanya ingin mati saja saat ini. Melihat adik dan mamanya terlalu sakit baginya sekarang. Dan begitulah malam itu berlalu, dengan Gentari yang masih menangis di dalam kamar, sedangkan Mia dan Gina kini semakin cemas di depan pintu.
•••
Pagi-pagi sekali Gentari bangun, dia bergegas pergi ke sekolah tanpa memita izin terlebih dahulu kepala mamanya. Padahal itu adalah kebiasaan yang baik, tapi kali ini tidak. Gentari masih belum berani memandang mamanya.Sampainya dia di sekolah, Gentari langsung menuju kelas XII IPA 1, yaitu kelas pacarnya. Gentari melihat sang pacar kini tengah duduk anteng di kursinya seraya memainkan ponsel sambil tersenyum-senyum tidak jelas."Ibnu!" panggil Gentari cukup keras. Ibnu Amatya namanya, pria tampan nan populer.Ibnu melangkah menuju Gentari, pemuda itu pun belum tahu soal kehamilan kekasihnya, sebab semalaman dia tak mau mengangkat panggilan dari Gentari, alasannya adalah. Karena dia malas, harus Ibnu akui dia mulai bosan bersama Gentari. Setelah menjalin hubungan hampir tiga tahun."Apa?" tanya Ibnu malas-malasan, dia bahkan masih sibuk bermain ponsel dia sedang berbalas pesan dengan seseorang."Aku mau bicara, tapi nggak
Kelas XII IPS 2 sangat berisik. Sebab guru belum juga masuk untuk memulai pembelajaran. Siswi berbando biru muda yang duduk di kursi nomor dua dekat jedela itu tampak gelisah.Dia Meylan, kerap dipanggil Mey. Gadis bermata sipit dengan rambut sebahu. Dan kulitnya yang putih selalu membuat orang mengira kalau dia adalah gadis keturunan cina dan beragama lain. Padahal Mey asli orang Indonesia dan beragama Islam.Hal yang membuatnya gelisah bukanlah tentang tanggapan orang, tapi tentang ke mana perginya sahabat satu-satunya. Yaitu Gentari Parwani.Mey sangat yakin kalau Gentari datang ke sekolah, tapi. Kenapa belum ada di kelas di jam seperti ini. Tiba-tiba saja kegelisaan menyerang dirinya.Mey sudah bersiap akan bangkit, ingin mencari Gentari tapi. Guru dan beberapa orang dewasa lain sudah lebih dulu masuk. Mey mendengkus.Bu Farah datang dengan sepasang orang dewasa, memakai baju yang tampak mahal dan terlihat sangat beriba
Jika ada kesempatan boleh meminta satu hal pada Tuhan dan akan langsung dikabulkan, maka Gentari akan meminta untuk mati dan dihilangkan dari muka bumi.Di sekolah tadi benar-benar kacau, satu sekolah geger dengan kabar kehamilan Gentari. Tentu mereka tahu, saat melihat Dokter Ina--dokter kandungan yang terkenal di kota mereka datang ke sekolah dan memasuki UKS.Spekulasi tentang siswi hamil langsung menjadi momok yang empuk untuk diperbincangkan. Setelah dokter kandungan memeriksa Gentari dan meminta Gentari menggunakan alat sialan itu lagi dan lalu muncul garis dua maka Gentari benar-benar mati, kepala sekolah. Bahkan satu sekolah sudah tahu tentang kandungan yang harusnya belum ada itu. Di UKS Gentari diceramahi habis-habisan oleh Kepala sekolah dan beberapa guru lain.Begitu Gentari keluar UKS dan disuruh pulang. Jelas sudah kecuringaan murid satu sekolah. Gentari hamil! Maka Gentari adalah buruk. Sepanjang perjalanan menuju gerbang sekol
Sebulan sudah berlalu, harusnya hari ini Gentari ikut ujian akhir semester. Tapi, sayang dia sudah dikeluarkan dari sekolah. Lagi pula mana mungkin pihak sekolah mempertahankan siswi seperti Gentari.Sebulan berlalu dengan sangat cepat, hubungannya dengan Gina juga belum membaik. Gina masih kerap menyalahkan Gentari atas kepergian mama mereka.Mey sering berkunjung ke rumah Gentari guna menanyakan kabar gadis itu. Mey sahabatnya sangat menghawatirkan Gentari. Mey tahu Gentari hamil, kabar itu sudah tersebar sejak lama.Hari ini pun sama, selesai ujian Mey datang ke rumah Gentari. Pintu rumah masih tertutup seperti yang sudah-sudah.Mey mengketuk berkali-kali tapi Gentari tak kunjung keluar, Mey tahu Gentari di rumah."Gentari, aku Mey. Aku tau kamu di dalem, buka pintunya. Tolong, aku mau bicara sama kamu. Gentar."Dua menit berlalu tak ada tanda-tanda Gentari akan membukakan pintu. Mey sudah putus asa, Mey sudah berb
"Kenapa kita pindah?" tanya Gina dengan wajah kesal yang amat ketara.Tentu saja kesal, siapa yang tidak akan kesal. Mendadak Gentari mengajaknya pindah rumah, sementara rumah lama mereka adalah rumah peninggalan kedua orang tua. Gina yang masih belum bisa menerima kepergian mamanya jelas tidak ingin pergi jauh dari rumah yang menyimpan banyak kenangan indah bersama itu.Gentari mendekati Gina, lantas dia mengelus puncak kepala adiknya. Walau sekarang sikap Gina berubah 180° kepadanya menjadi sangat kasar. Gentari akan tetap sayang pada gadis itu. Karena sekarang hanya Gina keluarga yang dia punya."Maaf, Ya. Gin, Kakak tau. Kamu pasti berat ninggalin rumah itu. Sama, Kakak juga berat, tapi Gina. Kakak nggak mau kamu juga menjadi bahan omongan tetangga karena punya Kakak seperti aku," papar Gentari dengan sabar, sekuat tenaga dia menahan air mata yang akan lolos.Gentari harus bisa menjadi sosok ayah dan ibu sekaligus kakak yang baik untuk adikn
Gadis dengan selimut tipis dan tikar bergambar yang tampak sudah tidak layak pakai, sibuk merubah posisi tidur. Ke kanan dan ke kiri lalu terlentang.Dia Gentari. Wanita itu sungguh gelisah tidur di kontrakan baru itu, seakan ada sesuatu yang menganggu dan membuatnya merasa tak nyaman.Gentari lantas merubah posisinya menjadi duduk, Gentari menatap lurus ke pintu kontarkkan itu. Lantas Gentari melihat jam dari ponselnya, sekarang baru masuk pukul sepuluh malam. Gentari memang sering mengalami susah tidur.Gentari bangkit, dia ingin melihat tiga lemarinya yang masih ada di luar, apakah aman atau tidak. Gentari mendekati pintu, tapi belum sempat dia membuka pintu, Gentari sudah mengurungkan niatnya terlebih dahulu.Pesan ibu dan bapak tadi masing terngiang-ngiang di telinganya."Dari jendela aja kali, ya?" kata Gentari, lantas dia mendekati jendela yang posisinya memang bersa
Gadis dengan selimut tipis dan tikar bergambar yang tampak sudah tidak layak pakai, sibuk merubah posisi tidur. Ke kanan dan ke kiri lalu terlentang.Dia Gentari. Wanita itu sungguh gelisah tidur di kontrakan baru itu, seakan ada sesuatu yang menganggu dan membuatnya merasa tak nyaman.Gentari lantas merubah posisinya menjadi duduk, Gentari menatap lurus ke pintu kontarkkan itu. Lantas Gentari melihat jam dari ponselnya, sekarang baru masuk pukul sepuluh malam. Gentari memang sering mengalami susah tidur.Gentari bangkit, dia ingin melihat tiga lemarinya yang masih ada di luar, apakah aman atau tidak. Gentari mendekati pintu, tapi belum sempat dia membuka pintu, Gentari sudah mengurungkan niatnya terlebih dahulu.Pesan ibu dan bapak tadi masing terngiang-ngiang di telinganya."Dari jendela aja kali, ya?" kata Gentari, lantas dia mendekati jendela yang posisinya memang bersa
"Kenapa kita pindah?" tanya Gina dengan wajah kesal yang amat ketara.Tentu saja kesal, siapa yang tidak akan kesal. Mendadak Gentari mengajaknya pindah rumah, sementara rumah lama mereka adalah rumah peninggalan kedua orang tua. Gina yang masih belum bisa menerima kepergian mamanya jelas tidak ingin pergi jauh dari rumah yang menyimpan banyak kenangan indah bersama itu.Gentari mendekati Gina, lantas dia mengelus puncak kepala adiknya. Walau sekarang sikap Gina berubah 180° kepadanya menjadi sangat kasar. Gentari akan tetap sayang pada gadis itu. Karena sekarang hanya Gina keluarga yang dia punya."Maaf, Ya. Gin, Kakak tau. Kamu pasti berat ninggalin rumah itu. Sama, Kakak juga berat, tapi Gina. Kakak nggak mau kamu juga menjadi bahan omongan tetangga karena punya Kakak seperti aku," papar Gentari dengan sabar, sekuat tenaga dia menahan air mata yang akan lolos.Gentari harus bisa menjadi sosok ayah dan ibu sekaligus kakak yang baik untuk adikn
Sebulan sudah berlalu, harusnya hari ini Gentari ikut ujian akhir semester. Tapi, sayang dia sudah dikeluarkan dari sekolah. Lagi pula mana mungkin pihak sekolah mempertahankan siswi seperti Gentari.Sebulan berlalu dengan sangat cepat, hubungannya dengan Gina juga belum membaik. Gina masih kerap menyalahkan Gentari atas kepergian mama mereka.Mey sering berkunjung ke rumah Gentari guna menanyakan kabar gadis itu. Mey sahabatnya sangat menghawatirkan Gentari. Mey tahu Gentari hamil, kabar itu sudah tersebar sejak lama.Hari ini pun sama, selesai ujian Mey datang ke rumah Gentari. Pintu rumah masih tertutup seperti yang sudah-sudah.Mey mengketuk berkali-kali tapi Gentari tak kunjung keluar, Mey tahu Gentari di rumah."Gentari, aku Mey. Aku tau kamu di dalem, buka pintunya. Tolong, aku mau bicara sama kamu. Gentar."Dua menit berlalu tak ada tanda-tanda Gentari akan membukakan pintu. Mey sudah putus asa, Mey sudah berb
Jika ada kesempatan boleh meminta satu hal pada Tuhan dan akan langsung dikabulkan, maka Gentari akan meminta untuk mati dan dihilangkan dari muka bumi.Di sekolah tadi benar-benar kacau, satu sekolah geger dengan kabar kehamilan Gentari. Tentu mereka tahu, saat melihat Dokter Ina--dokter kandungan yang terkenal di kota mereka datang ke sekolah dan memasuki UKS.Spekulasi tentang siswi hamil langsung menjadi momok yang empuk untuk diperbincangkan. Setelah dokter kandungan memeriksa Gentari dan meminta Gentari menggunakan alat sialan itu lagi dan lalu muncul garis dua maka Gentari benar-benar mati, kepala sekolah. Bahkan satu sekolah sudah tahu tentang kandungan yang harusnya belum ada itu. Di UKS Gentari diceramahi habis-habisan oleh Kepala sekolah dan beberapa guru lain.Begitu Gentari keluar UKS dan disuruh pulang. Jelas sudah kecuringaan murid satu sekolah. Gentari hamil! Maka Gentari adalah buruk. Sepanjang perjalanan menuju gerbang sekol
Kelas XII IPS 2 sangat berisik. Sebab guru belum juga masuk untuk memulai pembelajaran. Siswi berbando biru muda yang duduk di kursi nomor dua dekat jedela itu tampak gelisah.Dia Meylan, kerap dipanggil Mey. Gadis bermata sipit dengan rambut sebahu. Dan kulitnya yang putih selalu membuat orang mengira kalau dia adalah gadis keturunan cina dan beragama lain. Padahal Mey asli orang Indonesia dan beragama Islam.Hal yang membuatnya gelisah bukanlah tentang tanggapan orang, tapi tentang ke mana perginya sahabat satu-satunya. Yaitu Gentari Parwani.Mey sangat yakin kalau Gentari datang ke sekolah, tapi. Kenapa belum ada di kelas di jam seperti ini. Tiba-tiba saja kegelisaan menyerang dirinya.Mey sudah bersiap akan bangkit, ingin mencari Gentari tapi. Guru dan beberapa orang dewasa lain sudah lebih dulu masuk. Mey mendengkus.Bu Farah datang dengan sepasang orang dewasa, memakai baju yang tampak mahal dan terlihat sangat beriba
Pagi-pagi sekali Gentari bangun, dia bergegas pergi ke sekolah tanpa memita izin terlebih dahulu kepala mamanya. Padahal itu adalah kebiasaan yang baik, tapi kali ini tidak. Gentari masih belum berani memandang mamanya.Sampainya dia di sekolah, Gentari langsung menuju kelas XII IPA 1, yaitu kelas pacarnya. Gentari melihat sang pacar kini tengah duduk anteng di kursinya seraya memainkan ponsel sambil tersenyum-senyum tidak jelas."Ibnu!" panggil Gentari cukup keras. Ibnu Amatya namanya, pria tampan nan populer.Ibnu melangkah menuju Gentari, pemuda itu pun belum tahu soal kehamilan kekasihnya, sebab semalaman dia tak mau mengangkat panggilan dari Gentari, alasannya adalah. Karena dia malas, harus Ibnu akui dia mulai bosan bersama Gentari. Setelah menjalin hubungan hampir tiga tahun."Apa?" tanya Ibnu malas-malasan, dia bahkan masih sibuk bermain ponsel dia sedang berbalas pesan dengan seseorang."Aku mau bicara, tapi nggak
Dua garis biru adalah hal pertama yang membuat jantung seorang gadis berusia 17 tahun terpacu cepat. Dia menutup mulutnya merasa tak yakin pada apa yang kini dilihatnya.Bagaimana bisa, ada dua garis di tespack itu. Tidak, itu adalah pertanyaan bodoh, yang pasti dia tahu betul mengapa dia menjadi seterpuruk ini.Satu bulan yang lalu, dia dan kekasihnya yang sama-sama masih duduk di bangku SMA pergi ke sebuah hotel. Dan sialnya lagi dirinya tak menolak saat sang kekasih meminta sesuatu yang harusnya ia jaga dengan baik, tapi sayang janji manis dari kekasihnya membuat mata dan pikirannya seakan buta.Sekarang apa yang bisa dia lakukan, tidak ada. Dia hanya bisa menangis di balik pintu kamar mandi sambil menutup mulutnya erat-erat. Tangan bergetar miliknya sedari tadi berusaha menghubungi pacarnya, tapi selalu saja. Tidak diangkat, perubahan ini sekarang yang semakin membuatnya takut luar biasa."Gentari?" Suara ketukan dari luar membuat