Iza sudah sadar dari tidurnya. Setelah hampir dua hari aku terlingkupi kecemasan akhirnya pada malam ini kami seolah mendapat keajaiban. Aku sangat bersyukur pada akhirnya bisa melihat Iza membuka mata. Secara tergesa-gesa, aku segera memasuki ruang ICU selepas memakai baju khusus untuk memastikan kondisi Iza. Sampai di dalam, rupanya sudah ada dokter Frans yang tengah menungguku. Aku langsung menyapa dokter Frans, begitu juga El yang ternyata sama-sama diperbolehkan masuk. Kata perawat yang di depan, tadi Iza menyebut namaku juga El dalam igau-annya sehingga El pun dipersilahkan untuk melihat Iza. Dengan balutan baju khusus aku lekas menghampiri Iza. "Assalammu'alaikum solehah. Gimana kabarnya? Ini Bunda, Nak. Bunda," ucapku bergetar nyaris menangis. Aku membelai wajahnya dengan penuh cinta berharap dia mengenaliku. "Iza dengar Bunda, kan?" "Bunda ...." panggil Iza sambil mengerjap. Anak yang kini tengah terbaring itu tampak bingung saat melihat sekelilingnya dan itu cukup kumakl
Iza sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Kata dokter Frans setelah pemeriksaan, organ vital Iza tampaknya tidak ada masalah tapi demi lebih meyakinkan kondisi Iza, dokter berencana melakukan pemeriksaan yang menyeluruh karena itu Iza masih harus diobservasi.Mendengar hal itu, Alina tentu saja bahagia karena setidaknya ada satu bebannya yang terangkat. Kini Alina hanya perlu berharap kondisi Iza terus menjadi lebih baik hingga dia bisa keluar dari rumah sakit ini sesegera mungkin. Dia benar-benar jengah ada di rumah sakit karena selama ada di sini terlalu banyak hal yang menyakitkan untuknya. Dari mulai dia yang melihat Iza dioperasi, ditampar mantan mertua sampai pada akhirnya dia menyaksikan El harus pergi terusir.Mengingat itu semua, rasanya Alina sangat lelah tapi untungnya Tuhan mendengar doanya sehingga hari ini Alina bisa menyaksikan anaknya tidur lelap tanpa cemas lagi."Semangat ya Sayang, kalau kamu sembuh. Bunda janji akan mengajak kamu ke istana boneka sama Pak El,
Aku terperangah ketika melihat El hadir dengan gagahnya di saat aku tengah berdebat dengan Adin di depan ruang VIP. Dengan wajah yang cukup mengintimidasi, dia berhasil membungkam Adin yang sejak tadi bertingkah menyebalkan dan bahkan melecehkan.Coba bayangkan. Bisa-bisanya Adin bilang kalau aku ini akan lebih hot jika gemukan.Cih! Sungguh terlalu! Emang dia pikir dia siapa? Juri Miss Universe? Atau juri model Korea? Bisa-bisanya, dia menilaiku secara fisik saja, seolah-olah dia punya tubuh sempurna. Padahal, dia juga terlalu kurus untuk dibilang ideal, bahkan wajahnya saja kalah tampan dari El.Dih, najong! Sok ganteng banget sih tuh orang.Untunglah, aku sudah memutuskan untuk rujuk dengan El sehingga Adin langsung mati kutu ketika El mengatakan kalau dia akan menikahiku dan membayar hutang keluargaku. Walau jauh di dalam hati ini aku malu karena pada akhirnya El tahu alasanku menerima tawarannya itu karena hutang.Namun, sayang, di balik kelegaanku melihat El, ada Bik Ratih yan
Mentang-mentang sudah kuberi persetujuan rujuk, El menentukan waktu dan tanggal akad seenaknya. Dia bilang kami akan menikah secara agama malam ini, dan aku bahkan tak punya persiapan apa pun.Anehnya, Bik Ratih yang kukira akan menolak tak disangka berbalik setuju padahal sebelum kesepakatan terjadi, wanita setengah baya itu terlihat sangat benci pada El dan cenderung menghakimi."Bibik setuju dengan El, semakin cepat pernikahan kalian itu akan semakin baik. Itu artinya, Bibik akan semakin tenang karena ada yang mau jaga kalian meski Bibik gak ada di kota yang sama. Dan untuk masalah Bu Rosa, Bibik hanya minta kalian penuhi syaratnya, bersabarlah sampai Bu Rosa memberi restu. Jangan dilanggar kalau gak mau anak kedua kalian nanti akan menderita seperti Iza yang gak diakui neneknya. Bibik takut, ketika kalian bahagia ternyata wanita itu berusaha melukai kalian lagi."Begitulah ucapan Bik Ratih saat aku bertanya alasan mengapa wanita yang sudah aku anggap ibu itu begitu saja memberi sy
"Gimana nasi padangnya enak?"Aku nyengir dengan mulut yang mengembung sempurna. "Enak banget, Mas. Makasih ya, gak nyangka Mas ngajak saya ke sini," kataku merasa bersyukur punya lelaki yang pengertian. Sudah lama aku gak merasa diistimewakan, ternyata rasanya sangat menyenangkan apalagi El itu adalah tipe pria yang gak berisik.Selama aku makan, dia hanya menatapku dan membiarkanku makan dalam suasana hening seakan aku ini adalah tontonan yang menarik."Syukurlah, saya senang akhirnya bisa lihat kamu makan," jawab El seraya kembali menyunggingkan senyum tipisnya. " Oh, ya, malam nanti jangan lupa pakai ini, ya?"Tiba-tiba El mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk lingkaran dari dalam saku celana dan meletakkannya di atas meja. Aku yang merasa tak asing dengan benda itu sontak melotot hingga nyaris keluar dan mulutku menganga lebar."Mas itu kan cincin nikah kita yang dulu? Kok ada di Mas?" tanyaku kaget seraya meraih benda mungil itu.Seingatku, delapan tahun lalu aku meninggalka
POV Author El tahu bahwa dia tidak boleh terlalu bahagia, meski sekarang dia sudah diberikan lampu hijau oleh Bik Ratih tapi tetap saja banyak hal yang harus ia hadapi sebagai resiko menikahi Alina. Resiko pertama, dia harus menghadapi ibunya yang mengancam akan membocorkan perihal status Alina jika mereka ketahuan menikah. Dan lalu resiko kedua adalah menghadapi para laki-laki gila yang mencintai Alina seperti Adin dan Neo. Namun, walau pria tampan itu tahu akan banyak sekali permasalahan yang terjadi nanti, El memutuskan untuk tetap pada janjinya. Dia tidak bisa lagi mundur ke belakang karena ini sudah menjadi pilihannya. Dia akan mempersunting Alina dan melindungi Aliza. El tidak mau kehilangan mereka untuk kedua kalinya, sebab itu apa pun akan ia pertaruhkan termasuk nyawa. El menarik napas dalam seraya menatap lurus penampilannya yang membias di cermin. Kemeja koko yang ia beli dari designer terkenal sebulan lalu itu tampak sangat pas di badannya yang tegap. Rencananya dia
Kacau. Malu dan Ngenes. Tiga kata itulah yang mungkin bisa menunjukan perasaanku sekarang setelah dengan bodohnya aku kabur setelah akad karena kebelet ingin PUP.Andai arloji untuk mengulang waktu di drama fiksi Korea itu ada, sepertinya aku akan memakainya sekarang juga untuk kembali ke masa di mana aku gak akan makan nasi padang dan sambelnya banyak-banyak. Sebab, karena nasi padang dan sambel itulah aku harus sakit perut hingga hampir cepirit pas mau dicium kening oleh El tadi, padahal kan adegannya lagi romantis abis.Ya Allah! Kenapa harus sakit perut di saat seperti ini, sih? HUWAAAA! Memalukan! Aku terduduk lemas di atas kloset rumah sakit. Dikarenakan sakit perut yang menyiksa dengan sangat mengenaskannya aku harus pergi ke bilik ini meninggalkan El yang baru saja menyandang gelar suami untuk kedua kali. Jujur, aku malu karena tidak bisa menahan 'panggilan alam' yang mendadak tersebut. Saking malunya, aku bahkan memilih toilet yang ada di lorong rumah sakit dibanding toilet
Malam pertama jadi istri El jangan dibayangkan yang indah-indah karena yang ada aku malah gugup brutal, sebab ini kali pertama kami akan sekamar lagi setelah delapan tahun berlalu.Aku melirik lelaki di sebelahku dengan gugup. Selepas kami bertemu dengan Neo tadi, sepanjang perjalanan menuju hotel yang merupakan tempat kami menginap malam ini El sama sekali belum mengajakku bicara dan hanya lebih banyak diam hingga suasana terasa sangat menegangkan.Heran. Kok tumben-tumbenan dia gak banyak ngomong? Padahal pas tadi pamitan sama Bik Ratih, Iza dan semua saksi tampaknya baik-baik saja. Apa mungkin dia sedang memikirkan bagaimana caranya melewati malam pertama kami yang aneh ini? Atau dia masih cemburu akibat ucapan Neo?"Muka saya ganteng banget, ya? Jadi kamu liatin saya terus?" celetuk El jumawa tanpa melihatku seolah dia paham betul pesonanya. Aku terkesiap. Tak dikira kalau El akhirnya 'ngeuh' juga. "Ih, pede siapa juga yang liatin Mas karena Mas ganteng. Saya teh liatin karena
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo
Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem
Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti
"El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat