Balin langsung berlari menuju dapur menyiapkan pesanan Ibunya kemudian ke kebun belakang untuk memanggil Ayahnya. "Yah. Sebenarnya Balin anak kandung atau anak pungut sih?" tanya Balin sambil duduk didekat Ayahnya yang bercucuran keringat karena baru saja menebang beberapa pohon pisang yang buahnya sudah matang. "Emang keliatannya bagaimana?" jawab Ayahnya dengan santai dan seolah tidak peduli dengan pertanyaan konyol sang anak Karena bagaimanapun Balin sangat mirip dengan dirinya saat muda dulu, jelas dia tidak meragukan kalau Balin adalah benar anaknya. "Tadi Balin datang sana Elena. Bisa-bisanya Balin dicuekin dan disuruh ini itu. Disuruh panggil Ayah juga buat kedepan" Ayahnya langsung bangkit dan segera masuk kedalam rumah meninggalkan parang dan pisang berjejer yang baru ditebangnya begitu saja. Balinpun membawa masuk semuanya dan kemudian dia membawa cemilan dan air minum ke ruang tamu setelah Ibunya berteriak beberapa kali memanggil namanya. "Hubungan kamu dan Balin seben
Balin dengan cepat langsung menarik Doni dan menghajarnya. Pada awalnya Doni mencoba melawan, tapi tenaganya kalah jauh dengan Balin yang memang rutin latihan boxing. Sedangkan Elena masih diam terpaku setelah melihat apa yang Doni lakukan pada Swastika sampai Balin mendorongnya hingga dia terjatuh didekat Swastika yang masih menangis ketakutan. Balin menyeret keluar tubuh Doni yang mulai tidak berdaya dan penuh luka lebam. Elena yang sudah sadar dari syoknya segera mengambil selimut untuk menutupi bagian dada Swastika karena bajunya sudah sobek kemudian memeluknya dengan sangat erat. Walau hatinya hancur sehancur-hancurnya karena melihat kelakuan Doni tapi kondisi sahabatnya jauh lebih penting baginya. Dalam pelukkannya, Swastika menangis tersedu-sedu. Balin yang sudah sampai didepan rumah, meletakkan Doni yang sudah terkapar begitu saja dilantai kemudian dia menelfon polisi dan orang tua Swastika. Papa Swastika yang mendapat kabar dari Balin buru-buru mengajak istri dan cucunya
"Kita Flashback keenam tahun lalu, saat Abi masih sangat kecil. Ingat waktu kamu ada job di NTT?" Elena pun menggangguk pertanda bahwa dia mengingat kejadian waktu itu, perjalanan dinasnya kesekian kali tapi untuk pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di NTT dan sampai sekarang belum ada lagi klien yang mengundangnya kesana. "Saat kamu pergi, Doni mendatangi Swastika di kontrakan saat Abi sedang tertidur. Pada awalmya Swastika tidak menaruh curiga apapun pada Doni. Dia menerima bingkisan yang dibawa oleh Doni kemudian ke dapur untuk memindahkannya dipiring dan membuatkan minum. Saat dia sedang didapur, tiba-tiba Doni menghampirinya dan memeluknya dari belakang, sontak Swastika kaget dan langsung menepis tangan Doni yang ada di pinggangnya. Sadar mendapat perlawanan, Doni semakin menyudutkan Swastika dengan terus mendekatinya. Dan beruntunglah, saat itu tangan Swastika meraih pisau kemudian mengacungkan pada Doni, Swastika pun mengancam akan berteriak jika dia berani macam-macam.
Melihat Swastika yang sudah berada diluar rumah sakit, Balin mengajak Elena dan Abi yang baru saja bangun tidur untuk kembali ke mobil. "Om, Mama kenapa?" tanya Abi dalam gendongan Balin. "Kok Mama pakai kursi roda?" tanyanya lagi. "Mama capek, makanya pakai kursi roda" jawab Balin sambil melihat kanan kiri karena akan menyebrang jalan. "Kalau Abi sudah besar, Abi yang akan gendong Mama, Om" ucap Abi sambil menepuk dadanya dengan percaya diri. Balin dan Elena hanya tersenyum dan mengusap rambut lebat Abi dengan gemas. Setelah menurunkan Abi, Balin membantu memegang kursi roda saat Swastika mencoba berdiri dan masuk kedalam mobil. "Bagaimana hasilnya?" tanya Balin yang sekarang sudah duduk dibalik kemudi. Sementara Abu duduk bersama Elena dan neneknya dikursi belakang. "Hasilnya baru keluar paling cepat satu minggu lagi" jawab Swastika yang sudah merasa lebih baik. Disepanjang perjalanan, Abi tertawa riang, dia bernyanyi dan menggoda nenek dan kakeknya yang duduk di kursi paling
"Kalian bersih-bersih dulu terus makan, Ibu tunggu" ucap Ibu Balin setelah membukakan pintu untuk keduanya. Dia tidak lagi tersenyum ramah seperti saat menyambut Elena pertama kali. Elena merasa sakit saat melihat perubahan sikap Ibu dan Ayah Balin tapi dia sadar bahwa mereka pasti sangat kecewa setelah tau kebenarannya. Balin yang biasanya mengeluarkan banyolan-banyolan kali ini benar-benar diam dan hanya menundukkan kepala. Setelah menyelesaikan mandi dan makan, Balin dan Elena mendatangi orang tua Balin yang sedang menonton tv di ruang keluarga. "Bu" sapa Elena tapi hanya mendapat deham dari Ibu Balin. "Bu, jangan seperti itu. Semua Balin yang salah. Balin yang menyuruh Elena untuk pura-pura jadi pacar Balin. Balin yang memaksa Elena" jelas Balin sambil duduk jongkok di depan Ibunya. "Ayah sama Ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbohong. Tapi teganya kamu melakukan itu sama kami" ucap Ayahnya yang sedari tadi hanya diam sedang mencurahkan rasa kecewanya. "Maaf Yah, Bu
Arya yang sejak tadi menunggu disekitar rumah Swastika akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana mencari warung karena merasa lapar dan mungkin sedikit mengorek informasi dari warga sekitar. "Nasi gorengnya pedes ya Pak, tambah telur ceplok setengah matangnya satu" ucapnya yang mendapat anggukan kepala dari si Abang Nasgor. Saat sedang menunggu pesanannya, beberapa orang sedang membicarakan perihal kejadian yang menimpa keluarga Pak Rudi. Awalnya Arya bingung, siapa sebenarnya Pak Rudi? Tapi setelah semakin lama menguping pembicaraan warga setempat, akhirnya Arya mengetahui bahwa yang dibicarakan adalah keluarga Swastika. "Terus bagaimana kelanjutannya Pak?" tanyanya dengan nada yang dibuat sehalus mungkin tapi tetap saja terdengar kaku dan seolah dibuat-buat. "Dibawa kekantor polisi Pak. Tadi saya juga kaget tiba-tiba dengat suara sirine mobil polisi, kirain bakalan ada grebekan ternyata ke rumahnya Pak Rudi" jawab salah satu dari mereka dengan nada medok khas orang Kebumen. "I
Satu minggu setelah dokumen dinyatakan lengkap, akhirnya Swastika dihubungi oleh Bagas bahwa sidang akan digelas 2 hari lagi. Swastika pun menghubungi Balin dan Elena untuk datang sebagai salah satu saksi. Hari H sidang pun datang. Semuanya sudah bersiap, saat ini mereka sudah memasuki ruang sidang dan duduk ditempat masing-masing. Hanya tinggal menunggu hakim ketua untuk masuk. Tak berselang lama, hakim pun masuk dan semuanya diharuskan berdiri, kemudian sidang pun dimulai. Satu per satu saksi menceritakan semua yang mereka tau berkaitan dengan kejadian saat itu termasuk Swastika yang menceritakan semuanya, dia sudah jauh lebih kuat dan tenang setelah beberapa kali harus bolak balik ke psikolog demi kesehatan mentalnya. Saat sidang berlangsung, seorang pria bertopi dan setelan rapi terlihat duduk disalah satu bangku dan menyaksikan jalannya sidang. Dari pihak Doni tidak ada sanggahan sehingga memperlancar jalannya sidang. Disana, keluarga Doni juga ikut mendampingi tapi tidak ad
Sampai didepan rumahnya, Swastika bergegas turun dan sambil menggandeng Abi dia menuju pintu. "Bu, mana orangnya?" teriaknya sambil melihat kedalam rumah. "Saya disini" ucap pria itu dengan tenang dan terkesan sangat dingin. "Om?" ucap Abi setelah menengok dan melihat ke atas. "Om Arya?" imbuhnya ambil mengerutkan alisnya. Swastika yang semula diam, juga ikut berbalik arah dan menatap Arya dengan tajam. Arya tidak menatap balik dan justru duduk di kursi depan dengan santai sambil menggulung lengan kemeja panjangnya hingga sampai siku. "Abi. Abi masuk dulu ya, bantu nenek didapur" ucap Swastika yang berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Abi. Ibunya Swastika yang baru saja datang dari arah dalam rumah, mengerti kode dari anaknya, kemudian membawa Abi untuk masuk kedalam rumah. Sementara Swastika ikut duduk di kursi yang ada disebelah Arya. "Mau apa anda kemari?" tanya Swastika tanpa melihat pada Arya dan hanya menatap lurus kedepan rumah tanpa ekspresi. "Untuk memastik
"Apa kabar Bapak Arya yang terhormat" ucap pria itu setelah melepas topi dan maskernya. Dengan masih memegang lengannya yang terluka. "Masih berani Anda menemui saya?" ucap Arya dengan tenang. "Kenapa saya harus takut? Saya tidak pernah melakukan sesuatu setengah-setengah. Kalau ujungnya saya pasti akan masuk penjara, kenapa tidak sekalian saja saya mengirim Anda menghadap Tuhan Anda?" pria itu tertawa seolah bangga dengan apa yang dia katakan. "Psikopat. Tunggu saja. Sebentar lagi akan ada polisi yang datang" dan benar saja, tidak lama memang ada polisi yang datang kesana. "Biarkan saja. Saya tidak takut" pria itu masih terus tertawa. "Pak Bramanto, apa Anda yakin keluarga Anda sedang dalam keadaan baik-baik saja saat ini?" gertak Arya yang tentu saja langsung membuat Bramanto ciut. Apalagi saat melihat senyum mengerikan yang Arya berikan, sungguh membuat bulu kuduk meremang."Apa yang Anda tau tentang keluarga saya? Mereka sudah berada ditempat yang aman" ucap Bramanto dengan
Pagi harinya, saat semua keluarga tengah berkumpul untuk sarapan, Arya dan David masih belum menampakkan batang hidungnya. "Kemana Arya? Kenapa belum turun?" gerutu Mamih Ratna. "Dia tadi malam sedikit mabuk Mih, mungkin masih tidur" jawab Swastika. "Akan aku coba bangunkan Mih" sambungnya. "Ya sudah. Suruh dia cepat mandi dan sarapan" "Iya Mih" Swastikapun meninggalkan makanannya dan bergegas menuju kamar Arya. Setelah menanyakan pada para pengawal yang berjaga didepan kamar, Swastika segera masuk. Dan benar saja, Arya masih tertidur pulas diatas ranjang dengan kemeja, celana panjang dan kaos kaki yang sudah berserakan dimana-mana. Swastika memunguti semuanya dan meletakkannya didalam paperbag yang semula berisi pakaian bersih untuk Arya berganti baju. "Ayo bangun" Swastika mencoba menarik lengan Arya untuk mengeluarkannya dari dalam selimut. "Hhmm" "Ayo. Mamih menunggu dibawah" "Biarkan saja. Kepalaku pusing sekali" "Makanya jangan mabuk. Kakimu jugakan masih sakit kenapa
"Aku tidak ingin pulang. Aku ikut kemana Anda pergi" ucap gadis itu dengan wajah memelas dan air mata yang masih menggenang. "HAH?" Rama yang bingung tidak tau harus membawa gadis itu kemana, akhirnya memilih untuk tetap meninggalkan acara pesta. Sebelum pergi dia mengabari Arya bahwa ada urusan mendesak yang membuatnya harus pergi lebih dulu. "Rama kenapa?" tanya Swastika yang mendapat bisikan mengenai kepulangan Rama. "Tidak tau. Katanya ada urusan mendesak" jawab Arya tidak peduli. Merekapun melanjutkan menikmati rangkaian acara lain dengan Abi yang sudah lebih dulu masuk kedalam kamar hotel. Arya sengaja memesan kamar hotel yang memang berada disatu lokasi dengan gedung tempat acara pernikahan Elena. Dia sudah menduga bahwa acara ini akan berlangsung hingga lebih dari tengah malam. Dia juga sudah memesan untuk yang lain termasuk Rama tapi karena dia sudah pulang lebih dulu, kamar itu hanya akan dihuni oleh David sementara Abi akan tetap bersama Ryan dan dua pengawal lain, da
Dua jam sebelum acara dimulai, mereka sudah berangkat beriringan menggunakan tiga mobil dan beberapa pengawal yang ada di belakang rombongan mereka. "Jangan cemberut sepert itu dong. Ayo senyum" goda David pada Rama yang kalah dalam tantangan tahan nafas. "Sialan. Ini tidak mungkin. Pasti kalian berdua curang" tuding Rama pada Abi dan David. "TIDAK" sangkal Abi dan David. "Itu hampir 15 menit. Tidak mungkin kalian bisa tahan nafas sampai selama itu terutama kamu" tunjuk Rama pada David. "Lebih baik kita nanti tanyakan pada Pak Arya saja" jawab David yang tertawa bersama Abi. Mereka merasa lucu melihat Rama yang uring-uringan karena tidak terima dengan kekalahannya. Setelah berkendara membelah kemacetan hampir 2 jam akhirnya mereka sampai ke tempat acara. "Wow. Dekorasinya cantik sekali" kagum Swastika yang lekat memandang dekorasi ruangan itu. Pada awalnya Elena menginginkan tema outdoor tapi karena ramalan cuaca yang tidak menentu akhirnya dia harus mengganti tema menjadi indo
"Wah, tadi itu benar-benar menyenangkan" ucap Abi kegirangan saat sudah masuk kedalam kamarnya. Tidak pernah dia membayangkan akan berada dalam situasi seperti itu. Sangat mirip dengan adegan perkelahian di film action yang sering ditontonnya. Seketika ponselnya bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. "Waaahhhh" teriak Abi kegirangan sembari joget-joget masuk kedalam kamar mandi. Pesan dari Arya yang berisi perintah untuk mulai belajar pisau dan pedang membuat adrenalin Abi terpacu. "Baru pulang sudah sibuk dengan ponselmu lagi?" Ucap Swastika yang keheranan dengan kelakuan Arya. "Hehe. Maaf. Sayang sini sebentar" "Ada apa?" Swastika mendekat membawa es jeruk dan beberapa cemilan. Arya merogoh sesuatu yang ada didalam sakunya dan menunjukkannya pada Swastika. "Marry Me?" ucap Arya tiba-tiba.Swastika yang kaget hanya bisa menutup mulutnya yang menganga. Jantungnya berdetak cepat sampai dia benar-benar tidak bisa berkata-kata. "Maaf karena tidak ada acara istimewa. Aku buk
Sampai dikantornya, Arya segera menuju ruangannya dan meminta Rama dan David untuk segera menemuinya. "Kamu istirahat disini dulu sebentar ya. Aku ada meeting sebentar dengan Rama dan David" ucap Arya setelah mengantar Swastika keruangan pribadinya. "Baiklah. Sepertinya ini perihal rahasia perusahaanmu. Aku akan tunggu disini" jawab Swastika. Sebelum meninggalkan Swastika disana, Arya meninggalkan kecupan dikening dan kemudian menggunakan tongkatnya untuk berjalan menuju ruangannya. Disana Rama dan David sudah menunggu. "Jadi bagaimana? Jelaskan" pinta Arya.Merekapun menjelaskan pada Arya mengenai bukti-bukti temuannya dan siapa saja yang dicurigai sebagai komplotannya. Rama juga menjelaskan bahwa disalah satu cabang perusahaannya, mereka berhasil membawa kabur sejumlah uang. "Kenapa bisa kecolongan lagi?" tanya Arya yang sudah kesal sedari tadi. "Maaf, kami tidak menyangka kalau komplotannya bahkan sudah ada dimana-mana" jawab David. "Untuk sekarang, semua yang ada di kantor c
"Antar ke rumah sakit ya Pak" ucap Abi pada sopir yang mengawalnya. Karena permintaan Arya, untuk sementara Abi tidak diperbolehkan untuk naik sepeda motor sebagai gantinya, dia akan diantar jemput oleh sopir kepercayaan Arya dan beberapa pengawal. Karena hal itu pula, setelah Arya memberi instruksi pada Rama, ada pengawal yang datang kesekolah Abi dan mengambil motor yang dibawanya tadi pagi. "Kenapa harus sebegitunya sih? Kenapa juga tidak boleh naik motor? Dia yang punya musuh kenapa harus aku yang berkorban?" ocehan Abi disepanjang perjalanan. "Tuan Arya hanya mengkhawatirkan Tuan Muda. Karena dibidang yang digeluti Tuan Arya, para musuh tidak akan hanya mencoba menyerang Tuan Arya sendiri tetapi juga orang-orang yang ada disekelilingnya. Jadi saya mohon Tuan Muda untuk tidak berprasangka buruk dulu" ucap Ryan, pengawal pribadi Abi. "Hufh" Abi memutar bola matanya dan memilih untuk kembali fokus pada ponselnya. Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu lama karena terjeb
"Bu, saya mau ijin pulang dulu. Sebentar lagi mau masuk jam kantor" pamit Rama. "Iya. Berangkatlah" jawab Mamih Ratna. Setelah berpamitan, Rama diantar Swastika hingga keluar ruangan. "Rama, kalau ada info terbaru tolong kabari ya" pinta Swastika. "Baik Bu. Akan saya infokan kalau ada perkembangan. Saya permisi" Rama pun meninggalkan rumah sakit dan pergi menuju kantornya. Saat Swastika kembali kedalam ruangan dan melanjutkan kegiatannya mengelap tubuh Arya, tiba-tiba dia merasakan jemari Arya bergerak. Cepat-cepat dia berdiri dan memanggil Mamih Ratna dan Swastika meminta tolong pada Luna untuk memanggilkan dokter. Tak berapa lama, kedua mata Arya perlahan terbuka."Arya" "Sayang" "Kamu bisa dengar Mamih?" "Arya" "Arya" panggil Mamih Ratna dan Swastika saling sahut. Mereka terus memberikan afirmasi pada Arya agar segera sadar tetapi Arya tidak merespon apapun. Dia masih berusaha membuka matanya. "Mamih" "Tika" ucapnya tanpa mengeluarkan suara. "Hei, kamu sudah bangun? Tu
"Tenang dulu Bu" ucap dokter itu kala melihat Swastika yang menangis. "Bapak Arya mengalami patah tulung kaki sebelah kiri dan beberapa luka luar. Untuk luka luar sudah kami tangani, tetapi untuk luka dikaki kami akan segera melakukan operasi. Mohon Ibu untuk menandatangani dokumen persetujuan ini sebelum kami melanjutkan tindakan" ucap dokter itu. Kemudian salah seorang perawat mendatanginya dan menyodorkan dokumen yang harus ditandatangani. "Tapi dia baik-baik saja kan Dok?" tanyanya sekali lagi. "Sejauh yang kami periksa, tidak ada luka dalam selain pada kaki. Semuanya baik-baik saja Bu" jawab dokter. Setelah dokumen ditandatangani, mereka bergegas membawa Arya menuju ruang operasi dan menyuruh Swastika untuk menunggu didepan ruangan. Disana, Swastika menghubungi Luna untuk mengabarkan apa yang tengah terjadi pada Arya karena setelah mencoba menghubungi Rama dia masih belum mendapat jawaban. Luna yang saat itu masih mengantuk dan setengah sadar tersentak mendengar kabar itu. D