Andi yang baru saja selesai menyortir paket untuk para karyawan AL Group itu, tiba-tiba saja dikejutkan oleh Glen, salah satu satpam muda yang telah menjadi anak buahnya selama beberapa bulan ini.
"Pak, Pak. Ikut saya, Pak!" teriak Glen dengan panik.Andi masih dengan santainya menjawab, "Kenapa kau berteriak-teriak seperti itu? Telinga Bapak jadi sakit dengarnya."Glen berucap, "Ada yang mau bunuh diri, Pak. Saya tidak tahu siapa karena tidak jelas."Andi yang awalnya tenang itu langsung berdiri, "Di mana?""Ke depan gedung, Pak. Ayo, Pak!" ujar Glen panik dan dia juga langsung menarik tangan Andi untuk dibawa menuju depan kantor AL Group yang ternyata sudah diapadati oleh orang-orang.Di atap gedung, terlihat ada seseorang yang sudah berdiri di sana dan tengah naik ke pembatas. Tak terlihat jelas memang dari bawah gedung. Dari bawah gedung dengan puluhan lantai itu, hanya terlihat sosok kecil yang sudah merentangkan tangannya bTanpa Vesa menjawab pertanyaannya pun Derrick sebenarnya juga sudah tahu jika jawaban untuk pertanyaannya adalah 'Ya'. Mereka memang mutlak menjadi salah satu penyebab kematian Verlyta.Vesa Araya bahkan hanya bisa menatap kosong ke arah depan. Kejadian ini begitu mengguncang jiwanya. Ini terlalu mengejutkan baginya. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya jika teror kecil yang dia kirimkan untuk gadis muda yang sebaya dengannya itu akan mendorong Verlyta untuk menghabisi nyawanya sendiri. Dia tidak bermaksud membuat Verlyta bunuh diri. Bukan itu yang dia inginkan. Bukan itu.Dia seolah berusaha meneriakkan kata-kata yang membuatnya perasaannya lebih baik tapi sayang sekali itu tak jelas tak berhasil."Derrick, kita ke sana."Derrick menoleh, langsung paham apa yang dimaksud oleh Vesa. Mereka berdua ditemani Ruslan dan sebagian pengawal menuju rumah duka. Jenazah Verlyta sudah dibawa pulang oleh Andi dan saat ini akan segera dimakamkan.Ketika Vesa datang, tak sedikit orang-or
"Kenapa kau malah menahanku? Dia sudah sangat kurang ajar, Derrick," ujar Vesa marah tak terima setelah sahabat baiknya itu malah menyeret dirinya menjauh dari rumah keluarga Verlyta."Karena kau bisa membuat keributan di dalam sana, Vesa," jawab Derrick santai.Vesa meninju dinding."Tapi dia sudah sangat keterlaluan, Derrick. Dengan tenangnya dia bertanya apa ayahku masih hidup atau tidak. Dia... Arggghh. Aku seharusnya langsung membunuhnya saja," ucap Vesa putus asa.Derrick mengerti, tentu saja dia paham jika kemarahan Vesa sudah tak terbendung. "Aku tahu, Vesa.""Kau tidak tahu, Derrick," bantah Vesa."Tidak, aku tahu. Vesa, dengar. Dia sengaja memancing kemarahanmu. Dia ingin kau terlihat buruk di depan semua orang termasuk Pak Andi. Jika kau tadi hilang kendali, Pak Andi mungkin akan mengira jika kau benar-benar penyebab anaknya bunuh diri, Vesa."Vesa mendongak, "Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli. Pikirkanlah baik-baik. Inilah yang diinginkan wanita licik itu. Dia ingin kau
Saat itu juga, Vesa langsung memerintah Ruslan untuk menyiapkan jet pribadi milik ayahnya agar dia bisa segera pulang ke Inggris."Maaf, Tuan Muda. Saya tidak bisa menemani Anda. Saya harus menjaga Tuan Besar," ucap Ruslan saat Vesa sudah bersiap-siap masuk ke dalam jet itu.Vesa mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata pun dan langsung masuk ke dalam jet itu.Derrick berkata, "Jangan khawatir, Paman. Saya akan menjaganya."Ruslan tersenyum, penuh dengan rasa terima kasih, "Titip Tuan Muda saya, Tuan Muda White."Derrick memeluk Ruslan, "Paman jangan berkata seperti itu, Vesa itu sahabat baik saya. Saya pasti akan menjaganya.""Terima kasih, Tuan Muda," ujar Ruslan berusaha tersenyum."Tak perlu berterima kasih, Paman. Itu sudah menjadi tugas saya. Jaga diri Paman baik-baik dan juga Paman Valentino. Saya dan Vesa pergi dulu," pamit Derrick.Ruslan mengangguk dan melepas kedua anak muda itu pergi. Sebenarnya sangat berat bagi Ruslan membiarkan Vesa dan Derrick pergi hanya berdua dan di
"Kata siapa kau tak pernah menang, Vesa? Siapa yang mengatakan kau selalu kalah?" tanya Derrick menatap dalam sahabatnya yang sedang kalut itu.Vesa tertawa kecil, sebuah tawa yang jelas menyiratkan kepedihan yang dalam, "Aku.""Derrick, ayolah. Kau berteman denganku hanya karena kasihan kan? Aku terlalu menyedihkan. Iya kan, Tuan Muda White yang terhormat?" lanjut Vesa.Derrick ingin rasanya memukul kepala Vesa agar otak sahabat baiknya itu kembali lurus."Hentikan!" bentak Derrick marah. Derrick menghela napasnya kesal. Betapa dia sekarang ini begitu marah karena Vesa yang mulai kacau lagi."Jangan katakan apapun lagi karena semakin kau mengeluarkan suara, aku semakin jengkel mendengarnya," ujar Derrick lagi.Vesa terkikik geli, "Derrick. Kau...""Diam atau aku sumpal mulutmu, Vesa Araya," ancam Derrick.Vesa terdiam. Dia lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi penumpang itu dan tak mengatakan apapun lagi.Derrick yang telah menyadari emosi Vesa menurun atau lebih tepatnya dia memaks
Vesa menatap takjub ke arah Alea Green yang tersenyum ramah kepadanya. Dia sampai menoleh pada Derrick yang tengah berdiri persis di sampingnya. Derrick hanya mengedipkan sebelah matanya dan entah apa itu maksudnya, Vesa tidak tahu."Ini, turut berduka cita, Vesa," ucap Alea gugup sambil menyerahkan bung daisy pada Vesa.Masih terheran-heran, Vesa mengangguk dan mengambil bunga itu. Namun, demi menjaga kesopanan, Vesa berucap pelan, "Terima kasih sudah datang."Alea kembali tersenyum canggung dan membalas, "Aku akan ke sana."Vesa mengangguk. Begitu Alea pergi dari sana, Vesa langsung saja menodong Derrick dengan pertanyaan, "Derrick, apa aku sedang bermimpi?"Derrick memutar bola matanya jengah, "Mau aku pukul kepalamu?"Vesa langsung memberi tatapan tajam pada sahabatnya itu, "Lalu kenapa Alea Green bersikap baik kepadaku?"Derrick, "Kau memang pintar tapi untuk urusan asmara memang nol."Vesa merangkul Derrick, "Jelaskan dengan bahasa manusia, Derrick!"Derrick mencoba membebaskan
Derrick mendapatkan kunci mobil ayahnya dari sang Ibu yang kebetulan ada di parkiran. "Pergi dari sini, kalian berdua!" teriak Fransisca White pada Derrick dan Vesa."Ibu, ayo ikut!" ajak Derrick.Fransisca menggeleng, "Ibu harus mendampingi ayahmu, Derrick. Kau pergilah dengan Vesa."Mereka bertiga menghindar dari seseorang yang menembak mereka beberapa kali. Fransisca kemudian melempar orang tak dikenal itu dengan sebuah mangkuk dan beruntung lemparannya tepat mengenai sasaran si kepala penembak itu."Sekarang, pergilah. Bawa Vesa pergi, Derrick. Jangan menghubungi siapapun kecuali Ruslan dan keluarga Green," pesan Fransisca. "Green?" ulang Derrick bingung.Fransisca kemudian memberi jalan kepada dua pemuda itu untuk pergi dari sana."Tante," panggil Vesa."Pergilah, Nak. Kau tak aman di sini. Semua penembak itu menargetkan kamu, cepat pergi bersama Derrick," ucap Fransisca cepat sambil melempari semua penembak yang berniat mendekat ke arah mereka."Derrick, cepat!" teriak Fransis
Karena jeritan itu, seseorang penyerang yang merasa sangat terganggu akhirnya menembakkan sebuah peluru yang tepat mengarah pada Fransisca. Wanita paruh baya itu sontak kehilangan nyawanya saat itu juga. Peluru itu mendarat sempurna di dada Fransisca."Bos, kenapa membunuhnya? Bukankah target kita hanya Vesa Araya saja?" tanya salah seorang dari mereka.Seseorang yang dipanggil bos itu sontak memberang marah, "Kau tahu dia siapa?"Orang yang bertanya tadi menggeleng.Si Bos mendecih, "Itu orang tua Derrick White, orang yang membantu Vesa kabur. Dan mereka berdua ini juga telah membantu Vesa kabur dari sini. Kalau bukan karena mereka, kita pasti sudah bisa membunuh si Anak Miliarder itu tadi.""Tetapi tadi dia tertembak, Bos. Dia sempat tertembak," ujar pemuda itu dengan raut sedikit bersemangat.Si Bos tadi langsung menamparnya dengan sangat keras, "Tertembak tapi berhasil kabur. Dasar bodoh!"Orang itu langsung tertunduk."Sudahlah, kita temui Komandan dulu," ucap orang yang dipanggi
"Karena mereka tidak akan mencari kita ke sana, Derrick," ucap Alea serius.Kening Derrick mengerut bingung dan sebelum dia bertanya lagi, Alea sudah kembali berkata, "Mereka tahu aku membawa kalian. Jadi, kemungkinan besar mereka akan mencari di kota-kota yang ada hubungannya dengan keluargaku kan?"Derrick berpikir sejenak, "Benar juga.""Ya, memang benar. Paling aman ya menghindar dari mereka sebisa mungkin dan itu berarti kita harus pergi ke tempat yang tidak bisa mereka tebak," jawab Alea mantap.Derrick mengangguk, "Sejak kapan ka sepintar ini?"Alea menggeram jengkel, dia tahu Derrick sedang menggodanya saja tapi tetap saja dia kesal. Kenapa harus di depan Vesa?Namun, sepertinya Alea tak memiliki waktu untuk menanggapi ucapan Derrick jadi dia lebih memilih untuk berkonsentrasi mengemudi mobil.Menyelamatkan Vesa lebih penting, batin Alea kemudian sambil sesekali melirik lewat spion. Vesa semakin lemah, dia tahu itu. Derrick juga tak berhenti mengecek kondisi Vesa setiap beber
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng