Pada akhirnya, aku tak tahu siapa yang Kukuh sukai. Gara-gara motor yang lewat, membuatku tak mendengar ucapan Kukuh.
Mengapa ini begitu penting?Tentu saja. Ini soal hati dan perasaan. Aku akan mundur jika memang Kukuh mencintai wanita lain, asal bukan Sabia.“Loh, Sabrina? Kukuh?” Papa muncul dari dalam rumah.Kukuh mengambil tangan kanan Papa lalu menciumnya. Aku tertegun sebentar. Pantas saja Papa menginginkan menantu seperti Kukuh, sopan. Aku mengikuti apa yang dilakukan Kukuh. Sesuatu yang selama ini tak pernah kulakukan.“Kamu baru pulang?” tanya Papa.Aku mengangguk.“Tadi saya ketemu dengan Sabrina di depan gang, Om. Jadi sekalian saya antar pulang.”Papa tersenyum. “Terima kasih, saya kira kalian belum saling kenal.”“Kami sudah saling kenal sejak Sabrina tinggal di sini, Om.”“Oh, begitu.” Papa mengangguk paham. “ayo, masuk dulu. Om bikAku melirik Pak Rully dari balik laptop. Dia sedang duduk tak jauh dariku. Menatapku intens dengan kedua tangan yang dilipat didadanya dan kaki diatas satu kaki lainnya. Mirip di film luar negeri, bos mafia yang siap menembak hatiku.Dor. Matilah aku.Beberapa kali aku berdehem, menghilangkan kegugupan diantara aku dan dia. Sejak dia bilang sesuatu yang aneh tadi sore, jujur saja aku jadi merasa canggung.“Mungkin saya bisa dengan mudah mencari penggantimu di kantor, tapi tidak dengan posisi kamu di hati saya.”Ucapan Pak Rully terus terngiang dikepalaku, membuat konsentrasiku buyar seketika.Astaga. Aku menggelengkan kepala beberapa kali untuk menghilangkan bayangan Pak Rully. Tapi, sepertinya sangat sulit. Bahkan tulisanku menjadi typo beberapa kali. Nama tokoh laki-laki dalam novelku berubah menjadi nama Pak Rully semua. Ya ampun, apakah ini yang dinamakan jatuh .... ah untuk mengucapka
“Apa maksud kamu ucapan kalian barusan?” tanya Papa dengan nada bergetar.Aku menunduk takut, melirik Kukuh yang sepertinya juga merasakan hal yang sama.“Sabrina!” seru Papa hampir mirip dengan bentakan.“Apa Sabia pergi dari rumah Mamamu?” tanya Papa lagi dengan lebih menekan.Aku mengangguk ragu. Aku takut sekali. Papa tak pernah semarah ini sebelumnya.“Kenapa?”Aku dan Kukuh bergeming. Apa aku harus jujur pada Papa kalau Sabia dan Mama bertengkar?Astaga. Sama saja aku membuat Mama dan Papa ribut besar.Mama yang tak pernah menerima Sabia, cukup membuat Papa kecewa hingga akhirnya Papa membawa Sabia. Memberikannya kasih sayang yang tak pernah Sabia dapat dari Mama.Wajar saja jika Papa semarah ini.“Sabrina?”“Sabia bertengkar dengan Mama,” ucapku lirih.Papa terduduk di kursi dengan napas memburu. Aku melirik Ku
“Sabia!” seru Kukuh dan Pak Rully bersamaan ketika aku menampar pipi Sabrina.Keterlaluan!Diperlakukan seperti apa pun oleh Mama, aku tak pernah membalasnya. Apalagi sampai meninggikan suara di depan orang tua. Kata pak Ustadz dosa.“Bukannya gue sudah berpesan untuk jaga Papa karena kesehatannya sedang buruk?” tanyaku pada Sabrina yang memegang pipi yang tadi kutampar.“Kenapa malah lu bikin Papa masuk rumah sakit?” “Sabia.” Kukuh mendekatiku. “Nggak semua karena Sabrina.”Aku menatap lelaki itu tak percaya. Masih saja membela Sabrina.“Gue yang memulainya,” ucapnya membuatku semakin heran.“Maksud lu apa, Kuh?”Kukuh membuang napas berat. “Gue tanyai keberadaan lu ke Sabrina. Kita sempat berdebat sedikit hingga akhirnya Om Surya mendengar percakapan kami.”Aku mengernyit. “Om Surya marah karena lu pergi dari rumah Mama lu.”Tanganku
“Toh pas Papa bangun nanti yang akan dicari pasti gue. Jadi, biar gue yang di sini.”Ucapan Sabia benar-benar menohokku. Benar. Mana mungkin Papa mencariku. Sabia memang lebih penting. Kukuh menggiringku keluar dari rumah sakit, sementara Sabia dan Pak Rully masih di dalam sana. Entah bagaimana pria yang berprofesi sebagai produser film itu menemukan kembaranku.“Siapa lelaki itu?” tanya Kukuh saat kami sudah berada di dalam mobil.Maksudnya Pak Rully?“Laki-laki yang datang dengan Sabia tadi.”“Pak Rully,” jawabku singkat.“Siapa dia?”Kenapa Kukuh begitu penasaran?Apa begitu penting keberadaan Pak Rully?“Bos Sabia.”Kukuh melirikku sebentar, lalu mulai menjalankan mobilnya. Keheningan terjadi diantara kami. Aku dengan pikiranku sendiri, dan Kukuh juga sama.Sudah hampir tengah malam jalanan tak begitu ramai. Pemandang
Aku menatap plastik keresek yang tiba-tiba menggantung di depanku. Ada bungkusan makanan dan satu botol air mineral di dalamnya.Dua pasang sepatu sudah berdiri di depanku. Kalau sepasang nanti dikira orang gila. “Ambil,” titahnya tanpa basa-basi.Aku mendongak. Puput. Muka yang biasa ceria itu terlihat kesal menatapku. Berapa lama kami tak bertemu?“Nggak mau ambil?” tanyanya dengan muka jutek.Aku buru-buru mengambil kantong yang disodorkan olehnya. Sejak pagi memang aku tak mengisi perutku dengan makanan apa pun. Bukan karena masih diet, tapi melihat kondisi Papa yang belum juga membuka mata membuat nafsu makanku benar-benar menghilang.Belum lagi mata yang belum tidur dari semalam. Semalaman Pak Rully menemaniku di rumah sakit. Kami saling diam setelah perkataannya yang mengejutkanku. Otakku masih loading untuk menerima pengakuannya yang aneh itu.“Jadi karena ini lu pergi dari kita dan nggak kasih kabar sama sekali?” tanya Puput kesal. Dia sudah duduk di sebelahku dengan muka
“Nanti siang, kita ke rumah sakit menjenguk Papamu,” ucap Mama ketika kami duduk bersama di ruang makan membuatku menghentikan suapan.Serius?Sejak kapan Mama mengkhawatirkan kondisi Papa?“Mama serius?” tanyaku meyakinkan.Mama mengangguk. “Memangnya siapa yang menjaga Papamu di rumah sakit?”“Ada Sabia, Ma.”“Sabia?”Ganti aku yang mengangguk mengiyakan. “Kemarin Sabia datang bersama Pak Rully.”Kulihat Mama sedikit terkejut. “Selama ini dia dengan Pak Rully?Aku menggeleng tak tahu. Rasanya tidak mungkin, karena beberapa kali Pak Rully menanyakan keberadaan Sabia padaku. Aku juga masih merasa penasaran bagaimana bisa Pak Rully datang bersama Sabia.“Aku nggak tahu, Ma. Beberapa hari lalu Pak Rully sempat menanyakan Sabia juga.”Mama mendengus sebal. “Anak itu memang merepotkan. Sampai bosnya saja mencarinya.”Aku menaikkan kedua bahuku. “Cari perhatian saja dia. Mama yakin Sabia juga punya perasaan lebih pada Pak Rully. Siapa yang tidak tergoda mempunyai bos tampan dan kaya. Ingat
“Saya calon mertuanya Sabia.”Aku melotot mendengar penuturan Tante Mirna, lalu melirik Pak Rully yang juga kelihatan terkejut.“Mungkin maksudnya Sabrina, bukan begitu Pak Rully?” tanya Mama seolah tak terima kalau aku yang dijadikan menantu oleh Tante Mirna.Aku melotot ke arah Pak Rully yang gugup. Seolah mata ini memakinya.‘Buaya!’Bilangnya cinta aku. Pret! Makan tuh, cinta. Awas saja nanti kalau sedang berdua, bakal aku jitak kepalanya sampai keluar lato-latonya. Benjol maksudnya.“Maaf, Sabrina itu siapa?” Aku yakin Tante Mirna pura-pura tak kenal, padahal aku sudah sering cerita tentang keluargaku. Kulihat wajah Mama memucat.Kenapa?Baru sadarkah kalau aku lebih dikenal dibanding Sabrina? Jelas sekali kan, bagaimana Mama memperlakukanku dan Sabrina.“Ini Sabrina.” Mama menarik lengan Sabrina agar berhadapan dengan Tante Mirna.
Aku memilih keluar dari dalam rumah sakit dari pada harus mempermalukan diri di depan Pak Rully dan Ibunya. Bisa-bisanya Mama melakukan hal seperti itu. Lagi pula, aku sama sekali tak menyukai Pak Rully. Kami hanya sebatas rekan kerja.Mama saja yang terlalu obsesi ingin aku mendekati Pak Rully. Dengan kejadian ini, semoga Mama akan berhenti menyuruhku mendekati lelaki yang mungkin akan menjadi kakak iparku itu.Aku sempat beberapa kali menabrak orang yang menghalangi jalanku. Meminta maaf, lalu segera keluar mencari ojek. Soal Mama, biarlah. Aku sangat lelah menghadapinya.Suara klakson mobil yang berbunyi nyaring ditelingaku, membuatku sedikit menggeser berdiriku. Mungkin aku menghalangi jalannya.Bukannya berhenti, si pengendara mobil malah terus membunyikan klakson makin kencang. Dengan kesal, aku menengok penasaran.Adam?Aku sangat paham mobil yang dikendarainya.“Lu ngapain disana?” t
“Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?” Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya. Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau. Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan. “Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. K
“Gimana?” tanyaku saat Sabrina keluar dari kantor polisi.Nama Sabrina ikut terseret dalam kasus penangkapan Adam, dan yang lebih mengejutkan, Risa—asisten Sabrina juga ikut terjaring bersama Adam. Baru aku tahu dari Sabrina jika ternyata mereka menjalin hubungan. Aku jadi merasa kasihan dengan Sabrina karena telah percaya dengan orang yang salah. Bisa dibilang Risa adalah orang terdekat Sabrina saat itu.Aku tak tahu bagaimana perasaan Sabrina saat ini, aku yakin dia sangat kecewa. “Gue hanya dijadikan saksi,” jawabnya.“Lu bilang kan, kalau mereka sengaja menjebak lu?”Sabrina mengangguk, aku bernapas lega. “Gue ketemu Risa,” katanya dengan nada sendu. “gue masih nggak nyangka saja dia ngelakuin hal ini. Padahal gue sudah percaya banget sama dia.”Aku mengelus punggungnya. Kami hanya berdua, karena Kukuh dan Mas Rully ada pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Aku melirik lelaki yang terlelap di sebelahku. Ada debaran aneh yang bergelayut di dadaku. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan tanpa kain penghalang. Mau diceritakan?Janganlah, aku malu. Pasalnya beberapa kali aku berteriak dan beberapa kali memukulnya karena sakit yang kurasakan, setelahnya tentu saja dia mencibirku karena aku mendesah. Sudah cukup. Aku sangat malu. Sungguh.Aku memungut pakaianku yang berceceran dilantai, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada beberapa jejak yang dia tinggalkan ditubuhku, aku menggeleng untuk menghilangkan ingatan tentang yang baru saja terjadi diantara kami.Astaga. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar mandi dia sudah berdiri di depanku dengan celana kolor Spongebob kuningnya tanpa baju. Aku memalingkan muka berusaha menghindari menatap dada bidangnya yang terpampang nyata di depanku. Sepertinya dia rajin nge-gym.“An
Aku melirik tangan yang menggenggam erat jemariku di bawah meja seolah memberi kekuatan agar aku nyaman berada di depan banyak kamera. Ya, aku memutuskan untuk memberikan klarifikasi atas videoku dan Mama yang sudah tersebar di berbagai sosial media yang berimbas pada karier Sabrina dan nama baik Mama.Walaupun sampai saat ini Sabrina tak mengatakan siapa pelakunya, aku tetap akan membersihkan nama mereka. Ini adalah bentuk peduliku karena hanya mereka keluargaku semenjak Papa meninggal. “Apa Mbak Sabia diperlakukan tidak adil oleh Ibunya? Seperti yang kita lihat di video yang tersebar bahwa Ibu Anda seperti memilih kasih,” kata salah satu wartawan.Aku mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. “Kami perlakukan sama, saya memang lebih dekat dengan Papa, kalau Sabrina dengan Mama, kalau di video itu saya rasa hanya kesalah pahaman saja, sih.”“Jadi, apa sebenarnya yang membuat Mbak Sabia memutuskan memilih Sabrina menjadi peme
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Aku mengucap syukur hamdalah ketika dengan lancar lelaki itu mengucapkan ijab qobul di depan Papa, penghulu dan beberapa saksi lainnya. Setelah drama panjang yang dibuat oleh Mama, akhirnya aku bisa menikah dengan lelaki yang kucintai.Begitu pula dengan Sabia, kami lahir dan menikah di hari yang sama dengan kondisi yang berbeda. Harusnya aku bahagia, tapi perasaan sedihku lebih mendominasi dari pada bahagiaku. Melihat Papa yang terbaring kemudian menjadi saksi nikah kami, membuatku miris.Bukankah pernikahan harusnya disambut dengan suka cita?Tapi tidak dengan pernikahan kami.Aku bahkan hanya memakai baju sederhana yang dia bawa dari rumah. Katanya ini baju nikah Ibunya dulu. Padahal, impianku adalah menikah dengan mewah bak putri raja.Bukan seperti ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Air mataku mengalir tanpa sadar setelah para saksi dari dokter dan perawat menyaksikan pernikahan kami. Aku baru tahu, jika dokter Kalandra pernah menempuh pendidikan di pesantren, jadi kami tak perlu memanggil seorang ahli agama. Tak ada pesta, tak ada hiasan di wajah, hanya akad sederhana yang berlangsung di rumah sakit. Dengan baju gamis sederhana yang dibawakan oleh Tante Mirna, aku telah sah menjadi seorang istri. Sungguh, ini bukan jenis pernikahan yang menjadi impianku. Tapi, tak mengapa, demi Papa aku akan menjalaninya.Setidaknya aku telah memenuhi permintaan Papa untuk terakhir kalinya. Aku mewujudkan keinginan Papa untuk menjadi wali nikahku walaupun dalam kondisi terbaring lemah. Aku mencium tangan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku dengan takzim. K
“Gue ingat, Bi!” Ya, sekarang aku ingat betul bahwa aku sendiri yang merekam kejadian itu dengan ponsel yang biasa kugunakan untuk mengunggah barang-barang endors dan ponsel itu berada di tangan Risa.Sial. Risa!Teganya dia berani menusukku dari belakang setelah apa yang aku lakukan padanya. Kukira dia akan menjadi pembela untukku, nyatanya malah dia yang menjadi duri dalam selimut.“Siapa?” tanya Sabia penasaran.Aku menatap Sabia, banyak sekali perdebatan di benakku antara berkata jujur atau aku berbohong saja. Padahal Sabia begitu baik mau mencari tahu dalang dibalik semua video itu. Astaga. Aku bahkan terlihat menyedihkan dan sangat stres kemarin dengan adanya video itu. Tanpa sadar bahwa akulah pelaku yang telah merekamnya. Aku sendiri yang menggali lubang, kemudian Risa mendorongku ke dalamnya.Risa?“Lupakan,” kataku akhirnya.Sabia tampak tak puas dengan jawabku, tapi aku terus berdalih agar dia melupakan masalah ini dan biarkan aku saja yang mengurusnya. Tatapan kecewa d
“Gue ingat, Bi.”Aku menatap antusias pada Sabrina. “Lu curiga seseorang?”Sabrina mengangguk. “Siapa?”Sabrina terdiam, menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu menggeleng. Aku mengernyit.“Lupakan,” katanya.“Bri?”Entah kenapa aku merasa Sabrina menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?“Nggak usah diperpanjang,” kata Sabrina sambil menunduk. “Nanti juga bakal hilang sendiri kok, beritanya.”Aku menatapnya kecewa. Bukan soal hilang atau tidaknya berita itu, tapi aku hanya ingin menjaga nama baik Mama dan Sabrina. Apa dia tidak mengerti itu?Netizen juga tak akan respek lagi dengannya, kenapa Sabrina begitu menggampangkan masalah ini?“Bri, nggak bisa gitu, dong. Ini harus segera diselesaikan.”Mata Sabrina tampak menerawang, lalu tersenyum tipis. “Biar gue yang urus,” katanya lalu duduk di kursi.Tangannya memijit kedua pelipisnya. Aku mencoba mendekatinya.“Bri,” lirihku.“Tolong hargai keputusan gue.”Aku bergeming menatap Sabrina penuh tanya. Teka t
Aku masuk ke ruangan Papa tak lama setelah kepergian Sabia. Entah kenapa hatiku panas ketika Kukuh dan Pak Rully berebut menawarkan diri untuk mengantar pulang kembaranku itu.Kalau Pak Rully sih, silakan saja. Kalau Kukuh? Jelas aku merasa cemburu. Bahkan dia tak sadar ketika aku menatapnya kesal. Dasar tak peka!Untunglah Sabia memilih Pak Rully yang mengantarnya. Aku tak berbicara apa pun padanya setelah kejadian itu. Biarkan saja dia introspeksi diri. Beraninya mengucap cinta padaku tapi masih berniat mengantar Sabia pulang.Ya, walaupun mereka berteman, setidaknya hargai posisiku.“Pa,” lirihku mengeluh punggung tangannya yang terasa sedikit hangat. “ternyata seperti ini rasanya cemburu.”Dulu aku merasa cemburu pada Sabia yang dekat dengan Papa, seorang aku cemburu Sabia dekat dengan Kukuh. “Dia bilang suka sama aku, tapi dia masih mendekati Sabia. Aku tahu mereka sudah berteman