“Saya calon mertuanya Sabia.”
Aku melotot mendengar penuturan Tante Mirna, lalu melirik Pak Rully yang juga kelihatan terkejut.“Mungkin maksudnya Sabrina, bukan begitu Pak Rully?” tanya Mama seolah tak terima kalau aku yang dijadikan menantu oleh Tante Mirna.Aku melotot ke arah Pak Rully yang gugup. Seolah mata ini memakinya.‘Buaya!’Bilangnya cinta aku. Pret! Makan tuh, cinta. Awas saja nanti kalau sedang berdua, bakal aku jitak kepalanya sampai keluar lato-latonya. Benjol maksudnya.“Maaf, Sabrina itu siapa?”Aku yakin Tante Mirna pura-pura tak kenal, padahal aku sudah sering cerita tentang keluargaku. Kulihat wajah Mama memucat.Kenapa?Baru sadarkah kalau aku lebih dikenal dibanding Sabrina? Jelas sekali kan, bagaimana Mama memperlakukanku dan Sabrina.“Ini Sabrina.” Mama menarik lengan Sabrina agar berhadapan dengan Tante Mirna.Aku memilih keluar dari dalam rumah sakit dari pada harus mempermalukan diri di depan Pak Rully dan Ibunya. Bisa-bisanya Mama melakukan hal seperti itu. Lagi pula, aku sama sekali tak menyukai Pak Rully. Kami hanya sebatas rekan kerja.Mama saja yang terlalu obsesi ingin aku mendekati Pak Rully. Dengan kejadian ini, semoga Mama akan berhenti menyuruhku mendekati lelaki yang mungkin akan menjadi kakak iparku itu.Aku sempat beberapa kali menabrak orang yang menghalangi jalanku. Meminta maaf, lalu segera keluar mencari ojek. Soal Mama, biarlah. Aku sangat lelah menghadapinya.Suara klakson mobil yang berbunyi nyaring ditelingaku, membuatku sedikit menggeser berdiriku. Mungkin aku menghalangi jalannya.Bukannya berhenti, si pengendara mobil malah terus membunyikan klakson makin kencang. Dengan kesal, aku menengok penasaran.Adam?Aku sangat paham mobil yang dikendarainya.“Lu ngapain disana?” t
Dokter sudah memberi izin untukku masuk ke ruangan Papa. Di sini. Di sisi Papa, diruangan dingin yang sudah beberapa hari Papa tinggali, aku duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Papa. Sudah 3 hari Papa belum juga mau membuka matanya.“Papa ngambek ya, sama Sabia?” tanyaku sendiri. Walaupun Papa tak meresponsku, kata dokter Papa harus tetap diajak komunikasi.“Sabia sudah pulang, Pa. Papa pasti bangga melihat Sabia sudah kurus sekarang. Sabia sudah cantik nih, Pa. Sabia diet loh, Pa, biar mirip dikit kayak Sabrina. Papa tahu kan, Mama akan senang kalau anak-anaknya terlihat cantik."Aku memegang telapak tangan Papa yang baru kusadari kulitnya mulai keriput menandakan usianya tak lagi muda. Tangan itu terasa dingin, tak sehangat biasanya. “Papa bilang mau melihat Sabia menikah, Papa nggak mau lihat calon menantu Papa yang menyebalkan itu? Kenalan kek minimal. Ganteng loh, Pa," lirihku. "Banyak sekali yang ingin Sabia cerit
Aku harus ke mana?Setelah bertengkar dengan Mama, aku meninggalkan Mama di lokasi syuting. Aku berjalan menyusuri trotoar jalanan yang ramai. Biar saja orang-orang melihatku aneh, yang penting aku terbebas dari Mama.Persetan dengan proyek series itu. Mereka bisa mengganti peranku dengan orang lain. Sejak awal memang aku tak ingin menjadi artis, hanya saja Mama terus memaksaku. Bukan hanya aku, tapi juga memaksa Sabia agar menjadikanku pemeran utama. Aku sudah tak punya muka di depan teman-teman syutingku. Mereka melihatku dengan tatapan mengejek, belum lagi ketikan jari netizen di berbagai media sosial yang terus memojokkanku. Kulihat namaku dan Sabia bahkan trending di sosial media burung putih. Komentar-komentar mereka jelas merusak kepercayaan diriku. Tugas pertamaku adalah mencari pelaku yang merekam dan menyebarkan video itu. Kepalaku hampir pecah memikirkannya.Aku kembali ke rumah Papa yang te
Aku menatap kedua lelaki di hadapanku dengan risi. Pasalnya mereka sudah berjabat tangan lebih dari 5 menit dengan saling melempar tatapan tajam. Aku khawatir mereka jadi jatuh cinta.Astaghfirullah, tobat Sabia!Aku memisah tangan mereka dengan keras membuat mereka menatap ke arahku penuh tanya.“Pamali satu gender saling tatap-tatapan begitu,” ujarku menatap keduanya kesal. “takut ada jin lewat terus bikin kalian jatuh cinta.”Pak Rully dan Kukuh bergidik jijik lalu saling melempar tatapan kesal. Lagian ada-ada saja mereka, perkenalan macam apa yang mereka lontarkan satu sama lain.“Ada apa Bapak datang kemari?” tanyaku pada Pak Rully.“Jadi hanya dia yang boleh datang kemari?” Pak Rully menunjuk Kukuh.Astaghfirullah, salah lagi. Aku menepuk jidatku keras. “Bukan begitu, Pak—““Baperan!” sindir Kukuh sambil menatap sinis Pak Rully.“Kamu men
“Sabrina?!”Aku bergeming. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku di sini? Padahal sudah mati-matian aku pergi dan pulang secara diam-diam menghindari orang-oramg yang mengenalku, termasuk dia. Persembunyian ku ternyata gagal total.Aku memejamkan mata, menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan sebelum membalikkan badan.“Semua orang cariin—““Gue tahu,” selaku tanpa menoleh ke arahnya. “Tadi—“ sebelum dia meneruskan ucapannya, aku membalikkan badan menatapnya nanar. “Kenapa lu tahu gue di sini?” Tanyaku. Kini, kami sudah saling berhadapan.“Nggak sengaja lewat,” jawabnya. “Terakhir saat gue balikin mobil ingat kalau gerbang gue selop. Tadi gue lihat terbuka.”Kukuh berjalan mendekatiku. “Bri, Sabia nyariin lu, dia khawatir sama lu.”Benarkah?Aku tertegun sejenak, kemudian mengembalikan ekspresiku seperti semula.“L
Mama menatap sengit Pak Rully sementara aku menatapnya tak percaya. “Bagi saya, cukup Sabia membalas cinta saya, maka saya akan lakukan apa pun untuknya. Termasuk jika dia meminta Sabrina keluar dari series itu.”Perkataan Pak Rully menari di benakku. Seperti ada bunga yang bermekaran di dalam hatiku. Ibarat seperti Padang tandus yang di guyur air hujan satu tahun yang mengakibatkan rumput tumbuh tanpa izin.Anggap saja begitu.Aku tak bisa mengungkapkannya, tapi aku yakin wajahku sudah semerah buah naga.Kalau tomat asem, buah naga saja yang ada manis-manisnya seperti aku.“Pak—“Tatapan kami beralih ke beberapa perawat dan seorang dokter yang masuk ke ruangan Papa. Mama yang mau memprotes ucapan Pak Rully pun mengurungkan niatnya saat melihat mereka masuk ruangan Papa.Ada apa?Jiwa kepo ku bergejolak. Melirik dari balik celah pintu, aku bernapas lega karena mereka hanya
Aku menjatuhkan diri di atas kasur. Mataku menerawang menatap langit-langit kamar Sabia dengan hiasan bintang dan bulan. Entah kenapa kamar Sabia jadi terasa nyaman, dan membuatku betah berdiam diri di dalamnya. Aku akan meneruskan membaca novel karya Sabia yang lainnya. Dulu, membaca adalah hal yang sangat aku jauhi, buku pelajaran saja aku enggan membacanya, apalagi sebuah novel. Tapi, buku-buku Sabia benar-benar membuatku merasa candu untuk terus membuka lembarannya. Pikiranku tiba-tiba saja mengingat kejadian sebelum aku memasuki rumah.Apa maksud ucapan Kukuh tadi?Apa dia juga menyukaiku seperti aku menyukainya?Dadaku menghangat mengingat perkataan lelaki yang katanya sudah bersahabat lama dengan Sabia itu. Membayangkan mereka dekat lalu tertawa bersama membuatku sedikit panas. Kenapa tidak aku saja dulu yang mengenal Kukuh?Ah, Sabia, kamu benar-benar beruntung.Aku merogoh saku, tering
“Alhamdulillah, Pak Surya sudah membuka matanya.”Aku memegang. Bukan karena tak senang, tapi karena aku sudah berprasangka buruk terhadap Mama.Astaghfirullah.Urusan dengan Mama akan kuurus nanti setelah Papa benar-benar pulih. Aku yakin Mama juga mungkin akan memakluminya.Setelah memastikan kondisi Papa stabil, dokter akan memindahkan Papa ke ruang rawat inap. Setelah itu, barulah kami boleh menemuinya. “Pa,” lirihku setelah dokter memperbolehkan aku menemui Papa.Papa tersenyum sembari melambaikan tangan ke arahku. Segera mendekat, aku mencium tangan Papa takzim, sementara Pak Rully masih menunggu di luar ruangan.“Kamu nggak pernah makan?” tanya Papa dengan suara parau.Aku tertawa. “Kamu kurus sekali. Apa selama tinggal dengan Mamamu, dia tak memberimu makan?” tanya Papa lagi.Aku menggeleng. “Maafkan Sabia, Pah.”“Papa senang kamu baik-
“Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?” Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya. Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau. Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan. “Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. K
“Gimana?” tanyaku saat Sabrina keluar dari kantor polisi.Nama Sabrina ikut terseret dalam kasus penangkapan Adam, dan yang lebih mengejutkan, Risa—asisten Sabrina juga ikut terjaring bersama Adam. Baru aku tahu dari Sabrina jika ternyata mereka menjalin hubungan. Aku jadi merasa kasihan dengan Sabrina karena telah percaya dengan orang yang salah. Bisa dibilang Risa adalah orang terdekat Sabrina saat itu.Aku tak tahu bagaimana perasaan Sabrina saat ini, aku yakin dia sangat kecewa. “Gue hanya dijadikan saksi,” jawabnya.“Lu bilang kan, kalau mereka sengaja menjebak lu?”Sabrina mengangguk, aku bernapas lega. “Gue ketemu Risa,” katanya dengan nada sendu. “gue masih nggak nyangka saja dia ngelakuin hal ini. Padahal gue sudah percaya banget sama dia.”Aku mengelus punggungnya. Kami hanya berdua, karena Kukuh dan Mas Rully ada pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Aku melirik lelaki yang terlelap di sebelahku. Ada debaran aneh yang bergelayut di dadaku. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan tanpa kain penghalang. Mau diceritakan?Janganlah, aku malu. Pasalnya beberapa kali aku berteriak dan beberapa kali memukulnya karena sakit yang kurasakan, setelahnya tentu saja dia mencibirku karena aku mendesah. Sudah cukup. Aku sangat malu. Sungguh.Aku memungut pakaianku yang berceceran dilantai, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada beberapa jejak yang dia tinggalkan ditubuhku, aku menggeleng untuk menghilangkan ingatan tentang yang baru saja terjadi diantara kami.Astaga. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar mandi dia sudah berdiri di depanku dengan celana kolor Spongebob kuningnya tanpa baju. Aku memalingkan muka berusaha menghindari menatap dada bidangnya yang terpampang nyata di depanku. Sepertinya dia rajin nge-gym.“An
Aku melirik tangan yang menggenggam erat jemariku di bawah meja seolah memberi kekuatan agar aku nyaman berada di depan banyak kamera. Ya, aku memutuskan untuk memberikan klarifikasi atas videoku dan Mama yang sudah tersebar di berbagai sosial media yang berimbas pada karier Sabrina dan nama baik Mama.Walaupun sampai saat ini Sabrina tak mengatakan siapa pelakunya, aku tetap akan membersihkan nama mereka. Ini adalah bentuk peduliku karena hanya mereka keluargaku semenjak Papa meninggal. “Apa Mbak Sabia diperlakukan tidak adil oleh Ibunya? Seperti yang kita lihat di video yang tersebar bahwa Ibu Anda seperti memilih kasih,” kata salah satu wartawan.Aku mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. “Kami perlakukan sama, saya memang lebih dekat dengan Papa, kalau Sabrina dengan Mama, kalau di video itu saya rasa hanya kesalah pahaman saja, sih.”“Jadi, apa sebenarnya yang membuat Mbak Sabia memutuskan memilih Sabrina menjadi peme
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Aku mengucap syukur hamdalah ketika dengan lancar lelaki itu mengucapkan ijab qobul di depan Papa, penghulu dan beberapa saksi lainnya. Setelah drama panjang yang dibuat oleh Mama, akhirnya aku bisa menikah dengan lelaki yang kucintai.Begitu pula dengan Sabia, kami lahir dan menikah di hari yang sama dengan kondisi yang berbeda. Harusnya aku bahagia, tapi perasaan sedihku lebih mendominasi dari pada bahagiaku. Melihat Papa yang terbaring kemudian menjadi saksi nikah kami, membuatku miris.Bukankah pernikahan harusnya disambut dengan suka cita?Tapi tidak dengan pernikahan kami.Aku bahkan hanya memakai baju sederhana yang dia bawa dari rumah. Katanya ini baju nikah Ibunya dulu. Padahal, impianku adalah menikah dengan mewah bak putri raja.Bukan seperti ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Air mataku mengalir tanpa sadar setelah para saksi dari dokter dan perawat menyaksikan pernikahan kami. Aku baru tahu, jika dokter Kalandra pernah menempuh pendidikan di pesantren, jadi kami tak perlu memanggil seorang ahli agama. Tak ada pesta, tak ada hiasan di wajah, hanya akad sederhana yang berlangsung di rumah sakit. Dengan baju gamis sederhana yang dibawakan oleh Tante Mirna, aku telah sah menjadi seorang istri. Sungguh, ini bukan jenis pernikahan yang menjadi impianku. Tapi, tak mengapa, demi Papa aku akan menjalaninya.Setidaknya aku telah memenuhi permintaan Papa untuk terakhir kalinya. Aku mewujudkan keinginan Papa untuk menjadi wali nikahku walaupun dalam kondisi terbaring lemah. Aku mencium tangan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku dengan takzim. K
“Gue ingat, Bi!” Ya, sekarang aku ingat betul bahwa aku sendiri yang merekam kejadian itu dengan ponsel yang biasa kugunakan untuk mengunggah barang-barang endors dan ponsel itu berada di tangan Risa.Sial. Risa!Teganya dia berani menusukku dari belakang setelah apa yang aku lakukan padanya. Kukira dia akan menjadi pembela untukku, nyatanya malah dia yang menjadi duri dalam selimut.“Siapa?” tanya Sabia penasaran.Aku menatap Sabia, banyak sekali perdebatan di benakku antara berkata jujur atau aku berbohong saja. Padahal Sabia begitu baik mau mencari tahu dalang dibalik semua video itu. Astaga. Aku bahkan terlihat menyedihkan dan sangat stres kemarin dengan adanya video itu. Tanpa sadar bahwa akulah pelaku yang telah merekamnya. Aku sendiri yang menggali lubang, kemudian Risa mendorongku ke dalamnya.Risa?“Lupakan,” kataku akhirnya.Sabia tampak tak puas dengan jawabku, tapi aku terus berdalih agar dia melupakan masalah ini dan biarkan aku saja yang mengurusnya. Tatapan kecewa d
“Gue ingat, Bi.”Aku menatap antusias pada Sabrina. “Lu curiga seseorang?”Sabrina mengangguk. “Siapa?”Sabrina terdiam, menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu menggeleng. Aku mengernyit.“Lupakan,” katanya.“Bri?”Entah kenapa aku merasa Sabrina menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?“Nggak usah diperpanjang,” kata Sabrina sambil menunduk. “Nanti juga bakal hilang sendiri kok, beritanya.”Aku menatapnya kecewa. Bukan soal hilang atau tidaknya berita itu, tapi aku hanya ingin menjaga nama baik Mama dan Sabrina. Apa dia tidak mengerti itu?Netizen juga tak akan respek lagi dengannya, kenapa Sabrina begitu menggampangkan masalah ini?“Bri, nggak bisa gitu, dong. Ini harus segera diselesaikan.”Mata Sabrina tampak menerawang, lalu tersenyum tipis. “Biar gue yang urus,” katanya lalu duduk di kursi.Tangannya memijit kedua pelipisnya. Aku mencoba mendekatinya.“Bri,” lirihku.“Tolong hargai keputusan gue.”Aku bergeming menatap Sabrina penuh tanya. Teka t
Aku masuk ke ruangan Papa tak lama setelah kepergian Sabia. Entah kenapa hatiku panas ketika Kukuh dan Pak Rully berebut menawarkan diri untuk mengantar pulang kembaranku itu.Kalau Pak Rully sih, silakan saja. Kalau Kukuh? Jelas aku merasa cemburu. Bahkan dia tak sadar ketika aku menatapnya kesal. Dasar tak peka!Untunglah Sabia memilih Pak Rully yang mengantarnya. Aku tak berbicara apa pun padanya setelah kejadian itu. Biarkan saja dia introspeksi diri. Beraninya mengucap cinta padaku tapi masih berniat mengantar Sabia pulang.Ya, walaupun mereka berteman, setidaknya hargai posisiku.“Pa,” lirihku mengeluh punggung tangannya yang terasa sedikit hangat. “ternyata seperti ini rasanya cemburu.”Dulu aku merasa cemburu pada Sabia yang dekat dengan Papa, seorang aku cemburu Sabia dekat dengan Kukuh. “Dia bilang suka sama aku, tapi dia masih mendekati Sabia. Aku tahu mereka sudah berteman