"Kau akan segera mengetahuinya,"Kai tersenyum kecil, lalu melirik ke arah semak semak yang berada tak jauh dari tempatnya saat ini. Setelah itu, Kai segera mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan mencari nama kontak seseorang.Begitu mendapatkan apa yang ia cari, senyuman Kai terlihat semakin lebar. Ia segera menekan tombol untuk memanggil orang itu. Kai mendekatkan ponselnya ke telinga dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya.Hal ini tentu saja membuat Ben merasa bingung dengan apa yang dilakukan oleh adik sahabatnya itu. Mata coklatnya mengerjap kecil tanpa berkomentar, memberi ruang untuk Kai agar pria itu melakukan apa yang ia mau.Tak berselang lama, suara nada dering telepon terdengar begitu menggema di danau yang terasa sunyi itu. Kai mengikuti arah bunyi itu dan melihat jika semak semak di dekatnya bergerak ribut, padahal tak ada angin yang menerpa. Kai harus menahan tawanya melihat situasi yang sangat menarik ini."Uncle, apa itu?" Tanya Terry yang rupanya memp
Ben bisa melihat ada riak terkejut di wajah manis milik Ivy. Mata hijau itu terlihat membulat seolah akan keluar dari tempatnya. Mulutnya terbuka, sedikit menampilkan gigi taringnya yang mungil layaknya anak kucing. Wajahnya memucat seperti kertas yang baru saja dibuat, serta tubuhnya terlihat menegang.Ben tertawa kecil menikmati ekspresi itu. Ekspresi submissive yang begitu menggoda. Ia ingin melihat lebih dati ini. Maka dari itu, Ben kembali melontarkan pertanyaan yang bersifat pribadi dengan nadanya yang begitu menggoda, terdengar serak dan juga dominan."Ya, imbalan lain. Kau sudah izinkan untuk masuk ke dalam mobil mewahku ini. Bukankah rasanya tak sebanding jika imbalannya hanya mengucapkan terima kasih saja?"Ivy menggigit bibirnya dengan keras hingga tak terasa melukainya. wajahnya terlihat panik. Mata hijaunya bergulir ke sana kemari tak tentu arah. Otaknya berpikir dengan keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari situasi ini."Miss Ivy, kenapa kau tak menjawab pertany
Ivy bungkam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu. Mengingatnya saja sudah membuatnya membenci dirinya sendiri, apalagi menceritakannya pada orang lain. Ia belum siap dicaci maki oleh orang lain karena kejadian gila itu.Ben sendiri juga tak menekan Ivy untuk menjawab pertanyaannya. Ia hanya diam sembari membiarkan Ivy menangis sesukanya. Ben kebingungan harus apa untuk menghibur wanita beranak dua itu.Suasana di mobil terasa begitu sendu. Hanya suara tangisan Ivy saja yang terdengar menandingi suara hujan deras diluar. Terra dan Terry segera berdiri lalu memegang tangan Ivy yang terjulur bebas."Mommy," panggil si kembar dengan nada sendu. Kedua manik hijau si kembar berkaca kaca, siap untuk menumpahkan air mata yang sudah tertampung di pelupuk mata.Ivy yang mendengar panggilan itu segera menoleh, menatap si kembar dengan matanya yang terlihat sembab. Wanita muda itu segera menyeka air matanya dengan tisu yang berada di tangannya deng
Steve melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul 10 malam. Waktu berlalu begitu cepat setelah pertengkarannya dengan Flora ketika berada di dapur tadi.Steve menolehkan kepalanya ke arah jendela yang masih menampilkan hujan badai. Steve mendesah kasar lalu segera meminum kopi yang sudah lama mendingin hingga tandas. Gelas yang sudah kosong itu ia simpan di bawah tempat tidur karena ia sedang malas menyimpannya di atas laci nakas. Setelah itu, pria berambut merah muda itu segera menyimpan naskah yang ia pegang ke atas meja yang letaknya bersebrangan dengan tempat tidurnya, setengah membantingnya karena jaraknya cukup jauh. Beruntung naskah itu tak berhamburan ataupun jatuh ke atas lantai.Steve segera meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berbaring, lalu segera membuka layar dengan kata sandi yang sudah ia hapal di luar kepala."Ben sudah pulang belum ya?" Gumamnya pelan sambil mengetukkan tangan di dagu, meng
Ethan dan Kai kini tengah duduk di ruang tamu apartemen milik Jake. Kedua pria itu terdiam satu sama lain, enggan mengobrol untuk sekedar memecah keheningan yang tercipta diantara keduanya. Saat ini, Ethan sedang fokus dengan ponselnya—yang mana ia tengah bekerja— sementara Kai sendiri memilih untuk bermain game online. Karena kesal menunggu Jake yang entah sedang melakukan apa di kamar mandi, Kai melempar ponselnya ke samping sofa, lalu meregangkan badannya yang terasa sakit dan juga pegal."Haah, bosannya,"Kai melenguh kecil sembari mengusap dengan lebar. Pria itu hampir saja tertidur karena terlalu lama menunggu Jake yang belum datang hingga saat ini.Ethan melirik ke arah "teman barunya" itu dengan tatapan sinis. Senyuman miring tercetak di wajah tampannya. Ia tak berkata apapun dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya daripada mengomentari tingkah Kai yang membuatnya kesal setengah mati. Sejak awal, Ethan memang kurang
"Oh, Jayden. Aku tak menyangka kalau kau datang ke bar milikku," Archer yang sedang berbicara dengan salah satu koleganya langsung membalikkan badan begitu melihat sahabatnya datang mengunjunginya.Pria berkulit Tan itu tersenyum tipis sembari saat melihat Jayden yang saat ini tengah menaruh payungnya di gantungan khusus yang terletak di samping pintu masuk.Jayden menolehkan kepalanya ke arah sumber suara lalu berjabat tangan dengan Archer, tak lupa juga berjabat dengan para kolega milik pria itu, meskipun Jayden tak mengenalnya."Well, aku sedikit bosan dengan klub milikku. Sesekali aku ingin keluar dan beristirahat sejenak," kelakar Jayden dengan tawa kecil yang mengiringinya. "Aku tak mengganggu waktumu kan, Archer?" Tanya Jayden lagi menyambung perkataannya."Dasar kau ini. Tentu saja kau tak menggangguku. Lagipula, urusanku dengan kolegaku juga sudah selesai," sahut Archer dengan senyuman manis. Pria berkulit Ta
Steve menghela napas panjang sembari memegang lututnya yang terasa sakit. Napasnya terengah dengan dada yang terasa sesak. Bulir-bulir keringat keluar dari sekujur tubuhnya. Badannya terasa panas dan wajahnya terlihat memerah. Pria berambut merah muda itu melepaskan masker yang ia gunakan untuk meraup napas lebih banyak. Steve bernapas menggunakan mulut karena rasa sesak yang tak kunjung hilang akibat terlalu lama berlari dari dua orang yang mengejarnya. Sesekali, pria itu akan menyembulkan kepalanya dari balik tembok untuk melihat apakah orang yang mengejarnya itu berada dekat dengan posisinya saat ini atau tidak."Sialan! Gara gara file ini, aku dikejar oleh mereka sampai kelelahan seperti ini," umpat Steve sembari menyeka keringat yang berada di dahinya. Matanya melirik ke arah file yang terdapat di tangan kanannya.Saat akan keluar dari tempat persembunyiannya, tubuh Steve menegang ketika mendengar suara derap kaki yang m
"Aku tidak mau minta maaf. Aku tidak salah. Aku hanya melindungi Mommy dari tuan Ben," Ucapan itu tentu saja membuat Ivy terkejut. Matanya membulat dengan ekspresi kaget yang tercetak jelas di wajahnya. Ivy memejamkan matanya sejenak, berpikir mengapa Terry bisa membangkang seperti ini.Ivy merasa kecewa dengan sikap Terry. Tentu saja ia merasakan hal itu. Wanita muda itu merasa gagal karena tak bisa mendidik anaknya dengan baik. Ia mendekati Terry dan menaruh tangannya di bahu bocah laki-laki itu. Akan tetapi, sesuatu yang tak biasa terjadi.Terry menepis tangan Ivy tanpa menatap mata ibunya itu. Bocah laki-laki itu memilih untuk menundukkan kepalanya dengan tangan yang terkepal kuat, seolah tengah menahan amarah bisa meledak kapan saja.Karena cara "kasar" pada Terry tak berhasil, Ivy harus menggunakan cara yang biasa ia lakukan. Ivy memeluk tubuh Terry dengan erat. Terry tentu saja meronta ronta sembari mengerang kesal. "Mo
Setelah dirias oleh para pengantin professional selama dua jam lamanya, penampilan Ivy kini berubah drastis. Wanita sederhana yang saat ini sedang kebingungan itu terlihat berkali kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.Wajahnya yang seperti boneka dipoles sedemikian rupa, dengan gaun pengantin putih yang membalut tubuh rampingnya.Setelah memasangkan veil pada kepalanya, para perias itu pergi ke luar dari ruangan itu. Ivy menggigit bibirnya dan memegang dadanya lagi, merasa sesak dan juga tak nyaman.Ditengah kebingungannya itu, tiba tiba saja Ben datang menghampiri dirinya, dengan setelan jas hitam yang nampak gagah membalut tubuh kekarnya.Sejenak keduanya saling terkesima satu sama lain. Wajah Ivy sampai memerah melihat wajah Ben yang berkali kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Meskipun kantung mata hitam tak bisa di samarkan dengan sempurna dari wajah pria tampan itu." Ben, jelaskan apa yang terjadi. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini? Kenapa pernikahannya men
"Kalau aku mau uncle Kai menjadi Daddy ku," sela Terry yang entah sejak kapan datang. Semua orang yang ada di ruangan itu mengalihkan fokus mereka pada Terry yang saat ini terlihat begitu berkeringat. Bocah laki-laki itu mengipasi wajahnya yang terlihat memerah menggunakan buku yang entah di dapat dari mana.Terra memperhatikan kakak kembarnya dengan intens. Ada seberkas rasa tak suka saat Terry menyebutkan demikian. Maka dari itu, Terra turun dari pangkuan Kai dan segera menghampiri Terry, lalu memukul tangan bocah laki-laki itu dengan cukup kencang.Terry yang mendapat geplakan kasih sayang dari sang adik tentu saja tak terima. Mata hijaunya menatap Terra dengan tatapan tajam. Rahang bocah laki-laki itu mengetat. Wajahnya yang terlihat memerah karena kelelahan menjadi semakin merah karena marah."Kenapa kau malah memukul tanganku?" Tanya Terry dengan nada setengah berteriak. Ia hampir saja mendorong tubuh Terra ke belakang jika saja Ivy tak menarik gadis kecil itu ke belakang."I
"Ben, apakah kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" Tanya seorang pria paruh baya yang masih bugar di umurnya yang tak muda lagi.Ben yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya tentu saja menghentikan kegiatannya. Matanya bergulir dari laptop menuju ke arah sumber suara. Di depannya, Ben bisa melihat seorang pria yang sangat ia kenali. "Oh, belum," sahut Ben singkat lalu kembali memusatkan perhatiannya pada laptop dan kembali mengetik, mengabaikan eksistensi pria yang saat ini berada di hadapannya dengan wajah tak bersalah."Aku sedang sibuk, Daddy Apa yang Daddy butuhkan? Katakan dengan cepat dan segera keluar dari sini,"Perkataan Ben yang merupakan pengusiran secara langsung membuat pria dengan postur yang sangat mirip dengan Ben itu tertawa keras. Pria itu menegang perutnya yang terasa keram.Ben melirik sebentar ke arah pria yang ia panggil Daddy itu secara sekilas, lalu memutar mata malas saat mendengar tawa nyaring yang terdengar menyebalkan di telinganya."Dad, suaramu membuat
"Well, sepertinya aku memang harus membicarakan hal ini, terutama kaitannya dengan penyembunyian statusku dan juga pelaku dari tragedi mawar hitam itu sendiri,"Ivy tersenyum miris pada dirinya sendiri. Dengan cepat, ia segera menarik rambut hitamnya yang panjang dan indah dari belakang dengan gerakan kasar. Wanita muda itu meringis kecil saat kepalanya terasa sangat sakit. Kai yang berada di hadapannya tentu saja terkejut dengan aksi dai wanita yang lebih muda darinya itu."Wow wow wow. Tunggu sebentar. Apa yang akan kau lakukan, Ivy?" Tanya Kai heran karena tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh wanita beranak dua itu."Menarik apa yang tersembunyi," jawab Ivy ambigu, yang tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak Leanore dan juga Kai."Maksudnya?" Tanya Leanore dengan nada pelan, benar benar gagal paham dengan apa yang Ivy katakan padanya."Aku akan menjelaskan itu nanti. Tapi bisakah kalian menarik rambutku terlebih dahulu?" Pinta Ivy dengan wajah memelas. Mata hijau itu t
"Bukti nyata. Tidak hanya sekedar omongan saja. Kau tahu sendiri bukan jika perkataanmu itu tak memiliki kekuatan hukum jika masalah ini akan di usut?"Perkataan yang Kai lontarkan memang benar adanya. Ivy termenung sembari menggigit bibir, merasa ada yang kurang untuk mengungkap Flora sebagai dalang dari dua kejadian mengerikan yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang.Kurangnya bukti dan saksi membuat Ivy terperangkap kata katanya sendiri. Wajah wanita beranak dua itu terlihat kebingungan, namun disisi lain terlihat sedikit kesal karena menemukan jalan buntu, disaat semuanya akan terungkap.Kai yang melihat hal itu menampilkan senyuman tipisnya. Ia segera berdiri untuk mengambil makanan yang sekiranya bisa di gunakan untuk mengganjal perut yang terasa lapar, mengingat sekarang sudah hampir makan siang. Kai baru ingat jika dirinya belum makan apapun selain air yang tadi ia teguk hari ini."Kau mau kemana?" Tanya Leanore menginterupsi Kai yang bangkit dari sofa."Bukankah kita s
"Darimana kau mendapatkan kesimpulan jika Flora adalah dalang dari semua ini?"Ethan tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak tirinya itu. Bibirnya terlihat melengkung ke atas dengan mata yang terpejam.Hal ini membuat Jake selaku kakak tak sedarah dari pria bermata abu abu itu merasa kebingungan dengan tingkah sang adik yang tak bisa ia baca."Kau tak tahu?" Tanya Ethan balik, dengan nada datar seperti biasa.Jake menggelengkan kepalanya. Jujur saja, ia merasa kebingungan dan terkejut disaat yang bersamaan, karena mendapat sekali banyak kejutan dan informasi dalam satu waktu. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk di cerna oleh otaknya yang seolah tersetting untuk bisnis saja.Ethan tertawa kecil melihat sang kakak yang terlihat kebingungan, namun disisi lain juga terlihat sangat penasaran. Ia ingin menggoda Jake lebih lama, hitung hitung sebagai hiburannya dikala suntuk.Akan tetapi, Ethan tak melakukannya mengingat ia tak punya banyak waktu untuk bercanda si situasi gedu
"Haruskah aku mengatakannya?"Ivy bertanya pada kedua manusia yang berada di sampingnya dengan nada ragu. Mulutnya terlihat kelu saat didesak harus membuka tabir rahasia yang selama ini ia simpan rapat agar identitasnya tak ketahuan.Leanore dan Kai menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Suara Ivy tercekat di kerongkongan, seolah ada sesuatu yang menahannya. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sebuah kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan yang Kai lontarkan.Sejujurnya ia merasa bersalah karena menyembunyikan fakta sebesar ini, terutama "Neva" adalah sosok yang mengetahui semua tentang dua kejadian buruk yang menimpa Clayton Group hingga memakan banyak korban jiwa.Akan tetapi, disisi lain, jika ia membuka jati dirinya, maka hidupnya bisa dalam bahaya. Ini adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar resikonya.Dirinya menimang nimang keputusan untuk mengungkap jati dirinya. Jika boleh dibandingkan, maka rahasia yang satu ini jauh lebih berat di katakan daripada saat ia menyembun
"Itu karena aku memiliki alasan tersendiri."Ivy mendesah malas seraya melihat ke arah jam di dinding, menikmati suara jarum jam yang entah kenapa menenangkan pikirannya yang tengah kusut seperti benang yang bertumpuk.Leanore tentu saja mengerutkan keningnya mendengar alasan yang Ivy lontarkan. Rasanya, wanita yang sudah menjadi rekan sekaligus dianggapnya adik itu menyembunyikan sesuatu yang sangat besar. Hal ini bisa terlihat dari cara pandang Ivy yang terlihat tak nyaman. Manik hijau yang bagaikan rusa itu bergulir tak tentu arah dengan gerakan tubuh yang tak nyaman. Leanore bisa melihat jika Ivy seolah ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin.Walaupun wajah Ivy terlihat lebih tenang daripada sebelumnya, tapi Leanore tahu jika Ivy sebenarnya tengah menyembunyikan keresahan hati yang saat ini ia rasakan.Wanita berambut merah terang itu menghela napas panjang. Ia ingin mendesak sahabatnya lebih jauh. Jujur saja, keputusan yang Ivy ambil sangatlah bodoh menurutnya. Leanore m
Jake sudah sampai di apartemennya karena panggilan Ethan yang menyuruhnya untuk cepat pulang ditengah jam kerjanya. Dengan tergesa, pria bermata hitam jelaga itu melepas sepatu yang ia kenakan dan melemparnya dengan asal.Tak berhenti sampai di sana saja, Jake juga melempar jas yang ia kenakan ke gantungan mantel yang berada dekat dengan pintu, hingga jas itu tergantung dengan asal. Setelah beres, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke ruang tengah, tepat dimana sang adik menunggu dirinya.Jake bisa melihat jika ruang tengah sangat berantakan, seperti diterjang oleh badai topan. Kaleng bir yang berserakan di mana mana. Sampah yang berceceran di segala penjuru. Serta remah remah kue dah keripik yang bertebaran di setiap jengkal lantai yang ia pijaki. Jake juga bisa menemukan beberapa dalaman wanita yang tergantung di atas sofa. Jake menggeleng jijik sembari menggelengkan kepalanya, karena tak percaya jika apartemen yang ia sayangi ini tak ayal seperti tempat pembuangan sampah