Wanita muda itu berjengit kaget saat mendengar uang ganti rugi sebagai kompensasi atas kesalahan buah hatinya. Wajah wanita itu tampak gusar dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di wajah cantiknya.
Ben sendiri tampak menikmati ekspresi kalut itu, seolah ia sudah menemukan hiburan terbaru untuk mengusir rasa penat akibat pekerjaan yang mencekik dirinya. Wajah wanita muda di hadapannya sebenarnya sangat cantik, lebih cantik daripada Marinka yang berstatus sebagai sekretarisnya.Wajahnya yang mirip boneka itu menghipnotisnya. Dengan mata hijau yang begitu memukau, hidung kecil yang mungil namun mancung, kulit seputih susu dengan bibir merah mungil yang menggoda. Rambutnya yang berwarna hitam terlihat begitu lembut dan halus dan sangat pas dengan potongan rambut hime yang dipadukan dengan wolf cut dibagian depan, lalu rambut panjang yang lurus sebokong dibagian belakang. Tubuhnya seperti gitar spanyol, begitu indah dan memikat.Akan tetapi, pria itu sedikit terganggu dengan baju lusuh yang wanita itu kenakan. Seolah merusak pemandangan surgawi yang saat ini tersaji di depannya.Rasanya tangan pria itu gatal ingin membawa wanita ini pergi dan mengajaknya ke salon untuk melakukan beberapa perubahan pada wajah cantiknya agar semakin memukau.Setelah itu, Ben bisa membawanya ke toko baju terkenal dan membelikannya pakaian seksi yang pasti pas di tubuh cantiknya lalu mengurungnya di suatu tempat.Angan angan itu terasa nyata untuk Ben yang saat ini menatap tubuh wanita muda itu dengan penuh minat, layaknya mangsa yang sudah mengincar korbannya. Matanya memicing tajam dengan gelora panas yang menghampiri tubuhnya.Disisi lain, bocah laki laki bernama Terry tentu saja terusik dengan pria dewasa di hadapan ibunya ini. Tatapan Ben terlihat menyeramkan di matanya. Sebagai seorang anak laki laki, Terry merasa berkewajiban untuk menghentikan tatapan Ben yang terlihat cabul itu dengan cara menegurnya."Paman, jangan melihat Mommy Terry seperti itu," ujar bocah laki laki itu dengan nada kesal sambil menatap Ben dengan tatapan tajam khasnya. Bibirnya mengatup kuat dengan alis menukik tajam, seolah hendak memakan Ben saat itu juga."Ehem! Aku tidak melihat ibumu, bocah," ujar Ben mengalihkan tatapannya ke arah lain, merasa malu karena ketahuan telah memandangi seorang wanita muda dengan tatapan genit dan memuja di hadapan anaknya yang notebene berkarakter keras dan galak."Aku melihat paman yang tengah melihat Mommy. Tolong jangan mengelak,"Ucapan Terry bak racun untuk Ben yang saat ini mati kutu karena tak bisa membalas perkataan bocah kecil itu. Ben heran, mengapa anak ini ucapannya begitu tajam dan pedas? Berbeda dengan kembarannya yang begitu kalem dan lembut. Ben mengabaikan hal itu lalu menatap wanita muda di depannya sambil berdehem pelan untuk mengusir rasa canggung yang tercipta."Jadi, bagaimana, Miss?""Tuan, saya tak sanggup jika harus menggantinya sebanyak itu," ujar wanita muda itu dengan nada lemah dan juga putus asa."Tapi saya juga tak mungkin untuk tak meminta ganti rugi pada anda akibat ulah anak anda, Miss. Jadi lebih baik anda segera membayar kompensasi agar saya bisa segera pergi dari sini," ujar Ben dengan nada menekan wanita muda di hadapannya agar segera memberikan apa yang ia inginkan."Tuan...""Saya tidak mau tahu, Miss. Saya butuh uang itu saat ini juga agar bisa membeli celana yang baru!"Wanita muda itu memejamkan mata, berusaha untuk berpikir cara untuk keluar dari masalah ini. Otaknya terasa buntu dan kosong. Rasanya, ia ingin menangis dan berteriak saat itu juga."Kau tak bisa mengabulkannya? Baiklah, kalau begitu aku meminta kompensasi lain," ujar Ben dengan seringai yang tercetak jelas di wajah tampannya.Wanita itu menoleh, tersenyum tipis saat ada opsi kedua untuk menyelesaikan masalah pelik ini. Ia menghela napas lega walau hanya sejenak. Meskipun tak tahu apa yang akan Ben minta, tapi setidaknya ia bisa bernapas sejenak. Wanita muda itu berharap agar permintaan Ben tidak berhubungan dengan uang."Apa itu, tuan?" Tanya gadis itu dengan nada lugunya yang begitu manis."Datanglah ke apartemenku malam ini," bisik Ben dengan nada pelan tepat ditelinga wanita muda itu.Wanita muda itu membulatkan mata horor, dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya membeku mendengar permintaan lain yang diinginkan oleh pria di hadapannya. Mulutnya terasa kelu untuk bicara. Suaranya tercekat di kerongkongan. Permintaan kedua ini terasa lebih berat daripada yang pertama.Ralat, kedua permintaan ini sangat sulit untuknya. Mata hijau wanita muda berkaca kaca dengan hidung yang sudah mulai memerah, bersiap untuk menumpahkan air matanya. Demi kerang ajaib, ini adalah masalah pelik yang ia hadapi, setelah "kejadian" itu yang membuatnya kehilangan segalanya."Jadi bagaimana, Miss? Anda bersedia?" Tanya Ben dengan nada menggoda sambil menaik turunkan alisnya."Saya...."Saat wanita muda itu hendak menjawab, Marinka segera menginterupsi percakapan keduanya. Wanita berambut pirang itu berdehem kecil seraya menggelayut manja di lengan kekar milik Ben, membuat pria itu menatap sekretarisnya dengan mata melotot."Ben, sudahlah. Lagipula ini hanya kesalahan kecil. Jangan dibesar besarkan seperti itu," ujar Marinka dengan nada manjanya, tak mempedulikan bahwa masih ada dua bocah kecil diantara mereka."Lagipula, dari yang aku lihat, ia hanyalah wanita miskin yang kebetulan punya dua anak kembar. Tak mungkin ia bisa mengganti celanamu saat ia sendiri menggunakan baju lusuh seperti itu,"Perkataan Marinka sedikitnya menggores hari wanita muda itu. Ia memejamkan matanya sambil memegang dadanya yang terasa sakit seperti ditusuk oleh duri. Tatapan merendahkan dari Marinka tentu membuatnya merasa minder dan malu.Tanpa disangka, Terry maju ke hadapan Marinka. Bocah kecil itu menatap tajam wanita dewasa di hadapannya dengan raut wajah galaknya. "Anda jangan menghina Mommy kami. Meskipun kami miskin, setidaknya kami masih memiliki sopan santun untuk bicara sopan pada orang lain,""Terry!"Terry memalingkan wajahnya ke arah lain saat mendengar ucapan ibunya yang sedikit meninggi. Tangannya bersidekap di depan dada dengan tatapan tak suka, tak merasa menyesal telah mengatakan hal seperti itu.Wanita muda itu menghela napas kasar lalu memijat kepalanya yang sedikit berdenyut. Bagus, perkataan anak sulungnya membuat semua perhatian pengunjung kafe beralih padanya. Wanita muda itu menghela napas panjang lalu segera membungkukkan kepalanya kembali."Saya minta maaf atas perilaku anak saya, Miss,""Huh, dasar wanita miskin, kau harusnya bisa mendidik anakmu dengan baik," sarkas Marinka yang membuat hati wanita muda itu kembali tergores dalam."Itu benar, saya hanyalah wanita miskin yang mungkin tak selevel—""Kau memang tak akan selevel dengan kami berdua. Jadi lebih baik kau segera pergi dari sini dan bawa kedua anakmu dari hadapanku," ujar Marinka dengan nada kesal."Lalu, bagaimana dengan kompensasinya?""Jangan pikirkan itu! Lebih baik kau pergi dari sini dan jangan pernah menampakkan dirimu lagi di hadapanku ataupun pria ini," usir Marinka sambil mengibaskan tangan.Wanita muda itu menghela napas panjang lalu menganggukkan kepala. Setidaknya, masalah ini bisa segera di atasi walaupun caranya terkesan aneh dan juga memalukan. Tapi itu tak penting. Setelah itu, ia dan kedua bocah kembar itu berbalik, hendak keluar dari cafe.Saat akan melangkahkan kakinya, tangan milik Ben mencekal tangan wanita muda itu, hingga membuatnya hampir saja jatuh jika kedua anaknya tak sigap menahan tangan ibu mereka."Ah! Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ujar Ben dengan nada cepat, membuat wanita muda itu mengerjapkan matanya karena harus memproses perkataan bagai rap musik itu."Apa itu? Apa saya harus tetap membayar ganti rugi dari celana yang anda pakai sekalipun wanita di sebelah anda bilang itu tak jadi masalah?" Tanya wanita muda itu menjeda sejenak perkataannya."Jika iya, saya akan mengumpulkan uang dan membayar kerugian yang ditimbulkan oleh Terra. Tapi tidak sekarang, Tuan,""Bukan itu. Aku hanya ingin bertanya, siapa namamu?""Nama saya Ivy Anderson,""Baiklah, Ivy, apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu terasa tak asing bagiku,"Mata Ivy bergulir ke samping dengan genggaman tangan yang menguat pada kedua tangan anaknya. Bibirnya ia gigit dengan napas tertahan, membeku mendengar pertanyaan itu. "Maaf?" "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Ben mengulangi kalimatnya. Ia dengan sabar menunggu jawaban dari wanita muda beranak dua di hadapannya, ingin memastikan ingatan samar yang tiba tiba saja melintas di kepalanya saat ia melihat wajah Ivy. Pria itu yakin sekali jika wanita muda yang berada di hadapannya ini adalah orang yang selama ini ia cari. "Kita tak pernah bertemu sebelumnya, Tuan," jawab Ivy dengan nada tersendat, seolah kehilangan suara. Tatapan mata Ivy terlihat begitu sendu, dibarengi dengan mata yang berkaca kaca. Ivy segera memejamkan matanya dan melirik kembali tangan yang dipegang oleh Ben. "Anda bisa melepaskan tangan anda, Tuan. Saya harus pulang karena harus bekerja," Ben segera melepaskan tangan wanita muda itu dengan cepat. Pria itu baru sadar jika ia masih memegang tangan Ivy
Ben segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya setelah melakukan meeting dengan pemilik Adams Corp. Pria itu merasa kelelahan luar biasa setelah mengalami hari yang panjang. Celana yang kotor ia lempar kedalam keranjang cucian kotor yang terdapat di sudut ruangan. Karena merasa gerah, Ben segera mengendurkan dasi yang mencekik lehernya dan menyalakan air conditioner. Begitu udara yang dihasilkan oleh AC itu memenuhi ruangan, Ben segera menutup matanya. Ia ingin tidur hari ini dan berencana akan pergi ke klub malam nanti untuk mencari wanita yang bisa diajak tidur dengannya. Rasa rileks dapat Ben rasakan saat ini. Dirinya hampir saja terlelap sebelum bantingan pintu yang kasar dan juga keras menghancurkan niatnya, hingga matanya kembali terbuka dengan sempurna. "Sialan! Kau tak bisa membuka pintu dengan lebih santai?" Hardik Ben seraya menatap tajam si pelaku yang saat ini tengah memasang wajah tak berdosa. Ben ingin sekali mencekik orang itu andai saja ia tak ingat ji
"Mengapa anda menanyakan suami saya?" Tanya Ivy pelan, merasa tak nyaman dengan topik pembahasan yang Ben angkat. Ini adalah pembahasan yang normal, namun entah kenapa terlalu sensitif untuk Ivy. wanita muda itu merasa jika Ben terlalu ingin tahu akan urusan pribadinya."Kau masih punya hutang tentang celanaku yang kotor gara gara anak perempuanmu, omong-omong," Ben mengingatkan dengan nada rendah, membuat bulu kuduk Ivy merinding disko karenanya. "Dan lagi, kau bisa meminta pada suamimu untuk ganti rugi yang kau lakukan padaku. Jadi, aku tanya sekali lagi, dimana suamimu?"Wanita muda itu ingin meninggalkan Ben saat ini, berlari sejauh mungkin dari pria itu. Tatapan mengintimidasi dan mendominasi yang Ben keluarkan membuatnya tak nyaman seolah tercekik. Hanya saja ia tak bisa melakukannya untuk sekarang. Ivy tak mau dilaporkan oleh Ben pada atasannya dengan alasan tak melayani konsumen dengan baik yang berakhir dengan pemotongan gaji. Tidak! jangan sampai hal itu terjadi padanya."
"Ini, cemilanmu," Ben menyodorkan satu kantong keresek besar berisi snack, kue kering dan beberapa minuman botol pesanan kakak kembarnya. Steve segera meraih kantung keresek itu dengan hati riang. Pria itu berjalan menuju ke sebuah sofa yang berada di sudut ruangan, mengabaikan Ben yang berdiri mematung disana. Ben mengumpat dalam hati melihat perilaku Steve yang menurutnya kurang ajar. Bukannya berterima kasih, pria itu malah melenggang meninggalkan dirinya sendirian disana seperti orang bodoh. Dengan kesal, Ben segera menghampiri Steve yang saat ini tengah duduk santai di sofa sambil membuka snack dan kue kering yang tadi ia beli."Bukannya berterima kasih, kau malah meninggalkanku disana seperti orang bodoh," gerutu Ben kesal. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa single terpisah yang berada di sebelah Steve sambil memijat kepalanya yang terasa berdenyut."Heh, biasanya juga kau langsung pergi," sahut Steve dengan yang terdengar menyebalkan di telinga Ben."Tumben kau masih d
"Maaf, tuan. Sepertinya saya harus menolak tawaran anda," Ivy menolak langsung tawaran itu lagi, tentu dengan bahasa yang sangat halus selembut sutra agar Ben tak tersinggung. Pria itu menaikkan alisnya, bingung dengan penolakan yang dilontarkan oleh wanita beranak dua di hadapannya. Matanya menelisik ke arah Ivy, dengan tatapan penasaran dan juga menuntut disaat yang bersamaan."Kenapa kau menolakku? Apa alasannya?" Tanya Ben bertubi tubi, tak terima ditolak lagi untuk kedua kalinya. Pria itu berusaha untuk mempertahankan sikap ramahnya agar bisa menggali rasa tertariknya pada Ivy.Ivy tersenyum manis menanggapi pertanyaan itu. Ia menghela napas sejenak dan kembali menatap Ben dengan senyuman kecil yang terukir di bibir mungilnya yang merah dan menggoda.Ben kehilangan fokus. Ia malah memerhatikan bibir mungil itu. Rasanya Ben ingin mencecap bibir manis itu dan membungkamnya dengan bibirnya. Berbagai pikiran liar kini merasuki tubuhnya, membuat hasrat yang terpendam entah kenapa te
Setelah pulang berbelanja bulanan, Ivy segera membereskan semua yang tadi ia beli ke dalam kulkas, tentu dengan dibantu oleh si kembar. Kedua anaknya itu begitu bersemangat menyodorkan benda yang tadi mereka beli pada Ivy. "Mommy, aku mau mengatakan sesuatu pada Mommy," ujar si kecil Terra yang saat ini menyodorkan sekotak telur pada Ivy. Wanita berambut hitam itu menoleh pada anak perempuannya dengan senyuman lembut yang terukir di bibir mungilnya. Ia paling suka melihat anak anaknya mengatakan apa yang mereka pikirkan.Selain itu Ivy juga mengajarkan kedua anaknya untuk saling terbuka satu sama lain jika ada masalah ataupun pengalaman menarik yang mereka alami."Tentu saja, sayang. Apa yang ingin kau katakan pada Mommy?"Terra tampak ragu. Raut wajah si kecil terlihat gelisah disertai dengan tatapan mata yang terlihat menghindar dari Ivy dan juga kembarannya, Terry. Tentu saja ini membuat Ivy merasa bingung sekaligus heran dengan kelakuan anak bungsunya.Setelah mengambil kotak te
Untuk menghilangkan rasa tak nyaman karena tawarannya ditolak oleh Ivy, Ben mengendarai mobilnya menuju salah satu bar yang paling terkenal dikawasan ini. Pria itu berkendara dengan kecepatan penuh agar bisa segera mendinginkan isi kepalanya yang terasa kusut seperti sekarang.Tak membutuhkan waktu lama, Ben pun tiba di tempat tujuannya. Setelah memarkirkan mobil, Ben segera melangkahkan kakinya menuju ke dalam bar, melewati para bodyguard yang berjaga disana dengan santai. Pria itu memasukkan tangannya ke saku dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya.Begitu masuk, suara dentuman musik yang cukup keras terdengar di telinga Ben. Lampu disko yang warna warni memancarkan cahayanya. Bau parfum yang cukup menyengat bercampur padu menjadi satu di ruangan itu. Wanita wanita berpakaian seksi yang tengah menari dengan gerakan sensual menjadi pemandangan surgawi bagi lelaki yang ingin mencuci mata. Aroma alkohol yang cukup menusuk menjadi pelengkap bagaimana keadaan bar yang Ben samb
Jayden mengernyitkan keningnya saat mendengar pertanyaan yang Terry lontarkan. Mata ambernya terlihat memutar, seolah enggan menjawab pertanyaan itu.Pria pemilik bar itu lebih memilih untuk mengalihkan atensinya pada Vodka pesanannya yang baru saja diantar oleh salah seorang bartender yang berpenampilan seksi yang bekerja di bar miliknya. Bartender wanita itu hanya menggunakan baju crop sedada dan rok mini yang membalut tubuh seksinya, memperlihatkan perutnya yang ramping dan kakinya yang begitu jenjang. Ben mencuri curi pandang pada bartender itu sebentar, melihat penampilan indah di depannya dengan gaya coolnya, yakni dengan tangan menyilang di depan dada dan tatapan mata lurus yang memberi kesan kuat dan juga dominan yang melekat pada dirinya. Hal ini tentu membuat bartender itu mengedipkan mata dengan kerlingan menggoda pada Ben untuk menarik perhatian pria itu. Ben tadinya ingin membalas godaan itu. Akan tetapi, ada hal mendesak yang jauh lebih penting saat ini, yakni tentan
Setelah dirias oleh para pengantin professional selama dua jam lamanya, penampilan Ivy kini berubah drastis. Wanita sederhana yang saat ini sedang kebingungan itu terlihat berkali kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.Wajahnya yang seperti boneka dipoles sedemikian rupa, dengan gaun pengantin putih yang membalut tubuh rampingnya.Setelah memasangkan veil pada kepalanya, para perias itu pergi ke luar dari ruangan itu. Ivy menggigit bibirnya dan memegang dadanya lagi, merasa sesak dan juga tak nyaman.Ditengah kebingungannya itu, tiba tiba saja Ben datang menghampiri dirinya, dengan setelan jas hitam yang nampak gagah membalut tubuh kekarnya.Sejenak keduanya saling terkesima satu sama lain. Wajah Ivy sampai memerah melihat wajah Ben yang berkali kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Meskipun kantung mata hitam tak bisa di samarkan dengan sempurna dari wajah pria tampan itu." Ben, jelaskan apa yang terjadi. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini? Kenapa pernikahannya men
"Kalau aku mau uncle Kai menjadi Daddy ku," sela Terry yang entah sejak kapan datang. Semua orang yang ada di ruangan itu mengalihkan fokus mereka pada Terry yang saat ini terlihat begitu berkeringat. Bocah laki-laki itu mengipasi wajahnya yang terlihat memerah menggunakan buku yang entah di dapat dari mana.Terra memperhatikan kakak kembarnya dengan intens. Ada seberkas rasa tak suka saat Terry menyebutkan demikian. Maka dari itu, Terra turun dari pangkuan Kai dan segera menghampiri Terry, lalu memukul tangan bocah laki-laki itu dengan cukup kencang.Terry yang mendapat geplakan kasih sayang dari sang adik tentu saja tak terima. Mata hijaunya menatap Terra dengan tatapan tajam. Rahang bocah laki-laki itu mengetat. Wajahnya yang terlihat memerah karena kelelahan menjadi semakin merah karena marah."Kenapa kau malah memukul tanganku?" Tanya Terry dengan nada setengah berteriak. Ia hampir saja mendorong tubuh Terra ke belakang jika saja Ivy tak menarik gadis kecil itu ke belakang."I
"Ben, apakah kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" Tanya seorang pria paruh baya yang masih bugar di umurnya yang tak muda lagi.Ben yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya tentu saja menghentikan kegiatannya. Matanya bergulir dari laptop menuju ke arah sumber suara. Di depannya, Ben bisa melihat seorang pria yang sangat ia kenali. "Oh, belum," sahut Ben singkat lalu kembali memusatkan perhatiannya pada laptop dan kembali mengetik, mengabaikan eksistensi pria yang saat ini berada di hadapannya dengan wajah tak bersalah."Aku sedang sibuk, Daddy Apa yang Daddy butuhkan? Katakan dengan cepat dan segera keluar dari sini,"Perkataan Ben yang merupakan pengusiran secara langsung membuat pria dengan postur yang sangat mirip dengan Ben itu tertawa keras. Pria itu menegang perutnya yang terasa keram.Ben melirik sebentar ke arah pria yang ia panggil Daddy itu secara sekilas, lalu memutar mata malas saat mendengar tawa nyaring yang terdengar menyebalkan di telinganya."Dad, suaramu membuat
"Well, sepertinya aku memang harus membicarakan hal ini, terutama kaitannya dengan penyembunyian statusku dan juga pelaku dari tragedi mawar hitam itu sendiri,"Ivy tersenyum miris pada dirinya sendiri. Dengan cepat, ia segera menarik rambut hitamnya yang panjang dan indah dari belakang dengan gerakan kasar. Wanita muda itu meringis kecil saat kepalanya terasa sangat sakit. Kai yang berada di hadapannya tentu saja terkejut dengan aksi dai wanita yang lebih muda darinya itu."Wow wow wow. Tunggu sebentar. Apa yang akan kau lakukan, Ivy?" Tanya Kai heran karena tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh wanita beranak dua itu."Menarik apa yang tersembunyi," jawab Ivy ambigu, yang tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak Leanore dan juga Kai."Maksudnya?" Tanya Leanore dengan nada pelan, benar benar gagal paham dengan apa yang Ivy katakan padanya."Aku akan menjelaskan itu nanti. Tapi bisakah kalian menarik rambutku terlebih dahulu?" Pinta Ivy dengan wajah memelas. Mata hijau itu t
"Bukti nyata. Tidak hanya sekedar omongan saja. Kau tahu sendiri bukan jika perkataanmu itu tak memiliki kekuatan hukum jika masalah ini akan di usut?"Perkataan yang Kai lontarkan memang benar adanya. Ivy termenung sembari menggigit bibir, merasa ada yang kurang untuk mengungkap Flora sebagai dalang dari dua kejadian mengerikan yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang.Kurangnya bukti dan saksi membuat Ivy terperangkap kata katanya sendiri. Wajah wanita beranak dua itu terlihat kebingungan, namun disisi lain terlihat sedikit kesal karena menemukan jalan buntu, disaat semuanya akan terungkap.Kai yang melihat hal itu menampilkan senyuman tipisnya. Ia segera berdiri untuk mengambil makanan yang sekiranya bisa di gunakan untuk mengganjal perut yang terasa lapar, mengingat sekarang sudah hampir makan siang. Kai baru ingat jika dirinya belum makan apapun selain air yang tadi ia teguk hari ini."Kau mau kemana?" Tanya Leanore menginterupsi Kai yang bangkit dari sofa."Bukankah kita s
"Darimana kau mendapatkan kesimpulan jika Flora adalah dalang dari semua ini?"Ethan tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak tirinya itu. Bibirnya terlihat melengkung ke atas dengan mata yang terpejam.Hal ini membuat Jake selaku kakak tak sedarah dari pria bermata abu abu itu merasa kebingungan dengan tingkah sang adik yang tak bisa ia baca."Kau tak tahu?" Tanya Ethan balik, dengan nada datar seperti biasa.Jake menggelengkan kepalanya. Jujur saja, ia merasa kebingungan dan terkejut disaat yang bersamaan, karena mendapat sekali banyak kejutan dan informasi dalam satu waktu. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk di cerna oleh otaknya yang seolah tersetting untuk bisnis saja.Ethan tertawa kecil melihat sang kakak yang terlihat kebingungan, namun disisi lain juga terlihat sangat penasaran. Ia ingin menggoda Jake lebih lama, hitung hitung sebagai hiburannya dikala suntuk.Akan tetapi, Ethan tak melakukannya mengingat ia tak punya banyak waktu untuk bercanda si situasi gedu
"Haruskah aku mengatakannya?"Ivy bertanya pada kedua manusia yang berada di sampingnya dengan nada ragu. Mulutnya terlihat kelu saat didesak harus membuka tabir rahasia yang selama ini ia simpan rapat agar identitasnya tak ketahuan.Leanore dan Kai menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Suara Ivy tercekat di kerongkongan, seolah ada sesuatu yang menahannya. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sebuah kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan yang Kai lontarkan.Sejujurnya ia merasa bersalah karena menyembunyikan fakta sebesar ini, terutama "Neva" adalah sosok yang mengetahui semua tentang dua kejadian buruk yang menimpa Clayton Group hingga memakan banyak korban jiwa.Akan tetapi, disisi lain, jika ia membuka jati dirinya, maka hidupnya bisa dalam bahaya. Ini adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar resikonya.Dirinya menimang nimang keputusan untuk mengungkap jati dirinya. Jika boleh dibandingkan, maka rahasia yang satu ini jauh lebih berat di katakan daripada saat ia menyembun
"Itu karena aku memiliki alasan tersendiri."Ivy mendesah malas seraya melihat ke arah jam di dinding, menikmati suara jarum jam yang entah kenapa menenangkan pikirannya yang tengah kusut seperti benang yang bertumpuk.Leanore tentu saja mengerutkan keningnya mendengar alasan yang Ivy lontarkan. Rasanya, wanita yang sudah menjadi rekan sekaligus dianggapnya adik itu menyembunyikan sesuatu yang sangat besar. Hal ini bisa terlihat dari cara pandang Ivy yang terlihat tak nyaman. Manik hijau yang bagaikan rusa itu bergulir tak tentu arah dengan gerakan tubuh yang tak nyaman. Leanore bisa melihat jika Ivy seolah ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin.Walaupun wajah Ivy terlihat lebih tenang daripada sebelumnya, tapi Leanore tahu jika Ivy sebenarnya tengah menyembunyikan keresahan hati yang saat ini ia rasakan.Wanita berambut merah terang itu menghela napas panjang. Ia ingin mendesak sahabatnya lebih jauh. Jujur saja, keputusan yang Ivy ambil sangatlah bodoh menurutnya. Leanore m
Jake sudah sampai di apartemennya karena panggilan Ethan yang menyuruhnya untuk cepat pulang ditengah jam kerjanya. Dengan tergesa, pria bermata hitam jelaga itu melepas sepatu yang ia kenakan dan melemparnya dengan asal.Tak berhenti sampai di sana saja, Jake juga melempar jas yang ia kenakan ke gantungan mantel yang berada dekat dengan pintu, hingga jas itu tergantung dengan asal. Setelah beres, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke ruang tengah, tepat dimana sang adik menunggu dirinya.Jake bisa melihat jika ruang tengah sangat berantakan, seperti diterjang oleh badai topan. Kaleng bir yang berserakan di mana mana. Sampah yang berceceran di segala penjuru. Serta remah remah kue dah keripik yang bertebaran di setiap jengkal lantai yang ia pijaki. Jake juga bisa menemukan beberapa dalaman wanita yang tergantung di atas sofa. Jake menggeleng jijik sembari menggelengkan kepalanya, karena tak percaya jika apartemen yang ia sayangi ini tak ayal seperti tempat pembuangan sampah