“Ma!” Edward langsung membentak karena ucapan Margaret yang dianggap tidak tahu waktu.Margaret terlihat tak acuh, bahkan sengaja memalingkan wajah dari Edward.Evan sendiri tidak habis pikir, kenapa sang mama sangat keras kepala kepadanya. Tidak pernah sekali pun Evan membantah apa yang dikatakan oleh Margaret, tapi sekarang kenapa hanya karena dia menolak dijodohkan, membuat Margaret menentang sesuatu yang diinginkannya.Dokter dan perawat yang baru saja selesai memeriksa Evan pun memilih untuk pergi dari ruangan itu. Hingga Edward langsung menatap tajam ke Margaret.“Hari ini kita akan pulang, biar Evan di sini bersama Renata dan anak-anak.” Akhirnya Edward membuat keputusan itu, mencoba menghindarkan perselisihan yang semakin dalam.Margaret terkejut dan langsung menatap tidak senang, hingga kemudian membalas, “Ya, mama akan pulang asal Evan ikut dengan kita!”Edward melotot dan benar-benar kehabisan kata untuk bicara dan menjelaskan ke sang istri, jika Evan berhak memilih apa yan
Renata berdiri di depan pintu, menatap pintu itu sejenak, hingga terdengar suara helaan napas dari mulut.“Apa mamanya benar-benar sudah pergi?” Renata sedikit ragu dan cemas, ingin bertemu tapi takut ada perdebatan.Max berkata jika Evan di kamar inap sendirian karena Margaret dan Edward sudah pergi. Dia juga berkata kalau Margaret pergi karena marah, akibat Evan yang bersikukuh tetap mempertahankan Renata dan anak-anak.Renata menarik napas panjang, kemudian menghela napas panjang. Dia hendak memutar gagang pintu, tapi tiba-tiba mendengar suara benda jatuh dari kamar.“Apa itu?” Renata begitu panik dan langsung masuk, takut terjadi sesuatu dengan Evan.Saat sudah masuk, Renata melihat Evan yang ternyata sedang ingin mengambil tutup alat makan yang dijatuhkannya.“Re.” Evan terkejut Renata di sana.Renata menghela napas lega, berpikir terjadi sesuatu dengan Evan, ternyata pria itu menjatuhkan tutup alat makan, dan jam segini baru ingin makan.Evan menatap Renata yang berjongkok dan m
“Lengan Dhira sakit.Nih, biru.”Dhira menaikkan ujung lengan, memperlihatkan lengannya yang memar karena terbentur tembok, setelah didorong Margaret.Tentu saja Evan terkejut mendengar aduan Dhira. Dia mengecek lengan Dhira, kemudian menoleh Renata, setelah melihat memar di lengan Dhira. Pagi itu akhirnya Evan diperbolehkan keluar dari kamar, sehingga bisa melihat kondisi Dharu.“Kenapa bisa memar seperti ini?” tanya Evan yang tentu saja tidak tahu. Ditatapnya Renata dan seolah menuntut jawaban dari wanita itu.Renata bingung mau menjawab apa, dia pun tidak ingin jika sampai membuat Evan semakin kesal dengan Margaret. Renata hendak menjawab dan membuat alasan lain, tapi ternyata Dhira sudah menjawab terlebih dahulu.“Nenek jahat. Dia marahin Mama, terus Dhira gigit, tapi habis itu Dhira didorong sampai nabrak tembok.”Evan sangat terkejut, sedangkan Renata tentunya sudah tidak bisa berbohong.“Mamamu tidak sengaja mendorong Dhira,” ujar Renata menjelaskan.“Kapan kejadiannya? Saat aku
“Jadi, kamu benar-benar menyukai Renata?”Pertanyaan itu terlontar dari Dean—calon suami Kasih, juga kakak sepupu Evan. Dean datang ke rumah sakit bersama Kasih, begitu mengetahui Dharu sakit dan harus menjalani operasi. Mereka juga terkejut mengetahui kalau Evan yang mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Dharu.Evan menghela napas kasar, hingga kemudian membalas, “Bukankah seharusnya kamu bersyukur, aku sudah tidak akan pernah mengganggu Kasih lagi.”Evan menoleh Dean, menatap kakak sepupu yang berumur sama dengannya. Mereka dulu sangat dekat, bahkan Evan yang selalu ada untuk Dean, saat kakak sepupunya itu pergi dari rumah, sebab mengetahui ayahnya berselingkuh.“Kamu masih ingin membahas itu sekarang? Jangan kekanak-kanakan.” Dean berpikir lebih dewasa dari Evan.Evan hanya tertawa kecil mendengar ucapan Dean, lantas mengalihkan tatapan ke Renata yang sedang berbincang dengan Kasih dan anak-anak.“Aku juga tidak tahu, kenapa bisa menyukainya. Mungkin karena Dhira dan Dharu, atau
Sudah dua minggu Dharu dirawat di rumah sakit. Evan pun sudah pulih, meski masih diminta kontrol, sedangkan Dharu masih dirawat dan dalam pantauan sampai beberapa bulan ke depan, hingga kondisinya benar-benar pulih pasca operasi.“Ma, Dharu sudah bosan di rumah sakit. Kapan boleh pulang?” tanya Dharu.“Dhira juga bosan, berangkat sekolah kalau ga ada Dharu, Dhira malas,” timpal Dhira.Renata tahu ini semua tidak mudah, dia pun harus membagi waktu mengajar, mengurus kelas musik, sampai mengurus Dhira dan Dharu, meski dibantu Evan, tetap saja semua tidak terlihat mudah.“Sabar, ya. Papa lagi tanya dokter, apa Dharu sudah boleh pulang. Jadi, kita tunggu papa datang.”Baru saja Renata berhenti memberi pengertian. Evan datang membawa berkas-berkas di tangan.“Bagaimana?” tanya Renata saat Evan berjalan mendekat.“Dharu sudah boleh pulang. Tapi tetap akan dipantau dan harus ke rumah sakit untuk pemeriksaan sesuai jadwal,” jawab Evan menjelaskan.“Tidak masalah, yang terpenting anak-anak bis
Evan sedang sibuk di dapur membuatkan makan malam untuk Dharu dan Dhira, hingga tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam kamar Renata, membuat Evan buru-buru mematikan kompor, lantas berlari ke kamar Renata.“Re, ada apa?” tanya Evan yang sudah berdiri di depan kamar Renata dan tidak berani masuk, tanpa persetujuan Renata.“Tidak apa, aku menjatuhkan kotak besar berisi barang-barang lama,” jawab Renata dari dalam.“Boleh aku masuk?” tanya Evan.“Ya, masuklah.”Evan membuka pintu kamar, masuk dan melihat Renata mengusap kepala sambil duduk di lantai, dengan kardus terbuka juga beberapa barang berserakan di lantai.“Kardusnya menimpa kepalamu?” tanya Evan sambil mendekat.“Iya, kardus ini di atas, tapi tiba-tiba jatuh. Mungkin karena posisinya yang agar miring,” jawab Renata masih mengusap kepala, terlihat dia meringis menahan sakit.Evan berjongkok dan mencoba melihat kepala Renata. Tidak sampai benjol mungkin karena lumayan keras sehingga membuat Renata merasa sakit.“Hanya me
“Kamu dari mana saja? Pergi pagi jam segini baru pulang?” tanya Edward ketika melihat Margaret pulang.Namun, bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Margaret hanya menatap sebentar suaminya dan memilih berjalan masuk ke kamar.“Ma? Apa terjadi sesuatu?” tanya Edward lagi karena merasa sangat heran dengan sikap Margaret.Margaret masih tidak menjawab, terus berjalan sampai ke lantai dua tanpa menghiraukan pertanyaan suaminya.Edward benar-benar merasa aneh karena tidak biasanya Margaret diam seperti itu. Meski mereka bertengkar, tapi Margaret selalu membantah dan banyak bicara, tidak diam seperti ini.Edward pun akhirnya memutuskan menyusul ke kamar, hingga melihat istrinya sudah berbaring di ranjang. Mengabaikan ego, Edward pun mendekat kemudian duduk di tepian ranjang tepat di samping Margaret dan mencoba mengajak bicara lagi.“Kamu kenapa, Ma? Seharian pergi dan tidak membalas pesanku, sekarang kamu pun diam?” tanya Edward sambil menatap Margaret yang tidur berbaring miring.Marga
“Masih belum ketemu?” tanya Renata yang melihat Evan masih duduk di ruang tamu sambil mengutak-atik ponselnya.Evan menoleh ke arah Renata datang, lantas mengangguk dan kembali melihat ke ponsel.Renata duduk di samping Evan, melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.“Ini sudah larut, mungkin mamamu hanya sedang menenangkan diri dan tidak ingin diganggu. Kamu tahu kalau dia mungkin saja banyak pikiran, karena kesal denganku, merasa tidak dianggap, bertengkar dengan papamu,” ujar Renata.Evan meletakkan ponsel di meja, hingga mengusap wajah kasar. Dia bingung ke mana sang mama, sebab teman dan saudara tidak ada yang tahu keberadaannya.“Apa nomor ponselnya masih tidak bisa dihubungi?” tanya Renata sambil menatap Evan yang begitu cemas.“Belum, Papa juga belum menemukannya,” jawab Evan dengan suara berat dan helaan napas frustasi.“Mungkin dia hanya sedang ingin sendiri, Van.” Renata mencoba menenangkan perasaan Evan.Evan menyandarkan kepala di pundak Renata, tentu saja hal it