“Apa Dhira dan Dharu akan tinggal di rumah Oma Buyut lama?” tanya Dhira saat pulang bersama Renata.“Ya, nanti sampai urusan Papa dan mama selesai. Setelah itu kita bisa tinggal bersama seperti dulu,” jawab Renata lantas menoleh sekilas ke Dhira yang duduk di sampingnya.“Yei!” Dhira mengangkat kedua tangan di udara, senang karena sebentar lagi akan tinggal bersama Renata dan Evan.“Di rumah Oma Buyut nanti, kalian bersikaplah yang baik. Di sana juga ada Paman kalian,” ujar Renata menjelaskan dulu agar nantinya Dhira dan Dharu tidak terkejut.“Paman?” Dhira mengerutkan alis mendengar ucapan sang mama.“Iya, Paman.” Renata menegaskan. “Namanya Paman Adam, kalian jangan nakal kepadanya,” ucap Renata kemudian.Dhira mengerutkan alis mendengar ucapan Renata, hingga menoleh ke Dharu seolah bertanya kenapa tidak boleh nakal. Lagian mereka juga tidak mungkin berani dengan orang dewasa.Dharu sendiri mengedikkan kedua bahu melihat tatapan Dhira, seolah paham dengan rasa penasaran sang adik.“
“Ini semua adalah bukti yang kami temukan.” Tim investigasi memberikan setumpuk berkas bukti penyelewengan dana yang dilakukan Damar.Hari itu Margaret dan Evan bertemu dengan tim investigasi yang menyelidiki kasus Damar.Margaret menoleh ke Evan. Seolah meminta pendapat ke sang putra untuk mengambil langkah selanjutnya.“Masalah ini menyangkut banyak orang di dalamnya. Lebih baik kita diskusikan dalam rapat, sebelum membahas tindakan selanjutnya,” ucap Evan memberikan pendapatnya.Margaret pun setuju. Dia tidak bisa memberikan keputusan sendiri, karena banyak orang yang terlibat di dalamnya untuk mengambil keputusan.Akhirnya Margaret mengutus staff untuk memberi kabar ke para pemegang saham dan jajaran petinggi perusahaan jika akan dilakukan rapat untuk membahas masalah polemik yang terjadi di perusahaan. Evan ikut tapi hanya untuk menemani Margaret.**Siang itu. Rapat pun diadakan dihadiri oleh para pemegang saham juga petinggi setiap divisi.“Jika memang bukti-buktinya sudah ada,
Firda pergi ke rumah wanita selingkuhan Damar, atau bisa dibilang istri kedua suaminya. Dia tidak terima dimadu, apalagi wanita yang tak lain mantan kekasih Damar, sudah memiliki seorang anak perempuan.Mobil yang dikemudikan Firda sampai di sebuah rumah tidak terlalu besar tanpa penjaga. Wanita itu turun dari mobil dengan amarah yang membuncah.“Saras! Keluar kamu!” Firda berteriak kesetanan.Selama ini dia tidak tahu jika Saras—mantan kekasih Damar, ternyatas masih berhubungan dengan pria itu. Firda berpikir jika Saras dan Damar berpisah setelah Damar menikahinya.Pintu rumah itu terbuka, seorang wanita berpakaian sederhana keluar dari rumah itu. Saras berumur sama dengan Firda. Dia pun terkejut melihat kedatangan Firda di sana.Emosi Firda membuncah melihat Saras. Dia pun berjalan cepat ke arah selingkuhan suaminya itu, lantas menjambak rambut Saras dengan kencang.“Kurang ajar! Jadi selama ini kamu jadi benalu dalam rumah tanggaku! Kamu memang wanita sialan!” Firda murka, menarik
“Ma.”Evan baru saja sampai rumah dan kini langsung menghampiri Margaret yang juga baru menginjakkan kaki di teras.Margaret menoleh, memandang Evan yang kini berjalan ke arahnya meski sedikit tertatih sebab kaki Evan belum sembuh sempurna.“Ada apa, Van. Kenapa kamu terlihat terburu-buru seperti ini? Apa ada masalah?” tanya Margaret yang cemas.Evan akhirnya sampai di hadapan Margaret, hingga kemudian menyampaikan apa yang diketahuinya.“Paman sudah ditangkap polisi,” ucap Evan.Margaret terkejut mendengar informasi yang disampaikan Evan, tapi kemudian bersikap tenang dan biasa saja.“Baguslah, sudah selayaknya dia menerima hukuman atas apa yang sudah dilakukannya,” ucap Margaret yang tidak ingin menggunakan hati dalam menghadapi masalah sang kakak.Sudah cukup Margaret berbaik hati selama ini, nyatanya sang kakak malah semakin menjadi-jadi dalam bertindak buruk ke keluarganya.“Satu lagi, Ma.” Evan sedikit ragu menyampikan berita kedua ke sang mama.Margaret mengerutkan alis menatap
“Jadi sekarang pamanmu ditahan dan akan menjalani proses hukum yang berlaku?” tanya Renata ketika malam itu dihubungi Evan.“Ya, akhirnya.” Terdengar suara helaan napas lega dari seberang panggilan.Renata pun lega karena akhirnya masalah dari keluarganya juga keluarga Evan berakhir.“Aku ikut lega, semoga setelah ini tidak lagi ada masalah baik di keluargaku atau keluargamu. Aku berharap kita bisa berkumpul lagi seperti dulu, anak-anak pun menginginkannya,” ujar Renata menjelaskan keinginannya.“Iya, Papa! Dhira mau tinggal seperti dulu!” Dhira ikut bicara karena tahu Renata sedang bicara dengan Evan.Renata pun memberikan ponsel ke Dhira dan Dharu agar kedua anaknya bisa bicara dengan Evan.“Ya, nanti kita pasti akan tinggal bersama seperti dulu. Papa akan selesaikan semua pekerjaan, lalu menyusul kalian,” ujar Evan dari seberang panggilan.“Ya, janji segera datang,” ucap Dhira yang lebih banyak bicara daripada Dharu.“Papa janji. Kalian baik-baik di sana dan jaga Mama,” ucap Evan k
Hari itu, Renata, Veronica, juga Sandra menghadiri acara persidangan Kevin, mereka sengaja tidak membawa anak-anak ke pengadilan karena tidak ingin memberikan pengalaman buruk untuk anak-anak.Persidangan berjalan lancar. Kevin mengakui semua perbuatannya tanpa terkecuali. Namun, berkas tuduhan pembunuhan berencana terhadap kedua orang tua Renata tidak dimasukkan, sebab Renata ingin melupakan masalah itu.“Terima kasih sudah meringankan tuntutanku,” ucap Kevin saat ditemui di ruang khusus tunggu setelah sidang.Renata menatap sang paman yang kini sudah berubah, tidak lagi sombong dan mau mengakui semua kesalahan.“Paman sudah mendapat kesempatan kedua. Bersikaplah baik di penjara, agar nantinya bisa mendapatkan pemotongan masa hukuman lagi. Kelak jika Paman sudah bebas, jadilah pria baik yang bertanggung jawab,” ujar Renata ke Kevin.Kevin mengangguk dengan tatapan haru karena semua orang memaafkan dirinya.“Jaga Adam dengan baik,” ucap Kevin ke Sandra.Sandra menganggukkan kepala mem
Renata masih terlelap dalam tidur, larut dalam buaian mimpi setelah seharian merasakan kesal yang bercokol di dada. Dia benar-benar tidur nyenyak, sampai tidak menyadari jika kini ada seseorang yang masuk kamarnya, berjalan mengendap ke ranjang hingga sekarang duduk di tepian ranjang, tepai di samping Renata berbaring.Pencahayaan yang remang karena hanya menyalakan lampu tidur, membuat orang yang masuk kamar tidak terlihat wajahnya. Orang itu mendekatkan wajah ke arah Renata, menatap lamat-lamat wajah Renat.“Selamat ulang tahun, Re.”Orang itu ternyata Evan. Pria itu masuk di tengah malam, mengendap tanpa menyalakan lampu dan kini berbisik mesra mengucapkan selamat ulang tahun di hari kelahiran sang istri.“Re.” Evan kembali berbisik agar Renata bangun.Renata sedikit menggerakkan kelopak mata ketika mendengar suara seseorang berbisik di telinga, belum lagi ada udara hangat yang menerpa leher, membuat bulu kuduknya berdiri.“Re.” Evan kembali menyebut nama Renata dengan lembut, saat
Evan masih terus memagut bibir Renata. Menyesap berulang kali bibir tak bertulang milik istrinya itu. Bahkan kini mendorong pelan tubuh Renata, membuat wanita itu berbaring terlentang dengan dirinya di atas.Mereka masih saling memagut, bahkan napas mereka terdengar memburu satu sama lain. Evan melepas pagutan bibir untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, begitu juga dengan Renata.Renata menatap Evan dengan dada naik turun tak beraturan sebab paru-paru sempat kehabisan oksigen. Dia menatap Evan yang ada di atas tubuhnya, melihat betapa tampannya suami yang sangat dirindukan.“Aku juga sangat merindukanmu, Re.” Evan bicara dengan napas yang tersengal, belum lagi gairah kini memuncak saat tubuh mereka saling bersentuhan.Evan memandang Renata yang mengulas senyum. Satu tangan menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutup wajah Renata.“Kalau begitu, obati rasa rindu ini agar tidak terus menyiksa dan membuatku ingin uring-uringan,” ucap Renata menyelipkan sedikit nada candaan di
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan