Yasmin duduk di ruang makan sendirian pukul sembilan malam, suaminya belum sampai dan Odette sampai menangis marah Ayahnya tak kunjung sampai. Syukurlah anak itu kini sudah tertidur. "Apa yang menghambat dia untuk pulang?" gumam Yasmin irih. "Apa dia tidak jadi pulang karena suatu hal?" Yasmin kembali menelan rasa kecewanya. Wanita itu tersenyum tipis dan beranjak dari duduknya. "Mungkin aku yang terlalu kesenangan seperti anak kecil. Aku yang terlalu banyak berharap sampai tidak bisa menempatkan diri." Perlahan-lahan Yasmin bangkit dari duduknya, dia berjalan ke ruang televisi. Ada ranjang di sana, dua anaknya tertidur pulas setelah nampak antusias menyambut Ayahnya pulang. Dari perkiraan hitungan sampai di rumah pukul tujuh, hingga kini pukul sembilan lebih hampir pukul sepuluh. "Lebih baik aku tidur saja, aku tidak boleh memaksakan diriku seperti orang bodoh," gumam Yasmin berbaring di samping Odette dan memeluk kedua anaknya. "Ibu," panggil Odette. Anak itu terbangun. "Iya
"Makanannya dingin, ini tidak enak. Biar kau masakkan lagi." Yasmin hendak melangkah ke dapur, namun ujung roknya ditahan oleh Odette. Anak perempuannya yang berdiri di samping kursi dan mendongak memeluk boneka."Ibu, sejak pagi Ibu belum istirahat sama sekali buat masak ini semuanya. Kok Ibu masih mau masak lagi?" tanya anak itu dengan pandangan kasihan pada sang Ibu. "Dari pagi?" Kenzo menatap anak dan istrinya. "Iya Ayah. Dari pagi-pagi sekali, waktu Odette bangun tidur Ibu sudah masak, terus sampai sore mau mandi." Penjelasan Odette sekiranya sudah cukup menjelaskan seberapa lelahnya Yasmin saat ini. Kenzo dan kedua temannya sejenak terdiam. Tentu saja mereka merasa sangat bersalah, tahu begitu mereka tidak kana pergi ke klub. Yasmin meraih mangkuk sup, namun Kenzo menatapnya dan menggelengkan kepala. "Duduklah, biar aku yang panasi," ujarnya. "Iya Ibu, ayo duduk. Ibu pasti capek sekali kan," bujuk Odette menarik lengan Yasmin. "Iya Sayang." Akhirnya Yasmin duduk di samp
Pemandangan taman pagi ini tidak terlalu ramai. Yasmin dan Odette bisa bebas memilih tempat untuk piknik kecil-kecilan mereka di sana. Di bawah sebuah pohon yang rindang dan tempat yang sangat sejuk. Sedangkan Rafael masih di dalam stroller. "Ayo Sayang, bantu ibu memasang alasnya. Setelah itu Odette ambil makanannya di dalam tas ya," ujar Yasmin pada sang putri. "Iya Ibu, siap!" Mereka pun bersiap cepat. Odette mengelukan beberapa makanan di dalam tas keranjang. Ada buah-buahan, minuman, dan camilan juga yang sudah Yasmin siapkan. Odette ingin pergi piknik dari beberapa hari yang lalu setelah dia menonton sebuah acara di televisi. Hingga baru seorang beberapa hari lamanya Yasmin mengabulkan keinginan putrinya tersebut. "Ibu, Ayah kenapa tidak ikut?" tanya Odette menatap Yasmin yang tengah mengupas beberapa camilan. "Ayah..." Yasmin membeo. Jelas saja Odette menanyakan Ayahnya. "Oh, Ayah kan sibuk, Sayang. Bukannya enak kalau jalan-jalan bertiga saja sama adik?" Anak itu terse
'Aku ingin meminta maaf, aku kan juga salah. Apa aku kurang mengerti perasaannya?' Yasmin menundukkan kepalanya dan ia menatap telapak tangannya yang memerah karena udara yang begitu dingin malam ini. Wanita cantik berbalik gaun tidur biru itu berdiri di balik dinding ruangan kerja milik sang suami. Yasmin ingin menemui Kenzo dan meminta maaf atas sikapnya yang egois. "Kenzo," panggil Yasmin pelan, dia mengetuk pintunya dan menatap sang suami yang langsung menoleh dan tersenyum. "Hai, ada apa? Kemarilah," balas laki-laki itu, dia sedikit memundurkan kursi kerjanya. Yasmin melangkah pelan dan ragu ke arahnya, tatapannya tertuju pada banyak sekali pekerjaan suaminya yang tak kunjung usai. Paham akan apa yang istrinya perhatikan, Kenzo menarik lengan Yasmin dan memintanya duduk di sampingnya. "Duduk sini," pintanya, dia menarik lengan Yasmin sampai gadis itu duduk di pangkuannya. "Banyak sekali pekerjaanmu?" tanya Yasmin menatapi semuanya di atas meja yang penuh dengan berlembar-
Pagi saat bangun, ternyata cuaca berkabut tebal. Odette, anak itu menoleh mencari Yasmin, Ibunya. Tapi yang ada di sampingnya hanya sang adik yang tertidur dengan penghalang agar mereka tidak saling dorong saat tidur. Odette langsung duduk, dia membuka kelambu tidurnya dan menyalakan lampu tidur berbentuk jamur di atas meja. "Adik..." Anak itu memanggil adiknya yang masih tidur. Senyuman Odette mengembang, dia menatap jam dinding di kamarnya. "Pukul enam," serunya, meskipun salah, kini masih pukul lima lebih sedikit. Odette melangkahkan kaki kecilnya membuka pintu kamar. Rumah masih sangat sepi, semua orang masih tidur. Mungkin Ayah dan Ibunya pun juga masih tertidur. Anak itu menuruni tangga berjalan ke lantai satu. Di sana Odette menuju dapur yang sudah terang, terdengar suara sesuatu. Ternyata Bibi yang sedang membersihkan dapur. "Hayoo Bibi ngapain?" seru Odette dengannya yang bersembunyi di balik pintu. "Ehh... Ya ampun, Non Odette!" pekik Bibi terkejut mendengar suara Od
"Mommy jadi kesepian waktu Kenzi dan Ayumi pulang ke rumah Om Rivaldo. Mommy sedih sekali, Kenzo." Alana menggendong Rafael seraya bercerita bagaimana dirinya ditinggal oleh Kenzi dan Istrinya. Hal itu membuat Alex tertawa, suaminya itu memang kadang membuat Alana kesal. "Ya bagaimana, namanya mereka juga berkeluarga. Mommy juga harus paham lah, Rivaldo juga selama ini kesepian waktu anak-anaknya ada di sini," jelas Alex pada sang istri. Alana menganggukkan kepalanya. Di sana, Yasmin dan Kenzo hanya tersenyum saja. "Sekarang tidak usah sedih-sedih lagi Mom, sekarang kan sudah ada anak-anak di sini. Aku akan sering-sering mengajak Yasmin, Odette, dan Rafael ke sini." "Iya Mom, Mommy jangan sedih lagi," ujar Yasmin memeluk Mama mertuanya.Wanita itu menatap Yasmin dengan tatapan sedih dan melas. "Nak, boleh tidak kalau Rafael ditinggal di sini. Tapi... Tapi Mommy tidak melarang kalian merawat Rafael, tidak... Tapi buat teman Mommy saja, boleh kan? Mommy terbiasa merawat anak laki-
"Selamat Pagi Nyonya Yasmin, Nyonya... Papa Nyonya jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit satu jam lalu!" Mendengar panggilan dari wanita yang merawat Ayahnya tersebut, Yasmin yang baru saja bangun tidur, dia langsung tersentak dan duduk saat itu juga. Kenzo yang memeluknya pun tersentak kaget dan ikut terbangun. "Ada apa sih, Sayang?" Kenzo mengusap wajahnya. Panggilan itu sudah terputus, Yasmin menutup mulutnya dan menangis. "Papa..." "Yasmin," lirih Kenzo, laki-laki itu duduk dan menarik pundak sang Istri. "Hei... Sayang, kenapa?" "Kenzo, Papa masuk rumah sakit. Bi-Bibi Arene bilang Papa jatuh dari tangga!" tangis Yasmin menutup mulutnya dan memeluk erat suaminya. Tangisan Yasmin pagi ini membuat kepala Kenzo terasa kosong. Laki-laki itu mengangguk, dia mengusap-uspa pucuk kepala istrinya. "Sudah, Sayang tenang... Sekarang kita bersiap, kita ke rumah sakit. Okay?!" Kenzo langsung membantu Yasmin beranjak. Mereka bersiap-siap dengan cepat. Yasmin keluar dari dalam kamar dan
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu