Yasmin siang ini menjaga toko seorang diri, setelah Liana membelikan makan siang untuknya, wanita itu pergi ke sebuah pertemuan penting para pelanggannya. Dan Yasmin kini duduk di belakang meja kasir, di sana Yasmin membuka kotak makanan yang tadi Liana belikan. Senyumannya pun mengembang manis. "Steak," lirih Yasmin senang, sederhana sekali karena makanan itu adalah makanan favoritnya. "Kak Liana tahu dari mana kalau aku sedang ingin makan steak," gumam Yasmin. Ia pun memakannya, saat siang hari begini toko tidak terlalu ramai dan pengunjung akan datang pagi dan menjelang sore, itulah jam-jam ramai. Pintu kaca besar di depan terbuka, seorang laki-laki masuk ke dalam sana melangkah mendekat Yasmin sebelum tiba-tiba dia menekan bel lonceng di dekat meja Yasmin. Gadis yang asik makan itu, tidak menyadari seseorang datang di depannya. "Permisi," sapa laki-laki itu. Kegiatan makan Yasmin pun terhenti, ia mengangkat wajahnya dengan masih menggigit daging steak yang ia makan. Laki-l
Kedua mata Yasmin mengerjap begitu Kenzo meminta izin padanya, laki-laki itu ingin memeluknya. Dia mendekat perlahan, tapi Yasmin mundur pelan. Sangat pelan. Sampai langkah Kenzo pun terhenti, dia mengangguk paham kalau Yasmin enggan. "Tidak papa," jawab Kenzo. "Jangan terlalu berkontak, aku tidak ingin terlena olehmu," ujar Yasmin berterus-terang. "Kenapa? Kita masih suami istri, Yas..." "Iya, tapi aku sudah bilang padamu kan, setelah anak ini lahir, maka kita akan berpis-"Ucapan Yasmin terhenti seketika, tubuhnya tersentak saat Kenzo dengan tiba-tiba memeluknya sangat erat. Yasmin membola dengan apa yang Kenzo lakukan sekarang ini. Dia memeluk Yasmin dengan erat. Menunduk meletakkan keningnya di pundak kiri gadis itu. "Jangan berpisah, aku tahu aku salah... Aku menyesal, aku minta maaf padamu, jangan berpisah," bisik Kenzo kian erat memeluknya. Yasmin tidak pernah melihat Kenzo sampai seperti ini. Dia benar-benar menyesal, kah? Sosok dingin dan kaku seperti bongkahan es ki
Kenzo tidur di sofa ruang tamu, dia meminta Yasmin tidur di dalam. Tidak mungkin mereka tidur bersama, jelasnya Yasmin pasti akan marah. Namun karena rumah itu kecil, pengap, dan sofa kecil yang tidak nyaman. Kenzo kelimpungan tidak bisa tidur, berulang kali ia menatap pintu kamar Yasmin. "Apa dia benar-benar sudah tidur?" gumam Kenzo. Perlahan laki-laki itu bangkit dan kini duduk di sofa. Kenzo tidak bisa tidur, ia beranjak mendekati kamar Yasmin dan membuka sedikit pintu kamar itu.Di dalam sana, Yasmin juga belum tidur. Gadis itu nampak sibuk menata beberapa pakaiannya hingga Kenzo mengetuk pintu kamar itu. Yasmin sontak menoleh. "Kenapa kau belum tidur? Kenapa tidak pulang saja, sih?" tanya gadis itu dengan raut wajah sedikit masam. "Apa kau tidak takut terjadi sesuatu padamu saat kau sendirian?" tanya Kenzo menatap gadis itu.Mendengar apa yang Kenzo tanyakan, Yasmin cemberut dan menggeleng. "Aku pikir kau sudah kehilangan rasa peduli padaku."Kenzo tersenyum tipis, laki-la
Kenzo berkeras kepala mengantarkan Yasmin sampai ke tempat gadis itu kerja, yaitu di toko milik Liana. Meskipun Yasmin sudah mengatakan tidak, tapi nyatanya dia tetap saja menarik Yasmin untuk masuk ke dalam mobilnya. Begitu mobil milik Kenzo sampai di depan toko, di sana ada Mahesa bersama dengan Liana. Entah apa yang dia lakukan. "Mahesa," lirih Kenzo mengerutkan keningnya. "Wah, ada Mahesa!" seru Yasmin, dia tersenyum lebar dan gegas keluar dari dalam mobil. Yasmin tersenyum manis berjalan ke arah Mahesa di teras toko, laki-laki itu juga tersenyum padanya dan menatap Kenzo yang ikut keluar dari dalam mobil. "Loh, kalian berangkat bersama?" tanya Mahesa, dia juga melirik Kenzo yang kini memasang wajah kesal. "Yas..." Liana memanggilnya lirih dan melotot. Lantas gadis cantik dengan rambut cokelat bergelombang itu mengangguk. "Ya, aku hanya menumpang saja kok." Dengan mudahnya Yasmin berkata, dia mencekal lengan Mahesa. "Kau ke sini pagi-pagi ngapain, Sa? Jangan bilang mengant
Saat jam makan siang, Kenzo datang ke tempat Yasmin. Namun lagi-lagi dia kecolongan dengan Mahesa yang ke sana lebih dulu, Kenzo sangat sebal dengan sahabatnya itu. Meskipun klasik dengan alasan kalau Yasmin yang membutuhkannya dan menghubunginya untuk datang. Jauh dari itu kebenaran atau tidak, Kenzo tidak tahu. Tapi Kenzo adalah suami Yasmin, jadi baginya ia lebih berhak segalanya untuk Yasmin dibanding Mahesa. "Kenzo," ucap Yasmin saat Kenzo membuka pintu toko. Kenzo menatap Mahesa yang duduk di samping ia berdiri, dan Yasmin yang duduk di hadapannya. "Kau... Kau bawa apa ini?" tanya Yasmin mendongak menatap Kenzo yang meletakkan box berisi makanan yang dia beli dari resto termahal. "Makan siang untukmu," jawab Kenzo, laki-laki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Yasmin. Dia juga meletakkan sebotol minuman. Kedua mata Yasmin mengerjap, ia menyelipkan rambutnya dan menatap sebuah mie ramen yang Mahesa bawakan untuknya. "Tapi... Mahesa membawakan aku makan si-""Makan maka
Rencana membuat Kenzo cemburu semuanya bermula dari Liana dan Mahesa, entah kenapa mereka berdua sepakat dengan hal itu. Kini dua orang itu tengah bersantai bersama Yasmin juga setelah Kenzi dan Ayumi pulang. Wajah Mahesa nampak sangat kusut, laki-laki itu tidak seperti biasanya. "Sa, kau kenapa? Ada masalah ya?" tanya Yasmin, ia mencekal lengan Mahesa. Dia pun mengangguk. "Iya Yas, tapi bukan perkara besar." "Ada apa? Cerita saja padaku." Yasmin melipat kedua tangannya di atas meja dan siap mendengarkan. Mahesa tersenyum, beruntungnya dia punya teman sebaik Yasmin. "Aku akan pergi ke Jerman," ujar Mahesa. "Hah?!" Yasmin dan Liana bersamaan mereka terkejut. Sudah Mahesa duga jawaban mereka. Liana meletakkan buku yang ia baca dan menatap Mahesa. "Kau tidak bercanda, kan?" "Tidak. Aku akan pergi ke Jerman, karena orang tuaku menyipkan calon istri untukku. Gadis itu... Dia adalah anak dari rekan kerja Papa, aku tidak terlalu mengenalnya, tapi hampir beberapa orang di dekatku t
"Kau ingin aku ikut pulang denganmu, ya?" Sepolos itu pertanyaan Yasmin pada Kenzo yang tengah menatapnya. Laki-laki itu hanya bisa menghela napas, atau mungkin Yasmin tidak memperhatikannya barusan? Dan Kenzo pun mengangguk. "Ya, kembali ke rumah dan kembali menata semuanya yang sudah hancur dan rusak," jelas laki-laki itu. Wajah Yasmin menjadi datar, gadis itu tersenyum kecil dan tidak menjawab. Kenzo paling tidak suka menunggu-nunggu. "Yasmin," lirih Kenzo mengusap pipi Yasmin dengan lembut. "Aku tahu aku salah, Yas... Tapi sekali lagi berikan aku kesempatan," pinta laki-laki itu. Yasmin pun menunduk dan mengangguk. "Tapi jangan sekarang," jawab Yasmin. "Lalu kapan? Kau sedang hamil, aku tidak ingin meninggalkanmu," bujuk Kenzo. "Kalau kau tidak setia, bagaimana?" Yasmin mengangkat wajahnya menatap Kenzo. "Kalau kau tidak percaya lagi padaku, bagaimana? Kalau kau merasa aku membohongimu, padahal saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu, bagaimana Kenzo?" Perasaan tak karuan me
Yasmin benar-benar ikut dengan Kenzo pulang. Rasa senang tak terkira laki-laki itu rasakan kini. Sesampainya di rumah, Kenzo membuka pintu rumah megahnya. Hawa rindu menyapa kuat menerpa Yasmin yang berdiri di depan pintu menatap ke dalam rumah yang dulu sangat ia sukai. Kedua matanya berkaca-kaca, di rumah itu seribu rasa Yasmin pernah alami. Dari bahagia, hingga hal yang paling menderita sekalipun. "Kenapa diam, ayo masuk," ajak Kenzo mengulurkan tangannya pada Yasmin. Gadis itu diam menatapnya, tidak ada yang menyambutnya. Kenzo salah hari membawa Yasmin pulang, Bibi sedang tidak di rumah. "Kenapa sepi sekali?" tanya Yasmin menatap suaminya. "Karena Nyonya pemilik rumah ini sudah lama tidak pulang," jawab Kenzo menoleh sekejap. Tak seucap katapun kembali Yasmin ucapkan, dia hanya tersenyum dibalik tundukan kepala. Genggaman tangan Kenzo terasa hangat mengajak Yasmin ke tiap-tiap ruangan, seperti mengenalkan kembali tempat itu. Memang ada yang berubah, beberapa foto pernikah
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu