"Paman, Kak Tery sudah menikah dengan Om Rivaldo. Paman harus nyari cewek baru biar tidak jadi sad boy!" Kalimat ledekan dari bibir Kenzo terlontar untuk Benigno yang tengah berdiri di depan cermin di paviliun megah tempat ia tinggal. Laki-laki bertubuh kekar itu memicingkan matanya pada si kembar. "Paman tidak mau dekat dengan siapapun." Benigno menimpali. "Wahh... Pasti Paman trauma ya? Gimana rasanya jadi sadboy, Paman? Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, huhu... Cakit ati!" Kenzi yang tengah tengkurap di atas ranjang menatap Benigno dari cermin. "Kalian ini!" kesal Benigno menatap sebal pada mereka. "Sudah, sudah, ayo keluar! Hari ini pertama kalian sekolah di sini!" Kenzo dan Kenzi menunjukkan wajah tak semangat mereka berdua seperti biasanya. Kenzi menyipitkan kedua matanya. "Yang nganterin kita siapa, Paman? Daddy atau..." "Paman lah! Daddy kalian hari ini ada pertemuan di kantor, ngajak Mommy kalian juga. Harusnya kalian ikut, tapi-" "Lebih baik ikut Mommy dan Daddy
"Kalau dijahilin anak-anak itu dibalas, jangan diem aja, Kenzi!" Ocehan Kenzo tertuju pada adik kembarannya yang kini duduk berdua dengannya . Tepat berada di bangku paling belakang dan pojok sebelah kanan di dalam kelas. "Tapi Kak, kan tidak udah pakai pukul-pukul segala, yang ada nanti satu sekolah ini tidak ada yang mau temenan sama Kakak," seru Kenzi seraya memakan bekalnya. "Alah santai aja! Tidak punya teman-teman payah seperti mereka juga tidak masalah!" Kenzo berucap ketus. Kenzi memilih bungkam, enggan rasanya menasihati sang Kakak lagi, lebih baik memilih diam saja. Perlahan Kenzo pun beranjak dari duduknya, ia menepuk pundak sang adik. "Aku keluar dulu ya," pamit Kenzo. "Heem, nanti aku nyusul ya Kak!" "Iya, cerewet!" balas Kenzo. Kenzi hanya terkikik geli. Kenzo melangkahkan kakinya berjalan di lorong sekolah sendirian. Dan ternyata kabar ia memukul teman sekelasnya sudah menyebar ke mana-mana sampai banyak sekali yang kini menatapnya. Namun bukan Kenzo namanya k
"Katakan, di mana Alana dan Alex saat ini?! Kau pasti tahu mereka ada di mana kan?!" Teriakan itu keluar begitu saja dari bibir Renata. Tidak sendirian wanita keji tersebut datang ke rumah Alana, ia membawa anak buah dan mengacak-acak rumah Alana sembarangan.Di sana, Stella sebagai Mama kandung Alana, wanita itu hanya diam memperhatikan Renata yang memberang marah. "Aku sebagai seorang Mama, sangat malu atas semua kelakuanmu, Renata," ujar Stella terdiam di tempat. "Tidak seharusnya kau melakukan ini pada anak-anak kita. Masa lalu biarlah berlalu, toh aku dan Hans juga tidak bersama, bukan?" "Cuih! Kau dan anakmu tidak ada bedanya, Stella! Aku selama ini diam menyembunyikan masa lalu busukmu dengan suamiku, kalian selalu terlihat baik-baik saja, seperti orang yang tidak saling kenal! Kau tahu Stella... Sejujurnya, kalau Alana bukan anakmu, bukan darah dagingmu, aku tidak masalah Alex menikahinya kapan saja, tapi..." "Jangan membawa masa lalu, Renata! Alana dan Alex pergi entah ke
"Sayang..." Alex memeluk Alana dari belakang, memberikan kecupan-kecupan hangat di pipi dan leher Alana saat tahu istrinya belum tidur, malah memunggunginya. Menyadari Alana terus melamun sejak tadi, mana mungkin Alex membiarkan Alana diam saja. "Ada apa, hem? Kenapa melamun terus? Ada masalah?" Alex menyerahkan pelukannya. "Heem," jawab Alana hanya bergumam. "Kenapa tidak cerita? Memangnya ada apa?" Alex membalikkan tubuh Alana hingga menjadi bertatapan. Wajah Alana menjadi sangat gundah. "Aku... Aku tidak tahu, kenapa Mama meminta kita ke depannya untuk saling percaya, padahal kita kan sudah selalu percaya satu sama lain." Senyuman merekah di bibir Alex, ia mengusap pipi gembil Alana dan mengecupnya singkat. "Percaya padaku, kalau Mama hanya cemas saja, Sayang. Tidak akan terjadi apapun." "Tapi Sayang," lirih Alana melingkarkan kedua tangannya memeluk Alex. "Mamamu terus menganggu keluargaku." Alex baru terdiam. Dirinya sampai tidak habis pikir dengan Mamanya sendiri yang
"Hemm, istri kecilku rupanya sudah tidur."Gumaman pelan itu terdengar dari bibir Alex. Baru saja ia pulang dari lembur di kantor pukul sebelas malam. Alex mendekati Alana, duduk di tepi ranjang seraya melepaskan tuxedo hitam, dasi merah, dan kemeja putih katun berlengan panjang yang ia pakai. "Kau lelah, Sayang?" lirih Alex membelai pipi gembil Alana yang terasa sangat dingin. Alex mengecup pipi Alana dengan lembut dan tersenyum hangat. "Maaf ya, aku tidak bisa membantumu menjaga anak-anak," lirih Alex menempelkan keningnya dengan kening Alana. Saat bersama sang istri, Alex tidak akan pernah bisa diam. Apa lagi kalau seharian kerja dan tidak berjumpa dengan anak istrinya, Alex selalu merindukan mereka bertiga. Dan akhirnya Alana pun terbangun saat suaminya sibuk memberikan kecupan-kecupan manis di pipinya. "Sayang, sudah pulang? Aku... Aku ketiduran." Alana langsung duduk, dan mengucek kedua mata sipitnya yang berat. Laki-laki itu hanya tersenyum dan merapikan rambut panjang
Pagi ini Alex mengantarkan si kembar ke sekolah, kedua anaknya langsung turun dari mobil saat sampai di depan gerbang. Begitu juga dengan Alex, ia pun langsung turun dari dalam mobilnya mengantarkan si kembar sampai di depan kelas mereka. "Dad, besok-besok jangan sampai di sini, malu dilihatin temen-temennya kembar," protes Kenzo dan Kenzi menatap sang Papa. Alex pun terkekeh. "Kenapa harus malu, Sayang?" "Kita kan sudah besar," seru mereka berdua kompak.Alex pun mau tidak mau menganggukkan kepalanya. Ia memperhatikan kedua putranya masuk ke dalam kelas mereka. Namun perhatian Alex tertuju pada anak perempuan yang kini menatapnya dari jendela kelasnya, menatap seperti ingin mengatakan sesuatu. Alex hanya memberikan senyuman saja pada gadis itu tanpa mengatakan apapun lagi. "Daddy!" Suara teriakan Kenzi kembali membuat Alex menoleh ke belakang. "Dad, habis ini kita pulang jam setengah sembilan. Daddy bisa jemput kembar, tidak?" Kenzi berdiri di hadapan sang Papa. Biasanya me
"Mommy...!" Suara melengking milik si kembar menyambut Alana saat turun dari dalam mobil taksi. Mereka duduk di sebuah bangku di depan gerbang sekolah. Kenzo dan Kenzi berlari ke arahnya dan memeluknya dengan sangat erat. Mereka nampak sedih, lagi-lagi Papanya tidak datang menjemputnya dari pukul sembilan hingga kini sudah memasuki pukul dua siang. "Sayang, kalian tidak papa kan?" tanya Alana menatap wajah putranya lekat-lekat. Mereka menggelengkan kepalanya. "Kenzo lapar Mom," ujar Kenzo memegangi perutnya. Alana sangat cemas. Seketika ia mengangguk dan menggandeng lengan si kembar. "Ya sudah, ayo pulang, Sayang." Mereka kembali masuk ke dalam taksi. Anak-anaknya terlihat sangat sedih, mungkin mereka memikirkan Papanya yang tega mengingkari janji. Begitu pula dengan Alana, hari ini terasa seperti mimpi untuknya. Tidak pernah sekali saja Alana kepikiran kalau Alex sampai selingkuh. "Mommy," panggil Kenzo menarik lengan Alana dan mendongak menatapnya. "Mommy tidak papa, kan?"
Pagi ini si kembar sudah berangkat sekolah bersama dengan Benigno yang mengantarkan mereka berdua. Alex memilih untuk libur, sengaja ia tidak pergi ke mana-mana dan ingin menjelaskan banyak hal pada Alana. Terutama yang membuat istrinya marah dan kesal. Dan kini Alex menemui Alana yang tengah berbaring di kamarnya. Alana sedang tidak enak badan hari ini, entah kenapa kepalanya pusing dan tubuhnya panas dingin. "Sayang, kenapa?" Alex mendekati Alana yang membungkus tubuhnya dengan selimut yang tebal. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya saja, ia menepis pelan tangan Alex. "Aku tidak papa," jawabnya singkat. "Kau sakit, hah? Kita ke rumah sakit atau-" "Tidak! Pergi sana dan jangan ganggu aku!" pekik Alana mendorong lengan Alex, ia menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut. Alex terdiam, namun tiba-tiba ia memilih mendekap Alana dengan sangat erat dari belakang. Punggung Alana terasa hangat saat suaminya menyembunyikan wajahnya di sana. Alana menatap kosong dan relung hatinya
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu