"Ayumi... Bangun. Hei Ayumi, bangun...." Kenzi menepuk pipi Ayumi usai ia membaringkan gadis itu di atas brankar di dalam ruangannya. Di sana, Suster Lova, asisten Kenzi yang tengah melepaskan mantel hangat yang Ayumi pakai, hingga sepatu dan kaos kakinya. "Astaga dok, sepertinya dia berjalan terlalu jauh. Atau seharian dia berjalan terus, kakinya sampai lecet begini," ujar Suster Lova pada Kenzi. Kenzi menatap kaki Ayumi yang memerah dan ada beberapa yang lecet. "Biar aku obati sendiri! Tolong pesankan makanan dan minuman di kantin, sekarang!" seru Kenzi. "Baik dok." Suster itu keluar dari dalam ruangan tersebut dan meninggalkan Kenzi dan Ayumi berdua saja. Di sana, Kenzi mengobati kaki Ayumi. Sampai tiba-tiba gadis itu terbangun. Ayumi mengerjapkan kedua matanya dan menoleh ke arah Kenzi dengan tatapan sayu. "Kau sudah bangun, syukurlah..." Kenzi membantunya duduk dan memberikan segelas air minum pada Ayumi. Di sana Ayumi tersenyum pada Kenzi. Dan, Ayumi yang tersenyum, ta
Seharian Ayumi tidak keluar dari dalam kamar. Alana mengira kalau gadis itu tengah beristirahat, ia pun tidak mau mengganggunya. Tapi kini, Ayumi keluar dari dalam kamar dengan wajah sembab. Gadis itu berjalan ke lantai satu, di sana ia melihat Alana yang tengah membuat puding, kesukaan Ayumi. "Eh, sudah bangun, Sayang?" Alana tersenyum pada Ayumi. Gadis itu membalas senyumannya dan berjalan memeluk Alana dari belakang. Sejak kecil, Ayumi memang sangat manja pada Alana, karena kedekatan Tery dan Rivaldo pada keluarga Alex, Ayumi pun ikut dekat. "Sayang, tanganmu kenapa, Ayumi?" Alana yang tertunduk, ia sadar dengan punggung tangan Ayumi yang memar-memar. Sontak Ayumi melepaskan pelukannya dan ia mundur perlahan menarik lengan dan krah sweeter menutup bagian tubuhnya yang terluka. "Ayumi," seru Alana meraih kedua tangan gadis itu. "Ti-tidak papa, Ma. I-ini... Ini hanya ga-gatal saja," jawab gadis gagap takut. Ayumi menarik tangannya dan menyembunyikan di balik lengan sweeternya
"KENZO! KENZI! Apa-apaan kalian hah?!" Teriakan keras dari Alex menggema di rumah itu. Bahkan pintu samping kini terbuka dan Benigno masuk ke dalam sana. Laki-laki itu terlihat terkejut dan panik. "Dia yang mulai dulu!" teriak Kenzi keras-keras menuding kembarannya. "Aku berkata tentang kebenaran, kan? Kalau sebenarnya-" "Tutup mulutmu Kenzo! Brengsek!" Kenzi hendak mengerangnya lagi, namun Alex menahannya, dan di sana Benigno menarik menahan Kenzo pula. "Kalian ini apa-apaan hah?! Ini sudah malam!" teriak Benigno melerai keduanya. Arabella, wanita itu berdiri di dekat meja makan dengan Alana yang kini masih tertegun melihat putranya ribut. "Ya Tuhan!" pekik Arabella menoleh ke belakang, di mana Ayumi duduk di lantai menutup kepalanya. "Ayumi!" pekik Alana berlari ke arah Ayumi. "Nak... Ya ampun!" Alana dan Arabella menolong Ayumi, Alana memeluknya dengan erat dan mengusap punggung gadis itu. Ayumi histeris, takut. Kejadian ini menginginkan ia pada saat berusia dua tahun d
"Ini kenapa?! Kenapa babak belur begini, Sayang?!" Gadis cantik berambut cokelat terang panjang nampak menatap cemas pada wajah kekasihnya yang babak belur. Kenzo menarik dagunya kasar saat Laura menangkup kedua pipinya yang berdenyut sakit. Gadis itu mendengkus pelan dengan reaksi Kenzo. "Kembaranmu yang melakukan ini semua?!" tanya Laura dengan nada kesal. "Gara-gara gadis gagap itu?!" "Jangan mengatakan kekurangan Ayumi, Lau!" pekik Kenzo dengan nada kesal. Laura merotasikan kedua matanya, gadis itu kesal sejak beberapa hari ini Kenzo sedikit dingin padanya. Laki-laki itu juga terus mengucapkan nama Ayumi, Ayumi, dan Ayumi saat bersamanya. Seketika Laura duduk di sofa yang ada di dalam apartemen milik Kenzo. "Kau menyukai gadis itu, kan?" tanya Laura menatap kekasihnya yang tengah duduk bersila di depan sana. "Tidak Lau! Kalau aku suka padanya, kau sudah aku tinggalkan! Aku hanya sedang kesal, lebih baik kau pergi dulu," usir Kenzo pada Laura. Gadis cantik itu langsung ber
Hari sudah gelap, Ayumi di rumah sendirian. Alana dan Alex berpamitan padanya kalau kedua orang itu ada acara malam ini, mereka menitipkan Ayumi pada Benigno. Bahkan Kenzi juga berangkat ke rumah sakit lagi. Ayumi bosan lama-lama di dalam kamarnya, gadis itu berjalan keluar dan menikmati udara segar. Ia baru saja menelfon Mama dan Papanya, Ayumi seolah-olah memiliki tenaga baru untuk tetap tersenyum setelah mendengar nasihat dan ucapan penuh semangat dari kedua orang tuanya. "Aaarrgghhh... Brengsek! Brengsek!" Suara seseorang mengumat-umpat serta berulang kali suara pukulan demi pukulan pada sesuatu yang menimbulkan hawa merinding untuk Ayumi. "Su-suara apa itu? Si-siapa yang marah-marah?" lirih Ayumi berjalan melipir pelan-pelan di teras belakang. Gadis itu meremas sebotol air minumnya dan mengintip ke dalam ruangan berdinding kaca. "Aaarrgghhh... Kenapa kau terus muncul hah?! Aku benci padamu... Aku benci padamu! Aaarrgghhh! Brengsek!" teriak Kenzo memukul samsak tinjunya deng
Rasa pegal di tengkuk leher membuat Kenzo mengerang pelan. Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan pelan dan membuka kedua matanya yang terpejam. Pening menyapa Kenzo, ia memijit pelan pelipisnya sebelum merasakan selimut hangat berwarna putih menutupi tubuhnya. "Siapa yang menyelimutiku?" lirih Kenzo seraya terduduk. Ia mengerjapkan kedua matanya hingga tatapannya terkunci pada sosok gadis yang duduk meringkuk tertidur di sofa tunggal di depan Kenzo. Tanpa selimut, Ayumi pun lelap dengan begitu pulas. "Ayumi," lirih Kenzo mendekatinya. Kenzo mengembuskan napasnya pelan, ia menarik selimutnya dan mendekati Ayumi. Dibelai lembut samar-samar pipi gandis cantik yang tengah terlelap dengan nyaman. "Kau menyebalkan, Ayumi," ucap Kenzo pelan. Kenzo menatap tangan Ayumi yang gemetar meskipun saat teridur. Ujung-ujung kuku jemarinya yang luka, gadis itu gemar melukai dirinya sendiri, mungkin ada yang lebih dari ini, di balik pakaiannya. "Jangan menyakiti dirimu sendiri, Ayumi. Kau...
"Kau anak baru, tapi sudah terlambat. Siapa namamu?!"Suara Madam Kyle membuat Ayumi gemetar, wajah cantik gadis itu berkeringat. Pasalnya, Ayumi datang ke sana dengan berlari, tepat saat pintu gedung Harvis hendak di tutup dan materi akan dimulai. "Na-nama saya A-ayumi," jawab Ayumi tersenyum antusias. "Ayumi?" Madam Kyle menatapnya dalam-dalam. Gadis ini, ditunggu-tunggu oleh seorang laki-laki yang pagi tadi mendatangi Madam Kyle. Madam Kyle pun berdiri tegap seraya membawa kayu rotan kecil yang ia pegang. Ia menatap Ayumi dan ujung rambut hingga ujung kaki, napasnya yang terengah-engah, dan wajahnya yang kelelahan. "Apa kau ke sini berlari? Atau berjalan puluhan kilo?" tanya wanita berkulit putih tersebut. Ayumi menatapnya dan tersenyum berbinar. "Sa-saya berlari Ma-madam. I-itu, ta-tadi Kakak saya di-dijegat kasihnya. Jadi di-dia tidak... Tidak bisa mengantarkan sa-sampai di sini." Madam Kyle kasihan menatap Ayumi, segera ia memberikan sebotol air pada Ayumi. Paham sudah i
Kenzo pulang ke rumahnya sore ini, ia berjalan masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke lantai dua. Di sana, Kenzo melihat sang Mama yang baru saja keluar dari dalam kamar. "Mom," sapa Kenzo mendekatinya. "Loh, tumben sudah pulang jam segini, Kenzo?" tanya Alana menatap lekat putranya. "Ayumi mana?" tanya Kenzo. Alana mengerjapkan kedua matanya, ia berharap kalau Kenzo tidak salah bicara. Entah apa yang merasukinya hingga pulang-pulang ia langsung mencari Ayumi. Alana tersenyum hangat. "Dia kan masih ada jadwal kursus, Ayumi belum pulang, kok." "Hah?! Tapi... Tapi tadi gerbang sekolah seni sudah tutup Mom!" seru Kenzo. Wanita itu mengerutkan keningnya. "Mungkin sama Kenzi," jawab sang Mama, ia tersenyum. Kenzo sudah tahu, kalau Mamanya ini tenang dan tersenyum pada apa yang biasanya dia khawatirkan, berarti orang yang dimaksud, kini sedang baik-baik saja. "Lagi pula, kenapa tumben sekali mencari Ayumi. Biasanya... Juga tidak peduli dengan Ayumi. Pedulinya, Laura terus," u
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu