Setelah satu minggu lamanya Alana berada di rumah lamanya, ia kembali lagi ke Barcelona. Tempat di mana ia lahir dan dibesarkan dulu.
Alana yang selalu sibuk dengan si kembar dan untungnya ia tidak pernah merasa kewalahan mengasuh mereka berdua karena Alana terbiasa menjaga anaknya sejak bayi.“Sekarang kalian sarapan dulu, setelah ini Mommy akan mengantar kalian pergi ke sekolah baru, paham!”Alana menatap kedua putranya dan menarik dua kursi makan untuk mereka duduki. Kenzo dan Kenzi sudah siap dengan seragam putih dan merah muda, serta topi beret yang menutupi rambut cokelat mereka.“Tidak mau sekolah!” pekik Kenzo menggeleng-gelengkan kepalanya dan sesenggukan menangis.Alana menundukkan kepalanya menjentuskan pelan pada meja makan di hadapannya.“Astaga Kenzo... Ayolah nak, jangan membuat Mommy pusing, adikmu saja tidak rewel!”Kenzi menoleh sekejap, anak itu sibuk menyingkirkan putih telur rebus di atas piringnya.“Sekolah Kenzo, kalau kau tidak mau sekolah lalu apa jadi apa selain jadi beban keluarga hah?! Coret saja namanya dari kartu keluarga, Mom! Biar jadi gembel!” omel Kenzi kesal dengan Kakak kembarannya yang sangat nakal dan cengeng.Kenzo meraih piringnya dengan ekspresi yang masih cemberut.“Iya Mom, Kenzo mau sekolah,” seru bocah itu terpaksa dan tidak mau malu dari Adik kembarannya.Alana tersenyum lega. “Bagus. Kalau begitu kalian sarapan dulu. Mommy mau siap-siap, okay?”Anggukan diberikan oleh keduanya. Kenzo memperhatikan Adiknya yang kini menikmati sarapannya dengan nikmat dan tidak heboh seperti dirinya.Di antara mereka berdua hanya Kenzo yang banyak tanya tentang di mana Papanya, kadang pertanyaan itu membuat Alana mengomelinya habis-habisan, karena Alana sendiri juga tidak tahu jawaban yang akan ia berikan pada kedua putranya.“Kenzi, apa kau tahu wajah Papa kita?” tanya Kenzo bernada melas.Kunyahan Kenzi terhenti perlahan mendengar pertanyaan Kenzo. Ia mendongakkan kepalanya dan menoleh cepat dengan tatapan dingin dan sinis.“Kenzo, aku tahu kau bodoh tapi jangan terlalu ditunjukkan!” omelnya seraya memukul pelan kepala kembarannya dengan sendok di tangannya, “bagaimana bisa kau bertanya padaku seperti apa Papa kita, kita kan lahirnya bareng, beda lima menit saja. Kau ini aneh-aneh saja! Papa kan sudah meninggal!”Kenzo mendengkus pelan memakan kuning telur rebusnya pelan-pelan dengan pandangan lurus menatap pintu rumah yang terbuka.“Kita kan tidak punya Papa, bagaimana kalau kita mencari Papa? Dengan begini kan Mommy tidak usah capek-capek kerja! Kita juga punya Papa, seperti teman-teman yang lain. Bagaimana?” tawar Kenzo.“Em... Bukan ide buruk, tapi kita harus mencari yang KTMJ!” seru Kenzi tersenyum menaik turunkan kedua alisnya, “seperti yang ada di TV, kan?!”Kenzo terkekeh geli dan mengangguk, “yes! Kaya, Tampan, Mapan, dan Jantan!”Keduanya langsung tertawa bersama dan saling terkikik geli. Ruang makan hanya berisi dua bocah saja, namun tawa mereka juga terdengar sampai depan.“Janji ya, kalau lihat yang tampan, nanti kita kenalin ke Mommy. Tapi ingat kriterianya, karena Mommy kita kan cantik, baik hati, lemah lembut, dan penyayang, tidak boleh dapat buaya kampungan!” Kenzi menimpali dengan nada ketus.Kenzo mengangguk mantap mengacungkan jempolnya.“Ya! Misi kita sekarang, sekolah yang pintar sambil mencarikan Papa buat kita dan Mommy, ingat... KTMJ! Paham Kenzi?!”“Tapi Mommy jangan sampai tahu. Mommy bisa saja nanti menolak,” ujar Kenzi.“Iya, Mommy kan....”“Apa Mommy-mommy?! Kalian kenapa ngomongin Momny?!”Suara Alana membuat mereka berdua terkejut. Si kembar langsung menggelengkan kepalanya bersamaan dan memasang wajah gugup tertangkap basah.Kenzo menyiku lengan Kenzi, dan sebaliknya juga. Mereka tidak bisa berbohong, didikan untuk jujur sejak kecil Alana terapkan.“Ti... Tidak papa Mom, kita hanya sedang berdiskusi,” ujar Kenzi.“Ya sudah sayang, sekarang kita berangkat. Ayo Kenzo!” Alana menggandeng lengan Kenzi dan berjalan ke arah depan meninggalkan Kenzo.Anak itu diam menatap punggung Mommy-nya yang berjalan menjauh.“Ya Tuhan, semoga hari ini Kenzo dan Kenzi bisa menemukan Papa untuk Mommy. Kenzo... Kenzo ingin tahu rasanya punya Papa,” lirih anak itu mendongak menatap langit-langit rumahnya. “Tuhan, kabulkan ya, doa Kenzo.”**“Kita hanya diberi waktu lima belas menit untuk sampai di kantor! Baru pertama pindah ke Barcelona, ada saja masalahnya!”Alex berdecak kesal saat ada panggilan mendadak dari kantornya, padahal laki-laki itu baru saja sampai di Barcelona sejak setengah jam yang lalu.Laki-laki itu memasang wajah sebal, menatap ke arah jendela mobilnya dengan kedua alisnya yang bertaut.“Sebentar lagi kita sampai Tuan, mungkin Tuan Han di Madrid terlalu bersemangat meminta Tuan berkembang di sini,” ujar Benigno.Alex tidak menjawab, ia tetap diam membuang pandangannya menatap jalanan sekitar sebelum mobil yang ditumpanginya berhenti mendadak hingga kepala Alex terbentur sandaran kursi di depannya dan rem mobil yang berdecit kuat.Kedua mata Alex melebar, jantungnya berpacu kuat.“Kau gila hah?!” sentak Alex pada Benigno.“Ma... Maaf Tuan, di depan ada dua anak kecil yang menyebarang dan sepertinya kita....”“Semua salahmu bodoh!” maki Alex segera keluar dari dalam mobil.Alex memakai kaca mata hitamnya dan ia mendekati dua bocah yang duduk berjongkok menutupi kepalanya tepat di depan mobil Alex. Ia terdiam beberapa detik sebelum melepaskan kaca matanya dan mendekati kedua anak itu.“Astaga... Kalian tidak papa?” tanya Alex menyentuh punggung mereka.Kedua anak itu mendongak bersamaan menatap Alex dan Benigno yang begitu cemas.Namun dalam satu detik, hati Alex bagai terhantam kuat sebuah batu besar saat dua anak itu menatapnya dengan tatapan takut. Tatapan mereka, wajahnya, matanya, alisnya, pipi dan bibirnya, membuat Alex membisu menatap tidak percaya pada mereka.“Kalau mengemudikan mobil hati-hati dong Om!” pekik Kenzo, dia langsung bangkit dan memukul pundak Alex dengan tangan mungilnya.Alex dan Benigno masih diam, anak kembar ini memiliki wajah yang sangat mirip dengan Alex, sangat-sangat mirip bak pinang dibelah dua.Semua ini adalah kebetulan yang sangat aneh untuk mereka, tatapan mereka sama seperti tatapan mata seseorang yang membuat hati Alex bergetar.“Kenzo, kakiku sakit,” rengekan Kenzi membuat Kenzo menoleh ke belakang, adik kembarannya masih duduk di atas aspal memegangi lututnya yang terluka.“Kenzi, jangan nangis... Anak cowok kata Mommy harus kuat,” ujar Kenzo hendak membantu Adiknya.“Kalian, Om minta maaf ya? Anak buah Om tidak sengaja,” ucap Alex kini membantu Kenzi.“Memangnya permintaan maaf dari Om bisa bikin kaki kembaranku sembuh, ya Om?!” pekik Kenzo berkacak pinggang.Alex diam tidak menjawab, ia langsung mendekati Kenzi dan menggendongnya, sementara Benigno langsung mendekat Kenzo dan menggendongnya juga, membawanya menepi ke tepi jalanan duduk di sebuah bangku.“Om kakiku sakit, kalau patah bagaimana? Diganti kaki apa?” Kenzi menangis menatap lututnya yang berdarah. “Huwaa, Mommy....”“Sshhhtt... Tenanglah sayang, sebentar lagi juga sembuh. Om bantu obati ya?” tawar Alex dengan sabar, ia merasa bersalah sekaligus malu pada dua bocah ini.Kenzi mengangguk patuh hingga Alex langsung menatap Benigno yang segera bangkit mengambil kotak obat di dalam mobil.Lain dengan Kenzo kini memeluk kembarannya dan ikut bersedih. Alex merasa hangat dan familiar dengan mereka berdua. Laki-laki itu mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala kedua anak itu.“Jangan nangis ya Kenzi, nanti Om jelek ini kita laporin Mommy, biar diomelin,” ujar Kenzo memeluk kembarannya.Alex tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya pelan, karena mereka sungguh menggemaskan. Lucu sekali mereka berdua, bisa sangat hangat di mata Alex.“Kalian berdua kenapa pergi di saat jam sekolah? Ke jalan raya, pula. Mau ke mana?” tanya Alex seraya mengobati kaki Kenzi.“Kami mau mencari Papa buat Mommy, Om,” jawab Kenzo.“Om tertarik tidak? Mommy kami sangat cantik, baik, dan pintar. Pokoknya Om tidak akan kecewa!”Alex melongo mendengar anak-anak menggemaskan ini malah mempromosikan Mama mereka pada Alex. Barulah Alex menyadari, dua bocah manis ini sepertinya tidak punya sosok seorang Ayah.“Memangnya Papa kalian ke mana?” tanya Benigno menyahuti.“Sudah mati Om. Kata Oma, Papa kita sekarang sudah tidak ada, Mommy juga bilang begitu.”Kenzo membuka tas biru bergambar kartun kereta berwarna biru. Anak itu memberikan sebuah kertas pada Alex, berisi gambaran yang tidak jelas dan coretan yang lucu.“Om, ini Mommy kita. Om kita beri tawaran pertama, karena Om kelihatannya KTMJ!” ujar Kenzi menyipitkan kedua matanya.Alex menaikkan salah satu alisnya, “KTMJ? Apa itu?”“Kaya, Tampan, Mapan, dan Jantan!” jawab mereka berdua kompak.Alex dan Benigno terkekeh pelan. Menggemaskan sekali mereka mempunyai tipe laki-laki unggulan untuk Mama mereka, tidak buruk bagi Alex.Mereka anak yang cerdas, berani, menggemaskan, dan sangat kompak. Alex sangat penasaran dengan Mama anak ini.“Mommy kalian bekerja?” tanya Alex.Kenzi menggeleng, “Mommy sedang mencari pekerjaan Om. Katanya, Mommy ingin membahagiakan kita berdua. Kan Opa kita nyuruh Kenzi dan Kenzo sama Mommy pergi, Opa selalu bilang kita ini anak haram.”“Husshh, Kenzi! Itu aib!” pekik Kenzo memukul kepala kembarannya.Alex sangat penasaran, ia merasa kasihan pada bocah sekecil ini tidak memiliki seorang Ayah. Alex ia ingin mengajak mereka bersamanya. Laki-laki itu merogoh saku jas hitam yang ia pakai dan memberikan selembar kertas.“Berikan ini pada Mommy kalian, minta Mommy kalian datang ke nama tempat yang ada di kertas ini. Om akan memberikan Mommy kalian pekerjaan.”Mereka berbinar menerimanya, si kembar tahu seberat apa Mama mereka mencari pekerjaan dari pagi hingga sore.“Wahh... Gini dong Om, baru sip!” seru Kenzo.Alex mengusap pucuk kepala Kenzo dengan lembut.“Ya, minta Mommy kalian segera datang, Om ingin bertemu dengannya, dan mengenal Mommy kalian.”Si kembar langsung antusias. “Siap Om! Sampai bertemu nanti dengan Mommy kita yang sangat-sangat cantik!”“Ke mana si kembar, ya Tuhan... Anak ini!” Alana berlari terburu-buru setelah ia dikabari kalau sejak pagi tadi kembar pergi dari sekolah. Kini Alana kembali lagi pulang ke rumahnya usai ia mencari ke mana-mana namun nihil mereka berdua tidak ditemukan. Langkah Alana berhenti di depan gerbang rumahnya, gadis itu melihat Kenzo dan Kenzi yang duduk di teras. Masing-masing dari mereka membawa satu kantung plastik berukuran besar berisi camilan dan banyak mainan. “Mommy!” pekik Kenzi memasang wajah melas menatap Alana yang kini masuk ke dalam pekarangan rumah. “Mom, yeay... Lihatlah Mom, kami punya banyak camilan sama mainan. Dan semua ini gratis!” sahut Kenzo menunjukkan dua kantung plastik di tangannya. “Dari mana kalian?! Kenapa kalian malah pergi dari sekolah?! Kalian sudah membuat Madam Ella dan Mommy panik!” pekik Alana berkacak pinggang memarahi keduanya. Mereka langsung menundukkan kepala dan memasang wajah sedih pada Alana. Perhatian Alana tertuju pada lutut Kenzi yang kini
Siang ini Alex mengumpat-umpat kesal saat keluar dari ruangan meeting, pasalnya ia sudah membuat janji dengan untuk menemui karyawan baru yang ingin menjadi staf di kantornya, namun meeting malah terlambat beberapa menit. “Ah sial! Kenapa meeting bisa terlambat sampai beberapa menit?!” Seorang yang perfeksionis seperti Alex tentu saja pilih-pilih dalam banyak hal, termasuk mencari karyawan di kantornya. “Tuan Alex!” Suara Benigno menghentikan langkah Alex, laki-laki itu menoleh dan kembali berdecak. “Tuan sudah ditunggu di ruang VIP, George sudah membaca surat lamaran pekerjaannya dan data-datanya juga, Tuan bisa langsung ke sana,” ujar Benigno. “Ya,” jawab Alex singkat. “Baik Tuan, saya akan....” “Kerjakan perintahku Benigno! Sebelum aku membuatmu mennggembel di Barcelona!” sinis Alex dengan lirikan sinis dan senyuman smirknya meninggalkan Benigno. Sementara di dalam sebuah ruangan, nampak Alana yang memegangi dadanya berupaya untuk lebih tenang. Sejak pagi tadi ini ia sudah
Hari sudah gelap, Alana gelisah karena tidak biasanya hujan turun sore ini. Ia seharian meninggalkan si kembar di rumah. Alana berdiri di depan kantor dan ia menatap beberapa rekan kerjanya yang sudah pulang dengan mobil masing-masing. "Ya Tuhan, bagaimana dengan si kembar di rumah?" lirih Alana kepanikan. Tatapan mata Alana tertuju pada langit yang mendungnya semakin tebal. Demi anaknya ketakutan di runah, Alana tidak akan peduli air membasahinya. Alana hendak berlari menembus hujan, namun seseorang menahan lengannya hingga membuatnya menoleh dengan cepat. "Apa kau tidak tahu kalau sedang hujan?!" Kedua mata Alana mengerjap pelan menatap Alex yang begitu dalam menatapnya, perhatian Alana tertuju pada tangan Alex yang begitu erat mencengkeram lengannya. "I... Itu Pak, ada yang saya tinggalkan di rumah dan sangat membutuhkan saya, jadi saya harus pulang sekarang," jawab Alana dengan wajah panik dan cemas. "Tapi sedang hujan Alana, kau bisa sakit. Aku akan mengantarkan...." "Ti
"Selamat pagi Pak Alex, sedang apa di sini?" Benigno dan beberapa karyawan lainnya tengah memperhatikan Alex yang berdiri di depan pintu kantor miliknya. Dengan balutan tuxedo hitam rapi, wajah cemas menanti-nanti. Laki-laki itu membiarkan Benigno bertanya-tanya. "Ck! Dia bilang akan datang lebih awal," gerutu Alex berdecak seraya merlirik jarum jam di pergelangan tangannya. "Ohh... Pak Alex sedang membuat janji dengan seseorang?" tanya Benigno lagi. Sekali ini Alex langsung menoleh dan memberikan tatapan sengit pada Benigno. "Apa kau tidak bisa diam hah?! Jangan mengurusiku! Lakukan saja sana tugasmu!" sentak Alex dengan keras, bahkan beberapa karyawan lainnya yang ikut mau tahu pun langsung bubar. "Ba... Baik Pak Presdir," jawab Benigno. Mereka semua kembali masuk dan Alex masih setia berdiri bersedekap dengan wajah kesal dan siap mengomeli Alana. Namun kekesalan Alex perlahan berkurang saat ia melihat seorang gadis cantik baru saja turun dari dalam bus dan memeluk sebuah r
"Kenapa Pak Alex belum kembali, ini sudah malam. Bagaimana dengan anak-anakku di rumah, Ya Tuhan...." Alana duduk dengan cemas mengusap wajahnya berulang kali. Pasalnya ia tidak berani beranjak dari ruangan kerjanya sampai Alex kembali, dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.Bayangan Alana tentang kembar yang kesepian di rumah begitu tergambar jelas di benaknya, bisa saja mereka menangis menunggunya. "Bagaimana ini?" lirih Alana berdiri dan menatap dinding kaca yang menunjukkan pemandangan malam hari di Barcelona. Alana menoleh cepat saat pintu ruangan kerja tersebut terbuka, di sana nampak Alex yang berjalan masuk. Tatapan cemas Alana membuat Alex langsung mendekat. Jelas ia melihat kepanikan pada Alana saat ini. Gadis itu juga langsung mengambil tas miliknya. "Ada apa Alana?" tanya Alex mendekat."Pak, saya harus pulang sekarang. Ini sudah malam," ujar Alana cemas. "Ya, aku akan mengantarkanmu," ujar Alex dengan sabar. Alana terdiam, ia ingin menolak karena Alana be
"Mom, habis ini Mommy tidak ke mana-mana, 'kan? Ikut kita berdua ya Mom, kita bertemu Om tampan." kenzo merayu-rayu Alana, anak itu berdiri di atas kursi yang ada di dapur seraya menemani Mamanya memasak. "Mau ya Mom," pinta Kenzi tiba-tiba datang dan langsung memeluk kaki sang Mama dari belakang. "Mommy sibuk sayang. Ini hari libur Mommy, jadi sekarang Mommy ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan kalian, jangan dengan yang lainnya," seru Alana menatap kedua putranya. Kenzo langsung cemberut kesal dengan jawaban Mamanya. "Mommy tidak asik, Mommy tidak tahu ya kalau kita ini tidak ingin apapun yang bisa Mommy beli!" jawab Kenzo. "Betul! Kami ini ingin punya Daddy! Teman-teman di sekolah pulangnya dijemput Mommy dan Daddy-nya, terus kita kapan kayak gitu?!" imbuh Kenzi mengeroyok Alana. Seketika Alana meletakkan sendok di tangannya dan menatap marah kedua anaknya yang meluapkan kekesalannya pada Alana. Kenzo dan Kenzi langsung beranjak meninggalkan Alana begitu saja saat m
"Apartemen Pak Alex, kenapa dia kaya raya tinggalnya malah di apartemen?"Alana mengomel sendiri seraya berjalan mencari apartemen milik Alex. Hingga senyumannya mengembang saat menemukan tempat yang ia cari. Alana mengulurkan tangannya mengetuk pintu apartemen Alex, butuh beberapa detik lamanya hingga pintu itu terbuka dan menunjukkan seorang Alexsander Verolov yang berdiri di hadapannya tanpa atasan dan memamerkan tubuh atasnya. "Astaga!" pekik Alana terjingkat hingga beberapa berkas yang ia bawa terjatuh di hadapan Alex. Laki-laki itu mengerutkan keningnya dan tersenyum tipis. Ia mengambil berkas yang terjatuh dan menatap Alana yang menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Penuh rasa santai Alex berdiri di tengah ambang pintu. "Hai Alana, kenapa?" tanya Alex menarikkan salah satu alisnya. "Ba... Baju Bapak ke mana?!" pekik Alana kesal. Ia membuka kedua tangannya dan memberikan tatapan protes. "Ayo masuk," ajak Alex. Kekehan pelan Alex terdengar gemas saat ia melirik
Alana tertidur pulas hingga tidak menyadari hari sudah larut dan ia masih berada di apartemen milik Alex. Gadis itu perlahan membuka kedua matanya. Terkaget Alana menyadari dirinya tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ia terbaring di sofa, dan seorang Alexsander Verolov yang tengah duduk di sampingnya memangku laptopnya. "Kenapa bangun?" tanya Alex menatap perhatian pada Alana dan menahan selimut yang hendak jatuh. "Ini jam berapa?" Alana terlihat panik menoleh mencari-cari. "Aku harus pulang!" Alana jauh lebih panik, ia hendak menyibak selimutnya sebelum Alex mencekal pergelangan tangannya dan menahannya. "Alana tenang! Ini sudah malam, menginaplah di sini!" pekik Alex menahannya. "Tidak bisa, tidak bisa...." Kali ini Alana benar-benar menangis. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul setengah satu malam. Alana menyentak tangan Alex, ia meraih tas miliknya dan langsung bergegas bangun pergi. Gadis itu berlari ke arah pintu yang ternyata sudah dikunci oleh Alex. Laki-laki i
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu