"Wah... Terima kasih Oma, mainannya banyak! Nanti kalau Kenzi sudah sembuh kita ajak main sama-sama ya, Oma!" Kenzo berbinar-binar menata banyak sekali mainan puzzle di atas meja besar ruang keluarga di kediaman Alex. Sejak pagi tadi bocah itu ikut dengan Renata hingga kini hari sudah malam. Renata tidak peduli dan ia selalu mengalihkan pembicaraan Kenzo setiap kali anak itu meminta pulang. "Kalau Kenzo mau ikut dengan Oma, kita bisa beli mainan setiap hari," seru Renata duduk di sofa dan tersenyum lebar pada Kenzo. "Tapi, nanti ajak Kenzi juga, ya?" Kenzo cemberut. "Tapi, kalau Mommy sendirian, nanti Mommy akan sedih. Kenzo kan tidak mau kalau buat Momny sedih," jawab anak itu. "Kata siapa Mommy-mu akan sedih, Sayang? Tidak akan, percaya dengan Oma!" "Heum, Oma serius?" tanya Kenzi melebarkan kedua matanya yang cemerlang. "Kalau begitu Kenzo mau! Nanti jalan-jalan sama Kenzi naik Thomas!" pekik anak itu bahagia. Renata tersenyum lebar mendengarnya, sebisa mungkin ia harus men
Semalam ternyata Alex tidak pulang, laki-laki itu khawatir meninggalkan Alana dan anak-anak, apalagi kondisi Kenzi yang belum benar-benar pulih.Pagi ini Alana saat bangun dari tidurnya segera gegas ke lantai satu. Di sana, ia menemukan Alex yang tertidur meringkuk di sofa berselimut putih tebal milik Alana. "Astaga Alex, aku pikir dia tidur di sofa," cicit Alana mendekati Alex. Ia menarik selimut yang dan menutupi tubuh atas laki-laki itu karena hari masih subuh dan suhu yang cukup dingin. Pergerakan Alana terhenti, ia menatap dalam-dalam wajah Alex yang begitu damai. 'Laki-laki ini mengorbankan banyak hal demi aku dan anak-anak. Kenapa dia sangat tulus membantuku? Bagaimana kalau suatu saat nanti dia meminta aku untuk menggantinya? Apa yang akan aku berikan?' batin Alana gundah. Gadis itu duduk di samping Alex, tangannya terulur gemetar ingin menyentuh pipi Alex yang sangat ingin Alana sentuh. Namun urung, Alana meremas jemarinya dan kembali menarik tangannya untuk tidak melak
"Selamat siang Pak Alex, laporan test DNA yang Pak Alex ajukan sudah selesai."Alex berdiri menatap laki-laki dengan jas putih yang kini tegap berdiri di hadapannya. "Bagaimana hasilnya?" tanya Alex tidak sabaran. "Mari ikut saya masuk ke dalam, Pak," ajak laki-laki berjas putih tersebut. Alex berjalan masuk mengikutinya dan segera duduk siap mendengarkan apapun jawaban dari hasil test DNA yang sudah berhari-hari ia nantikan. Dokter Vero kembali membuka lembaran kertas di tangannya dan ia menunjukkan lebih dulu pada Alex diikuti senyuman manis di sudut bibirnya. "Golongan darah Pak Alex dengan kedua anak itu sama. Kalian memiliki hubungan darah yang cocok," jelas Dokter Varo. Wajah Alex memerah penuh perasaan haru. Kedua matanya memerah berkaca-kaca mengetahui dugaannya selama ini benar, Alana adalah gadis yang empat tahun lalu pergi dari hidupnya, Alex menidurinya malam itu. "Aku turut bahagia atas semua ini, Pak Alex," ucap Dokter Varo menepuk pundak Alex. "Terima kasih Dokt
Hari ini Alana kembali aktif bekerja lagi di kantor Alex karena ada Tery yang baik hati menjaga Kenzi di rumah. Pengasuh baru yang masih muda dan cukup friendly dengan Alana dan anak-anak. "Tery, nanti kalau Kenzi sudah sarapan, obatnya ada di atas meja kecil ya," ujar Alana menunjuk ke arah meja. "Aku tidak akan pulang sampai sore, Alex akan mengantarkan aku untuk cek up-nya Kenzi namti jam dua." "Iya Nona Alana, siap!" Tery mengacungkan jempolnya. Kenzi yang duduk di kursi roda mengacungkan jempolnya pada sang Mama. Tersenyum manis seolah ia masih baik-baik saja dan tidak sakit, itulah yang membuat Alana sangat bangga dengan anaknya. Dari arah ruang tamu suara teriakan Kenzo sudah terdengar sangat kencang."Mom... Ayo berangkat! Daddy sudah datang!" teriak Kenzo melengking. Alana mengembuskan napasnya berat menoleh ke arah depan di mana Alex berjalan masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu terlihat bersemangat mendekati Kenzo, mengecup pipi kanan dan kiri sebelum berjalan ke belak
"Kenzo, adikmu ke mana? Kenapa tidak sekolah? Masih sakit ya?" Kenzo menganggukkan kepalanya tanpa menoleh pada tiga temannya. Mengingat mereka yang mendorong Kenzi dari atas ayunan. "Hemm, kasihan sekali Kenzi. Pasti sakit-sakitan. Suruh siapa dia payah!" seru Dino diikuti tawanya oleh Julian dan Brexson. "Dia kan memang payah, didorong sedikit saja langsung jatuh." Braxson tertawa puas. "Tidak punya Papa lagi!" "Iya. Untuk apa anak tidak punya Papa ditemani. Anak-anak seperti mereka tidak boleh punya teman!" Panas telinga Kenzo mendengar ejekan mereka bertiga yang terus menerus mengatakan kalau Kenzo tidak punya Papa. Namun saat ini Kenzo asik duduk di atas ayunan dan menjilati es krim cokelat miliknya. Dari Mamanya ia belajar mengabaikan apapun yang orang lain katakan. "Heh Kenzo! Kau tuli ya?!" Dino menedang ayunan yang diduduki oleh Kenzo. "Ayo ngomong dong, dasar tidak punya Papa!" Julian memakinya. "Sudah tidak punya Papa, tuli lagi!" Kenzo langsung bangkit dari atas
"Saya sangat kecewa dengan tindakan Anda pada anak saya! Bisa-bisanya mengatakan kalau Kenzo tidak punya seorang Papa! Anda ini seorang guru di sini!" Luapan emosi tak terima menohok hati Madam Ella saat seorang laki-laki tampan, tegas, dan orang penting di Barcelona itu datang ke sekolah untuk memberikannya sebuah ketegasan atas apa yang ia lakukan pada Kenzo. Di sofa biru nampak Alana yang duduk memangku Kenzo yang ketakutan karena Alex meledakkan emosinya pada Madam Ella. "Saya... Saya minta maaf Tuan, saya benar-benar menyesal dengan apa yang saya lakukan pada Kenzo." Madam Ella tertunduk malu di hadapan Alex dan Alana, dan juga kedua orang tua Braxson yang sama-sama ada di sana. "Baik. Saya masih memberikan toleransi atas perlakuan Madam Ella pada putra saya. Satu hal lagi, saya akan mengurus surat pindah sekolah Kenzo dan Kenzi. Saya tidak mau anak saya dibully dengan alasan yang tidak jelas!" cerca Alex meluap-luap. Alana mengusap pelan lengan Alex usaha agar laki-laki itu
"Kenzo tidak mau tahu! Kalian harus dramatis di depan Mommy dan Daddy!" Teriakan keras Kenzo mendominasi ruang tamu rumahnya di mana Benigno dan Tery berada di sana memperhatikan anak kecil yang kini menghentak-hentakkan kakinya marah-marah. Benigno memijit pelipisnya pelan saat Kenzo meminta hal yang aneh-aneh padanya dan juga Tery yang mati-matian mencoba terus membujuk. "Drama bagaimana lagi Pangeran kecil? Kak Tery nanti akan dimarahin sama Daddy-nya Pangeran kecil," ujar Tery menarik pelan lengan Kenzo dan menekuk lututnya duduk di hadapan Kenzo. "Ya pokoknya Kak Tery sama Paman Benigno ikutin aja maunya Kenzo supaya Daddy nginep sini sama Mommy!" "Hah?!" pekikan syok Tery dan Benigno bersamaan. Terkejut mereka berdua dengan permintaan konyol Kenzo yang makin hari semakin ada-ada saja. "Ta... Tapi, itu kan...." Tery melirik Benigno dan gadis itu menggeleng. "Bagaimana aku membujuknya?" cicit Tery bingung. Benigno menghela napas mendekati Kenzo. Tery yakin kalau laki-laki
Helaan napas panjang lolos dari bibir Alana begitu ia terbangun dari tidurnya setelah mendengar alarm ponsel yang bergetar. Tangannya terulur meraih ponselnya dengan kedua matanya yang masih tertutup. Alana merasa tubuhnya tertahan saat seseorang tengah memeluk tubuhnya dengan sangat erat. Ia mematikan alarm ponselnya dan membuka kedua matanya perlahan. Seseorang menyandarkan kepalanya di dada Alana dan terlelap dengan begitu nyaman. Senyuman Alana mengembang, ia mengusap pipi Alex dengan lembut. 'Apa dia perwujudan dari semua doa-doaku selama ini?' batin Alana tanpa mengalihkan tatapannya. Selimut sedikit melorot hingga sontak Alana melotot mengetahui tubuh Alex polos tanpa balutan apapun. "Astaga!" pekik Alana tersentak. Keterkejutan Alana membuat Alex tersentak bangun karena gadis itu langsung mendorongnya dengan kuat. Alex sontak membuka matanya dan menatap Alana yang wajahnya panik apa lagi kini selimut tidak menutupi tubuh Alex bagian atas. "Sayang, kau baik-baik saja?" A
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu