Malam ini si kembar menjalankan aksinya. Mereka sibuk menata beberapa makanan di atas meja yang berada di teras belakang.Rencana mereka malam ini tidak boleh gagal sedikitpun. Kenzo dan Kenzi sudah merancangnya matang-matang. "Nyalakan lampunya!" seru Kenzo menatap sang adik. "Siap Boss!" Kenzi menekan saklar lampu, cahaya lampu taman yang biasanya remang-remang, malam ini disulap menjadi sangat terang oleh si kembar atas bantuan Papa mereka. "Yeah! Kerja bagus!" pekik Kenzi menatap pepohonan di taman yang kini terang karena lampu-lampu kecil yang sengaja dugantung di sana. "Daddy! Mantap!" Kenzo mengacungkan jempolnya pada sang Papa. Alex terkekeh gemas. "Lanjutkan rencana kalian. Ingat Sayang, jangan membuat Mommy kalian sampai kesal, paham?!" Usapan tangan Alex mendarat di pucuk kepala kedua bocah itu beserta kecupan di pipi mereka. "Siap Daddy, sekarang Daddy sembunyi ya, nanti kalau kita sudah masuk ke dalam rumah, Daddy bisa berduaan sama Mommy," terang Kenzi pada sang
"Mom, bagaimana hadiahnya semalam? Suka kan? Mommy... Jawab dong!" Kenzo dan Kenzi menarik-narik kedua lengan Alana bersamaan ke kanan dan ke kiri. Semanta Alana baru saja terbangun dari tidurnya sudah digaduhi oleh kedua anak kembarnya yang sangat berisik ini. "Astaga, kalian tidak bisa lepaskan tangan Mommy dulu, hem?" Alana merengut kesal. "Eh, maaf Mommy. Tapi Kenzo mau tanya... Hadiah semala, Mommy suka?" tanya anak itu lagi."Suka," jawab Alana tersenyum manis. "Tapi, Mommy tidak mau memakainya dalam waktu dekat ini." "Hah? Kenapa? Bukannya Mommy suka? Kalau suka kan harusnya dipakai." Kenzi beralih naik ke atas ranjang dan duduk di pangkuan Alana. Mungkin biasanya Alana akan marah saat mereka mendekatinya apalagi sampai meminta pangku begini. Kedua tangan Alana melingkar memeluk tubuh-tubuh mengil putranya. Alana mengembuskan napasnya pelan. "Mommy menyimpan banyak sekali rasa sakit, bukan berarti Mommy tidak sayang pada kalian berdua dan tidak akan menuruti apa yang ka
Kenzo mendengkus pelan, di sekolah barunya ia merasa malas dan tidak asik seperti saat di Barcelona. Terlebih lagi ia jauh dari Ayumi dan juga Celine, teman-temannya yang paling Kenzo pikirkan. "Aku kangen Ayumi," ujar Kenzo tiba-tiba. Kenzi yang duduk di sampingnya menoleh dan mengangguk. "Sama. Biasanya jam istirahat kita main bersama-sama," jawab Kenzi mencebikkan bibirnya. "Kepikiran juga sama si mulut mercon, pasti dia ngamuk kalau kita tinggal pulang ke sini," seru Kenzo mendongak menatap langit biru dari jendela kelasnya. "Heem, begitulah."Suara bel kelas berdering keras. Tanda jam pelajaran akan dimulai sebentar lagi. Kenzi pun mengeluarkan buku peliharannya, dan Kenzo masih diam melamun. Anak itu mengambil sesuatu dari dalam tas miliknya. Ia cemberut sedih. "Ayumi," lirih Kenzo menatap origami burung kertas yang pernah Ayumi berikan padanya untuk pertama kali. Kenzo tidak menyangka kalau ia akan merasa sesedih ini meninggalkan teman-teman dekatnya. Ayumi dan Celine,
"Mom, kita jalan-jalan tapi tidak pamit Daddy dulu, memang boleh?" Kenzo menatap ragu pada sang Mama yang sibuk memilih berbagai macam snack, mereka tengah berada di sebuah super market. "Iya Mom, nanti Daddy marah-marah lagi," imbuh Kenzi cemberut menatap Alana. Mendengar ocehan dua anaknya, Alana memperhatikan mereka berdua dan menghela napasnya panjang. "Kan ada Mommy yang jagain kalian! Tenang saja, asal jangan nakal!" seru Alana tersenyum hangat pada keduanya. Anak-anak itu mengangguk patuh, dan mengacungkan jempolnya. "Siap, Mommy!" Mereka bertiga kembali memilih bahan makanan yang ingin Alana masak nanti saat tiba di apartemen Alex. Kenzo dan Kenzi berjalan di lebih dulu, mereka nampak sangat gembira dan ceria. "Mom! Nanti masak sup daging dikasih jamur enoki, boleh kan?!" Kenzi menarik-narik lengan Alana. "Boleh Sayang. Tapi kita beli dulu jamurnya ya, ayo beli bahan lainnya juga." Alana meraih kedua lengan anaknya. "Ohh, ada di sana!" Alana hendak meraih jamur enoki
Sesampainya di rumah, Alana langsung menyerahkan semua belanjaannya pada Bibi di dapur. Alana mengajak si kembar untuk ikut bersamanya masuk ke dalam kamar. "Ayo Sayang, ikut Mommy sebentar." Ia mengulurkan tangannya pada si kembar. "Mom, kenapa?" "Mommy jangan sedih ya, kan ada kita." Kenzo menggenggam satu tangan Alana. Hanya mereka yang kini Alana miliki dan akan Alana bawa ke mana saja ia akan pergi. Perkataan Renata pasti melukai hati Kenzo dan Kenzi, hanya saja di depan Alana mereka tidak menunjukkan kesedihan itu. "Ka-kalian juga, jangan sedih ya, Sayang," ujar Alana mengusap pipi mereka berdua. "Heem, tidak Mommy!" Kenzo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kami kan tadi sudah bilang, asal kami selalu sama Mommy! Dunia kita akan baik-baik saja!" seru Kenzi mengimbuhi. Alana menarik pelan lengan si kembar, dipeluknya dengan erat tubuh mungil kedua putranya. Air mata Alana tidak bisa ditahan lagi. Padahal selama beberapa hari ini ia berusaha membangun kepercayaannya pada
"Ayo kita tinggalkan negara ini dan pergi bersama anak-anak. Kita menikah dan hidup bahagia tanpa memikirkan orang lain." Alex membujuk Alana dengan sangat sabar, gadis itu masih lemah berada dalam kungkungannya. Ajakan pergi Alex membuat Alana merasa tertampar. Sepertinya Alana tidak mau, karena tidak ada jawaban apapun keluar dari bibirnya. "Sayang," lirih Alex membelai pipi Alana. "Kau mau kan? Demi anak kita dan masa depan impian kita berdua. "Mamamu akan menemukan kita di mana saja. Aku tidak mau," jawab Alana menggeleng kepalanya menolak. "Kau sangat tega pada anak-anak, hem? Kenapa kau sangat egois? Kenapa, Sayang?" Alex mendekatkan wajahnya.Kedua mata Alana terpejam, bagaimana dalam keadaan seperti ini ia akan berpikir jernih, Alex yang mengunci pergerakannya. Perlahan cengkeraman tangan itu pun terlepas. Alana mendongak memperhatikan wajah Alex, sebelum gadis itu tiba-tiba saja mengulurkan kedua tangannya melingkar di leher Alex. Tubuh Alex pun merendah sampai ia dira
Alana dan si kembar ternganga melihat pemandangan luar biasa kota Prancis yang bisanya mereka lihat di Tv dan sosial media, tapi kali ini Alex mengajak mereka tinggal di kota yang sudah lama Alana impikan. Rumah megah berlantai tiga yang berada di pusat kita di dalam perumahan para billionaire. Menyuguhkan pemandangan kota Paris yang sangat cantik. "Ini adalah rumah kita, mulai sekarang kita akan tinggal di sini," ujar Alex tersenyum lega. Alana dan si kembar masih mematung mendongak menatap rumah bak istana. "Waah... Dad, serius ini rumah kita?" tanya Kenzo menatap Alex dengan tatapan melebar. "Ya Sayang, tentu saja. Ini rumahnya kembar," jawab Alex menggendong Kenzo. Alana merasakan bajunya ditarik-tarik oleh Kenzi, anak itu mendongak mengerucutkan bibirnya menatap Alana. "Eh, kenapa Sayang?" Alana membungkukkan badannya. "Masak Kakak aja yang digendong," sungutnya. Alana terkekeh mendengar protesan di bungsu. Ia langsung mengangkat tubuh mungil Kenzi dan menggendongnya. "
Pagi ini Alana menyiapkan sarapan untuk Alex dan di kembar, mereka meminta pada Alana untuk memasak sayur-sayuran. Hari pertama tinggal di Prancis, mereka sangat bersemangat. Alana pun merasakan hal itu, hidup berempat dengan orang yang mencintanya. "Makan yang banyak, Sayang, biar cepat besar," ujar Alana mengusap pucuk kepala Kenzi. "Iya Mom. Kenzi kalau besar nanti mau jadi Pak dokter yang hebat! Mau menolong orang-orang yang sakit, mau mengobati orang yang jatuh," seru bocah itu tersenyum lebar. "Anak pintar," sanjung Alex tersenyum manis mengecup pipi putra bungsunya. Perhatian Alex dan Alana teralihkan pada Kenzo yang sibuk makan. "Kalau Kenzo, jadi penerus Daddy, ya Sayang. Biar Adik jadi dokter yang hebat, okay?!" "Jadi apa saja boleh, yang penting uangnya banyak, punya pacar yang cantik," jawab anak itu. Alana menundukkan kepalanya dan tersenyum. Memang si satu ini berbeda dari yang lain. Sedangkan Alex, ia memahami keduanya. Anaknya adalah anak-anak yang pintar dan
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu