Hillen memang tidak datang ke acara wisuda kuliahnya Rachel, tapi dia melihatnya dari rumah bersama dengan sang kakek yang juga tak bisa menghadirinya karena sudah terlalu tua. Mereka mendengar semua hal yang disampaikan di dalam acara itu ketika nama Rachel disebut beserta gelar yang berhasil didapatkannya.Dia berhasil lulus dengan jurusan manajemen dan bisnis padahal itu bukan sebuah jurusan yang mudah. Tetapi wanita itu memang tidak menyia-nyiakan kasih sayang dan uang yang diberikan kakeknya."Dia bukan seorang gadis manja, dia benar-benar cucuku yang hebat."Hillen hanya bisa diam mendengar apa yang dikatakan oleh kakeknya tentang Rachel. Kebanggaan dan kebahagiaan yang diungkapkan oleh kakeknya itu membuatnya tahu kalau memang rasa cinta kakeknya pada Rachel begitu besar seperti pada cucunya sendiri. Andaikan saja kakeknya tahu kalau dia sudah membuat wanita ini kehilangan masa depan, membuat wanita ini kesulitan dengan mengandung anaknya selama 9 bulan, sudah membuat wanita i
Rachel memandangi wajah anaknya yang kembali tidur. Tadi, setelah dia bicara dengan Raysen, dia merasa lebih baik karena anak-anaknya memperdulikannya. Raysen walau masih kecil juga masih perhatian, sementara Raysan cenderung peka dan selalu mengerti keadaan.Dia tidak tahu apakah itu karena dia gagal menjadi seorang ibu yang baik atau karena hal lain. Kedua anaknya masih kecil pun bahkan sampai ikut campur dalam urusannya, dalam pemikirannya dan dalam apapun yang akan mereka lakukan. Apakah Rachel benar-benar gagal hingga membuat kedua anaknya bahkan tidak merasa tenang dan bahagia tanpa memikirkan apa-apa?"Dengan keadaanku yang seperti ini, aku memang tidak akan pernah bisa membuat kalian hidup dengan sejahtera. Mommy hanya seorang lulusan baru dari universitas, masih kesulitan mencari pekerjaan. Jika kalian hidup dengan Daddy, kalian sebenarnya akan hidup dengan baik dan terjamin. Tapi setelah itu, apakah kita masih bisa bertemu?"Rachel menarik napasnya pelan, dia tidak yakin sem
Rachel bersiap hari ini dan terlihat semangat mau melamar pekerjaan. Walaupun nama perusahaannya dia sedikit asing tapi dia sudah tahu kerja di sana juga tidak seburuk itu. Rachel ingin membuktikan kalau dia bisa menjadi seorang ibu tunggal yang akan menghidupi anaknya.Harapannya saat ini adalah dia diterima, dia bisa memastikan tidak akan mengecewakan orang yang sudah menerima lamaran pekerjaan yang dia ajukan. Karena bagaimanapun, Rachel melamar pada bagian yang sudah dia pahami dan dia yakin bisa melakukannya dengan baik."Doakan Mommy bisa mendapatkan pekerjaan ini, ya?!" ujarnya penuh semangat membuat kedua anaknya itu mengangguk."Raysen akan selalu mendoakan Mommy.""Hmm! Begitupun dengan Raysan, kami akan selalu mendukung apapun yang Mommy mau lakukan. Karena kami tahu kalau semua itu hanya untuk kami dan Mommy melakukan itu juga untuk kami."Rachel tersenyum dan memeluk dua anaknya itu dengan lembut. Dia merasa senang karena kedua anaknya adalah anak-anak yang pengertian dan
"Anda diterima kerja, Nona?""Iya, gajinya cukup sekali untuk kita satu bulan. Jadi aku akan mencari rumah yang lebih baik untuk kita tempati. Semoga saja aku bisa nyaman bekerja disana agar bisa sekalian mencicil rumah itu," ujar Rachel dengan perasaan bahagia ketika dia pulang ke rumah."Syukurlah, Bibi senang sekali mendengarnya. Semoga saja bisa bekerja dengan baik dan tidak ada kesalahan. Dengan itu pasti bisa bekerja dengan baik dan lancar. Semoga saja ini benar-benar bisa menjadi rezeki Nona."Rachel tersenyum dan mengangguk. "Dimana anak-anak? Apakah mereka tidur?" tanyanya saat melihat rumah yang sepi."Iya, setelah makan cemilan tadi, mereka langsung tidur karena mengantuk." Rachel tersenyum dan mengangguk paham. "Kalau begitu, aku akan mandi dulu ya? Soalnya aku lelah sekali, setelah ini baru makan siang.""Iya, Nona. Pergilah, saya siapkan dulu makanannya."Rachel tersenyum dan mengangguk, dia membiarkan Bibi Vee pergi sementara dia sendiri ke kamar dan memutuskan untuk m
Ting! Tong!Rachel menoleh ke arah pintu saat dia sedang menonton televisi. Dia mengerutkan dahinya dengan bingung, siapa yang datang bertamu ke rumah? Tidak banyak yang datang kesini, 'kan? Kenapa ada tamu yang datang?"Bibi Vee mungkin sedang tidur," gumamnya lalu bangkit. "Lebih baik aku saja yang membukanya."Rachel bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Baru saja dia akan menyapa, seseorang yang berdiri tegak disana membuatnya mengatupkan bibir. Dia terlihat menegang untuk sesaat, padahal ini bukan pertemuan pertama mereka tapi entah mengapa rasanya dia cukup gugup menemui pria ini. Hillen juga diam menatap wajah Rachel yang terlihat begitu gugup di hadapannya. Dia tahu kalau dari awal sikap wanita ini tidak berubah banyak, dia tahu kalau Rachel juga tidak akan sekuat itu di hadapannya tapi berusaha untuk kuat agar tidak mudah untuk ditaklukan. Hillen mengerti, bahkan saat dia pertama kali melihat sikapnya. Hal itu membuatnya tersenyum pelan dan meng
Mendengar ucapan Hillen, Rachel diam dengan wajahnya yang menatap tak percaya pada pria itu. Bukan apa, dia hanya tidak merasa percaya karena pria yang kaya raya ini mau mengorbankan nama baiknya hanya untuk hal ini.Padahal, jika Hillen mau melihat dan membuka matanya, dengan Rachel yang hidup sangat baik bersama anak-anaknya, dia juga tidak perlu melakukan hal itu. Untuk apa?"Kakak seharusnya tidak perlu melakukan sesuatu yang bisa mengorbankan nama baik. Atas dasar apa? Walaupun kita pernah tinggal di rumah yang sama tapi kita tidak pernah memiliki perasaan apa-apa. Akan terlalu aneh untuk Kakak sendiri, kenapa Kakak harus melakukan semua ini padahal Kakak bisa mengabaikanku?" tanya Rachel dengan tenang. Melihat Hillen yang terdiam, Rachel tersenyum kecil dan menghela napasnya. "Mencari uang sangat sulit di negara kita, perlu kerja keras dan kemampuan yang bagus. Kalau Kakak memberikan aku dan anak-anak hidup baik tanpa kekurangan, itu artinya memberikan uang dan kekayaan dan Kak
Rachel menoleh ke arah suara itu, bersama dengan Hillen hingga mereka menemukan Raysan yang tampak mengusap matanya."Raysan ... ada apa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Rachel seraya bangkit dari duduknya dan menghampiri putranya itu."Haus, Mommy. Minuman Raysan habis," ucapnya membuat Rachel tersenyum dan mengambil botol minum dari tangan putranya itu."Biar Mommy ambilkan di dapur, kamu kembali ke kamar saja, hmm?"Raysan menatap ke arah belakang dimana ada seorang pria yang berdiri memperhatikan mereka. Dia mengerutkan dahinya, lalu menatap sang ibu yang terlihat hendak bangkit."Mommy ...""Ya?" Rachel menatap wajah polos putranya itu."Apakah dia Daddy?"Deg!Wajah Rachel langsung tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia dengan ragu menggeleng, lalu tersenyum pada putranya itu."Bukan, dia hanya teman Mommy. Pergilah ke kamar, tunggu Mommy mengantarkan minum untukmu." Rachel berkata lembut membuat Raysan mengangguk.Rachel sungguh sangat lega karena Hillen sama sekali tidak ada bicar
Mendengar ucapan Raysan, Hillen diam untuk berpikir selama beberapa saat karena dia takut nanti Rachel malah marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik untuk didengar oleh putranya ini.Saat ini dia sedang melakukan pendekatan dan tidak bisa kalau sembarangan dalam mengatakan apa yang bisa dia katakan, hingga dia memutuskan untuk diam selama beberapa saat baru kemudian berjalan pergi ke radar setelah pamit pada putranya yang dia tak tahu itu anak pertama atau kedua.Dia belum meminta Vicky untuk menyelidiki hal ini, bagaimanapun kedua anaknya ini kembar dan nyaris sama segala wajah dan bentuk tubuhnya jadi dia tidak begitu mengenali sebab dia baru datang saat ini. Sepertinya kalau dia banyak bermain dengan mereka nanti akan lebih mudah, Hillen sudah bertekad untuk mengurangi waktunya dalam pekerjaan dan mulai mengambil hati kedua anaknya ini dan juga Rachel. "Semoga aku bisa." Hillen berjalan ke arah belakang dimana Rachel tadi pergi kesana. Hingga dia menemukan wanita itu se
Seharian itu Rachel habiskan di dalam kantor dan dia tidak melakukan apa-apa selain bekerja sampai akhirnya rasa lelah menggerogoti. Namun, meski dia merasa lelah saat ini tapi ada rasa senang di hatinya karena tak perlu merepotkan orang lain kelak. Dia juga punya pegangan karena bekerja di perusahaan dan dia tidak akan menjadi gelandangan meski nanti harus luntang-lantung kemana-mana. Saat sedang berhenti dan menunggu taksinya datang, dia melamun sendirian di depan perusahaan sebelum akhirnya dia menghela napas berat. "Entah bagaimana kedepannya akan terjadi, aku tidak tahu. Yang pasti aku masih berdiri tegak dan masih hidup," gumamnya seraya menatap sekitar. Namun, baru saja dia akan menenangkan diri, sebuah mobil mewah berhenti di depannya membuat Rachel mengerutkan dahinya dan menatap siapa yang datang. Rekan bisnisnya yang lainnya tampak berbisik-bisik heboh melihat mobil itu, sampai akhirnya pintu mobil itu terbuka dan Vicky terlihat berjalan sebelum menunduk sopan padanya.
Rachel menyentuh dahinya dengan wajah yang masih diam saja di kamarnya. Dia teringat dengan apa yang dilakukan Hillen tadi makanya saat ini dia merasa seperti kehilangan kemampuan untuk menyembunyikan sedikit saja perasaan aneh di dadanya. Dia belum keluar sejak tadi, masih memakai seragam kerjanya. Tetapi sekarang dia masih mempersiapkan mentalnya untuk bertemu dengan anak-anaknya dan Hillen. "Non ..." Rachel menoleh sambil memasukkan notebook, dia menemukan Bibi Vee tengah bergerak masuk ke dalam kamarnya. "Kenapa, Bi?" "Sudah siap? Tuan dan anak-anak sudah menunggu di bawah untuk sarapan bersama." Rachel menghela napasnya. "Bibi turun saja dulu, bilang supaya mereka mau sarapan lebih dulu dan tidak usah menungguku. Aku akan turun setelah menyelesaikan apa saja yang kubutuhkan," ucapnya membuat Bibi Vee menatapnya. "Bibi melihat Nona berubah akhir-akhir ini, ada masalah apa?" Rachel menggeleng, lalu tersenyum menatap Bibi Vee tanpa ada niatan menjelaskan apa yang dia rasakan
Rachel membuka mata dan mengusap wajahnya perlahan. Dia membuka matanya ketika mendengar suara alarm, tidurnya benar-benar lelap saat ini dan itu cukup membuat yang rasa lebih baik sebelum akhirnya bangkit duduk. Sudah tidak ada suara anak-anaknya yang membangunkan setiap hari, Rachel sebenarnya merasa rindu tapi kalau mereka juga tak mau menemuinya itu juga bukan sebuah hal yang harus dia pikirkan lagi. Mungkin dia memang benar-benar belum dewasa tapi dia tidak mau mendapatkan penolakan dari anak-anaknya masih kecil. Itu hanya akan melukai hatinya yang sudah merawat mereka dengan sepenuh hati. "Mungkin setelah menikah nanti dan mereka semakin tidak mau denganku, aku akan memutuskan untuk berpisah. Aku lelah kalau harus menjalani hidup dalam permainan, masih banyak hal yang bisa aku gapai dan aku bisa melakukan semua itu dengan leluasa." Bangkit dari duduknya, Rachel menuju kamar mandi dan langsung membersihkan diri karena dia harus bekerja hari ini. Dia masih memiliki pekerjaan
Rachel tiba di rumah dan tidak ada anak-anak, biasanya kedua anak kembar itu akan selalu menyambutnya kalau dia pulang, tapi saat ini bahkan tak ada anak-anak yang menyambutnya, tidak ada lagi mereka yang datang dan mengerumuninya. "Bibi ..." Tidak ada sahutan, Rachel hanya bisa duduk di sofa dan memegang kepalanya yang sakit. Tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah dan itu membuatnya tahu kalau mereka mungkin pergi entah ke mana. Mungkin bersama dengan ayah mereka atau mereka jalan-jalan ke mana. Di rumah itu dia diam sendirian, seolah bisa melihat bayangan ketika dia dulu dengan susah payah menerima kenyataan kalau dia hamil, mengandungnya dengan hampir gila, melahirkannya dengan bertaruh nyawa, membesarkannya dengan bekerja sambil kuliah. Susah payah dia melakukan semua itu tapi saat anaknya mendapatkan ayah, dia bahkan terlupakan begitu saja. Sekarang dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, air matanya menetes begitu saja. Rachel menangis sendirian tanpa mampu menahan keses
Hari itu Hillen tidak pulang, dia tetap berada di rumah Rachel dan entah menunggu apa. Raysan dan Raysen sudah bermain lagi dengannya setelah sarapan, sementara Rachel sedang bersiap karena dia akan pergi bekerja. "Ra ... bisa kamu datang ke rumah nanti malam? Biar bagaimanapun, Kakek juga harus tahu tentang rencana pernikahan kita." Rachel menarik napasnya lalu menatap wajah Hillen. "Aku sudah keluar dari keluarga Kakak," balasnya tanpa ekspresi berlebihan. "Kalau Kakak mau mengatakan pada Kakek, Kakak bisa katakan sendiri. Sekaligus minta pendapatnya, aku yakin Kakek tidak akan setuju kalau Kakak menikahiku." "Kenapa?" "Tidak usah bertanya hal yang sudah jelas, seharusnya Kakak juga lebih tahu dariku." Hillen terdiam menatap wajah Rachel untuk sesaat. "Kalau kakek saja bisa menjadikanmu sebagai cucunya itu berarti kamu layak. Kakek bukan seseorang yang suka bermain-main, dia juga selalu serius dalam urusan apapun. Kakek menerimamu sebagai cucunya itu menunjukkan kalau kau
Hillen mengerutkan dahinya mendengar itu. Tatapannya tampak heran karena Rachel tiba-tiba mengajukan syarat seperti itu. Selama beberapa hari ini, Hillen berusaha untuk membuka hatinya walau dia tahu kalau masih belum seberapa. Hanya saja kenapa sekarang dia malah mengajukan hal seperti ini?"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya seraya mengambil berkas itu. "Kenapa tiba-tiba mengajukan pernikahan?"Rachel duduk di sofa seberang Hillen, lalu menatapnya dengan wajah serius. "Jadi ... memang tidak ada niatan untuk menikahiku ya? Kakak datang hanya untuk mendapatkan perhatian anak-anak?"Hillen menatapnya lalu menghela napas dan kembali menatap berkas yang merupakan kertas dengan tulisan manual milik Rachel. Disana ada beberapa syarat yang sudah ditulis Rachel secara langsung."Kalau Kakak hanya mau anak-anak, aku sudah katakan. Tunggu mereka sedikit lebih besar, agar bisa memutuskan apakah mereka mau ikut dengan Kakak atau tidak. Kalau hanya dari keinginan Kakak sendiri, seharusnya Kakak
"Mommy ... Mommy ... Daddy muntah-muntah di kamar mandi."Raysan yang berlari sambil mengatakan itu terlihat mengganggu fokus Rachel yang sedang dia menonton televisi. Raysan berhenti di depannya, membuat Rachel menaikkan alisnya."Mommy, tolong Daddy. Daddy sepertinya masuk angin atau sakit makanya muntah-muntah di kamar mandi belakang."Rachel menarik napasnya, lalu bangkit dengan perasaan berkecamuk. Bahkan perhatian anak-anaknya semakin besar pada Hillen dan hanya minta tolong padanya kalau sudah ada sesuatu hal yang tidak bisa mereka tangani tentang ayahnya itu. Rachel baru diingat di saat seperti ini tapi cukup membuatnya merasa sedih sendiri.Hillen terlihat memegang dadanya sendiri sambil keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah yang sedikit memucat. Dia menatap wajah pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menarik napas lagi."Pulanglah, mungkin Kakak sudah lelah. Di sini tidak ada persediaan obat jadi aku tidak akan bisa memberikan perawatan apapun." Rachel berkata
Tiba di rumah, Rachel turun dari mobil dan berjalan begitu saja meninggalkan Hillen yang sudah menghela napasnya. Sangat sulit untuk membuat Rachel takluk padanya hanya dengan kata-kata.Hillen tidak begitu tahu apa yang bisa dilakukan untuk membuat hati seorang wanita merasa lebih lunak, dia tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya jadi tentu saja dia tidak begitu banyak tahu."Tetapi aku tidak bisa melibatkan kakek di dalam urusan ini. Ke depannya aku masih harus berusaha keras."Hillen membuang napasnya pelan lalu bergerak turun juga dari mobil. Dia masuk dan melihat Rachel yang sedang dipeluk oleh anak-anak mereka. Ya, dia tidak pernah menganggap kalau itu hanya anak-anaknya karena peran Rachel sangat besar di dalam urusan ini.Jika, berpikir lagi apakah dia menerima kenyataan ini atau tidak, Hillen bahkan sebenarnya tak pernah berpikir memiliki anak-anak dalam waktu dekat karena dia tak pernah memiliki riwayat percintaan dengan siapapun. Kejadiannya juga terjadi sangat c
"Tidak masuk akal, aku menghabiskan waktuku menemaninya di sini dan ternyata salah orang. Jika saja itu benar-benar Kak Hillen akan lebih mudah. Bagaimana bisa ... kenapa aku terlalu bodoh? Kak Hillen memiliki kekuasaan dan juga kemampuan untuk menolak siapa saja yang tidak disukainya. Mana mungkin kami bisnisnya yang sudah sangat besar dan berpengaruh itu dia rela menikah dengan seorang wanita yang tidak sepadan dengannya."Cynthia termasuk bukan gadis yang sesuai karena dia masih berada di bawah keluarga Stepson. Setidaknya yang akan menjadi istri dari Kak Hillen adalah gadis yang memiliki kekayaan setara dengannya. Cynthia dan aku bukan termasuk orang yang memiliki syarat itu. Aku sepertinya sudah terlalu banyak berpikir, aku lupa siapa Kak Hillen sampai percaya kalau laki-laki yang dijodohkan pada Cynthia adalah dia."Rachel berpikir di dalam hatinya sampai berjalan keluar dari dalam restoran karena pamit pada Cynthia yang sudah akrab dengan pria itu. Dia berkata harus pulang seba