Jauh di dalam dirinya, Clara masih mencoba melawan, meski tubuhnya seakan tidak mendengarkan perintahnya. Dia merasakan sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Namun, efek obat itu begitu kuat, membuatnya tidak bisa menghentikan apa yang kini sedang terjadi pada tubuhnya.“Aku... aku tidak bisa...,” Clara berkata lirih, suaranya terputus-putus oleh lenguhan dan desahan yang tak bisa dia tahan.Mike tidak memberikan waktu bagi Clara untuk berpikir. Dia terus meremas payudara Clara dengan semakin kasar, memilin putingnya yang mengeras dan membuat tubuh gadis itu semakin tak berdaya di hadapannya. Setiap sentuhan Mike terasa seperti petir yang menghantam tubuh Clara, membuatnya semakin terjerat dalam jaring kenikmatan yang dipaksakan padanya.Clara mencoba meraih kesadarannya kembali, namun setiap kali dia berusaha melawan, tubuhnya merespon dengan lebih banyak desahan dan lenguhan. Tubuhnya seakan tidak mau mendengarkan pikirannya yang berteriak untuk berhenti.“Mike…
Julian melangkah pelan memasuki rumahnya yang sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam yang menunjukkan pukul sebelas malam. Dia melepaskan dasi yang melilit leher dengan satu tarikan lembut. Sesekali Julian menghela napas panjang, berusaha meredakan ketegangan setelah hari yang panjang.Di tengah keheningan, Julian melihat lampu di ruang tengah masih menyala, tanda bahwa seseorang masih terjaga. Waktu sudah larut malam, tentu saya Victor dan Violet sudah tidur nyenyak di kamar.Ternyata di ruang tengah masih ada Amber yang terjaga. Dia duduk di sofa dengan secangkir teh di tangan dan sebuah buku yang terbuka di pangkuannya. Wanita itu tampak begitu tenang dan fokus pada apa yang sedang dibaca. Bahkan tidak menyadari kehadiran Julian di ambang pintu.Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir Julian. Lantas dia mendekati Amber tanpa suara. Kakinya berjalan dengan penuh hati -hati. Dengan lembut Julian melingkarkan tangan di sekitar bahu Amber dan memeluknya dari belakang. Amber terkejut
Amber terdiam sejenak, hatinya berdebar kencang. Dia juga bisa merasakan kehangatan dari tubuh Julian yang begitu dekat dengannya. Sebelum menjawab Amber meneguk saliva kasar.“A- apa ... apa maksudmu, Julian?”“Tidak ada maksud apapun,” Julian tersenyum kecil, “aku hanya ... ingin menciummu.”Tatapan mata Julian yang dalam dan intens entah mengapa membuat Amber merasa terbuai. Dia lantas menarik napas dan tidak tahu mengapa langsung mengangguk begitu saja. Sebuah isyarat memberi izin pada Julian untuk mendekat.“Se- sebentar saja ....” Amber berdeham dengan tegang.Tanpa menunggu lebih lama lagi, Julian mendekat. Dia meraih wajah Amber dan mengecup dengan lembut, menyampaikan seluruh perasaannya dalam ciuman tersebut. Ciuman yang lembut namun penuh makna, seolah semua ketegangan dan kekhawatiran yang ada di antara mereka meleleh dalam kehangatan tersebut.Mulut Amber yang terbuka membuat ciuman Julian lama-lama menjadi lebih menuntut, panas, dan luar biasa liar. Amber pun dengan se
Pagi itu, Julian bangun lebih awal. Pikiran pria itu sudah dipenuhi oleh meeting penting yang harus dihadirinya di kantor. Ini adalah salah satu pertemuan yang akan menentukan kelangsungan proyek besar yang sedang dikerjakan selama beberapa bulan terakhir. Tanpa banyak membuang waktu, Julian segera mandi, berpakaian rapi, dan bersiap untuk pergi. Namun, ada satu hal yang membuat Julian merasa sedikit berat meninggalkan rumah pagi ini, si kembar.Julian biasanya selalu berusaha meluangkan waktu untuk mengantar si kembar ke playgroup setiap pagi. Itu adalah salah satu momen spesial yang tidak ingin dilewatkan. Namun, hari ini Julian terpaksa harus melewatkan momen tersebut. Waktu sudah sangat mepet, dan di tidak mungkin terlambat datang ke kantor.Amber yang menyadari kegundahan Julian, segera menawarkan diri untuk mengantar si kembar. Julian menatap Amber dengan perasaan bersalah, tetapi Amber justru tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa, Julian. Aku akan mengantar mereka. Kau fokus sa
“Kenapa Nyonya lama sekali?”Vein menutup bagasi mobil dengan gerakan cepat, tetapi tetap penuh kehati-hatian. Pandangannya segera tertuju pada Amber yang berdiri di kejauhan, tampak tenang namun sedikit gelisah. Ada sesuatu yang membuat hati Vein berdesir aneh, seakan ada firasat buruk yang tak bisa diabaikan."Nyonya Amber..." gumam Vein, namun suara itu hanya tertahan di tenggorokannya. Dia ingin segera menghampiri Amber, memastikan semuanya baik-baik saja.Namun, saat Vein mengunci mobil dan bersiap berjalan mendekat, Amber tiba-tiba menghilang di tengah kerumunan orang yang sibuk berlalu-lalang di depan kedai kopi. Rasa panik langsung menyeruak dalam dirinya, menggantikan firasat buruk yang sejak tadi mengusik."Nyonya Amber!" serunya, kali ini lebih keras, tapi tak ada jawaban.Jantung Vein berdebar kencang, rasa cemas semakin menekan dadanya. Tanpa berpikir panjang, dia bergegas mengejar jejak Amber. Pandangannya menyapu sekeliling dengan cermat, mencari sosok wanita itu di an
“Apa yang terjadi, Mike?” Clara langsung bangkit dari ranjang, menghampiri Mike yang masih memegang telepon. “Ada apa?”“Diam dulu.” Mike melirik tajam pada Clara.“Mike, jawab aku!” Clara tidak sabar. Dia sudah mendengar sedikit percakapan Mike dan anakbuahnya barusan.Clara merasa dadanya hampir meledak mendengar kabar bahwa rencana untuk membunuh Amber gagal. Kemarahan yang mendidih di dalam diri hampir tak terkendali. Clara telah merencanakan semuanya dengan sempurna, tetapi semua upaya itu berakhir dengan kegagalan yang memalukan.“Bagaimana bisa kau gagal?” suara Clara bergetar.Mike terdengar tenang, nyaris acuh tak acuh. “Semua sudah diatur, tapi ada sesuatu yang menghalangi.”“Sesuatu? Itu alasan yang sangat buruk, Mike! Apapun yang terjadi, dia harus mati. Kalau kau tidak bisa melakukannya, aku sendiri yang akan membunuhmu,” Clara mengancam dengan tajam. “Kau sudah berjanji, sekarang tepati janjimu!”“Kau sangat berisik, Clara.” Namun, alih- alih merasa takut, Mike malah te
Setelah yakin bahwa situasi di rumah aman, Julian memutuskan untuk kembali ke kantor. Sebelum pergi, di menitipkan Amber kepada Vein, satu-satunya yang dapat dipercaya untuk menjaga keamanan di rumah mereka untuk saat ini.“Vein, aku minta kau menjaga Amber untuk sementara,” titah Julian sebelum beranjak pergi.“Baik, Tuan. Tapi Tuan ... kalau hanya satu orang, saya bisa menghadapinya, tapi kalau lebih dari dua orang, saya tidak bisa menjamin,” ucap Vein yang menyadari kemampuannya. “Meskipun begitu, saya akan berusaha semaksimal mungkin.”“Aku tahu. Hubungi aku jika ada hal yang mencurigakan,” pinta Julian kemudian.“Baik, Tuan,” jawab Vein dengan patuh.Julian memahami situasi ini dan menasihati Amber untuk tetap di rumah dan tidak pergi kemanapun sendirian.“Amber, tetaplah di rumah. Vein aku minta untuk menjagamu,” ujar Julian seraya mengelus pipi Amber dengan lembut.“Baiklah.” Amber mengerti dan setuju untuk mematuhi instruksi Julian.“Jangan pergi kemanapun sendirian. Okay?” J
Malam yang kelam dan suram menyelimuti langit kota, seakan menjadi cerminan dari kegelapan yang menyelimuti hati Amber. Tubuhnya yang lemah tergeletak tak berdaya di lantai dingin sebuah gudang bawah tanah, tersembunyi di balik dinding tebal bar milik Anette. Gudang itu dipenuhi dengan bau lembab yang menyengat dan debu yang telah menempel selama bertahun-tahun, menciptakan suasana yang mencekam dan penuh ketidakpastian. Cahaya redup dari lampu neon tua yang tergantung di langit-langit menciptakan bayangan aneh pada dinding beton yang retak, menambah kesan menakutkan tempat itu.Amber tergeletak tak sadarkan diri, wajahnya pucat akibat efek bius yang diberikan oleh Mike. Nafasnya teratur, tapi dalam keadaan terbius, dia benar-benar tak berdaya. Di sudut ruangan, Mike berdiri dengan sikap angkuh, matanya penuh dengan kepuasan. Sebuah seringai puas terbentuk di bibirnya saat dia menatap Amber yang tak sadarkan diri.“Anette akan sangat senang dengan 'barang' ini,” gumam Mike, setengah
Waktu berlalu dengan cepat. Sudah beberapa bulan sejak Hector dan Hugo lahir, dan hidup Amber kini penuh dengan kesibukan. Setiap hari, dia terfokus mengurus dua bayi kembar mereka, sementara Julian mengambil alih tugas mengasuh Victor dan Violet setiap kali ada waktu. Gracey sering mampir dan kadang menginap untuk membantu Amber, memberikan sedikit kelonggaran dari tugas berat sebagai ibu baru.Suatu malam, saat mereka akhirnya bisa duduk berdua di sofa setelah anak-anak tertidur, Julian memandang Amber dengan lembut. Wajah istrinya terlihat lelah, tetapi tetap memancarkan kehangatan dan kasih sayang.“Amber,” panggil Julian pelan, membuat Amber menoleh. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”“Apa itu, Sayang?” Amber bertanya sambil menyesuaikan posisi duduknya, mencoba meredakan kelelahan di tubuhnya.“Aku ingin memberikanmu sesuatu sebagai hadiah,” kata Julian dengan serius. “Hadiah yang spesial.”Amber mengerutkan kening, sedikit terkejut. “Hadiah? Untuk apa?”Julian tersenyum han
Waktu berlalu dengan cepat, dan kehamilan Amber kini sudah mencapai bulan terakhir. Setiap hari terasa penuh dengan harapan dan kegembiraan. Ketika Amber dan Julian melakukan USG beberapa minggu sebelumnya, mereka terkejut dan senang mengetahui bahwa bayi yang dikandung Amber ternyata kembar. Namun, sebagai kejutan, mereka memutuskan untuk tidak mengungkap jenis kelamin bayi tersebut, menjaga agar momen kelahiran menjadi lebih spesial.Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Amber merasakan kontraksi yang semakin intens, dan Julian segera membawa Amber ke rumah sakit. Ketegangan dan kegembiraan memenuhi udara saat mereka memasuki ruang bersalin. Julian menggenggam tangan Amber erat, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas.“Grandma, sebentar lagi adik bayi akan lahir, ya?” tanya Violet dengan wajah polosnya.Gracey yang ikut ke rumah sakit mengangguk pelan, “iya sayang. Mommy akan melahirkan adik bayi untuk kalian.”“Apa prosesnya cepat?” tanya Victor dengan wajah khawatir, “bany
Pagi itu, Amber merasa tidak enak badan. Sudah beberapa hari terakhir tubuhnya lemah, disertai pusing dan mual yang semakin parah. Namun, hari ini, saat mereka mengunjungi rumah orang tua Julian, Gracey dan James, mual itu terasa lebih kuat. Amber dan Julian sengaja membawa si kembar, Victor dan Violet, untuk bermain di rumah kakek dan nenek mereka. Namun, suasana hangat yang biasanya menyelimuti mereka saat berkumpul kali ini terasa berbeda.Julian duduk di sebelah Amber di ruang tamu, matanya penuh kekhawatiran. “Sayang, kau terlihat pucat. Ada apa? Kau sakit?” tanyanya lembut.Amber mengerutkan kening, tangannya memegang perutnya. “Aku merasa pusing dan mual, tapi tidak demam.”Julian semakin cemas. “Ini sudah beberapa hari. Mungkin kita perlu ke dokter.”Sebelum Amber sempat menjawab, rasa mual itu datang lebih kuat. “Hoeekk!” Amber menahan muntah, lalu melambaikan tangan ke arah Julian. “Julian, tolong... menjauh sebentar,” pintanya dengan lemah.Julian mundur dengan bingung. Ini
Setahun telah berlalu sejak Amber dan Julian mengikat janji suci dalam pernikahan mereka. Kehidupan mereka yang damai penuh dengan cinta, kebahagiaan, dan tawa anak-anak yang mengisi rumah mereka. Namun, di balik senyum Amber yang selalu cerah, ada kegelisahan yang tak kunjung hilang. Meskipun pernikahan mereka telah memasuki usia setahun, Amber belum juga hamil lagi. Rasa cemas dan bersalah mulai menghantui pikirannya, terutama karena Julian dan anak-anak pernah sangat menginginkan kehadiran adik bayi untuk Victor dan Violet.Hari itu, setelah mengantar Victor dan Violet ke taman kanak-kanak, Amber memutuskan untuk duduk sejenak di taman sekolah, menikmati ketenangan pagi. Saat dia duduk, Amber melihat seorang wanita di bangku lain yang tampak kelelahan dan sedih. Merasa iba, Amber menghampirinya.“Hai, kau baik-baik saja?” Amber menyapa dengan lembut.Wanita itu, yang terlihat terkejut dengan perhatian Amber, tersenyum kecil meski kesedihan masih terpancar di wajahnya. “Oh, hai… Iy
Sepulang dari bulan madu yang indah dan penuh kenangan di Eropa, Amber dan Julian kembali ke rumah mereka dengan hati yang hangat. Namun, kehangatan itu segera terganggu oleh dua sosok kecil yang sudah tak sabar menunggu di depan pintu.“Mommy! Daddy!” teriak Victor dan Violet serempak, wajah mereka bersinar-sinar penuh antusiasme.Gracey mengikuti dibelakang mereka. Kemudian memeluk Amber dengan hangat. “Bagaimana? Kalian menghabiskan waktu dengan baik di sana, kan?”“Sangat menyenangkan, Mom,” Amber mengurai pelukan, dia memberikan bingkisan yang terpisah pada Gracey. “Ini hadiah yang khusus aku bawakan dari setiap negara yang kami kunjungi.”“Tidak perlu repot-repot, Sayang.” Gracey menerima bingkisan itu, “tapi karena ini dari menantu kesayanganku, akan aku terima dengan senang hati.”“Mommy, Mommy!” Violet membentangkan tangannya, “peluk Vio! Aku sangat rindu pada Mommy!”Victor ikut membentangkan tangan, “jangan lupa aku juga anak kalian.” Ucapnya dengan malu-malu.Julian berde
Segera setelah pesta pernikahan selesai, Julian membawa Amber pergi berbulan madu. Meninggalkan Victor dan Violet dibawah pengawasan Gracey dan James. Perjalanan mereka dimulai dari Paris, kota yang tak pernah kehilangan pesonanya sebagai tujuan romantis. Mereka tiba di Paris pada malam hari, disambut oleh gemerlapnya lampu kota dan Menara Eiffel yang menjulang megah, seakan mengucapkan selamat datang kepada mereka. Julian telah merencanakan segalanya dengan cermat. Dia memilih hotel yang elegan dengan pemandangan langsung ke Menara Eiffel.Malam pertama mereka di Paris dihabiskan dengan makan malam romantis di sebuah restoran mewah di tepi Sungai Seine. Di bawah sinar lilin yang redup dan dengan latar belakang Menara Eiffel yang berkilauan, mereka menikmati hidangan Prancis yang lezat, ditemani oleh alunan musik lembut yang dimainkan oleh musisi lokal.“Kita akhirnya di sini,” kata Julian sambil menggenggam tangan Amber di atas meja. “Ini adalah awal dari kehidupan baru kita, dan ak
Hari itu tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, terutama oleh Amber dan Julian. Pernikahan mereka diatur dengan sempurna, setiap detail dipikirkan dengan seksama untuk memastikan bahwa momen ini akan menjadi kenangan indah seumur hidup. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, memberikan suasana mewah tetapi tidak menghilangkan kesan hangat di sekitar gereja besar yang dikelilingi taman penuh bunga berwarna-warni.Di ruang tunggu pengantin wanita, Amber berkumpul bersama Gracey dan kedua anaknya, Victor dan Violet. Dengan gaun pengantin putih yang anggun, Amber tampak seperti sosok peri yang tenang dan penuh cinta. Matanya bersinar, tetapi di balik itu, ada sedikit kegugupan yang wajar. Ini bukan hanya tentang pernikahan, melainkan awal dari kehidupan baru. Tidak hanya baginya, tetapi juga bagi Julian, terutama Victor dan Violet.Gracey, mengenakan gaun biru langit, menghampiri Amber dengan senyum penuh arti. Dia telah melihat banyak perubahan dalam
Hari-hari menjelang pernikahan Julian dan Amber terasa seperti mimpi yang hampir menjadi kenyataan. Setelah sekian lama dilanda berbagai cobaan, akhirnya momen bahagia itu tiba juga. Julian yang perfeksionis, tak ingin melewatkan satupun detail dalam persiapan pernikahan mereka. Dia ingin pernikahan ini menjadi simbol cinta yang tidak akan pernah terlupakan oleh siapapun.Pagi itu, matahari bersinar cerah, seakan turut merayakan kebahagiaan mereka. Julian, Amber, dan si kembar, berkumpul di butik tempat mereka akan fitting pakaian pernikahan. Butik tersebut telah disulap menjadi tempat yang penuh dengan keanggunan, dihiasi dengan bunga segar dan kain-kain sutra yang menambah kesan mewah.Amber berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang anggun. Gaun itu terbuat dari sutra lembut yang membalut tubuhnya dengan sempurna, dihiasi renda halus yang menyatu dengan kulitnya, serta manik-manik berkilauan yang memantulkan cahaya lampu kristal di atasnya. Saat Amber melih
Seminggu setelah kejadian yang mengguncang keluarga Kingston, Amber akhirnya diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik setelah melewati masa pemulihan yang intensif. Hari itu, Julian, James, Gracey, dan si kembar menjemputnya di rumah sakit.Saat pintu rumah sakit terbuka, wajah-wajah penuh harapan menyambut Amber dengan sukacita. Sementara Amber yang berdiri di ambang pintu tersenyum tipis penuh kehangatan. Si kembar lantas berlari kecil menuju Amber, wajah mereka bersinar dengan kegembiraan yang tak terbendung.“Mommy!” seru Victor dan Violet serempak, keduanya melompat ke dalam pelukan Amber dengan semangat yang menggebu-gebu.“Mommy! Aku merindukanmu!” ujar Violet yang semakin mengeratkan pelukan.“Aku juga!” seru Victor tidak mau kalah.Amber tidak bisa menahan air matanya. Dia merindukan anak-anaknya lebih dari apa pun selama masa pemulihan ini. Pelukan mereka adalah sesuatu yang dia impikan setiap malam di rumah sakit. Dengan mata berkaca-kaca, dia membalas pelukan mere