Amala masih mengepalkan tangannya.
Dia tidak habis pikir, kenapa mereka sangat membencinya hingga tega menggunakan cara sekejam itu. Amala benar-benar merasa hatinya hancur berkeping-keping. Amala masih mengingat dengan jelas jika kemarin dia masihmenemani Nathalie minum kopi di cafe. Mereka masih sempat bercanda dan tertawa berdua. Nathalie bahkan bertanya tentang kabar hubunganya dengan Khale. Tanpa terlihat sedikitpun kecurangan dari Nathalie. Tanpa ada masalah sedikitpun diantara mereka berdua. Sampai detik ini, Amala tidak pernah tahu jika Nathalie diam-diam mencintai tunangannya. Lalu sengaja membuat rencana licik untuk menjebaknya agar Khale meninggalkan dirinya.Amala menjadi seperti orang yang bodoh. Dia dikhianati oleh sahabatnya sendiri, juga oleh calon ibu mertuanya yang selama ini selalu menganggapnya sebagai anak dan begitu menyayanginya. Dia tidak tahu, jika sebenarnya Sabrina sangat membencinya dan hanya berpura-pura mengasihinya.Padahal, Keluarga Anderson berjanji akan menjaga harta peninggalan keluarga Knight, tetapi nyatanya mereka malah menguasai dan mengambil alih semua harta yang seharusnya milik Amala, lebih parahnya Amala di usir dari rumahnya sendiri. Memikirkan semua itu, Amala tidak bisa menahan diri lagi. Dia perlahan, keluar dari balik pohon dan mendekati mereka.Dua orang itu menoleh saat mendengar suara langkah. Mereka terkejut dan panik saat melihat Amala sudah berdiri di belakang mereka dan menatap mereka dengan sangat dingin.Melihat ekspresi wajah Amala seperti itu, baik Sabrina maupun Nathalie sudah bisa menduga jika Amala telah mendengar semua pembicaraan mereka tadi."Berani sekali kamu menguping kami, Amala! Dimana kesopanan kamu? Apa putri dari keluarga Knight seperti ini? Apakah ini ajaran orang tuamu ketika dulu?" Sabrina langsung menyerang Amala terlebih dahulu sebelum Amala sempat bicara sepatah kata pun. Itu membuat Amala sangat marah."Jangan menilai keluarga Knight kami, Ibu! Apalagi mendiang orang tuaku! Setidaknya, kami tidak sepicik kalian. Kalian sudah menjebakku lalu mengambil harta keluargaku! Dan ternyata sesuai dugaanku, kalian sudah mengatur semua itu untuk menguasai harta orang tuaku danmemisahkan aku dengan Khale! Apa salahku, Ibu! Kenapa begitu kejam?" Amala berteriak pada Sabrina."Amala, berani kamu bicara sekasar itu dan berteriak pada Ibu? Dia orang yang lebih tua! Cepat minta maaf!" Nathalie membela Sabrina.Amala menoleh padanya dengan tatapan sangat dingin. Saking dinginnya hingga seperti mayat."Nathalie, aku tidak menyangka, kamu mengkhianatiku sampai seperti itu. Apa kamu tidak punya hati melakukan semua ini padaku? Kamu tidak bermoral, Nathalie!" Amala menunjuk wajah Nathalie tanpa sedikitpun kesopanan lagi.Bukannya marah atau tersinggung diperlakukan seperti itu, Nathalie malah tersenyum, kemudian berpura-pura memasang wajah sedih."Maafkan aku Amala. Aku tahu ini salah. Tapi kamu harus tahu, aku jatuh cinta pada Khale sejak pertama kamu mengenalkannya padaku. Tapi Khale malah memilihmu. Aku jadi harus berusaha lebih keras untuk itu. Jadi, jangan salahkan aku ya?"Mendengar pengakuan jujur Nathalie, Amala menggertakkan giginya, hatinya terlampau sakit."Nathalie, jangan hiraukan ucapannya. Kamu dan dia tentu berbeda. Kamu adalah menantu idamanku. Sementara dia hanya orang buangan keluarga Anderson kami." Sabrina berkata demikian pada Nathalie dan menoleh pada Amala dengan sinis."Kamu masih ingin kembali pada Khale? Selama aku masih hidup, jangan harap kamu bisa mendekati putraku lagi, apalagi sampai masuk kedalam rumah yang bukan lagi milikmu," ucap Sabrina."Satu lagi, Amala. Kamu bertanya apa salahmu? Karena kamu adalah anak dari wanita yang aku benci! Ibumu selalu mengalahkan aku dalam segala hal. Dia mendapatkan ayahmu, padahal dia jelas tahu jika aku dulu, menyukai ayahmu. Aku hanya ingin, dia melihat putrinya menderita dari neraka sana!" Sabrina berkata dengan begitu puas. Selesai bicara demikian, Sabrina mengajak Nathalie masuk, menuntun tangan Nathalie dengan begitu romantis.Amala kembali membeku, menatap langkah dua orang itu hingga hilang di balik pintu. Amala baru menyadari jika selama ini dia sungguh bodoh dan bisa tertipu dengan begitu mudah oleh ketulusan palsu mereka.Tapi siapa yang menyangka? Sepuluh tahun dia telah hidup bersama keluarga Anderson ini, mereka begitu menyayanginya dengan sangat sempurna. Lalu ketika Khale ingin menikahinya, kedua orang tua Khale setuju. Amala tidak pernah menyadari, jika semua itu hanyalah bagian rencana dari mereka untuk membodohi dirinya.Sekarang Amala sadar seratus persen, jika itu semua sudah diatur dan dirancang sempurna oleh mereka.Amala telah hidup bersama sekelompok serigala berbulu domba selama bertahun-tahun lamanya. Tanpa menyadarinya.Amala terduduk di tengah teras rumah mewah yang seharusnya masih haknya sepenuhnya itu. Dengan hembusan angin malam yang dingin menusuk tulang belulangnya. Dia mendekap dirinya sendiri dengan air mata yang mengalir tak berhenti.Dia mengingat Khale, dia ingin memberitahu tentang semua ini. Tentang rencana mereka, tentang orang tua Khale yang telah memindahkan harta milik keluarga Knight. Tentang jebakan mereka yang ingin hubungan antara dirinya dan Khale berakhir.Tapi, apakah Khale akan percaya padanya? Sepertinya itu tidak akan mungkin. Saat ini dimata Khale, Amala hanyalah seorang jalang. Khale sangat membencinya sekarang.Apalagi dirinya sekarang telah ternoda.Memikirkan itu, Amala menjadi ragu. Lalu saat mengingat tatapan penuh kebencian Khale padanya.Amala kemudian melangkah perlahan untuk meninggalkan rumah itu. Rumah yang telah meninggalkan banyak sekali kenangan untuk dirinya. Tanpa peduli dengan ponsel yang ingin ia ambil tadi.Dia menoleh ke rumah itu untuk yang terakhir kalinya. Amala berjanji di dalam hatinya. Suatu saat nanti sakit hati ini, akan ia balas! ****Di pinggiran kota S.Di sebuah rumah sederhana.Bibi Lusi menghampiri Amala yang termenung di sisi tempat tidur. Sudah hampir tiga bulan tinggal di sini, itu tidak membuat Amala merasa jauh lebih baik. Dia justru terlihat semakin tertekan dan dikuasai kesedihan. Dia sering menangis jika mengingat pengkhianatan mereka.Sabrina, mantan calon mertuanya sekaligus orang yang berpura-pura menyayanginya. Lalu Nathalie sahabat baiknya yang sering mendukung saat dia sedang ada masalah apapun.Khale, laki-laki yang dulu begitu mencintainya, kini sangat membencinya.Dia sekarang tidak punya apa-apa lagi, rumah, harta peninggalan keluarganya bahkan harga diri. Hanya noda yang ditinggalkan pria yang tidak dia kenal sama sekali itu dan malangnya, malam penuh kegilaan itu telah meninggalkan sesuatu pada tubuhnya yang membuat Amala hampir depresi."Nona Amala, bibi tahu ini berat untukmu. Tapi, kehidupan kecil dalam perutmu itu, sama sekali tidak bersalah. Mungkin jika dia disuruh meminta, dia juga tidak ingin berada disana."Amala menunduk, tangannya meremas perutnya yang rata."Kenapa kamu harus hadir? Bukan aku menyalahkanmu, tapi waktumu tidak tepat." Amala berbicara pada perutnya.Bibi Lusi mengulurkan tangannya ke atas kepala Amala, lalu membelai penuh kasih sayang."Saat ini, Nona mungkin rapuh. Tapi suatu saat kamu akan kuat. Jadikan dia hal paling berharga dalam hidupmu, dan berjuanglah dengannya. Kamu akan kuat ketika ada dia nanti, kamu tidak akan sendirian lagi. Percayalah."Enam tahun kemudian.Di sebuah Stasiun Rel Kereta Api, di salah satu perbatasan kota X.Seorang gadis muda berusia sekitar 23 tahun, berdiri dengan gelisah seperti sedang menunggu seseorang. Dia memegang ponsel, dengan mata yang tidak lepas memandangi setiap orang-orang yang keluar masuk Stasiun di depannya itu.Gadis itu kemudian maju beberapa langkah untuk lebih mendekat pada pintu keluar masuk penumpang, dia takut orang yang akan dijemputnya ini tidak dapat melihatnya dengan baik. Karena dia memang belum mengenalnya dan hanya mengandalkan nama serta nomor ponsel orang yang akan dijemputnya ini.Lalu dari tengah keramaian itu, seorang wanita cantik dengan sosok ramping keluar sambil menarik koper. Wanita itu cantik menawan dengan kulit seputih salju, dan terlihat seperti gadis belia. Tapi di sampingnya ada seorang anak laki-laki yang menyertai langkahnya. Anak laki-laki yang wajahnya begitu tampan, imut dan memancarkan aura yang sangat kuat, serta lebih pantas disebut seperti seoran
Minggu ini, Amala masih menikmati masa santai. Dia mengajak Glen pergi keluar jalan-jalan untuk mengenalkan kota ini. "Glen, apa kamu suka tinggal disini?" tanya Amala mengajak Glen duduk di taman. Glen tidak menjawab tetapi dia menggeleng."Kamu tidak suka ya?" Amala cemberut sambil menatap putranya.Glen meraih pipi Amala. "Jangan cemberut Mama. Itu akan membuatmu cepat tua dan tidak cantik lagi." Glen mengusap wajah Amala. Menunjukkan jika seolah dia adalah pria dewasa. Padahal dia masih anak-anak. "Meskipun aku tidak suka berada disini, aku akan tetap bersamamu. Jangan khawatir, aku sudah berjanji.""Benar?" Amala bertanya lagi, sekedar untuk meyakinkan.Glen mengangguk kemudian memeluk Mamanya dengan erat.Sebenarnya, Glen memang kurang suka keramaian. Jika dibanding Rumah sederhana Nenek Lusi yang berada di pinggiran kota, dia lebih suka tinggal di sana. Tetapi, karena Glen ini sangat mencintai Amala, dia akan patuh dan berjanji akan selalu bersamanya, apapun yang terjadi."Be
Nathan Alazka, dia baru saja pulang ke tanah air setelah beberapa waktu di luar Negeri dalam pengungsian.Malam ini dia pergi ke bar untuk satu urusan. Dia datang sendirian dan sedang menyamar menjadi pria biasa. Ketika ingin pulang, tiba-tiba di depan Bar dia di tabrak oleh seseorang.Nathan sempat terkejut.Hampir saja dia bereaksi cepat. Untung dia menoleh dahulu untuk melihat siapa yang telah menabraknya, kalau tidak, bisa jadi orang itu sudah jatuh karena didorongnya.Seorang wanita muda cantik menatap iba padanya, "Tuan, tolong aku. Bawa aku pergi dari sini." sambil berkata demikian wanita itu mendekap erat tubuh Nathan, dan menyembunyikan wajahnya di dada Nathan."Lepaskan aku." Nathan berkata dengan dingin.Dia menarik tubuh wanita itu, namun ia tidak bisa menyingkirkan wanita itu dari tubuhnya, atau mungkin karena Nathan tidak menggunakan banyak tenaganya."Aku tidak mau. Bawa aku, jika tidak, aku dalam bahaya. Antar aku pulang. Tolong." wanita itu kembali bicara dengan nada s
Pagi hari,Amala terkejut ketika mendengar seperti ada suara air. Mirip seperti air hujan atau seperti orang yang sedang mandi.Kemudian dia bangun dengan perlahan, merasakan kepalanya seperti ingin pecah karena sangat sakit. Lalu Amala bangun dengan wajah kusutnya."Jam berapa sekarang?" dia bergumam sendiri."Glen?" Amala memanggil putranya, lalu perlahan melihat sekeliling Dia tiba-tiba terkejut karena menyadari bahwa ini bukanlah di kamarnya lalu dia melihat dengan teliti. Sebuah lampu gantung yang indah, perabotan yang serba mahal pas terlihat dalam ruangan yang mewah itu.Amala langsung melompat dengan rasa takut. Dia mendekap mulutnya sendiri dengan tangan, saat menyadari bahwa dirinya sudah polos tanpa pakaian."Aku? Apa yang terjadi? Astaga!" Amala kemudian mendengar suara dari dalam kamar mandi, samar-samar dia bisa melihat seorang pria sedang mandi di dalam sana, meskipun itu tidak jelas tapi dia bisa memastikan jika orang yang di dalam itu adalah seorang pria yang bertubuh
Pagi ini sesuai dengan kesempatan mereka tadi malam, Killa menyuruh Amala menemui Nyonya Wilan.Mereka tiba di Perusahaan yang memiliki gedung perkantoran yang cukup megah. Saat berada di bawah gedung itu, mereka bisa melihat keatas. Gedung ini memang menjulang tinggi hingga membayangi gedung gedung di sekitarnya.Namun di sebelahnya ada gedung yang lebih tinggi, itu adalah Perusahaan Knight yang ternama, tapi telah berganti nama menjadi Anderson sejak lima tahun yang lalu.Hati Amala sakit luar biasa saat menatap itu, tetapi dia mencoba untuk tegar dan kembali yakin jika suatu saat dia bisa mengembalikan nama keluarga Knight di atas gedung itu lagi.Saat Amala membawa Glen masuk, rupanya Killa Wang sudah menunggu disana dan segera menyapa mereka."Nona Amala, selamat pagi.""Nona Wang. Selamat pagi juga." Glen yang duluan menjawab dengan penuh semangat.Killa Wang menyentuh kepala Glen dan memberi pujian, "Ya ampun! Kamu sangat tampan sekali Glen." setelah puas menusuk pipi Glen, Kill
Mendengar Nona Wang mengatakan jika Pria bernama Nathan Alazka itu masih Single, Glen tersenyum senang. 'Dia benar-benar harus menjadi Ayahku.' Glen sudah bertekad dalam hati. Tapi, menurut Nona Wang, Nathan Alazka adalah Pria paling tampan dan kaya di kota ini. Apakah dia akan bersedia menjadi ayahnya?"Kamu kenapa, Glen?" Killa bertanya pada Glen karena melihat ekspresi lain pada wajahnya."Ah, tidak mengapa. Mungkin aku hanya mengantuk." Glen kemudian menguap."Nona Wang, apa kamu tahu dimana Perusahaan Nathan Alazka ini?" Glen bertanya."Tentu saja. Ada diujung jalan ini. Gedung paling tinggi dan paling megah di kota ini."Glen tercengang, pikirannya langsung melayang, memikirkan jika pria itu benar-benar harus menjadi Ayahnya. Tetapi bagaimana caranya?Kemudian dia meminta untuk tidur. Killa Wang mengantar Glen ke kamar anak yang telah disedia perusahaan."Nona Wang, sepertinya aku benar-benar mengantuk, Nona Wang pergi saja." ucap Glen saat sudah tiba di dalam.Killa Wang mengge
'Tes DNA?'Nathan mengangkat alisnya saat mendengar perkataan Glen. Sesaat Nathan terlihat kembali termenung.Lalu Nathan berpikir, jika hanya dengan satu tes sederhana saja sudah cukup untuk mengungkap sebuah kebenaran, kenapa tidak? Nathan pun mengangguk, setuju dengan pendapat anak ini.Melihat Presdir Nathan mengangguk, Glen sangat senang. Dengan semangat dia bertanya, "Apa aku perlu mencabut rambutku untuk tes DN"Nathan melirik anak itu, melihat jika anak ini sangat cerdas untuk seusia umumnya anak-anak. Tiba-tiba hatinya tersenyum. Jika benar anak ini adalah putranya, Nathan tentu akan sangat senang."Ya. Kamu bisa mencabutnya dan meninggalkannya disini."Mendengar presdir Nathan berbicara seperti itu, Glen dengan semangat menarik beberapa helai rambutnya sendiri lalu mengemasnya kedalam tas kecil yang diberikan Nathan padanya.Selesai menata rambut yang ia tarik tadi, Glen kemudian menyerahkan tas itu pada Nathan.Nathan menerima, lalu melakukan hal yang sama seperti yang Glen
Setelah kepergian Amala, Killa Wang membereskan bekas sarapan, sambil menunggu Glen yang sedang kembali ke kamarnya.Tidak lama setelah itu, Glen menghampiri Killa yang sudah selesai dan mengajak Killa Wang untuk bermain game saja. Killa Wang setuju dan pergi ke ruang tengah bersama Glen.Sementara itu di sisi lain.Nathan Alazka punya banyak pikiran, dia sedang memikirkan wanita yang ia tiduri beberapa malam yang lalu. Dia tidak bisa melupakannya. Entah mengapa, aroma tubuh wanita itu, dan semua yang ia sentuh dari wanita itu, mengingatkan dia pada malam enam tahun yang lalu. Dia ingin segera menemukan wanita itu, tapi hingga sekarang, Rev belum juga memberi kabar. Lalu saat ini, dia juga terus memikirkan Glen. Dia tidak bisa berhenti memikirkan anak itu setelah pertemuan mereka kemarin.Nathan menarik nafas berat. Dua hal yang membuatnya mati penasaran sekaligus penuh pertimbangan. Anak itu atau wanita itu yang harus diutamakan?"Tidak. Dua duanya. Argh!" Nathan semakin pusing.Suar
Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic
Saat ini di kediaman Ken, Khale dan Kimmy melangkahkan kaki mereka ke dalam rumah dengan langkah gontai. Keyan menyusul dari belakang, tetapi mulutnya tak berhenti mengomel, mengumpat dua kakaknya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga pemuda itu menghempaskan bokong mereka ke sofa dengan kasar, tak peduli dengan tas yang belum mereka taruh. "Aku kesal!! Hari ini aku kesal dengan kalian berdua!" ujar Keyan kesal sambil menunjuk kedua kakaknya."Apa sih anak ini?" balas Khale sambil melotot."Tau tuh!" Kimmy ikut melotot dengan wajah tidak senang.Keyan sudah berdiri, marah, dan menggerakkan tangannya hendak memukul kepala Kimmy, namun ditangkap oleh Kimmy. "Haha.. Keyan rupanya iri kepada kita, Khal. Dia tidak bisa mendekati wanita incarannya, berbeda dengan kita." ejek Kimmy sambil melepaskan tangannya dari Keyan. Khale hanya menanggapi dengan senyuman sinis, menambah rasa kesal Keyan semakin mendalam."Siapa bilang iri? Aku cuma ngerasa tidak dianggap oleh kalian. Kalian s
Mereka baru saja selesai menikmati hidangan makan malam. Fic duduk bersandar di sofa sambil menggelar lengannya ke arah Ellena yang duduk didepannya tanpa jarak. Ellena menyandarkan punggungnya di dada Fic yang hangat. Kedua tangan Fic membelai perut Ellena seolah memberikan rasa nyaman pada istrinya ini, sementara lehernya dielusnya dengan lembut. "Fic, kenapa saat yang tadi itu kamu mendadak menjadi cerewet sih?" Ellena bertanya dengan nada iseng, sambil tangannya asyik mengutak-atik ponselnya.Fic tersenyum kecil. "Siapa yang cerewet? Aku?" dia menanggapi dengan nada bercanda."Padahal kamu sedang kesulitan bernafas, aku hanya peduli dan mencoba mengetahui penyebabnya." Jawab Ellena."Susah bernafas? Memang kenapa, ya? Apa aku menekan tubuhmu terlalu keras? Sepertinya tidak." Fic berkata sambil melanjutkan elusan lembutnya di leher Ellena, tangannya kadang bergerak meraba-raba sekilas membuat Ellena menggelinjang. "Ya... aku tidak tahu. Rasanya sesak saja," jawab Ellena, sambil ter
Fic melucuti pakaian Ellena. Sekali lagi mengamati tubuh indah itu sambil tangannya bergerak aktif. Menyentuh semua itu tanpa terlewat.Fic menyisir setiap bagian tubuh Ellena dengan bibirnya. Hingga sampai pada Area sensitif. Fic merenggangkan kedua paha Ellena. Dan memposisikan wajahnya. Ellena menggeliat bak cacing kepanasan karena ulah Fic. Meremas kuat rambut Fic hingga berantakan."Fic, berhenti." nafasnya tersengal sengal.Fic mendongak, menatap wajah Ellena yang sudah memerah. Fic tersenyum, menyambar bibir itu. Hanya sebentar, lagi lagi turun perlahan dan kembali lagi ke area sensitif.Ellena menegang, Fic belum berhenti. Masih berada disitu. Fic benar benar ingin membuat Ellena menggelinjang tak karuan. Hingga Ellena menggoyahkan tubuhnya tanda tak sanggup lagi."Ah, Fic. Berhentilah. Ku mohon." Mendorong kepala Fic.Fic akhirnya berhenti , memandangi tubuh yang terus menggeliat itu."Fic. Kamu menyiksaku!"Fic hanya tersenyum, kembali menyerang wajah leher dan dada Ellena,