Karleen dan Kenan saling menatap satu sama lain. Tanpa Karleen duga, laki-laki berambut silver itu mengulurkan tangannya pertama kali.
“Kenan Freiberg, senang bertemu denganmu.”
“Karleen Becker, senang bertemu denganmu juga,” balas Karleen berusaha ramah. Sebenarnya dia merasa sedikit aneh karena sejak tadi dia tahu bahwa Kenan menatapnya dengan intens.
“Kau ingin membeli apa, Karleen? Bia raku bayarkan,” tawar Conrad.
“Ah, tidak perlu Kak. Aku hanya akan membeli sapu tangan ini.” Karleen menunjuk sapu tangan berwarna hijau lumut itu. Meskipun warna sapu tangan itu lebih gelap dari mata Warren, Karleen berharap Warren akan senang menerimanya.
“Hijau, huh? Aku tebak kau membelikan ini untuk Warren?” duga Conrad. Karleen memalingkan wajahnya malu.
“Hehehe, bagaimana bisa kau mengetahuinya, Kak?&r
Conrad menatap Kenan dengan sedikit prihatin. “Kau, kenapa kau bertingkah tidak sopan seperti tadi? Mengapa kau berkata yang tidak-tidak di hadapan Karleen? Untung saja dia menamparmu tidak terlalu keras.”“Kak, d-dia siapa, hah? Katakan dengan jujur, dia sebenarnya siapa?’ tanya Kenan.“Bukankah kau sudah berkenalan dengannya tadi? Kau sudah tahu kan dia siapa?” Conrad seperti mengelak pertanyaan Kenan.“Bukan namanya, tapi hubungan anak itu denganmu apa? Bagaimana anak itu bisa terlihat mirip denganku. Bahkan dia sangat mirip dengan gadis kecil yang ada di mimpiku.”Conrad menelan ludahnya. Dia tidak siap menjawab hal yang sesungguhnya kepada Kenan.“Aku hanya sebatas teman dengannya. Kau tidak tahu bahwa Karleeen dari belakang sangat mirip dengan Ailsa? Coba kau lihat dia dari sini, kau bisa melihatnya kan?” kata Conr
Kenan memimpin jalan menuju Kafe. Karleen dengan susah payah menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Kenan. Dia menatap Kenan dari samping sesudah dia berhasil menyamakan langkahnya. Wajahnya memang sangat tampan, tapi sikapnya barusan membuat dirinya merinding. Memang fisik itu belum tentu mencerminkan kepribadian seseorang.Karleen sangat yakin jika Kenan sepantaran dirinya. Namun, tubuh Kenan tidak kalah tunjang dibandingkan Warren membuat Karleen bertanya-tanya apakah laki-laki itu memang sepantaran dirinya atau lebih tua darinya.Mereka sampai di sebuah kafe yang lumayan luas. Dengan interiornya yang klasik, memberikan suasana yang nyaman bagi Karleen. Kenan langsung melihat-lihat buku menu yang terpampang di atas meja.“Kau ingin pesan apa?” tanya Kenan. Karleen bergedik setelah mendengar pertanyaan Kenan.“Mengapa kau bertanya? Kau ingin menrakrirku, huh?”&nbs
Kenan berusaha menenangkan dirinya. Jarinya mengelap darah segar yang keluar dari hidung Karleen. Karleen tidak hanya mimisan, dia juga batuk-batuk. Bahkan batuknya semakin parah karena mengeluarkan darah. Darah dari batuk Karleen meninggalkan banyak bercak merah pada kemejanya.Pelayan dan pekerja di kafe itu terlihat panik melihat kondisi Karleen. Tidak lama berselang, Karleen kehilangan kesadarannya. Kenan meminta pertolongan kepada pekerja di kafe tersebut. Mereka tampak sedikit bingung mengatasi kondisi yang dialami Karleen.Conrad yang tahu siatusi seperti ini akan terjadi, masuk ke dalam kafe. Dia meninggalkan belanjaan Kenan di toko baju tadi.“Karleen!” panggil Conrad dengan panik. Dia langsung menggendong Karleen yang semula berada di pangkuan Kenan.“Kau! Jangan dekati Karleen!” ucap Conrad dengan lantang. Kenan terkejut karena Conrad terlihat sangat marah. Conrad m
Lisette yang mendengar sedikit keributan di belakangnya, membalikkan badan. Dia tidak menyangka Edwyn akan menyerang laki-laki berambut perak itu. “Edwyn!” teriak Lisette. Conrad yang tidak perlu menebak apa yang terjadi, sudah tahu kejadian itu akan terjadi. Sahabatnya Karleen, Edwyn pasti sepenuhnya menyalahkan Kenan. Apalagi mereka bertiga sudah bersama-sama sejak kecil. Mereka pasti tahu bahwa Karleen jarang sekali sakit dan tidak memiliki penyakit apapun.“Edwyn! Apa yang kau lakukan kepada Tuan ini?” tanya Lisette yang sedikit khawatir dengan kondisi Kenan.“Dia pantas mendapatkan tinjuan itu Lisette! Bagaimana bisa orang yang baru saja dikenal oleh Karleen, langsung memeluk Karleen?” Lisette tidak mengerti dengan ucapan Edwyn.“Maksudmu, dia memeluk Karleen?” tanya Lisette memastikan.“Iya, dia mengaku sendiri sendiri setelah aku tanya.&rdq
Kenan duduk termangu di koridor rumah sakit. Kedua tangannya mengepal. Jika saja dia tidak bertindak impulsif untuk memeluk Karleen, pasti Karleen tidak akan seperti ini. Dia sangat berharap Karleen bisa pulih dengan cepat. Ada banyak hal yang ingin dia katakan kepada kembarannya itu. Dadanya merasa sesak. Jika Conrad sudah mengenal Karleen sejak lama dan mengetahui bahwa Karleen merupakan kembarannya, mengapa Conrad menutup kebenaran itu dari dirinya?Ingin rasanya Kenan marah kepada Conrad. Jika Kenan tidak pernah bermimpi mengenai Karleen kecil, maka Kenan tidak akan pernah tahu bahwa dirinya memiliki saudara kembar. Kenan berusaha mengingat-ingat kembali segala kejanggalan selama hidupnya di kastil. Ada banyak keanehan yang dia alami dan tidak mungkin pernah dialami oleh anak-anak lain sebayanya.Sejak kecil dia hanya berada di kastil saja. Conrad tidak memperbolehkan Kenan untuk keluar dari kastil. Kenan juga dilarang untuk bermai
“Kau tidak usah khawatir, kondisi Karleen tidak parah. Dia sudah diberi injeksi dan hanya butuh istirahat saja,” jelas Conrad. Kenan tersenyum tipis.“Kau, apa yang sudah kau katakan kepada Karleen?” tanya Conrad dengan intonasi yang berbeda dengan sebelumnya.“A-aku bilang bahwa aku adalah kembarannya.” Conrad berdecak sebal mendengar jawaban Kenan.“Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu kepada orang yang baru pertama kali kau temui? Apa yang mendorong dirimu untuk mengatakan itu, hah? Kau kira dia akan percaya dengan kata-katamu?”“Kak, bukankah aku yang seharusnya bertanya. Bagaimana bisa kau menutupi kenyataan bahwa aku adalah saudara kembar Karleen?” Pupil mata Conrad membesar.“K-kau!” Conrad tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.“Aku sudah sangat yakin bahwa dia ada
Warren dan Gunther berhenti di sebuah celah yang mulai menyatu. Mereka berdua melempar pandangan, bingung dengan apa yang mereka lihat. Celah itu seperti dibuka dengan sengaja. Demon yang mereka ikuti tadi, menghilang ke dalam celah itu. Warren menduga, celah ini dibuat sengaja oleh dalang kejadian ini.Gunther yang penasaran, memberanikan untuk mengintip sedikit ke dalam celah. Belum sempat matanya menangkap sesuatu, Warren menarik Gunther.“Hei, apa yang ingin kau lakukan? Jangan terlalu dekat dengan celah itu! Jika demon yang lain bisa mencium bau manusia, mereka akan keluar secara berbondong!”Gunther menurut, dia melangkah mundur. Sejak turun membasmi demon bersama Warren di bawah pasukan rahasia, Gunther tidak tahu asal muasal demon itu. Bahkan awalnya Gunther menganggap bahwa makhluk mitologi seperti itu benar-benar mustahil keberadaannya.“Kapten! Apakah di masa yang akan da
Letnan Jenderal bersama ketujuh bawahannya sudah sampai di sebuah markas yang jauh dari kota. Orang yang dipanggil dengan sebutan Pak Tua itu sudah menunggu kehadiran mereka. Gelak tawa yang patah-patah menjadi salam pembuka sesaat mereka sampai di markas.“Kalian pasti tidak menemukannya,” ucapnya.“Sejak 18 tahun yang lalu, aku ingin mencari-cari mereka tapi tidak kunjung ketemu juga.”“Mereka? Maksud Pak Tua aura merah itu lebih dari pada satu orang?” tanya Luigi yang penasran dengan maksud Pak Tua.“Mereka adalah kembar, laki-laki dan perempuan.”Mata Luigi terlihat berbinar. Dia merasa memiliki secercah harapan lagi. Jika mereka berhasil menangkap dua aura merah itu, Luigi yakin cita-cita keluarganya dan Pak Tua akan terwujud.“Kau melihat rupa anak itu?” tanya Pak Tua kepada Luigi.&ldqu
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja