Karleen berjalan dengan tergesa-gesa. Dia ingin cepat sampai di rumah untuk melepaskan semua amarahnya dengan menulis jurnal. Karleen tidak menyangka Edwyn akan berpikiran seperti itu mengenai dirinya. Begitu juga dengan Lisette, tampaknya Lisette berpikiran yang sama.Karleen mencoba mengevalusi dirinya. Dia sadar bahwa telah salah membohongi sahabatnya. Akan tetapi, dia tidak merasa bahwa dia menjadi berubah semenjak bertemu dengan Conrad.“Ujung-ujungnya aku tidak jadi memberi tahu Lisette tentang apa yang Warren telah katakan kepadaku,” ucap Karleen. Dia berlari menuju jalan potong menuju rumahnya. Jalan setapak itu terletak di tengah-tengah rumah warga. Sebuah tangan tangan menarik lengan Karleen. Karena gerakan yang tiba-tiba tersebut, Karleen spontan meninju ke arah badan orang yang menariknya.Buuk “Karleen, ini aku,” ucap laki-laki berambut panjang itu.“Kak Conrad? Mengapa kau masih ada di sini?” Karleen heran dengan kehadiran Conrad di sini. Dia mengira Conrad sudah pulang
Pagi-pagi sekali Lisette sengaja menyiapkan beberapa buah yang disukai oleh Karleen. Dia memasukkan buah itu ke dalam keranjang rotan. Kejadian kemarin membuat Lisette merasa buruk. Dia tidak jadi mengejar Karleen yang pergi begitu saja karena merasa kesal akibat beradu argumen dengan Edwyn.Tidak menunggu lama-lama, Lisette langsung menghampiri Karleen di rumahnya. Dia bisa menebak kalau Karleen sedang membantu ibunya di toko. Benar saja, saat Lisette tiba di toko roti keluarga Becker, Karleen sedang mengelap meja.KliingSuara pintu mengalihkan fokus Karleen yang sedang mengelap meja. Masih memegang lap, Karleen membalikkan badannya. Dia ingin melihat siapa pelanggan pertama di hari ini.“Lisette? Mengapa kau ke sini?” Karleen membenarkan posisi celemek dan mendekati Lisette yang tersenyum kaku di depan etalase.“Ah, apa kau tidak keberatan untuk meluangkan waktumu untuk sarapan denganku?” Lisette bertanya malu-malu.“Kebetulan sekali aku belum sarapan. Aku bilang kepada ibu dulu, y
Lisette tertawa mendengar jawaban Karleen tadi. Apa yang dia katakan mengenai Edwyn yang lebih bersalah dibandingkan mereka itu benar, karena Lisette telah mengetahui maksud dari tindakan Edwyn. “Lisette, maaf jika aku menyinggungmu. Kau benar mengencani Edwyn, kan?” Karleen bertanya dengan polosnya. Dia hanya ingin memastikan asumsinya. Lisette membelalakkan matanya. “Astaga, Karleen! Bagaimana bisa kau bertanya hal yang tidak mungkin seperti itu?” Perut Lisette terasa terguncang. Matanya menyipit karena tertawa dengan lepasnya. Dia tidak menyangka Karleen akan bertanya seperti kemarin. “Eh? Lalu apa yang kalian lakukan kemarin?” tanya Karleen penasaran. “Ada sesuatu yang ingin Edwyn tanya kepadaku. Tenang saja, itu bukan masalah besar dan tidak ada hubungannya dengan diriku. Aku hanya merasa lucu saja kau benar-benar bertanya apakah aku dengan Edwyn itu berkencan. Kukira kemarin kau hanya bercanda saja,” jelas Lisette. Dia menepuk-nepuk lengan sahabatnya itu dengan gemas. “Oh,
Conrad mengotak-atik sebuah brangkas tua peninggalan orang tuanya. Di sebuah ruangan yang tidak terpakai lagi, semua peninggalan berharga yang tidak pernah terekspos kepada orang lain selain keluarga Buhler. Jarinya yang kurus memutar-mutar sandi yang ada. Semua angka sudah dia coba mulai dari tanggal lahir ayahnya, ibunya, adiknya, dirinya, dan bahkan tanggal pernikahan orang tuanya. Semuanya gagal. Conrad memikirkan alternatif lain. Isi dokumen di dalam brangkas ini tidak hanya dirahasiakan oleh keluarga Buhler saja, tetapi keluarga Freiberg juga. Conrad mencoba memasukkan angka dengan asal-asalan. Tidak ada yang benar satu pun. Conrad teringat dengan suatu angka yang belum dia coba. “Aku harus bertanya kepada Kenan.” Conrad berlari menuju kamar Kenan. Tanpa mengetuk, Conrad menerobos masuk. Kenan yang sedang membaca buku terjungkal karena terkejut. “Astaga, Conrad! Kukira kebiasaanmu saat muda tidak akan kambuh lagi. Mengapa kau membuka pintu kamarku seperti itu? Tidak bisakah k
Lisette bersama keluarganya sudah berada di halaman depan kediaman Schulz. Keluarga Lisette yang terdiri dari ayah, ibu, kakak laki-laki, dan kakak perempuannya sudah siap untuk memberikan salam perpisahan kepada Lisette dan kedua sahabatnya. Karleen datang bersama orang tuanya setelah itu. Begitu juga dengan Edwyn, dia diantar oleh orang tua dan kakak perempuannya.Setelah memberi wejangan dan salam perpisahan, ketiga keluarga itu melepas Karleen, Edwyn, dan Lisette dengan penuh rasa haru dan suka cita. Lisette mempersilakan kedua sahabatnya masuk ke dalam kereta. Lisette dengan sengaja mengisi tempat di sampingnya dengan barang-barangnya. Karleen yang berniat duduk di samping Lisette pun mengurungkan niatnya.Dengan keterpaksaan, akhirnya Karleen duduk di samping Edwyn. Karleen memutar bola matanya ketika Edwyn menatapnya dengan tajam. Dia meletakkan tas ranselnya di tengah-tengah bangku sebagai penghalang antara dirinya dan Edwyn.Lisette memandang kedua sahabat yang duduk di seber
Karleen tidak begitu mengingat bagaimana bentuk Gedung militer saat terakhir kali mereka ke sini. Yang ada dipandangannya sekarang adalah sebuah kastil yang terawat sangat baik dengan seluruh cat putih menyelimuti permukaan dindingnya. Keadaan di depan gerbang Gedung saat ramai. Calon prajurit sudah banyak yang sampai dengan menggunakan kereta kuda mereka masing-masing. Dengan berbagai macam bentuk kereta kuda, Karleen bisa menebak bahwa sebagian dari mereka ada yang menyewa kereta kuda. Karleen, Edwyn, dan Lisette menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Dapat dibilang barang yang dibawa mereka bertiga lumayan banyak. Mereka memasuki dalam Gedung dan disambut oleh para senior mereka. Karleen mengedarkan pandangannya untuk mencari dua sosok. Dari kejauhan, laki-laki tinggi berambut merah melambaikan tangannya ke arah Karleen. Karleen membalas lambaian Gunther dan memandu kedua sahabatnya berjalan ke arah Gunther. “Selamat datang, Karleen! Mulai sekarang kau harus memanggilku Koman
Karleen dan Lisette masuk ke dalam kamar masing-masing. Mereka janjian akan bertemu setelah selesai meneta barang-barang mereka. Hal pertama yang dilakukan Karleen adalah mengelilingi ruangannya. Di dalam kamar, terdapat sebuah ranjang, lemari, dan satu set meja belajar. Dia sedikit ngeri ketika melihat pemandangan dari jendela kamarnya. Kamarnya berada di sudut lantai teratas Gedung. Dia mengusap-usap tubuhnya yang sedikit merinding. Baru pertama kali dalam hidupnya, Karleen berada di ketinggian seperti ini. Seharusnya dia berada di peringkat paling akhir saja agar mendapatkan kamar di lantai dasar. Karleen berharap dia bisa betah tinggal di asrama ini selama enam bulan. Karleen menata barang-barangnya. Dia sedikit mengeluh. Di dalam kamar ini tidak terdapat kamar mandi. Di setiap lantainya, kamar mandi berada di tengah-tengah. Setelah selesai menata, Karleen berniat untuk berkeliling asrama bersama Lisette. Jarak antara kamarnya dengan kamar Lisette tidak begitu jauh. Saat dia ber
Gunther berdeham sebentar. “Kapten sangat sibuk. Dia sedang berada di ruangannya. Apa kau ingin bertemu dengannya?”“Eh? T-tidak perlu Komandan. Tidak mungkin aku mengganggu Kapten yang sedang sibuk.” Karleen memalingkan wajahnya. Menghindari kontak mata Gunther yang tampak gemas.“Baiklah, kalau begitu aku pamit. Kalian bisa berkeliling. Jangan lupa untuk makan malam di kantin!” Gunther pergi berlawanan arah dengan mereka.“Ehem, Karleen. Kau merindukan Warren, ya?” Lisette menyenggol Karleen dengan lengannya.“Bukan Lisette, aku hanya ingin berjumpa dengannya saja. Tidak lebih dan tidak kurang.”“Jangan menyembunyikan sesuatu dariku, Karleen! Aku tahu kau pasti merindukannya!” Lisette mendekatkan wajahnya dengan wajah Karleen. Dia memandang lekat-lekat wajah Karleen, membuat Karleen semakin salah tingkah.“Astaga! Terserah kau sajalah,” balas Karleen. Dia berjalan meninggalkan Lisette.“Kau mau kemana, Karleen?” Lisette berlari mengejar Karleen. Dia bisa menebak Karleen pasti kesal
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja