Karleen berteriak kencang karena dia tidak bisa mengontrol kecepatan Apsel dengan baik. Conrad yang duduk di belakangnya hanya tertawa mendengar teriakan Karleen yang terdengar cempreng. Dari belakang dia mengambil alih tali kemudi. Tak lama kemudian mereka sampai di danau. Tidak seperti waktu itu, danau sekarang tidak lagi membeku. Karleen dengan semangat loncat dari pelana. Conrad tidak henti-hentinya tertawa melihat tingkah Karleen. “Karleen, hati-hati!” Karleen tidak menghiraukan ucapan Conrad. Dia berlari menuju tepian danau. Sesekali dia cekikikan karena merasa senang. Karleen menghirup udara segar dengan dalam sambil menutup matanya. Hatinya merasa tenang dan tenteram. Rasa bersalah karena dia terpaksa membohongi keluarga dan sahabatnya sedikit memudar. Terlebih lagi setelah mendengar ucapan Conrad tadi sebelum mereka pergi ke perpustakaan. Conrad yang sudah turun dari pelana Apsel mendekati Karleen yang sedang jongkok di tepi danau. “Kau terlihat sangat senang, huh?” “Aku s
“Kalau kau tidak keberatan apakah kau bisa memberitahu siapa laki-laki itu, Karleen?” Conrad menatap Karleen dengan serius. Bisa Conrad lihat bahwa Karleen sedikit tersipu malu. Karleen mengatur napasnya menjadi lebih teratur. Dia tidak tahu mengapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak. “L-laki-laki itu adalah kapten di Militer Kassel.” Karleen menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia tidak ingin Conrad melihat wajahnya yang memerah. Conrad tidak tahu harus bereaksi apa. Dia membuang napasnya kasar. Bukan haknya mengatur siapa orang yang harus Karleen sukai. “Boleh aku mengetahui namanya siapa?” Conrad masih terus berpura-pura tidak tahu. “Namanya Warren.” Karleen menahan senyumnya. Dia tidak tahu mengapa saat berbicara kepada Conrad rasanya sangat senang. Bukan berarti dia tidak senang berbicara kepada orang tua dan sahabatnya. Rasanya berbeda ketika Karleen berbicara kepada Conrad yang sudah dia anggap sebagai kakaknya. “Namanya yang bagus. Kenapa kau bisa berpikir kau menyukain
Karleen sangat terkejut ketika masuk ke dalam toko roti. Ada satu sosok yang tidak asing sedang duduk bertiga dengan ibunya. Karleen merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia memeluk erat empat buku di depan dadanya. Karleen menatap Conrad yang ikut masuk bersamanya. Seakan memberi tatapan dia tidak siap untuk menghadapi Warren.“Karleen, kau sudah tiba sayang?” Nyonya Becker menyambut Karleen yang sedang berdiri mematung menghadap ke arah mereka.“Ibu, kita kedatangan tamu, ya?” Karleen mengakhiri perkataannya dengan kekehan kecil. Warren membalikkan badannya dan menatap tajam ke arah Karleen. Karleen langsung membuang pandangannya ke lantai.“Karleen, mereka dari pihak militer ingin menginformasikan sesuatu yang penting kepadamu.” Nyonya Becker seperti menginstruksikan Karleen untuk duduk di bangku yang sedang didudukinya. Karleen dengan canggung berjalan perlahan dan duduk di sampingnya. Ibunya permisi kembali ke dapur. Conrad yang memperhatikan dari belakang ikut duduk di bangku
“Ah, maafkan saya sebelumnya. Tetapi saya tidak bisa menerima tawaran anda. Saya merasa tidak pantas memberikan pidato singkat sebagai calon prajurit. Akan lebih jika saya tidak perlu berpidato karena akan membuat suasana upacara pembukaan tidak bagus. Karena saya bukan siapa-siapa,” jelas Karleen sambil tersenyum.Sebenarnya dia tidak tahu pasti apa yang dikatakannya tadi. Dia tidak tahu apakah itu bisa dikatakan sebagai alasan yang bagus menolak penawaran dari pihak militer. Dirinya sangat tidak menyangka akan kedatangan Kapten dan Komandan dan menawarkan dirinya untuk berpidato secara langsung.“Alasan lebih jelasnya kau tidak mau berpidato singkat apa, Nona?” Giliran Warren yang bertanya. Conrad memerhatikan wajah Karleen yang terlihat sangat kacau.“Ah, itu karena saya tidak suka menjadi pusat perhatian.” Jawaban Karleen membuat Warren semakin intens memandang wajahnya. Karleen menunduk malu.“Baiklah, jika Nona Karleen tidak mau memberi pidato kami tidak akan memaksa. Apakah ad
Karleen mempersilakan Warren untuk masuk ke dalam rumah. Tuan Becker belum pulang, hanya ada mereka berdua saja. Karleen sedikit merasa tidak enak kepada Conrad karena meninggalkannya di toko.“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Karleen setiba mereka duduk di ruang tengah.“Aku tidak tahu kalau kau lulus menjadi prajurit. Kenapa kau tidak memberi tahuku saat itu? Kau pasti sudah mengetahuiku dari awal bahwa aku Kapten Militer Kassel, bukan?”“Ah, bagaimana bisa aku memberi tahumu duluan. Itu akan terdengar sedikit aneh. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Maafkan aku karena tidak memberi tahumu sejak awal.” Warren menggeleng. Dia berkata seperti bukan untuk mengharapkan permintamaafkan Karleen karena dia tidak memberi tahunya.“Bagaimana kabarmu? Apakah lukamu sudah sembuh? Kau tidak mimpi buruk karena demon itu, kan? Apa kau merasa trauma setelah kejadian itu? bagaimana reaksi keluargamu ketika kau pulang dengan terluka? Lalu apa-““Astaga Warren! Kau tidak bisa bertanya
Karleen merasa jantungnya akan meledak. Dia mengatur napasnya tidak beraturan. Entah mengapa dirinya terasa sangat kacau. Karleen mencuci wajahnya dengan air keran yang membuat wajahnya mendingin. Karleen tidak mau menebak kalimat apa yang diutarakan Warren tadi. Menebak kalimat itu sama saja dengan sengaja membuat jantung Karleen semakin tidak aman.‘Gawat! Apa yang harus aku katakan ketika aku kembali nanti?’Perasaannya membuncah. Karleen membutuhkan waktu yang sedikit lama untuk mengontrol dirinya. Perasaan ini tidak pernah Karleen alami. Dia merasa sedikit ganjil dengan fenomena yang dialaminya sekarang. Karleen tidak mau menebak apa nama perasaan itu.Karleen yang masih mengenakan jaket pinjaman Warren semakin membuat dirinya malu. Dirinya memutuskan untuk membuka jaket itu dan melipatnya. Setelah perasaan Karleen sudah kembali normal, dia keluar dengan wajah yang sedikit berbinar.“Maaf telah membuatmu menunggu lama,” kata Karleen yang mulai duduk di hadapan Warren. Dirinya ya
Hidung Karleen masih berkedut. Dia menjauhkan wajahnya dari dekapan Warren. Matanya yang masih basah berubah menjadi merah. Warren tersenyum. Mengusap rambut Karleen dengan pelan. Karleen menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Sungguh yang dilakukan Warren membuat Karleen seakan menjadi tidak waras.“Kau sudah tenang?” Karleen mengangguk menjawab pertanyaan Warren sambil sesekali segugukan.“M-maafkan aku sudah menangis. Maafkan aku selalu memperlihatkan sisi lemahku kepadamu,” lirih Karleen pelan.“Kau tidak perlu minta maaf. Menangis itu perlu dilakukan untuk melepaskan perasaan kita yang tertahan,” ucap Warren. Dia tidak dari mana asalnya dia bisa mengatakan hal seperti itu kepada Karleen.“Baiklah Warren, terima kasih banyak. Jadi jaketnya, bagaimana?”“Jaket itu untukmu Karleen. Aku tidak perlu mengatakannya berulang kali agar kau mengerti, bukan?”Karleen menggelengkan kepalanya. Dia memeluk jaket yang semula terlipat rapi. “Warren, bajumu basah.”“Tidak masalah Karleen.”“T
Karleen menyerahkan surat kepada Conrad. Tanpa dipandu, Conrad langsung membuka surat itu. Dia tersenyum senang membacanya. “Karleen, bisakah aku meminjam kertas dan bolpen?” Tanpa menjawab Karleen ngacir menuju kamarnya. Dia mengambil secarik kertas dan bolpen. Conrad menulis sebuah alamat yang lumayan panjang. Conrad kemudian memberikan kertas tersebut kepada Karleen. “Ini alamatku, Karleen. Kau bisa mengirimkan suratmu ke sini.” Karleen membaca alamat itu. “Ah, apa kau perlu alamat rumahku?” “Tidak perlu Karleen, aku sudah tahu. Besok-besok aku akan mengirimkan surat ke asramamu.” Karleen tersenyum simpul. Conrad menatap Warren dengan tajam. Seperti memberikan suatu sinyal. “Karleen, aku pamit dulu ya! Jaga kesehatanmu! Jangan pula di hari minggu kau sudah harus tiba di asrama. Jaga dirimu dengan baik!” Warren tersenyum tipis sambil melambaikan tangan kanannya. “Baiklah Warren, kau juga! Hati-hati di jalan!” Karleen mengantar Warren keluar dari rumahnya. Setelah punggung War