Karleen menyerahkan surat kepada Conrad. Tanpa dipandu, Conrad langsung membuka surat itu. Dia tersenyum senang membacanya. “Karleen, bisakah aku meminjam kertas dan bolpen?” Tanpa menjawab Karleen ngacir menuju kamarnya. Dia mengambil secarik kertas dan bolpen. Conrad menulis sebuah alamat yang lumayan panjang. Conrad kemudian memberikan kertas tersebut kepada Karleen. “Ini alamatku, Karleen. Kau bisa mengirimkan suratmu ke sini.” Karleen membaca alamat itu. “Ah, apa kau perlu alamat rumahku?” “Tidak perlu Karleen, aku sudah tahu. Besok-besok aku akan mengirimkan surat ke asramamu.” Karleen tersenyum simpul. Conrad menatap Warren dengan tajam. Seperti memberikan suatu sinyal. “Karleen, aku pamit dulu ya! Jaga kesehatanmu! Jangan pula di hari minggu kau sudah harus tiba di asrama. Jaga dirimu dengan baik!” Warren tersenyum tipis sambil melambaikan tangan kanannya. “Baiklah Warren, kau juga! Hati-hati di jalan!” Karleen mengantar Warren keluar dari rumahnya. Setelah punggung War
Conrad berlari menuju sebuah kedai minuman di sudut desa. Kedai minuman sederhana itu tidak terlalu besar dan tidak mencolok dari luar. Interior di dalamnya terbuat dari kayu yang membuat nuansa malam hari semakin sejuk. Suasana yang tidak terlalu ribut ini sangat cocok bagi mereka untuk berdiskusi. Mata Conrad berpendar mencari dua sosok yang dia tebak sudah tiba. Gunther melambaikan tangannya dengan semangat ke arah Conrad. Sosok berkemeja biru sudah duduk di seberang Gunther. Conrad mengambil tempat di sebelah Gunther. “Kapten, akhirnya kau sudah datang!” ucap Gunther dengan riang. “Terima kasih telah menyambutku, Gunther. Apakah kalian sudah memesan?” “Belum Kapten, kami menunggumu datang. Kalau begitu bagaimana kalau kita pesan sekarang?” Warren dengan suara baritonnya memanggil pelayan. Mereka memesan tiga porsi makanan dan juga minuman. “Kapten Warren apakah sudah mengenal Kapten Conrad. Kapten Conrad apakah sudah mengenal Kapten Warren?” “Sudah,” jawab Conrad. Warren hany
Semilir angin malam di musim dingin tidak membuat suasana di sekitar mereka menjadi dingin. Gunther merasakan api yang menggebu-gebu dari Conrad. Sedangkan Warren, dia tetap tenang meskipun Gunther tahu Warren menahan emosinya. Dia bingung dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Suara Conrad melembut. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk meminta dua orang ini menjaga Karleen. “A-aku, aku adalah kakak sepupunya Karleen.” Pernyataan Conrad membuat Warren membeku. Selama ini Warren mengira Karleen adalah sebatang kara, tanpa satu pun sanak saudara. Dia tidak menyangka orang seperti Conrad adalah sepupu dari Karleen. “A-anda, bagaimana bisa? Aku tahu betul bahwa Karleen tidak memiliki siapapun!” Warren terdengar seperti menyangkal pernyataan Conrad. “Aku adalah kakak sepupu Karleen dari pihak ibunya Karleen.” Warren yang semula berdiri, terduduk. Dia tidak mempercayai kata-kata yang baru saja dia dengar. Karleen, selama dia di panti asuhan selalu mengharapkan salah satu kelu
Musim dingin sekarang sudah tidak sedingin awal tahun. Salju-salju sudah mulai mencair. Meninggalkan bekas-bekas es di berbagai tepian. Minggu ini bisa jadi minggu terakhirnya beraktivitas bebas sesuai kehendaknya. Setelah masuk asrama nanti, dia tidak akan dapat bangun kesiangan, membantu ibunya di toko, tidur siang, membaca novel romantic di perpustakaan, dan bertemu dengan Conrad. Karleen berniat untuk jalan-jalan dengan Lisette dan Edwyn pada hari ini. Dia ingin sekali mengunjungi tempat-tempat yang sering mereka kunjungi saat masih kecil dulu. Sudut bibir Karleen melengkung setelah membaca jurnal yang ditulisnya dulu. Sejak kecil, Karleen memiliki kebiasaan menulis jurnal. Dia tertawa membaca peristiwa lucu yang ditulisnya saat dia masih sekolah. Karleen baru ingat dia belum menyelesaikan novel kedua yang dia pinjam kemarin. Novel romantis yang membuat Karleen tersenyum tipis. Meskipun dia bukan penggemar novel bergenre romantis, dia membaca novel itu untuk sekadar memenuhi ras
Karleen mengetuk pintu rumah Lisette. Dari sebelah matanya, Karleen bisa melihat Edwyn yang tampak gelisah. Pintu rumah itu terbuka dari dalam setelah Karleen mengetuknya sebanyak tiga kali. “Edwyn, kau sudah da-.” Ucapan Lisette terhenti ketika dia melihat Karleen yang berdiri tegak di seberangnya.“Karleen, kau ke sini juga?” tanya Lisette yang sedikit terkejut dengan kedatangan Karleen.“Pasti ada yang kalian sembunyikan dariku, ya?” Karleen mencoba tidak marah. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Lisette memalingkan wajahnya. Dia sebenarnya belum siap bertemu langsung dengan Karleen setelah percakapannya dengan Edwyn kemarin. Lisette menatap Edwyn.“Wah! Ada apa dengan kalian berdua? Kalian sedang berkencan tanpa sepengetahuanku, ya?” Karleen menebak seraya tertawa. Ekspresi Edwyn seketika berubah. Karleen tidak bisa menebak apa yang dirasakan Edwyn. Bukannya marah, Edwyn malah terlihat sedih.“Kau salah paham Karleen. Tidak terjadi apa-apa di antara kami,” respo
“Warren memberikannya kepadamu? Bagaimana bisa? Kapan kalian bertemu?” tanya Lisette yang benar-benar penasaran. Dia tidak menyangka progresnya akan secepat itu.“Kemarin, dia datang ke rumahku dan memberikan jaketnya kepadaku,” jawab Karleen dengan volume yang rendah.“Bagaimana bisa dia tahu rumahmu?” tanya Edwyn kemudian. Dari nada bicaranya, Karleen bisa mengetahui bahwa Edwyn sedang kesal.“Dari data militer. Dia tidak datang sendirian. Warren datang bersama Komandan Jaye.”“Dari data militer, itu berarti dia senior kita?” tebak Edwyn.Karleen kemudian menyeringai tipis. “Warren adalah kapten di Militer Kassel.”Edwyn sangat kaget mendengarnya. Rahangnya turun, seakan tidak percaya dengan pekerjaan Warren.“Dia seorang kapten?” ulang Edwyn dengan pelan. Lisette memandang Edwyn prihatin. Pasti Edwyn merasa kecil jika dibandingkan dengan Warren. Meskipun dia belum pernah bertemu dengan Warren, Lisette bisa membayangkan bahwa Warren itu sangat tampan.“Kenapa kau terkejut seperti it
“Kenapa kalian terdiam?” tanya Karleen dengan amarah yang ditahan. Karleen mengakui jika dirinya salah, tetapi dia merasa bahwa Edwyn juga salah. “Aku akui bahwa aku telah mengakui kesalahan. Akan tetapi, aku sudah mengakui dan meminta maaf kepadamu, kan? Kenapa kau terus mencari kesalahanku, hah?” Karleen menatap lekat-lekat manik mata Edwyn yang berwarna hazel itu. “Aku hanya merasa kau tidak mempercayai kami lagi, Karleen.” Balasan Edwyn membuat Karleen terkesiap. “Haaa, apakah semua yang terjadi kepadaku harus aku laporkan kepada kalian juga?” Karleen membentak Edwyn. Karleen merasa bahwa dia juga memiliki privasi yang tidak perlu dia katakan kepada sahabatnya. “Bukan begitu maksudku, Karleen. Kau sudah terlalu banyak berbohong,” tuding Edwyn. “Astaga! Sudah berapa kali kau mengatakan aku terus berbohong? Kan sudah kukatakan, aku sengaja menutupi kenyatakan itu karena aku tahu kalian akan meledekku.” Lisette merasa bimbang ingin memihak kepada siapa. Dia bisa memaklumi tujua
Warren masih terus terbayang perkataan Conrad semalam. Dia merutuki Conrad berulang kali. Entah mengapa mengetahui kebenaran itu membuat hati Warren sakit. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Karleen mengetahui hal itu juga. Gunther hanya memerhatikan Warren saja. Dia tidak berani mengajaknya mengobrol. Gunther tahu sekali kondisi Warren sekarang sedang kacau. Dia harus berhati-hati agar tidak salah bicara dan memancing amarah Warren. “Gunther, kau mengetahui hal itu?” tanya Warren sedih. “T-tidak, Kapten. Aku tidak mengetahui hal itu sama sekali.” Gunther menggigit bibir bawahnya. “Lalu, bagaimana kau bisa menemukan Karleen saat itu?” Warren yang tadinya terdengar sedih, kini suaranya terdengar sangat serius. Aura menyeramkan keluar dari dirinya. “Menemukan Karleen? Kapan Kapten?” Gunther tidak paham dengan apa yang dimaksud Warren. Warren yang malas menjelaskan, berdiri dari duduknya. Dia berjalan menuju lemari di ruangannya. Membuka lemari itu, mengambil sesuatu
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja