Damien berjalan cepat melewati lobi perusahaan. Ia mengabaikan karyawan yang menyapanya. Pikiran dan perasaannya sedang kalut karena emosi yang membara. Perkataan Velice benar-benar membuatnya muak bersandiwara dengan wanita itu. Jika Damien tidak memikirkan keselamatan Dyandta, mungkin Velice akan ia masukkan ke penjara karena telah memerasnya.Sesampainya di ruangan, Damien menghempaskan tubuhnya di kursi kerja. Bersandar sambil mengatur napas yang terengah-engah karena menahan emosi agar tetap terlihat profesional selama bekerja.Saat Damien mulai tenang, barulah ia teringat dengan kisah masa lalu Tommy. Ternyata kebimbangan seperti inilah yang dirasakan Tommy saat itu. Tommy benar, harusnya ia tidak mengikuti permainan Velice sejak awal. Dan sekarang, dia harus bertahan sampai akhir karena sudah terlanjur memulainya.Karena jika dibatalkan, Damien yang harus membayar Velice sesuai dengan permintaan Velice sendiri. Dan semua itu juga tertulis di surat perjanjian."Hhh!" Damien meme
Pukul enam sore, Damien tiba di rumah. Ia melangkah gontai sambil melonggarkan dasi yang mencekik lehernya. Hembusan napas kasar berulang kali terdengar. Seperti seseorang yang sedang putus asa. Entah apa yang terjadi. Mungkin Damien masih memikirkan tentang mimpi itu. Ketakutan yang Damien rasakan sangat besar setelah bermimpi seperti itu.Airin yang baru saja selesai menyediakan makanan di atas meja makan, sedikit keheranan melihat tingkah putranya. Sebelum Damien menginjakkan kaki di anak tangga pertama, Airin sudah lebih dulu memanggilnya."Damien."Dengan rasa malas dan terpaksa, Damien menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya tampak kusut sekali, seperti orang yang kehilangan gairah hidup."Ada apa, Bu?" tanya Damien yang masih berdiri di dekat tangga."Ada apa denganmu? Kau sakit?"Airin yang panik segera mendekati putranya. Menyentuh keningnya yang tampak berkeringat. Namun tidak ada rasa panas di kening putranya itu. Ditangkupnya kedua pipi Damien, memastikan semuanya baik-baik
Damien menuruni anak tangga sambil menggulung lengan kemeja hingga mencapai siku. Saat ini, Damien sudah terlihat sangat rapi dan wangi. Memakai setelan kemeja berwarna hitam dan celana jeans berwarna senada. Kancing kemeja bagian atas tidak terkancing, sehingga menampilkan sedikit dada bidangnya."Kau mau kemana, Damien?"Pertanyaan dari Bailey membuat Damien sedikit tersentak dan menoleh ke arah Bailey. Pria itu sudah duduk di meja makan bersama Airin. Damien langsung menghampiri orang tuanya."Ayah, Ibu, malam ini aku akan makan di luar. Teman-teman lamaku ingin merayakan kesembuhanku," dusta Damien."Memangnya tidak bisa ditunda besok saja?" tanya Bailey. "Kasihan Ibumu sudah menyiapkan makanan sebanyak ini. Setidaknya hargai kerja keras Ibumu."Damien terdiam dan menunduk. Sejujurnya, ia juga malas pergi keluar. Tapi Damien harus tetap pergi untuk memenuhi janjinya. "Ayah, mereka sudah menunggu sejak tadi. Mereka datang jauh-jauh dari luar kota demi memberi kejutan ini.""Tapi ….
Velice melirik ke arah Damien yang sibuk menatap ponselnya sambil tersenyum. Ia merasa kesal karena Damien mengabaikannya."Kenapa kau senyum-senyum sendiri? Apa itu pesan dari wanita bodoh itu?" tanya Velice dengan nada sinis.Damien menatap sekilas ke arah Velice. Kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Damien memang tengah bercanda gurau dengan Dyandta melalui aplikasi chat. Bahkan Damien mengabaikan pertanyaan Velice. Sehingga membuat Velice semakin kesal."Damien!" seru Velice hingga memancing pandangan dari pengunjung lain."Apa?" sahut Damien tanpa menatap Velice.Velice mendengus kesal sambil berkata, "Kau tidak ingat dengan perjanjian itu, hah? Jika sedang bersamaku, kau harus mengabaikan istrimu.""Kau pikir, aku bodoh?" Damien sudah selesai berurusan dengan ponselnya. Ia menatap Velice dengan tajam. "Aku yang membuat perjanjian itu dan aku masih ingat apa isinya. Di dalam isi perjanjian itu, tidak tertulis mengenai hal yang kau katakan tadi. Bahkan aku tidak akan pernah m
Damien tiba di kantor lebih pagi hari ini. Pukul 07.15 pagi ia sudah sampai. Damien hanya ingin melihat apakah para staf dan karyawannya mengikuti kebijakan dan peraturan baru yang ia buat kemarin. Jika masih ada yang melanggar, maka konsekuensinya adalah pemecatan secara tidak hormat. Bahkan tanpa pesangon.Pria itu menunggu di lobi, dekat dengan meja resepsionis sambil menatap ke arah pintu masuk. Damien melihat Pablo datang dengan membawa tas kerja serta buku agenda yang memang selalu Pablo bawa kemanapun dia pergi."Selamat pagi, Tuan," sapa Pablo."Pagi, Pablo," balas Damien diiringi senyuman manis. "Kau datang lebih pagi hari ini.""Saya memang selalu datang sepagi ini, Tuan."Damien manggut-manggut. "Itu bagus. Pertahankan itu.""Baik, Tuan."Tak berapa lama, muncullah para kepala divisi yang tiba bersamaan. Mereka langsung menyapa Damien dengan ramah."Kami ke ruangan dulu ya, Tuan," pamit Aslan.Damien hanya mengangguk dan membiarkan mereka pergi. Begitu juga dengan Pablo. Da
Damien keluar dari kantor saat jam makan siang. Ia menepati janji dengan Velice yang mengajaknya bertemu di kafe milik George. Damien masuk ke dalam Lunar's Cafe dan mencari keberadaan Velice."Damien!"Pria itu menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Velice tidak duduk di kursi yang biasanya mereka tempati. Velice memilih kursi yang berada di sudut kafe. Damien menghampiri wanita itu dan duduk di hadapannya."Ayo, dimakan. Aku sudah pesankan makanan ini untukmu," ucap Velice.Damien sedikit mengernyit. Velice memesankan makanan untuknya, namun Velice sendiri tidak memesan apa-apa. Hanya ada segelas jus saja."Maaf, aku sudah kenyang," tolak Damien sambil mendorong piring tersebut.Velice terlihat kesal karena Damien menolak makanan yang ia pesan. "Aku sudah membayar mahal untuk makanan itu, Damien. Setidaknya kau makan sedikit saja.""Aku sudah kenyang. Jangan memaksaku untuk memakannya. Jika kau merasa sayang dengan makanan itu, kenapa tidak kau saja yang makan?"Wajah Velice mendada
Velice memakai pakaiannya kembali setelah puas bercinta dengan George. Pria itu cukup ganas, namun Velice menyukainya. Sudah tiga kali mereka melakukan hal itu, sampai membuat kaki Velice lemas.Wanita itu membetulkan riasan dan rambut yang sudah acak-acakan. Setelah rapi, barulah ia mendekati George yang sedang duduk di sofa sambil menghisap sebatang rokok di mulutnya."Mana bayaranku?" tagih Velice.George mengambil ponselnya yang berada di atas meja, lalu membuka aplikasi m-banking. "Sebutkan nomor rekeningmu," perintahnya.Velice pun menyebutkannya dengan penuh semangat. Dan tak berapa lama, muncul notifikasi di ponselnya. Uang dengan jumlah yang besar sudah masuk ke rekeningnya."Sudah cukup?" tanya George."Sudah!" Velice berseru kegirangan. Ia tidak pernah melihat uang sebanyak itu. "Terima kasih, Tuan. Aku sudah berubah pikiran sekarang. Tawaranmu aku terima dengan senang hati," lanjutnya.George tersenyum sinis. "Tapi kau harus ingat syarat yang kuberikan padamu.""Tentu saja
Pukul 18.15 sore, Damien dan Dyandta tiba di rumah. Saat Dyandta datang ke kantor, Damien meminta Tommy untuk pulang saja ke rumah terlebih dulu, karena Damien akan pulang bersama istrinya.Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan menyapa Bailey serta Airin yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sambil menikmati segelas teh dan kopi."Kalian pulang bersama?" tanya Airin."Iya, Bu," jawab Damien. "Tadi, Dyandta mampir ke kantorku.""Ah, pantas saja Tommy pulang lebih awal," ujar Airin. "Ya sudah, kalian pergi mandi. Setelah itu kalian makan ya. Ibu sudah memasak makanan kesukaan kalian.""Baik, Bu."Damien dan Dyandta kembali melangkah menuju kamar mereka di lantai dua. Sesampainya di kamar, Damien merebahkan diri di atas kasur. Rasanya lelah sekali mengurusi berkas-berkas di kantor."Kau tidak ingin mandi, Suamiku?" Dyandta bertanya sambil mengambil handuk bersih dari dalam lemari pakaian."Nanti aku menyusul, Sayang. Aku ingin meluruskan tubuhku sebentar.""Baiklah."Dyandta bergega
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka