Charlotte merasa konyol, ia tidak pernah bersenang-senang sekadar menghabiskan waktu luang berdua dengan Luis. Namun, kali ini dia malah jalan-jalan di pusat perbelanjaan bersama teman baik suaminya—teman Charlotte juga. Charlotte mungkin baru ingat memori mereka sewaktu SMA. Abra beda kelas, beda jurusan, tapi entah mengapa lelaki itu selalu meluangkan waktu menjemput Charlotte di kelasnya yang berbeda gedung. Abra kerap ikut bergabung dengan kelompok pertemanan Charlotte, ikut tertawa walau membicarakan hal yang tidak dia suka. Setidaknya sampai sekarang Abra tidak pernah menyatakan apapun, itulah yang membuat Charlotte yakin pria itu hanya sekadar teman.
Sementara, Abra tengah berkecamuk. Abra remaja bisa tahan menyembunyikan perasaannya dari gadis yang sekarang telah menjadi wanita seutuhnya, tetapi rasanya sudah tidak sanggup lagi. Abra sudah cukup dikejutkan dengan fakta pernikahan kedua temannya, ditambah matanya menangkap bukti perselingkuhan walaupun tidak benar-beSebagai pemilik restoran, kehadiran Abra di tempat usahanya terasa wajar meski ada maksud tertentu dari kedatangannya siang ini. Bukan tanpa sebab Abra berdiri di balik pintu dapur, bukan untuk memerhatikan koki meracik hidangan, atau memastikan kualitas masakan tetap terjaga. Ia bersandar sambil melipat tangan di dada, memandangi seorang gadis yang tengah mencuci piring sehabis mengepel lantai tadi."Kenapa bisa dia bekerja di sini? Bisa-bisanya aku tidak tahu kalau dia adalah Emma mantannya Luis." Abra jadi ingat jika kakaknya Emma masih bekerja di gedung apartemen milik orang tuanya. Keluarga itu sungguh memanfaatkan kelebihan keluarga Lincoln dengan maksimal.Emma tersadar kalau ada pandangan mata yang sedari tadi menyorot ke arahnya. Seperti sebuah sinyal alami yang merambat ke otaknya, Emma melirik-lirik kepada sang pemilik restoran. Ada apa sebenarnya hingga dia diawasi sebegitu ketat. Emma tidak melakukan kesalahan apa pun. Sejak detik pertama bekerja hari
Siapa yang tidak takut dengan kelompok kriminal? Sekumpulan penjahat ahli maupun amatiran berkumpul menjadi satu, membentuk koloni agar semakin kuat. Tujuan mereka bukan hanya uang; rasa hormat, disegani, juga merasakan solidnya kebersamaan. Apapun yang terjadi, selama mematuhi aturan kau akan selalu diterima dan dijaga dalam kelompok. Tidak ada yang bisa disakiti selain pembelot meski proses masuk ke dalam geng nyatanya begitu menyakitkan.Phoenix berkembang dari sebuah kelompok pengedar produk narkotika bersenjata, berubah menjadi penguasa dunia bawah tanah kota. Hampir. Mereka menguasai setiap sisi, Utara, Barat, Selatan, Timur. Ada satu wilayah penting yang belum mampu dikuasai, wilayah pusat. Di jantung kota terdapat sudut paling gelap, dan daerah itu kuasai kelompok geng Tiongkok yang sangat ditakuti kelompok lain.Kalau membandingkan jumlah anggota dan ketersediaan senjata Phoenix menang. Namun, jika dibandingkan dari skill bertarung, tampaknya Phoenix masih
"Selamat datang, tamu istimewaku!" Abra memeluk Luis sesaat. "Harusnya kukosongkan restoran untuk menyambut kalian.""Jangan berlebihan!" decak Luis. Dia memang merasa dirinya istimewa, tapi mengkhususkan satu restoran untuk dirinya terasa tidak sepadan. Berapa kerugian yang Abra tanggung kalau ia menutup restoran demi menghabiskan waktu bersama dua teman terbaiknya.Tak lupa Charlotte juga saling menyapa dengan Abra. Mereka tidak membahas kegiatan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan beberapa waktu lalu. Selain tidak ingin merusak suasana, tidak perlu dibahas juga."Sering-sering saja kau mengundang kami makan malam. Aku jadi bisa makan enak gratisan." Meski sudah bertransformasi menjadi seorang miliarder, tabiat Luis tetap sama. Selama ditawarkan kenikmatan gratis, mengapa tidak. "Kapan-kapan aku akan menginap di kamar termahal Emerald selama satu minggu. Gratis."Luis mengkalkulasi dalam otak. "Hei, itu berlebihan."Abra terkeke
"Hai, Emma. Lama tidak bertemu dan kau tidak banyak berubah." Charlotte tersenyum angkuh demi mengukuhkan statusnya sebagai istri dari laki-laki yang dahulu mereka pernah bincangkan. Kedua perempuan itu sama-sama membicarakan seorang laki-laki dengan antusias. Beruntung, Charlotte yang berhasil memenangi posisi tertinggi, yaitu istri sah Luis.Emma menekuk muka di lorong dekat toilet. "Kau mau ke toilet? Pergi sana, nanti pipis di celana," selorohnya berusaha kabur.Namun, tangan Charlotte cekatan memegang lengan atas Emma agar wanita itu tidak pergi darinya. "Tunggu, jangan sok sibuk. Aku ingin bicara sebentar."Emma tidak suka dan tidak ingin bicara dengan Charlotte. Ia tidak suka melihat istri Luis dengan mata kepalanya, terlebih perut wanita itu membuncit. Emma merotasikan mata, sakit sekali rasanya menyelami kenyataan bahwa Charlotte mengandung buah hati pria yang selama ini ia cintai. Tapi Emma enggan terlihat sedih di depan saingannya, itu menunjukk
Jabat tangan hangat terjadi di ruangan rapat. Pertemuan dengan tim rumah produksi, rencananya ada film keluarga yang akan syuting memakai latar tempat Hotel Emerald. Ini adalah kesempatan bagus memperkenalkan Emerald ke khalayak ramai. Bukan hanya orang-orang di dalam negeri, bahkan sampai ke luar negeri. Benak Luis sibuk terlintas soal keuntungan dan ketenaran. Jika film meledak, occupancy hotel pasti bakal ikut meletus.Wajar jika Luis tampak lebih riang usai tim rumah produksi meninggalkan ruangan. Luis terlihat cerah hingga masuk ke ruangannya lagi."Aku akan semakin kaya," racaunya dengan senyum lebar, kemudian berputar di kursi berodanya.Sedetik kemudian pintu ruangannya diketuk. Kepala Ed muncul kemudian. "Bos, jadi berangkat?"Luis ingat-ingat sebentar. Ah, ia lupa jadwalnya gara-gara proyek film. Barulah usai mengingat selama hampir satu menit, Luis ingat bahwa dia ada janji dengan seseorang di Pecinan."Ah! Untung kau ingatkan!
"Kau menyembunyikan uang di sini?!" pekik Ed, tercenung melihat pemandangan indah di dalam ruangan. Namun, Luis buru-buru menutup dan mengunci pintu besi."Siapa yang menyuruhmu masuk, hah?!" Luis menarik kerah Ed."A— anu ... kupikir ada apa-apa karena kau tidak kunjung kembali."Luis melepas kerah Ed dengan kasar, mendorongnya agar menjauh. "Tunggu saja di mobil! Jangan pernah masuk ke sini!"Ed mengangguk takluk."Heh, botak!" Luis menyasar pria-pria besar di lantai dasar. "Walaupun dia asistenku, jangan sembarangan membiarkan dia masuk. Dia bukan anggota, paham?!"Para pria besar itu mengangguk paham.Luis naik ke lantai dua, baru saja hendak membuka pintu, benda itu sudah terbuka dari dalam. "Aku baru mau turun," kata Enrique."Responsmu lambat!" Luis mendesak masuk, kemudian ia duduk di kursi. Bungkus rokok menganggur di atas meja, Luis mengambil satu batang untuk mengisi mulut kosongnya.Enrique
Luis tengah membaca dokumen dengan seksama di ruangannya saat pintu terdengar diketuk. "Masuk!"Ed menampakkan rupanya."Kau, Ed. Ada apa?"Ed menutup pintu rapat-rapat. "Um, Bos. Boleh bicara sebentar?"Luis mempersilakan Ed duduk di sofa. Ia meninggalkan dokumen di meja, sementara dirinya fokus menuju tempat duduk di sofa hitam empuk. Ed terlihat meremas jemari, pria itu agak kikuk."Oh, ya. Kudengar tadi pagi kau minta izin libur, kenapa tetap masuk?""Tadinya mau mengantar ibuku berobat, tapi ....""Ibumu sakit?""Hm, iya. Ada masalah dengan saluran pernapasannya.""Lalu, kau tidak jadi mengantar ibumu ke rumah sakit?""Itu masalahnya. Begini, Luis ... anu— Bos. Apa aku boleh pinjam uang untuk biaya pengobatan?"Luis merotasikan mata. "Memangnya kau tidak punya tabungan? Gajimu kan lumayan.""Ibuku bersikeras tidak mau memakai uang tabunganku. Dia malah berniat meminjam ua
"Harusnya kau katakan itu pada dirimu sendiri. Seorang suami tidak pantas menemui wanita lain di luar rumah."Praktis Luis tersinggung. Abra tidak tahu apa-apa mengenai hubungannya dengan Charlotte maupun dengan Emma. Abra cuma dengar secuil cerita saja tanpa tahu sejarah lengkapnya."Aku paling tidak suka urusan pribadiku diikut campuri orang lain." Luis menaruh gelas kosong ke meja dengan kasar."Luis, aku berusaha membuka matamu bahwa tindakanmu salah! Apa aku harus sungguh-sungguh merebut Charlotte agar kau berhenti mempermainkannya?""Jangan sok tahu mengenai hubungan kami! Kuperingatkan kau, aku bisa melakukan apa saja untuk benar-benar menghentikanmu." Luis tidak bercanda.Abra malah terkikik. "Masih saja mengancamku. Memangnya kau bisa apa?"Tiba-tiba Luis mendekatkan tubuhnya kepada Abra, ia mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jas, menempelkan ujung benda keras itu ke pinggang Abra. Moncong revolver didesakkan, Abra mam
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”