Di sudut lain ruangan, Indra Wijaya menatap putranya dengan ekspresi penuh kepedihan. Ia tidak tahu siapa yang harus disalahkan atas ini, tapi dalam hatinya, ia bertekad untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini. Dan jika ia menemukannya, tidak akan ada belas kasihan.Aldo Wijaya masih terbaring di rumah sakit dengan kondisi kritis. Selang-selang medis yang menempel di tubuhnya membuatnya terlihat begitu rapuh, begitu berbeda dengan sosok kakak tertua yang selalu menjadi kebanggaan keluarga. Semua orang di keluarga Wijaya kini berduka, namun satu orang melihat ini sebagai kesempatan.Andre Wijaya.Di dalam pikirannya, inilah momen yang telah ia tunggu-tunggu. Selama ini, Aldo selalu menjadi anak emas, sosok yang tak tergantikan di mata ayah mereka, Indra Wijaya. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha, Andre selalu berada di bawah bayang-bayang Aldo. Namun sekarang, Aldo telah terjatuh, dan inilah waktunya untuk bertindak.Andre memasuki ruang kerja Indra dengan
Alan Wijaya sudah mencurigai sejak awal bahwa sesuatu tidak beres dengan pergerakan Calvin Rahadian. Sejak Aldo koma, keadaan semakin kacau. Arga diusir dari rumah, Andre semakin menguasai posisi di keluarga, dan sekarang, keluarga Mahendra mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka akan bergerak dalam waktu dekat.Tapi ada satu hal yang paling mengganggunya: Clara.Gadis itu adalah kunci dari semua kekacauan ini. Sejak awal, dia adalah target, objek yang diperebutkan oleh dua keluarga besar yang ingin menghancurkan satu sama lain. Namun, tidak ada yang menyadari bahwa ada satu dalang utama yang mengendalikan semua benang dalam permainan ini.Calvin Rahadian.Alan tahu bahwa pria itu tidak akan tinggal diam. Ia bisa merasakan bahaya yang semakin mendekat. Dan ia benar.***Malam itu, Alan dan Clara memutuskan untuk bersembunyi di sebuah tempat yang mereka anggap aman—sebuah rumah tua yang sudah lama tidak digunakan di pinggiran kota. Mereka berdua tahu bahwa terlalu berisiko jika mere
Calvin Rahadian tahu bahwa Alan Wijaya adalah ancaman yang tidak bisa diremehkan. Meskipun sudah mencoba menjebaknya dan menangkapnya, Alan tetap berhasil kabur. Itu membuatnya semakin waspada. Alan terlalu pintar, terlalu tangguh, dan terlalu berbahaya. Jika dibiarkan, ia bisa menghancurkan rencana besar yang sudah disusunnya selama ini.Dan Calvin tidak akan membiarkan itu terjadi.Ia duduk di ruang kerjanya, menyesap segelas anggur merah sambil berpikir keras. Ada satu cara untuk memastikan Alan tidak bisa bergerak bebas: menggunakan Andre Wijaya. Andre memiliki dendam terhadap kakaknya, Aldo Wijaya, dan sudah sejak lama ia merasa dianaktirikan oleh ayah mereka, Indra Wijaya. Jika saja Andre bisa dipengaruhi lebih dalam, dia bisa menjadi alat yang sempurna untuk menyingkirkan Alan.Namun, Calvin tahu bahwa Andre bukan orang yang mudah dipengaruhi. Ia membutuhkan seseorang yang bisa masuk ke dalam pikirannya, seseorang yang bisa menyusup tanpa menimbulkan kecurigaan.Seseorang seper
Andre Wijaya menatap langit malam dari jendela ruang kerjanya. Langit begitu gelap, tanpa bintang, seakan mencerminkan pikirannya yang penuh gejolak. Ia tahu ada banyak hal yang sedang terjadi di keluarganya. Konflik antar saudara, intrik yang semakin rumit, dan tekanan dari berbagai arah. Namun, satu hal yang pasti—ia tidak bisa membiarkan keluarganya hancur begitu saja.Sejak kecil, Andre selalu merasa berada di bawah bayang-bayang Aldo. Sang kakak sulung adalah kebanggaan keluarga, pewaris sah yang selalu mendapatkan perhatian penuh dari sang ayah, Indra Wijaya. Namun, ketika Aldo koma akibat kecelakaan misterius, posisi Alan, adik ketiga mereka, mulai naik. Alan dengan cepat mengambil alih banyak keputusan, dan kini ia dipandang sebagai pemimpin baru keluarga Wijaya.Dan di sanalah letak masalahnya.Bagi Andre, tidak masuk akal jika ia yang merupakan anak kedua harus menyerahkan segalanya kepada Alan. Dalam tradisi keluarga mereka, anak tertua yang seharusnya berhak atas warisan d
Mitha duduk di dalam mobilnya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran sejak pertemuannya dengan Andre Wijaya tadi siang. Rencana mereka telah runtuh sebelum benar-benar dimulai. Andre, yang semula bisa dimanipulasi dengan mudah, kini mulai menunjukkan perlawanan.Mitha tahu dia harus segera melapor kepada Calvin.Sesampainya di rumah keluarga Rahadian, ia berjalan cepat menuju ruang kerja Calvin. Kakaknya sedang duduk di balik meja besar, sibuk membaca dokumen dengan ekspresi serius. Begitu melihat Mitha masuk, Calvin mengangkat kepalanya."Ada apa?" tanyanya langsung, menatap wajah adiknya yang tampak cemas.Mitha menghela napas dalam. "Andre tidak ingin bekerja sama lagi. Dia menolak rencana kita."Calvin terdiam sejenak, sebelum menyandarkan punggungnya di kursi. "Kenapa?""Dia sadar bahwa Alan tetap saudaranya, dan tidak mungkin membiarkan keluarga Wijaya jatuh ke tanganku begitu saja," ujar Mitha. "Andre mungkin benci Aldo, tapi di
Di tengah malam yang gelap dan dingin, di bawah lampu jalan yang redup, seorang pria dengan jas hitam panjang berjalan perlahan di trotoar yang sepi. Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota yang hampir tak berpenghuni. Bara Valentino, seorang pria dengan sorot mata tajam dan aura misterius, berhenti sejenak, memandang ke kejauhan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Rambut hitamnya sedikit berantakan, terkena cipratan air hujan, namun ia sama sekali tidak terganggu. Ia mengamati sekeliling, matanya menyapu trotoar hingga sebuah sosok tertangkap dalam pandangannya.Di sudut sebuah bangunan tua, seseorang tampak meringkuk, tubuhnya kotor dan lusuh, wajahnya sembab seperti seseorang yang baru saja mengalami keterpurukan hebat. Bara menyipitkan mata, lalu perlahan mendekat. Langkahnya tenang, penuh perhitungan. "Arga Wijaya?" suaranya dalam dan tenang, tetapi tetap membawa kesan mengintimidasi. Sosok yang dipanggil itu mendongak dengan ekspresi lelah dan putus asa. Arga menatap pria d
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Arga Wijaya duduk di kursi tua dengan tangan yang terkepal di atas lututnya. Bara Valentino berdiri di dekat jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Hujan deras masih mengguyur jalanan, menciptakan suara monoton yang memenuhi ruangan.“Jadi, biar aku perjelas,” Bara akhirnya membuka suara, suaranya dalam dan penuh ketegasan. “Kau bilang Calvin Rahadian-lah yang mengadu domba keluarga Mahendra dan Wijaya?”Arga mengangguk. “Ya. Sejak awal, semua yang terjadi antara keluarga kami adalah hasil manipulasi Calvin. Dia membuat Papa percaya bahwa keluarga Mahendra menculik Adrian, padahal kenyataannya Calvin sendiri yang membunuhnya. Dan yang lebih gila, Dimas Mahendra percaya bahwa Alan Wijaya yang menculik putrinya, Clara.”Bara berbalik, menatap Arga dengan tatapan tajam. “Dan kau yakin Calvin yang menculik Clara?”“Aku tidak punya bukti konkret, tapi semua jejak mengarah kepadanya. Terutama
Bara Valentino duduk dengan tenang di ruangan yang remang-remang. Cahaya lampu yang temaram hanya menyisakan siluet wajahnya yang keras dan penuh luka masa lalu. Alan Wijaya, yang duduk di hadapannya, menatapnya dengan penuh kewaspadaan. Dunia mereka penuh dengan intrik dan pengkhianatan, dan Alan tahu bahwa siapa pun bisa menjadi ancaman.Bara menghela napas, membiarkan kesunyian di antara mereka bertahan beberapa saat sebelum akhirnya berbicara."Aku berasal dari keluarga Valentino, mungkin kau belum pernah mendengar nama itu sebelumnya karena keluarga Rahadian telah menghapus jejak kami dari sejarah," ucapnya dengan suara rendah namun penuh dengan amarah yang tertahan.Alan tetap diam, mendengarkan dengan seksama. Bara melanjutkan, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam."Ayahku, Damian Valentino, dulu adalah seorang pengusaha sukses. Kami bukan keluarga besar seperti Mahendra atau Wijaya, tapi kami memiliki kehormatan dan kekuatan kami se
Langit malam masih gelap ketika Adrian Wijaya berdiri di depan gerbang besar rumah keluarganya. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini ia kembali dengan membawa beban yang lebih besar dari sebelumnya. Ia menatap rumah megah itu, mengingat setiap kenangan yang pernah ia lalui di dalamnya. Malam ini, ia kembali bukan sebagai Adrian yang dulu, melainkan sebagai seseorang yang memiliki misi yang belum terselesaikan.Dengan langkah tegas, Adrian mendorong gerbang dan memasuki halaman rumah. Para penjaga yang melihatnya langsung membelalakkan mata, seolah melihat hantu. Salah satu dari mereka bahkan nyaris menjatuhkan senjata yang dipegangnya."Adrian...?" gumam salah satu penjaga dengan suara gemetar.Adrian tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan melewati mereka, menuju pintu utama. Ia tahu bahwa keberadaannya akan segera diketahui oleh kedua saudaranya, Alan dan Andre Wijaya. Itu hanya soal waktu sebelum mereka muncul dengan seribu pertanyaan yang harus ia hadapi.Saat A
Arga Wijaya melangkah keluar dari rumah dengan langkah santai, meskipun pikirannya terus dipenuhi berbagai kecemasan. Sejak ia tinggal bersama Bara Valentino, banyak hal dalam hidupnya berubah secara drastis. Ia kehilangan tempat di keluarganya sendiri, dipisahkan dari keluarganya, dan kini harus bergantung pada seorang pria yang masa lalunya masih penuh misteri. Namun, Arga tidak memiliki banyak pilihan selain bertahan hidup dan mencari cara untuk membalas dendam atas ketidakadilan yang terjadi pada keluarganya.Malam itu, Arga hanya memiliki satu tujuan sederhana: membeli makanan. Bara sudah pergi sejak subuh untuk mengurus urusannya.Setelah mendapatkan beberapa kantong makanan dari warung terdekat, Arga kembali ke rumah dengan langkah yang lebih cepat. Ada perasaan aneh yang mengganggunya, seolah-olah sesuatu yang besar sedang menunggunya di dalam rumah.Ketika ia membuka pintu dan masuk ke dalam, ia langsung membeku di ambang pintu ruang tamu. Di sana, duduk
Hujan gerimis menyelimuti kota malam itu, menambah kesan mencekam di antara jalanan yang dipenuhi cahaya neon. Adrian memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya sebelum ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang yang sudah ia percayai sejak lama."Bara, aku butuh bantuanmu. Cepat jemput aku di sudut kota, aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar di telepon. Aku bersama seseorang yang juga harus kau lindungi," ujar Adrian dengan suara mendesak.Di ujung sana, Bara Valentino terdiam sejenak. Ia mengenali nada suara Adrian yang jarang sekali terdengar seperti itu—panik, mendesak, dan penuh ketakutan."Kau di mana tepatnya?" Bara bertanya, nada suaranya tetap tenang meskipun pikirannya mulai menyusun kemungkinan buruk."Jalan Salma, dekat gang sempit di belakang kafe tua itu. Aku tidak punya banyak waktu, Bara. Jika kau masih menganggapku teman, datanglah sekarang."Tanpa banyak tanya, Bara mengambil kunci mobilnya dan bergeg
Calvin Rahadian duduk di ruangannya dengan napas memburu. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya menatap layar CCTV yang merekam kejadian semalam. Clara Mahendra telah lolos. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi, namun kini sudah menjadi kenyataan."Bagaimana mungkin?" gumamnya dengan suara penuh kemarahan. "Bagaimana mungkin dia bisa melarikan diri?!"Ia membanting gelas wiski di tangannya ke lantai, menyebabkan pecahan kaca berserakan. Semua orang di ruangan itu menahan napas, takut akan amukan pria yang dikenal tak memiliki belas kasihan.Calvin bangkit dari kursinya, matanya menyorot tajam ke arah anak buahnya yang berdiri dengan wajah penuh ketakutan. "Kalian semua pecundang! Bagaimana bisa seorang wanita yang terkunci di ruangan besi, dengan penjagaan ketat, bisa melarikan diri?!"Salah satu anak buahnya, Reno, memberanikan diri untuk berbicara, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Bos, kami sedang menyelidiki bagaimana dia
Adrian menggenggam erat tangan Clara saat mereka berlari menembus kegelapan malam. Napas mereka terengah-engah, detak jantung berpacu dengan kecepatan yang sama dengan langkah kaki mereka. Hujan yang turun deras membuat jalanan licin, tapi mereka tidak peduli. Yang ada di dalam pikiran mereka hanya satu hal: pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu.Clara masih dalam keadaan shock. Rasa sakit dan ketakutan bercampur menjadi satu di dalam tubuhnya. Tapi satu hal yang lebih membingungkannya: bagaimana mungkin Adrian masih hidup? Ia sendiri melihat bagaimana Calvin menembakkan peluru ke dada Adrian. Ia melihat tubuh Adrian jatuh tak berdaya, darah mengalir dari tubuhnya, dan detik itu juga, Clara yakin bahwa ia telah kehilangan cinta dalam hidupnya.Namun kini, pria itu ada di sini, menggenggam tangannya, menariknya menjauh dari neraka yang hampir menelannya.Setelah berlari selama beberapa menit, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah kecil di tengah hutan. A
Ruangan itu sunyi, hanya suara tetesan air dari langit-langit bocor yang menemani Clara Mahendra dalam kegelapan. Ia duduk meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar, tidak hanya karena dingin, tetapi juga ketakutan yang mencekam. Sudah berhari-hari ia disekap di tempat ini, sebuah rumah tua yang suram dan bau lembab. Ia tidak tahu lagi siang atau malam, hanya tahu bahwa setiap waktu yang berlalu terasa seperti siksaan yang tiada akhir.Pintu berderit terbuka, dan masuklah Calvin Rahadian, pria yang menjadi penyebab semua penderitaannya. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya penuh dengan obsesi yang membuat Clara mual. "Clara, aku sudah lelah menunggu," suaranya terdengar lembut, tetapi beracun. "Kita harus segera menikah. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."Clara memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap pria itu. "Aku tidak akan pernah menikah denganmu, Calvin. Lebih baik aku mati," suaranya bergetar, tetapi penuh kebencian.Calvin tertawa kecil
Andre Wijaya menatap layar ponselnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Di layar, nama Bara Valentino tertera jelas. Ia sudah lama mengenal nama itu, tetapi baru sekarang ia benar-benar merasa perlu menghubunginya. Alan telah membuat bisnis keluarga mereka merugi, dan Andre tidak bisa membiarkan itu terus terjadi. Jika Alan tidak bisa memimpin keluarga ini dengan benar, maka Andre harus turun tangan. Namun, ia butuh bantuan.Dengan napas berat, ia akhirnya menekan tombol panggil.Bara Valentino menjawab setelah beberapa dering. "Andre Wijaya," suaranya terdengar datar, tidak menunjukkan emosi. "Apa yang membuatmu menghubungiku?""Aku butuh bantuanmu," kata Andre langsung. "Bisnis keluarga Wijaya sedang berada di ambang kehancuran. Alan terlalu sibuk dengan masalah yang lain dan tidak memikirkan bisnis keluarga. Aku ingin mengambil alih semuanya sebelum semuanya terlambat."Bara terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa memahami situasim
Dimas Mahendra menatap kota dari balik jendela kantornya yang luas. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, mencerminkan kesuksesan dan kekuatan bisnis yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, malam ini pikirannya tidak tertuju pada bisnis, melainkan pada langkah besar yang baru saja ia ambil. Keputusan yang akan mengubah segalanya. Ini adalah salah satu cara untuk mengetes apakah Alan Wijaya bertindak dalam setiap pengambilan keputusan di keluarga Wijaya. Selain itu, ia juga ingin membuktikan jika Alan Wijaya telah menculik putrinya, Clara, maka dengan ancaman ini Alan akan segera melepaskan putrinya.Ia telah menyewa kelompok bayangan untuk menghancurkan bisnis keluarga Wijaya. Tidak cukup hanya meminta banyak pengusaha untuk menarik investasi dari proyek patungan dengan keluarga Wijaya, ia ingin memastikan bahwa bisnis Wijaya benar-benar runtuh. Ia telah menghubungi beberapa pesaing terbesar Wijaya dan memberi mereka informasi berharga tentang kelemahan
Bara Valentino berjalan santai di trotoar kota saat hujan gerimis mulai turun. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket kulitnya, sementara matanya tetap awas terhadap sekeliling. Ia tidak terbiasa membiarkan dirinya lengah, terutama sekarang setelah ia mulai terlibat dalam konflik besar antara keluarga Mahendra, Wijaya, dan Rahadian. Malam semakin larut, dan jalanan mulai sepi. Namun, justru dalam kesunyian seperti inilah bahaya sering kali mengintai.Saat melangkah menuju persimpangan, Bara mendengar suara klakson keras diikuti dengan suara rem yang berdecit tajam. Sebuah mobil sport putih kehilangan kendali dan berputar di jalan yang licin. Tanpa berpikir panjang, Bara berlari ke arah mobil tersebut dan dengan refleks menarik seorang wanita yang nyaris tertabrak ke pelukannya.Wanita itu terjatuh di pelukan Bara, napasnya tersengal karena syok. Matanya yang besar dan indah menatap Bara dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan."A-aku… hampir mati ba