Di tengah malam yang gelap dan dingin, di bawah lampu jalan yang redup, seorang pria dengan jas hitam panjang berjalan perlahan di trotoar yang sepi. Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota yang hampir tak berpenghuni. Bara Valentino, seorang pria dengan sorot mata tajam dan aura misterius, berhenti sejenak, memandang ke kejauhan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Rambut hitamnya sedikit berantakan, terkena cipratan air hujan, namun ia sama sekali tidak terganggu. Ia mengamati sekeliling, matanya menyapu trotoar hingga sebuah sosok tertangkap dalam pandangannya.Di sudut sebuah bangunan tua, seseorang tampak meringkuk, tubuhnya kotor dan lusuh, wajahnya sembab seperti seseorang yang baru saja mengalami keterpurukan hebat. Bara menyipitkan mata, lalu perlahan mendekat. Langkahnya tenang, penuh perhitungan. "Arga Wijaya?" suaranya dalam dan tenang, tetapi tetap membawa kesan mengintimidasi. Sosok yang dipanggil itu mendongak dengan ekspresi lelah dan putus asa. Arga menatap pria d
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Arga Wijaya duduk di kursi tua dengan tangan yang terkepal di atas lututnya. Bara Valentino berdiri di dekat jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Hujan deras masih mengguyur jalanan, menciptakan suara monoton yang memenuhi ruangan.“Jadi, biar aku perjelas,” Bara akhirnya membuka suara, suaranya dalam dan penuh ketegasan. “Kau bilang Calvin Rahadian-lah yang mengadu domba keluarga Mahendra dan Wijaya?”Arga mengangguk. “Ya. Sejak awal, semua yang terjadi antara keluarga kami adalah hasil manipulasi Calvin. Dia membuat Papa percaya bahwa keluarga Mahendra menculik Adrian, padahal kenyataannya Calvin sendiri yang membunuhnya. Dan yang lebih gila, Dimas Mahendra percaya bahwa Alan Wijaya yang menculik putrinya, Clara.”Bara berbalik, menatap Arga dengan tatapan tajam. “Dan kau yakin Calvin yang menculik Clara?”“Aku tidak punya bukti konkret, tapi semua jejak mengarah kepadanya. Terutama
Bara Valentino duduk dengan tenang di ruangan yang remang-remang. Cahaya lampu yang temaram hanya menyisakan siluet wajahnya yang keras dan penuh luka masa lalu. Alan Wijaya, yang duduk di hadapannya, menatapnya dengan penuh kewaspadaan. Dunia mereka penuh dengan intrik dan pengkhianatan, dan Alan tahu bahwa siapa pun bisa menjadi ancaman.Bara menghela napas, membiarkan kesunyian di antara mereka bertahan beberapa saat sebelum akhirnya berbicara."Aku berasal dari keluarga Valentino, mungkin kau belum pernah mendengar nama itu sebelumnya karena keluarga Rahadian telah menghapus jejak kami dari sejarah," ucapnya dengan suara rendah namun penuh dengan amarah yang tertahan.Alan tetap diam, mendengarkan dengan seksama. Bara melanjutkan, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam."Ayahku, Damian Valentino, dulu adalah seorang pengusaha sukses. Kami bukan keluarga besar seperti Mahendra atau Wijaya, tapi kami memiliki kehormatan dan kekuatan kami se
Calvin Rahadian berdiri di depan jendela kantornya, menatap hujan yang mengguyur kota dengan deras. Ia menghela napas panjang, perasaan gelisah mulai menjalar dalam pikirannya. Selama ini, ia selalu selangkah lebih maju dari musuh-musuhnya, namun kali ini ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.Ia berjalan menuju meja kerjanya, meraih gelas whiskey yang setengah penuh, lalu meneguknya dalam satu kali tegukan. Firasat buruk terus menghantuinya sejak beberapa hari terakhir. Rencananya memang berjalan dengan baik—keluarga Wijaya dan Mahendra telah diadu domba, Clara masih dalam genggamannya, dan Alan Wijaya mulai menjadi target berikutnya. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.Ia memijit pelipisnya, mencoba berpikir dengan lebih jernih. Kemudian, pintu ruangannya diketuk. Seorang pria bertubuh tegap masuk setelah mendapat izin."Bos, Dimas Mahendra ada di bawah. Dia ingin bertemu dengan Anda sekarang."Calvin mengangguk, melirik jam tangannya. Sudah hampir tengah malam, dan fakt
Bara Valentino berjalan santai di trotoar kota saat hujan gerimis mulai turun. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket kulitnya, sementara matanya tetap awas terhadap sekeliling. Ia tidak terbiasa membiarkan dirinya lengah, terutama sekarang setelah ia mulai terlibat dalam konflik besar antara keluarga Mahendra, Wijaya, dan Rahadian. Malam semakin larut, dan jalanan mulai sepi. Namun, justru dalam kesunyian seperti inilah bahaya sering kali mengintai.Saat melangkah menuju persimpangan, Bara mendengar suara klakson keras diikuti dengan suara rem yang berdecit tajam. Sebuah mobil sport putih kehilangan kendali dan berputar di jalan yang licin. Tanpa berpikir panjang, Bara berlari ke arah mobil tersebut dan dengan refleks menarik seorang wanita yang nyaris tertabrak ke pelukannya.Wanita itu terjatuh di pelukan Bara, napasnya tersengal karena syok. Matanya yang besar dan indah menatap Bara dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan."A-aku… hampir mati ba
Dimas Mahendra menatap kota dari balik jendela kantornya yang luas. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, mencerminkan kesuksesan dan kekuatan bisnis yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, malam ini pikirannya tidak tertuju pada bisnis, melainkan pada langkah besar yang baru saja ia ambil. Keputusan yang akan mengubah segalanya. Ini adalah salah satu cara untuk mengetes apakah Alan Wijaya bertindak dalam setiap pengambilan keputusan di keluarga Wijaya. Selain itu, ia juga ingin membuktikan jika Alan Wijaya telah menculik putrinya, Clara, maka dengan ancaman ini Alan akan segera melepaskan putrinya.Ia telah menyewa kelompok bayangan untuk menghancurkan bisnis keluarga Wijaya. Tidak cukup hanya meminta banyak pengusaha untuk menarik investasi dari proyek patungan dengan keluarga Wijaya, ia ingin memastikan bahwa bisnis Wijaya benar-benar runtuh. Ia telah menghubungi beberapa pesaing terbesar Wijaya dan memberi mereka informasi berharga tentang kelemahan
Andre Wijaya menatap layar ponselnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Di layar, nama Bara Valentino tertera jelas. Ia sudah lama mengenal nama itu, tetapi baru sekarang ia benar-benar merasa perlu menghubunginya. Alan telah membuat bisnis keluarga mereka merugi, dan Andre tidak bisa membiarkan itu terus terjadi. Jika Alan tidak bisa memimpin keluarga ini dengan benar, maka Andre harus turun tangan. Namun, ia butuh bantuan.Dengan napas berat, ia akhirnya menekan tombol panggil.Bara Valentino menjawab setelah beberapa dering. "Andre Wijaya," suaranya terdengar datar, tidak menunjukkan emosi. "Apa yang membuatmu menghubungiku?""Aku butuh bantuanmu," kata Andre langsung. "Bisnis keluarga Wijaya sedang berada di ambang kehancuran. Alan terlalu sibuk dengan masalah yang lain dan tidak memikirkan bisnis keluarga. Aku ingin mengambil alih semuanya sebelum semuanya terlambat."Bara terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa memahami situasim
Ruangan itu sunyi, hanya suara tetesan air dari langit-langit bocor yang menemani Clara Mahendra dalam kegelapan. Ia duduk meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar, tidak hanya karena dingin, tetapi juga ketakutan yang mencekam. Sudah berhari-hari ia disekap di tempat ini, sebuah rumah tua yang suram dan bau lembab. Ia tidak tahu lagi siang atau malam, hanya tahu bahwa setiap waktu yang berlalu terasa seperti siksaan yang tiada akhir.Pintu berderit terbuka, dan masuklah Calvin Rahadian, pria yang menjadi penyebab semua penderitaannya. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya penuh dengan obsesi yang membuat Clara mual. "Clara, aku sudah lelah menunggu," suaranya terdengar lembut, tetapi beracun. "Kita harus segera menikah. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."Clara memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap pria itu. "Aku tidak akan pernah menikah denganmu, Calvin. Lebih baik aku mati," suaranya bergetar, tetapi penuh kebencian.Calvin tertawa kecil
Hujan mengguyur malam Jakarta dengan derasnya, membasahi jendela apartemen tempat Adrian Wijaya berdiri mematung. Pandangannya kosong menatap ke luar, namun pikirannya bekerja cepat. Sudah terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak yang dikorbankan. Alvian, saudara kembarnya yang ia kenal sejak kecil, telah mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan Clara Mahendra. Dan kini, Adrian tahu bahwa ia tidak boleh gagal. Clara harus kembali kepada ayahnya, Dimas Mahendra. Bukan hanya demi menyatukan kembali keluarga itu, tapi juga demi mengakhiri semua pertumpahan darah yang dipicu oleh obsesi Calvin Rahadian.Di balik ruangan, Clara duduk di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya yang masih lelah. Trauma yang ia alami tidak bisa dihapus begitu saja. Namun, ada semangat di matanya—semangat untuk bertahan, untuk kembali, dan untuk melawan.Adrian mendekat, duduk di samping Clara, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku akan membawamu pulang, Clara. Ayahmu harus tahu bahwa k
Langit malam kembali mendung, seperti menyatu dengan suasana hati Andre Wijaya. Ia berdiri sendiri di balkon lantai atas rumah keluarga Wijaya, menatap lampu-lampu kota Jakarta yang tampak seperti bintang mati. Di dalam dirinya, badai mengamuk. Peristiwa malam perayaan khusus keluarga masih membekas jelas di kepalanya. Anya. Gadis yang selama ini ada di sudut hatinya. Gadis yang kini menjadi penyebab keterpurukan moralnya.Alan belum bicara padanya sejak kejadian itu. Tatapan dingin dari sang kakak seperti pisau yang tertancap dalam-dalam di dadanya. Andre tahu, ia sudah melewati batas. Ia sudah membuka celah bagi musuh untuk masuk lebih dalam ke dalam keluarga mereka.Sementara itu, Alan sibuk mengurus kerusakan reputasi yang perlahan mulai mencuat di media. Meski tidak secara eksplisit diberitakan, namun berbagai portal gosip sudah mencium skandal Andre. Sebuah video buram tersebar di media sosial, menunjukkan sosok yang mirip dengan Andre bersama seorang perempuan m
Pagi itu, Vila Wijaya yang megah di kawasan Puncak tampak sunyi, meski baru saja semalam menjadi tempat perayaan penuh gegap gempita memperingati keberhasilan keluarga Wijaya mempertahankan kendali atas proyek pembangunan energi terbarukan di Kalimantan Timur. Namun, sukacita itu tak berlangsung lama. Karena tepat dini hari, seorang tamu tak diundang berhasil menyelinap ke kamar Andre Wijaya dan menodai kehormatan malam itu.Anya, wanita cantik yang dikenal sebagai sahabat masa kecil Andre, telah berhasil menyelesaikan misi pertamanya untuk Dimas Mahendra. Dengan gaun merah menyala dan aroma parfum yang begitu khas, ia menggoda Andre tepat saat semua orang sibuk merayakan keberhasilan mereka di halaman belakang vila. Andre yang sudah lama menyimpan rasa pada Anya, dan juga sedang berada dalam kondisi mabuk ringan akibat minuman perayaan, tak kuasa menahan godaan itu.Mereka berdua menghilang ke kamar Andre, dan tak lama kemudian suara tawa dan desahan samar mengisi rua
Hujan belum reda sepenuhnya dari langit kota itu ketika pesta perayaan khusus keluarga Wijaya berlangsung dalam kemegahan yang tetap dijaga tertutup. Gedung keluarga, yang berada di kawasan dataran tinggi dengan pemandangan langsung ke kota, bersinar terang dari lampu-lampu kristal yang tergantung dari langit-langitnya. Para tamu undangan—terbatas hanya keluarga inti dan rekan terpercaya—berpakaian rapi dalam balutan formalitas dan anggur merah yang tak berhenti dituang.Namun di tengah suasana hangat dan selebrasi yang penuh prestise itu, Andre Wijaya berdiri di balkon lantai atas, jauh dari keramaian, memandang lampu-lampu kota yang berkedip dalam bayangan gelap malam. Rasa frustrasi yang terus menumpuk sejak konflik internal dengan Alan belum juga surut. Kini, kehadiran kembali Adrian, adik bungsu yang dianggap telah mati, membuat Andre merasa makin tenggelam dalam bayangan bayangannya sendiri.“Apa kabar, Andre?” Sebuah suara lembut menyusup ke balik keheningannya.
Langit malam tampak muram, dihiasi awan hitam pekat yang menggantung berat di cakrawala. Angin bertiup tajam, menyibak pepohonan yang berjajar di sepanjang jalanan hutan pinggiran kota. Di balik bayang-bayang gelap itu, Bara Alvino, Adrian Wijaya, Arga Wijaya, dan Clara Mahendra bersembunyi di markas sementara mereka yang tersembunyi di bawah tanah. Tempat itu dulu adalah bunker militer tak terpakai, yang kini mereka sulap menjadi pusat komando darurat.Bara berdiri di depan layar besar yang menampilkan peta kota. Tangan kirinya memegang tablet yang terus menerus memperbarui pergerakan musuh, sementara tangan kanannya meremas sisa luka tembak yang belum sepenuhnya sembuh."Operasi Langit Hitam akan dimulai malam ini," ucap Bara tegas, memecah keheningan ruangan.Adrian yang berdiri di dekat meja dengan berbagai dokumen intelijen mengangkat kepalanya. "Kau yakin ini waktunya? Calvin pasti sedang menggila mencari Clara. Keadaan sangat tidak stabil."Clara y
Sirene mobil terdengar samar di kejauhan. Di dalam mobil hitam yang melaju cepat di jalan-jalan belakang kota, Bara Valentino memelintir kemudi dengan penuh fokus. Di sampingnya, Adrian duduk dengan ekspresi dingin, sesekali menoleh ke kursi belakang tempat Clara duduk dengan wajah pucat dan mata masih sembab. Arga duduk di sebelah Clara, menatap jalanan di belakang melalui kaca spion kecil, berjaga-jaga."Kita sudah masuk ke zona aman?" tanya Adrian dengan suara rendah."Belum. Tapi kita hampir keluar dari radius pencarian mereka. Mobil-mobil Calvin tersebar ke seluruh penjuru. Kita harus menyeberang ke distrik timur sebelum fajar," jawab Bara dengan nada tergesa.Arga menghela napas berat. "Sial, semua ini karena Mitha. Kita kecolongan."Clara hanya diam. Tubuhnya masih gemetar. Peristiwa beberapa hari terakhir masih menghantui pikirannya. Ia belum sepenuhnya percaya bahwa Adrian—atau pria yang mengaku sebagai Adrian—masih hidup. Tapi ketika mereka bertemu, ada kilasan ingatan, luka
Mitha menggenggam ponselnya erat saat nada sambung berbunyi di telinganya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa membawa konsekuensi besar, tetapi rasa penasarannya lebih kuat daripada keraguannya."Halo?" Suara Calvin terdengar dari seberang telepon, datar dan penuh kewaspadaan.Mitha menelan ludah. "Kak, aku punya informasi yang mungkin menarik untukmu. Aku baru saja mengikuti seseorang dan aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana."Hening sejenak, lalu Calvin menjawab dengan suara rendah, "Di mana? Dan siapa yang kau ikuti?"Mitha melirik ke sekelilingnya, memastikan tidak ada yang memperhatikan sebelum ia menjawab dengan suara pelan, "Aku mengikuti Bara Alvino. Aku tadi kencan dengannya di kafe, dan aku penasaran... Jadi, aku mengikutinya sampai ke rumahnya. Kak, di dalam rumahnya aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan Clara Mahendra."Calvin terdiam. Kemudian, tawa
Mitha Rahadian tidak bisa mengabaikan rasa penasarannya sejak pertemuannya dengan Bara di kafe tadi sore. Ada sesuatu tentang pria itu yang menariknya, bukan hanya karena pesona dinginnya yang misterius, tetapi juga karena aura yang mengelilinginya. Bara Alvino bukan pria biasa, dan Mitha tahu ada sesuatu yang disembunyikannya.Ketika Bara meninggalkan kafe, Mitha diam-diam mengikutinya. Dengan langkah ringan dan gerakan yang terlatih sejak kecil dalam lingkungan keluarga Rahadian, ia berhasil menjaga jarak tanpa menarik perhatian. Bara berjalan santai menuju mobilnya, tidak menunjukkan tanda-tanda menyadari bahwa ia sedang dibuntuti. Mitha segera memanggil sopir pribadinya dan menyuruhnya mengikuti mobil Bara dari kejauhan.Selama perjalanan, Mitha tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Ada sesuatu yang aneh dengan Bara. Selain aura misteriusnya, dia juga tampak selalu waspada. Seolah-olah dia tidak bisa membiarkan siapa pun terlalu dekat dengannya.Setelah hampir tiga puluh menit perja
Langit malam masih gelap ketika Adrian Wijaya berdiri di depan gerbang besar rumah keluarganya. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini ia kembali dengan membawa beban yang lebih besar dari sebelumnya. Ia menatap rumah megah itu, mengingat setiap kenangan yang pernah ia lalui di dalamnya. Malam ini, ia kembali bukan sebagai Adrian yang dulu, melainkan sebagai seseorang yang memiliki misi yang belum terselesaikan.Dengan langkah tegas, Adrian mendorong gerbang dan memasuki halaman rumah. Para penjaga yang melihatnya langsung membelalakkan mata, seolah melihat hantu. Salah satu dari mereka bahkan nyaris menjatuhkan senjata yang dipegangnya."Adrian...?" gumam salah satu penjaga dengan suara gemetar.Adrian tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan melewati mereka, menuju pintu utama. Ia tahu bahwa keberadaannya akan segera diketahui oleh kedua saudaranya, Alan dan Andre Wijaya. Itu hanya soal waktu sebelum mereka muncul dengan seribu pertanyaan yang harus ia hadapi.Saat A