Di sebuah gedung pencakar langit yang tersembunyi dari sorotan publik, Calvin Rahardian duduk dengan santai di atas kursinya. Dari balik jendela kaca besar yang menghadap kota, ia dapat melihat lampu-lampu metropolitan yang bersinar seperti bintang-bintang di malam hari. Namun, bukan keindahan kota yang menarik perhatiannya—melainkan kekacauan yang mulai ia ciptakan.Di meja kerjanya, layar-layar monitor menampilkan berbagai rekaman CCTV, laporan pergerakan keluarga Mahendra dan Wijaya, serta data intelijen yang dikumpulkan oleh anak buahnya.Di sudut ruangan, Gunawan Rahardian, ayah Calvin, duduk sambil menghisap cerutunya. Tatapan pria itu penuh ketajaman, namun ada sedikit keraguan di dalamnya."Calvin," katanya perlahan. "Kau yakin ini adalah langkah yang benar?"Calvin tersenyum tipis. "Ayah, sudah berapa lama kita berada di bayang-bayang dua keluarga besar itu? Keluarga Mahendra dan Wijaya selalu bertarung seperti anjing dan serigala, tapi mereka tidak pernah menyadari bahwa kit
Mobil hitam yang dikendarai Adrian Wijaya melaju kencang di jalanan sepi. Malam terasa begitu sunyi, seolah kota ini menahan napas, menunggu sesuatu yang besar akan terjadi.Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, Adrian mengaktifkan speaker."Apa yang kau pikirkan, Adrian?" Suara Aldo terdengar penuh kemarahan. "Kau gila kalau pergi sendirian! Ini jelas jebakan!""Aku tahu," jawab Adrian dengan suara tenang, meskipun di dalam dadanya, jantungnya berdetak keras. "Tapi aku tidak punya pilihan. Jika aku tidak datang sendirian, mereka mungkin akan menyakiti Clara.""Aku bisa mengirim orang untuk membantumu—""Jangan, Aldo," potong Adrian. "Orang itu ingin aku sendirian. Jika ada orang lain yang ikut, dia tidak akan ragu untuk membunuh Clara. Aku tidak bisa mengambil risiko itu."Di ujung telepon, Aldo terdiam. Namun, napasnya yang berat menandakan betapa marah dan cemasnya dia."Kalau
Calvin Rahardian duduk di kursi mewah di ruangannya, tersenyum puas melihat layar di depannya. Perang antara keluarga Mahendra dan Wijaya sudah semakin dekat, dan ia hanya perlu satu dorongan kecil lagi untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Tak butuh waktu lama sebelum suara Dimas Mahendra terdengar di ujung telepon."Calvin? Kenapa kau meneleponku?" suara Dimas terdengar tajam, penuh kewaspadaan."Om Dimas," Calvin berusaha terdengar khawatir. "Aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan keluarga kalian, tapi aku tidak bisa tinggal diam melihat apa yang terjadi.""Apa maksudmu?"Calvin menarik napas dramatis sebelum menjawab, "Aku menemukan sesuatu yang mengerikan. Clara… anakmu… dia ada di tangan keluarga Wijaya. Aku mendapat informasi bahwa mereka yang menculiknya."Hening di ujung telepon."Kau serius?" suara Dimas ny
Indra Wijaya berdiri di depan jendela ruangannya, menatap malam yang sunyi dengan sorot mata penuh dendam. Kabar bahwa Adrian telah diculik keluarga Mahendra telah menyulut amarahnya hingga puncak. Ia tidak bisa diam saja. Baginya, ini bukan sekadar penculikan, ini adalah penghinaan terhadap keluarganya.Aldo, Andre, Arga, dan Alan lebih impulsif dan menginginkan serangan langsung. Namun, Indra berbeda. Ia tidak hanya ingin membalas dendam, ia ingin memastikan keluarga Mahendra hancur tanpa bisa bangkit kembali.Dengan langkah cepat, ia menghampiri meja kerjanya dan menghubungi orang-orang kepercayaannya. "Siapkan semua informasi yang kita miliki tentang Mahendra. Aku ingin tahu titik terlemah mereka. Keuangan, bisnis, jaringan, bahkan orang-orang terdekat mereka. Aku ingin mereka bertekuk lutut sebelum mereka sadar apa yang terjadi."***Dalam waktu singkat, semua data yang diminta telah berada di tangannya. Indra melihat dengan saksama laporan yang dikumpulkan oleh anak buahnya. Mah
Dimas Mahendra duduk di ruang kerjanya yang luas, ditemani cahaya temaram dari lampu gantung kristal di langit-langit. Kepulan asap cerutunya melayang di udara sementara tatapan matanya terfokus pada layar monitor yang menampilkan data tentang keluarga Wijaya.Kemarahannya masih membara. Adrian Wijaya telah menculik putrinya, Clara. Itu kesimpulan yang sudah ia tanamkan dalam pikirannya, terutama setelah Calvin memberikan bukti rekaman dan laporan saksi mata yang memperkuat tuduhan tersebut.Bagi Dimas, tidak ada lagi ruang untuk negosiasi. Keluarga Wijaya harus dihancurkan.Dimas menoleh ke arah anak buahnya, Rayhan, tangan kanannya yang selama ini selalu setia."Apa yang sudah kau temukan?" tanyanya dengan suara dalam dan dingin.Rayhan, seorang pria berperawakan tegap dengan wajah penuh bekas luka, membuka sebuah map tebal dan meletakkannya di meja Dimas."Kami sudah memetakan semua bisnis utama keluarga Wijaya, termasuk investasi mereka di sektor properti, pertambangan, dan indust
Calvin Rahadian duduk di kursi kulit hitamnya, menyesap segelas anggur merah dengan senyum puas. Di depannya, seorang pria berlutut dengan tangan terikat ke belakang, wajahnya penuh luka lebam. Pria itu adalah Bima Santoso, orang kepercayaan Dimas Mahendra yang selama ini menjadi otaknya dalam operasi keuangan gelap."Kau tahu," ucap Calvin sambil meletakkan gelas anggurnya, "aku sebenarnya tidak punya masalah pribadi denganmu, Bima. Tapi kau terlalu setia pada Dimas Mahendra, dan itu membuatmu jadi ancaman."Bima mengangkat kepalanya dengan lemah, darah menetes dari pelipisnya. "Aku tidak akan pernah mengkhianati Dimas..."Calvin tertawa kecil. "Oh, aku tidak butuh pengkhianatanmu. Aku hanya butuh tubuhmu—lebih tepatnya, mayatmu."Dengan isyarat tangannya, dua anak buahnya mengangkat Bima dan menyeretnya ke tengah ruangan. Di depan mereka, sebuah bak baja berisi air es sudah disiapkan."Tidak!" Bima meronta, tetapi tangan-tangan kekar itu menekannya ke bawah.Calvin berdiri dari kurs
Indra Wijaya duduk di ruang pertemuan mewah di kediamannya, ditemani oleh Aldo dan beberapa orang kepercayaannya. Di hadapannya, Gunawan Rahadian, kepala keluarga Rahadian, duduk dengan sikap tenang dan penuh wibawa. Di sebelahnya, Calvin Rahadian memasang senyum ramah yang sama sekali tidak mencerminkan niat busuknya."Indra," ucap Gunawan dengan nada hangat. "Aku turut berduka atas situasi yang terjadi. Sudah saatnya kita bergandengan tangan untuk menghancurkan keluarga Mahendra."Indra menatap pria itu dengan penuh pertimbangan. Seumur hidupnya, ia tahu bahwa keluarga Rahadian selalu berada di pihak Mahendra. Tapi melihat bagaimana Dimas menyerangnya tanpa ampun, ia mulai berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang berubah."Mengapa kau ingin bekerja sama denganku?" tanya Indra langsung, tidak ingin basa-basi.Gunawan tersenyum. "Dimas Mahendra sudah menjadi ancaman bagi semua orang. Dia menguasai bisnis dengan tangan besi dan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalannya. Keluarg
Sekolah Elite High adalah tempat di mana hanya siswa-siswa terbaik dan terkaya yang bisa masuk. Gedung-gedungnya tinggi, dengan arsitektur modern yang berkilauan di bawah sinar matahari. Setiap pagi, deretan mobil mewah memenuhi area parkir, mengantar para siswa yang seolah hidup di dunia yang terpisah dari kebanyakan orang. Namun, meskipun setiap murid di sini memiliki latar belakang luar biasa, tak satu pun bisa menyaingi daya tarik Lima Wijaya—julukan bagi Aldo, Andre, Arga, Alan, dan Adrian Wijaya.Mereka kembar identik yang menarik perhatian sejak hari pertama masuk sekolah. Penampilan mereka sempurna: wajah simetris dengan rahang tegas, kulit cerah, dan mata gelap yang selalu memancarkan rasa percaya diri. Namun, lebih dari sekadar wajah, aura mereka begitu kuat hingga setiap langkah mereka diikuti oleh tatapan kagum, iri, atau bahkan waspada.Pagi itu, koridor sekolah berubah riuh begitu kelima bersaudara itu berjalan masuk bersama. Meski mereka tampak identik secara fisik, kep
Indra Wijaya duduk di ruang pertemuan mewah di kediamannya, ditemani oleh Aldo dan beberapa orang kepercayaannya. Di hadapannya, Gunawan Rahadian, kepala keluarga Rahadian, duduk dengan sikap tenang dan penuh wibawa. Di sebelahnya, Calvin Rahadian memasang senyum ramah yang sama sekali tidak mencerminkan niat busuknya."Indra," ucap Gunawan dengan nada hangat. "Aku turut berduka atas situasi yang terjadi. Sudah saatnya kita bergandengan tangan untuk menghancurkan keluarga Mahendra."Indra menatap pria itu dengan penuh pertimbangan. Seumur hidupnya, ia tahu bahwa keluarga Rahadian selalu berada di pihak Mahendra. Tapi melihat bagaimana Dimas menyerangnya tanpa ampun, ia mulai berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang berubah."Mengapa kau ingin bekerja sama denganku?" tanya Indra langsung, tidak ingin basa-basi.Gunawan tersenyum. "Dimas Mahendra sudah menjadi ancaman bagi semua orang. Dia menguasai bisnis dengan tangan besi dan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalannya. Keluarg
Calvin Rahadian duduk di kursi kulit hitamnya, menyesap segelas anggur merah dengan senyum puas. Di depannya, seorang pria berlutut dengan tangan terikat ke belakang, wajahnya penuh luka lebam. Pria itu adalah Bima Santoso, orang kepercayaan Dimas Mahendra yang selama ini menjadi otaknya dalam operasi keuangan gelap."Kau tahu," ucap Calvin sambil meletakkan gelas anggurnya, "aku sebenarnya tidak punya masalah pribadi denganmu, Bima. Tapi kau terlalu setia pada Dimas Mahendra, dan itu membuatmu jadi ancaman."Bima mengangkat kepalanya dengan lemah, darah menetes dari pelipisnya. "Aku tidak akan pernah mengkhianati Dimas..."Calvin tertawa kecil. "Oh, aku tidak butuh pengkhianatanmu. Aku hanya butuh tubuhmu—lebih tepatnya, mayatmu."Dengan isyarat tangannya, dua anak buahnya mengangkat Bima dan menyeretnya ke tengah ruangan. Di depan mereka, sebuah bak baja berisi air es sudah disiapkan."Tidak!" Bima meronta, tetapi tangan-tangan kekar itu menekannya ke bawah.Calvin berdiri dari kurs
Dimas Mahendra duduk di ruang kerjanya yang luas, ditemani cahaya temaram dari lampu gantung kristal di langit-langit. Kepulan asap cerutunya melayang di udara sementara tatapan matanya terfokus pada layar monitor yang menampilkan data tentang keluarga Wijaya.Kemarahannya masih membara. Adrian Wijaya telah menculik putrinya, Clara. Itu kesimpulan yang sudah ia tanamkan dalam pikirannya, terutama setelah Calvin memberikan bukti rekaman dan laporan saksi mata yang memperkuat tuduhan tersebut.Bagi Dimas, tidak ada lagi ruang untuk negosiasi. Keluarga Wijaya harus dihancurkan.Dimas menoleh ke arah anak buahnya, Rayhan, tangan kanannya yang selama ini selalu setia."Apa yang sudah kau temukan?" tanyanya dengan suara dalam dan dingin.Rayhan, seorang pria berperawakan tegap dengan wajah penuh bekas luka, membuka sebuah map tebal dan meletakkannya di meja Dimas."Kami sudah memetakan semua bisnis utama keluarga Wijaya, termasuk investasi mereka di sektor properti, pertambangan, dan indust
Indra Wijaya berdiri di depan jendela ruangannya, menatap malam yang sunyi dengan sorot mata penuh dendam. Kabar bahwa Adrian telah diculik keluarga Mahendra telah menyulut amarahnya hingga puncak. Ia tidak bisa diam saja. Baginya, ini bukan sekadar penculikan, ini adalah penghinaan terhadap keluarganya.Aldo, Andre, Arga, dan Alan lebih impulsif dan menginginkan serangan langsung. Namun, Indra berbeda. Ia tidak hanya ingin membalas dendam, ia ingin memastikan keluarga Mahendra hancur tanpa bisa bangkit kembali.Dengan langkah cepat, ia menghampiri meja kerjanya dan menghubungi orang-orang kepercayaannya. "Siapkan semua informasi yang kita miliki tentang Mahendra. Aku ingin tahu titik terlemah mereka. Keuangan, bisnis, jaringan, bahkan orang-orang terdekat mereka. Aku ingin mereka bertekuk lutut sebelum mereka sadar apa yang terjadi."***Dalam waktu singkat, semua data yang diminta telah berada di tangannya. Indra melihat dengan saksama laporan yang dikumpulkan oleh anak buahnya. Mah
Calvin Rahardian duduk di kursi mewah di ruangannya, tersenyum puas melihat layar di depannya. Perang antara keluarga Mahendra dan Wijaya sudah semakin dekat, dan ia hanya perlu satu dorongan kecil lagi untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Tak butuh waktu lama sebelum suara Dimas Mahendra terdengar di ujung telepon."Calvin? Kenapa kau meneleponku?" suara Dimas terdengar tajam, penuh kewaspadaan."Om Dimas," Calvin berusaha terdengar khawatir. "Aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan keluarga kalian, tapi aku tidak bisa tinggal diam melihat apa yang terjadi.""Apa maksudmu?"Calvin menarik napas dramatis sebelum menjawab, "Aku menemukan sesuatu yang mengerikan. Clara… anakmu… dia ada di tangan keluarga Wijaya. Aku mendapat informasi bahwa mereka yang menculiknya."Hening di ujung telepon."Kau serius?" suara Dimas ny
Mobil hitam yang dikendarai Adrian Wijaya melaju kencang di jalanan sepi. Malam terasa begitu sunyi, seolah kota ini menahan napas, menunggu sesuatu yang besar akan terjadi.Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, Adrian mengaktifkan speaker."Apa yang kau pikirkan, Adrian?" Suara Aldo terdengar penuh kemarahan. "Kau gila kalau pergi sendirian! Ini jelas jebakan!""Aku tahu," jawab Adrian dengan suara tenang, meskipun di dalam dadanya, jantungnya berdetak keras. "Tapi aku tidak punya pilihan. Jika aku tidak datang sendirian, mereka mungkin akan menyakiti Clara.""Aku bisa mengirim orang untuk membantumu—""Jangan, Aldo," potong Adrian. "Orang itu ingin aku sendirian. Jika ada orang lain yang ikut, dia tidak akan ragu untuk membunuh Clara. Aku tidak bisa mengambil risiko itu."Di ujung telepon, Aldo terdiam. Namun, napasnya yang berat menandakan betapa marah dan cemasnya dia."Kalau
Di sebuah gedung pencakar langit yang tersembunyi dari sorotan publik, Calvin Rahardian duduk dengan santai di atas kursinya. Dari balik jendela kaca besar yang menghadap kota, ia dapat melihat lampu-lampu metropolitan yang bersinar seperti bintang-bintang di malam hari. Namun, bukan keindahan kota yang menarik perhatiannya—melainkan kekacauan yang mulai ia ciptakan.Di meja kerjanya, layar-layar monitor menampilkan berbagai rekaman CCTV, laporan pergerakan keluarga Mahendra dan Wijaya, serta data intelijen yang dikumpulkan oleh anak buahnya.Di sudut ruangan, Gunawan Rahardian, ayah Calvin, duduk sambil menghisap cerutunya. Tatapan pria itu penuh ketajaman, namun ada sedikit keraguan di dalamnya."Calvin," katanya perlahan. "Kau yakin ini adalah langkah yang benar?"Calvin tersenyum tipis. "Ayah, sudah berapa lama kita berada di bayang-bayang dua keluarga besar itu? Keluarga Mahendra dan Wijaya selalu bertarung seperti anjing dan serigala, tapi mereka tidak pernah menyadari bahwa kit
Clara berusaha menenangkan napasnya. Ruangan sempit yang gelap ini membuatnya sulit berpikir jernih. Tangannya masih terikat di belakang kursi, dan setiap gerakan kecil menyebabkan pergelangannya terasa perih karena gesekan tali.Di hadapannya, pria bertopeng yang baru saja berbicara menatapnya tajam. Namun, dari cara dia berdiri, dari cara dia berbicara, Clara bisa merasakan sesuatu yang aneh—seolah pria ini tidak sekadar ingin menahannya, tetapi lebih dari itu."Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" suara Clara serak, tetapi penuh keberanian.Pria itu tertawa kecil, lalu menarik kursi dan duduk di hadapannya."Yang kami inginkan?" katanya, menyandarkan tubuhnya santai. "Kami hanya ingin menyaksikan dua keluarga paling berkuasa di kota ini saling menghancurkan."Mata Clara membelalak."Apa maksudmu?"Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya merendah seolah sedang membisikkan rahasia besar."Clara Mahendra… kau tidak sadar, bukan?" Ia tersenyum samar. "Selama ini, ka
Di tengah malam yang gelap dan sunyi, sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan kota. Di dalamnya, Dimas Mahendra, pria berusia 45 tahun dengan wajah dingin dan sorot mata tajam, duduk di kursi belakang, kedua tangannya mengepal dengan kuat di atas lututnya.Di hadapannya, seorang pria bertubuh kekar dengan setelan jas hitam sedang melaporkan sesuatu melalui telepon."Tuan, kami telah menyisir beberapa lokasi yang mungkin menjadi tempat Clara dibawa, tetapi sejauh ini hasilnya nihil."Dimas menghembuskan napas panjang, menahan amarah yang berkecamuk di dadanya."Dia tidak mungkin hilang begitu saja. Cari lagi. Gunakan semua koneksi kita. Aku tidak peduli berapa pun biayanya, aku ingin putriku ditemukan malam ini juga," suaranya penuh ancaman."Tapi, Tuan..." pria itu tampak ragu. "Ada kemungkinan besar bahwa ini bukan hanya soal penculikan biasa. Kami menemukan indikasi bahwa keluarga Wijaya juga sedang mencari Clara."Mata Dimas menyipit tajam."Wijaya?" desisnya d