Bertempat di kediaman milik Jingga dan keluarganya dalam suatu perumahan kota metropolitan, tampak seorang wanita berusia hampir mencapai setengah abad sedang berada di depan kompor gas. Dia sedang memanggang selembar roti gandum di atas frying pan setelah diolesi mentega. Bersama sosis ayam yang masih dalam keadaan segar, dia akan memanggangnya secara terpisah.
Tidak jauh dari wanita itu, ada seorang lelaki muda yang berada di meja makan. Mulutnya sedang mengunyah roti bakar yang telah dioles selai cokelat sebagai pembuka selera makan pada pagi hari. Dia yang mengenakan seragam SMA sebentar lagi akan berangkat, maka terlebih dahulu pula dia mengisi tenaga. Siswa SMA yang tidak mengenakan nametag di seragamnya duduk sambil mengangkat kaki di atas dudukan kursi.
Wanita itu berbalik badan dengan membawa roti sosis beserta roti panggang lain yang sudah dimasak sebelumnya. Makanan itu dihidangkan di atas meja makan yang telah dialasi piring. “Chan! Kakakmu belum keluar?” tanyanya yang memulai pagi hari dengan wajah heran.
Siswa yang dipanggil itu menggelengkan kepala. Dia bernama Chandra yang merupakan siswa baru di SMA Bakti Kusuma. “Dari tadi dia belum keluar, Bu, dari kamar mandi. Gak tau tuh ngapain aja,” jawabnya yang langsung menggigit seperempat bagian roti cokelat ke dalam mulut. Menjelaskan keberadaan sang kakak―Jingga.
Wanita yang dipanggil ibu oleh dua insan itu mendesah lelah. Sembari mempertanyakan apa saja yang dilakukan si objek pembicaraan jauh di sana. “Kalau mau roti lagi, ambil aja yang paling atas. Atau kalau mau dibawa bekal juga,” ucapnya sebelum membiarkan kakinya melangkah mengikuti irama. Dia pergi meninggalkan Chandra sendirian.
Kakinya sudah menempuh belasan anak tangga, tetapi sampai sekarang belum terdengar gaungnya. Setelah mencapai lantai atas, dia mendekati sebuah ruangan yang tidak jauh dari tangga. Rumah dua lantai ini menjadi saksi bisu akan aktivitas pada pagi ini. Pintu ruangannya masih tertutup rapat. Kemudian pintu diketuk sebanyak tiga kali. “Jingga?” serunya.
Insan yang dipanggil namanya tidak menjawab. Keadaan di dalam ruangan sangat hening ketika diteliti lebih jauh lagi. Tidak ada jawaban pula, ibu memutuskan untuk meraih gagang pintu yang ternyata tidak dikunci.
Seperti yang diduga, Jingga tidak ada di atas ranjang tidurnya. Sementara itu, suara guyuran air terdengar dari ruangan lain di dalam kamar. Sudah pasti sang puan yang dicari berada di dalam sana. Tetapi yang menarik perhatian ibu adalah kondisi ranjang tidur yang berantakan dan seperti tidak dirapikan berhari-hari.
Melihat keadaan yang tak ubah seperti kapal pecah, ibu berniat ingin membereskan tempat tidurnya dengan rapi seperti sedia kala. Tapi saat baru saja mengangkat selimut tebal, satu buku catatan kecil terlempar ke atas ranjang bersama pulpen. Dia menghentikan aktivitasnya untuk mencari tahu benda apa yang berhasil menarik atensi.
Membawa rasa penasaran, dia mengulurkan tangan ke depan untuk meraih catatan kecil milik sang puan yang sampai saat ini belum tahu kejadian sebenarnya. Ketika membaca tulisan sang puan, dia mengerutkan kening. Tulisan itu berisi nama-nama orang yang tampak asing di ingatannya kecuali nama Jingga. Ada juga sebuah tanda tanya yang justru menimbulkan tanda tanya besar.
“Bu?” Bersamaan dengan bunyi pintu yang ditutup, suara Jingga dari arah sebaliknya terdengar. Saat ibu menoleh, gadis itu keluar dengan baju lengan panjang dan mengalungkan handuk kecil di leher. Rambutnya juga basah dan sebentar lagi akan dikeringkan.
“Ini siapa?” tanya ibu yang langsung mengawali pembicaraan di antara dirinya dan Jingga. Dia mengangkat catatan bermaksud menunjukkannya ke sang puan.
“Itu nama mereka yang akan bertemu denganku,” jawab Jingga yang tampak tidak tertarik untuk membahasnya. Tanpa membawa rasa bersalah, dia bergerak ke nakas untuk menyalakan pengering rambut.
“Kamu bermimpi seperti itu lagi?”
Jingga mengangguk. Pengering rambut yang kini mengeluarkan uap panas seakan-akan mengucapkan salam perkenalan kepada rambut yang butuh perawatan. Dia mengeringkan rambut bagian kiri terlebih dahulu. Dia membalas, “Hampir tiap hari.”
Ibu bergerak dari tempatnya menuju Jingga yang duduk di depan kaca. Wanita itu membantunya mengibas-ngibas helaian rambut yang belum kering. “Kan sudah kubilang kalau mimpi itu lagi, kamu sebaiknya abaikan saja.”
“Terus, salahkah kalau melihat mereka dalam mimpi? Karena menurutku kalau semakin diabaikan, mimpi itu akan datang lagi dan menggangguku tanpa henti. Aku akan terus melihat hal yang sama sampai aku muak dengan itu,” ujar Jingga yang memiliki pendapat berbeda dengan ibu. Dia memiliki alasan yang membuatnya tidak bisa mengikuti kemauan wanita itu.
“Tapi bagaimana kalau ibu yang muak? Kamu seperti terobsesi dengan mimpi itu dan mungkin orang lain akan menganggapmu tidak normal. Ibu hanya ingin kamu bisa hidup seperti orang lain. Gak bisakah?”
Jingga memutar kepala setelah mendengar tuturan ibunya. “Bu! Gimana bisa ibu menganggapku gak normal seolah aku lahir dari dunia lain. Padahal kalau aku memiliki kemampuan ini atau tidak, gak bakal ada perubahan. Aku tahu bagaimana aku mengurusi hidupku sendiri,” ujarnya dengan nada tidak percaya.
“Tapi kamu gak keganggu?”
Jingga terdiam. Dia sadar kalau ibunya butuh penjelasan lebih jauh. Sudah diingatkan berkali-kali tentang hal yang sama, dia sudah lelah. Dia ingin meluruskan apa yang membuat ibunya salah paham. Oleh karena itu, dia memberi sebuah pelukan hangat kepada wanita yang sangat disayangi dalam hidupnya. “Aku juga terganggu, Bu, tapi aku tahu cara menanganinya. Pasti ada alasan kenapa hanya aku yang bisa membaca masa depan. Pasti ada hal yang harus kuselesaikan di dunia ini makanya aku jadi gini. Ini sudah takdirku, ini juga anugrah dari Tuhan. Aku hanya bisa menerimanya dengan lapang dada.”
“Kamu yakin?”
“Aku yakin. Percaya aja denganku.”
“Baiklah. Aku bisa tenang setelah ini,” jawab ibu yang kini bisa merasa lebih tenang setelah diyakinkan sang putri tertua dalam silsilah keluarganya. Dia sadar gadis itu sudah dewasa dan tahu bagaimana menjalani hidup di dunia luar.
*
Halte bus pada 35 menit sebelum pukul tujuh pagi biasanya selalu ramai dipadati penumpang yang ingin naik bus kota. Ada karyawan kantor yang masuk pagi, ada murid-murid sekolah, ada juga guru dan tenaga pengajar lain yang selalu datang pagi. Termasuk juga Jingga dan Chandra yang baru saja berada di kawasan pemberhentian.
Bus Transjakarta selalu diramaikan penumpang setiap hari. Bus itu selalu beroperasi tanpa henti mengelilingi Jakarta yang sudah seperti kota maju di masa depan. Akhir pekan juga tidak dapat dielakkan. Selain bus, ada juga warga kota yang menggunakan kendaraan pribadi. Bagi keluarga yang lebih suka menghemat uang, mereka memilih menggunakan kendaraan umum dengan alasan praktis.
Kakak adik itu kemudian berhenti setelah menjejakkan kaki di halte, bergabung bersama warga lain. Jingga menengok ke sisi kiri dan kanan untuk mencari bangku, tapi tidak ada lagi yang tersisa. “Pulang nanti lo bisa sendiri ‘kan?” tanyanya yang mengajak Chandra bicara setelah obrolan dari perumahan tadi.
“Bisa kok. Sebenarnya lo juga gak perlu anterin gue sampai sini,” balas Chandra. Pada saat yang sama, bus berwarna biru laut baru saja terlihat di dekat pemberhentian.
“Daripada gue diomelin ‘kan,” ujar Jingga yang juga bisa melihat sebuah objek yang sama. Tidak butuh waktu lama, bus berhenti. Dia melanjutkan pertanyaan, “Duit lo?”
“Udah ada kok.”
Punggung Chandra kemudian menghilang dari pandangan setelah naik ke bus. Jingga tidak bisa lagi melihat adiknya yang tidak tahu duduk di bangku bagian mana. Tidak lama setelah itu, pintu bus tertutup dan menjauh dari pemberhentian. Meninggalkan Jingga yang kini sendirian.
Niatnya setelah mengantar Chandra adalah segera pulang. Oleh karena itu, dia berjalan kaki menyusuri bahu jalan sebelum tiba di gerbang perumahan yang tidak jauh dari halte. Di hadapan, dia melihat beberapa pejalan kaki dan seseorang yang mengendarai sepeda ke arahnya. Setelah sempat berpapasan, dia dan pemilik sepeda saling membelakangi.
Terdengar suara rem mobil yang bergeser dengan bahu jalan, beserta suara benda terjatuh dengan keras. Jingga mendadak berhenti di tempat, lalu menoleh ke arah belakang. Di persimpangan, orang yang mengendarai sepeda tadi mengalami kecelakaan karena ditabrak mobil yang melintas dari arah simpang. Ban sepedanya hampir masuk ke bawah mobil, namun pemiliknya tergeletak di jalan raya. Akibat kecelakaan itu, semua kendaraan menepi di bahu jalan.
Beberapa warga yang kebetulan melintas di sana mulai mengerubungi pengguna sepeda tersebut. Seperti kawanan semut yang ketumpahan gula. Beberapa di antaranya ada yang berseru kaget dan mengucapkan rasa iba.
“Hai, Cantik!”
Bersamaan dengan suara berat dari seorang lelaki, kecelakaan yang terjadi tadi menghilang dalam satu kedipan mata. Seolah kecelakaan itu tidak pernah ada. Itu adalah bagian dari masa depan yang dilihat Jingga beberapa saat kemudian.
Jingga kembali memutar kepalanya ke arah semula. Seseorang yang mengendarai sepeda tahu-tahu saja sudah berada di depan mata untuk menyapanya. Perawakannya mirip seperti pemuda yang kecelakaan tadi. Gadis itu tidak menjawab.
“Abis anterin adik lo ya?” ujar pemuda itu lagi yang kemudian menaikkan sudut bibir dan menatap sang puan dengan sorot mata cerah. Jingga menganggukkan kepala tanpa bersuara. Dia melanjutkan, “Lo pasti mau pulang ‘kan? Mau dianterin?”
Jingga menggelengkan kepala, menolak tawarannya. “Makasih atas tawarannya, tapi gue bisa pulang sendiri.”
Pemuda itu kemudian menaikkan kaki sepeda. “Kalau gitu, gue cabut dulu ya. Lo juga hati-hati. Entar lo digodain lagi sama mas-mas freak di sana,” ucapnya yang mengingatkan Jingga akan beberapa hal sebelum pamit.
Jingga tidak menjawab lagi. Dia sudah memutar badan dan melanjutkan langkahnya untuk pulang ke rumah.
“Ngomong-ngomong …,”
Jingga berhenti. Dia kembali menoleh ke pemuda itu yang rupanya belum beranjak dari tempat. Pemuda itu berkata, “Nama lo Jingga ‘kan? Gue gak sengaja dengar obrolan lo sama Pak Satpam perumahan itu.”
“Iya, gue Jingga.”
Pemuda itu tersenyum lebar. “Nama lo cantik ya, seperti orangnya. Kenalin juga. Nama gue Justin,” ucapnya dengan semangat lalu pergi. Sepeda yang dia kayuh semakin jauh dari sang puan.
“Please, jangan pergi ke sana.” Dari benak hati, Jingga yang sudah tahu apa yang akan terjadi berteriak sekuat hati. Tetapi yang bisa dia lakukan adalah diam di tempat. Sadar kalau dia tidak akan bisa mengubah apa pun, dia berbalik badan dan menjauh dari halte.
Seperti kenyataan, Justin ditabrak oleh pengendara mobil yang datang dari arah persimpangan. Tubuhnya terpental dari sepeda. Darahnya keluar dari kepala saat punggungnya baru saja menyentuh aspal jalan. Dia masih bisa melihat langit yang hari ini ditemani awan tebal sebelum matanya terpejam.
Di sisi lain, Jingga yang semakin menjauh tiba-tiba menitikkan air mata. Dia tahu kecelakaan itu akan terjadi, tetapi dia tidak bisa mencegahnya bahkan meminta Justin untuk kembali. Dia sadar pemuda itu tidak bisa terpisah dari takdir yang sudah diputuskan. Pemuda itu tetap meninggal dunia setelah mengetahui namanya. Bisa melihat masa depan baginya bukan berarti bisa mengubah masa depan.
***
Di koridor sebuah gedung yang memiliki sekitar delapan ruangan dalam satu lantai, tampak seorang lelaki yang mengenakan kacamata dan kemeja kotak-kotak yang dimasukkan dalam celana kain sedang bersembunyi di balik tembok. Dia sedang mengamati keadaan lorong yang saat itu dipadati orang lain―yang mondar-mandir untuk mencari ruang kuliah. Menjauh dari keramaian, dia ingin memastikan sesuatu sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dari lantai utama. Ada yang membuatnya khawatir jauh di sana.Bertempat di Universitas Jaya―kampus milik swasta yang berlokasi di pusat kota Jakarta―para mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikan memadati dua gedung utama. Gedung yang berhadapan langsung itu adalah gedung fakultas lain. Sedangkan fakultas di sini khusus untuk Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kesenian. Tiap gedung memiliki lima lantai yang bisa diisi sampai dua departemen.Setelah memastikan kalau keadaan di seberang aman, dia bernapas lega. Kalau keadaan seperti ini setiap hari, hidup
Di supermarket yang ada di bagian Jakarta bernama Batavia Market, Jingga yang berada di sana mengikuti punggung seseorang di belakang. Tujuan dia datang ke sini adalah karena permintaan ibu. Menjelang sore, dia diminta pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan dapur yang sudah habis atau hampir habis. Karena barang yang dibeli tidak hanya berjumlah satu buah saja, dia mengendarai motor matic yang selalu diparkir di garasi rumah bersama sebuah mobil.Tempat ini setiap hari selalu ramai. Apalagi kalau menjelang malam, maka padatnya tidak akan terkira. Jingga juga sudah mengantisipasi kejadian itu, makanya dia keluar sebelum malam. Kalau ditunda sekarang juga, kemacetan di jalan tidak akan bisa dihindari.Kini, sang puan berada di rak bagian minyak goreng dengan membawa keranjang berisi bawang putih. Dia diminta untuk membeli minyak goreng ukuran sedang, namun ukuran yang dicari sekarang tidak terlihat di depan mata. Satu rak panjang itu tetap menjadi fokus utama.Niatnya, dia ingin
Sebuah mobil berwarna putih diparkir di halaman depan rumah yang besar dan hanya memiliki satu lantai saja. Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dimasukkan dalam celana baru saja keluar dari mobil yang dikendarainya. Di tangan, dia membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan segar yang dibeli sebelum ke sini. Langkah kakinya menuju ke arah pintu rumah yang saat ini tertutup rapat. Dari luar, rumah itu seperti tidak berpenghuni. Lelaki itu berhenti di depan daun pintu. Satu tangannya kemudian menekan bel yang sejajar dengan gagang pintu. Bel berdering tiga kali yang bisa didengar dari dalam rumah. Dia hanya menunggu pemilik rumah yang membukakan pintu untuknya. Dia sangat yakin kalau pemilik rumah pasti ada di naungannya. Tidak lama kemudian, gagang pintu bergerak. Pintu terbuka setengahnya, kemudian muncul seorang laki-laki hidung mancung yang kelihatan dari balik pintu. Rupa wajahnya hampir seiras dengan lelaki yang mengenakan kemeja putih tersebut. Jika d
Menempuh seribu langkah dengan berlari dan membawa perasaan yang tidak tenang, Jingga menyusuri bahu jalan sambil sesekali memutar arah kepala ke belakang. Dia sedang panik dan butuh diselamatkan seseorang yang berbaik hati menawarkannya bantuan. Napasnya juga tersengal-sengal karena harus menggunakan energinya lebih sering.Sepertinya ide untuk meminta bantuan akan terasa sia-sia saja jika dilakukan. Suasana di kota sekarang amat sepi dan mencekam. Tidak ada orang, tidak ada kendaraan darat, bahkan tidak ada toko yang buka. Kota ini tampak seperti kota mati yang tidak dihuni warganya karena pindah ke daerah lain.Alasan gadis itu berlari seperti dikejar anjing adalah karena sosok yang sedang mengejarnya di belakang. Ketika pandangannya berputar lagi ke arah belakang, sosok bertudung hitam dari atas kepala hingga ujung kaki mengejarnya. Tanpa mengenal kata ampun pula padahal gadis itu sudah merasa lelah. Dia tadinya ingin berhenti dan menyerahkan diri, namun kala melih
Pemandangan yang gelap gulita beberapa saat sebelumnya perlahan semakin terang, hingga menyilaukan mata. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah kaki yang disertai suara pijakan ranting kayu. Suara itu muncul bersamaan hingga kesadaran seseorang terpanggil kembali.Jingga membuka dua mata dan menyesuaikan diri dengan cahaya. Dia yang mencoba mengumpulkan kesadarannya baru saja menyadari kalau kepalanya tadi bersandar di bahu seseorang. Melihat ke arah samping, dia mendapati Jeslyn yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.Masih membawa rasa penasaran, Jingga memutar kepala ke belakang. Bukan hanya dirinya saja, tapi dia bersama enam orang yang terjebak di lapangan terbuka bahkan tidak tahu keberadaannya. Ada Irene, Rama, Devin, Alden dan seorang gadis dengan baju lengan panjang. Persis di dalam mimpi.Di lapangan ini dibatasi beragam pohon bercabang seperti hutan. Mereka yang tidak mengenal satu sama lain sudah jelas kebingungan. Mereka jug
Menyusul Jingga yang masih membawa kantung kertas di belakang, Alden yang menjelang sore itu berada di kawasan Perumahan Nusantara. Setelah pertemuan tidak biasa yang terjadi di lapangan terbuka beberapa saat sebelumnya, lelaki yang bahunya sama tinggi dengan puncak kepala Jingga menawarkan diri untuk pulang bersama. Ketika ditanya, alasannya adalah dia ingin mengunjungi rumah sang puan dan bertemu orang tuanya.Alasan lain yang lebih masuk akal sebenarnya adalah dia ingin melihat-lihat keadaan perumahan itu sekarang. Sekaligus bernostalgia dan mengingat kenangannya yang pernah tinggal di sini waktu kecil. Dia lahir dan dibesarkan bersama lingkungan sekitar dan warga Perumahan Nusantara. Oleh karena itu, dia bisa berteman akrab dengan Jingga sampai masuk SMP.Seperti sekarang saat membuntuti sang puan di belakang. Dia sedang mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Selama pengamatan, dia sadar kalau kondisi perumahan ini sudah jauh berbeda dibandingkan keadaan beberapa t
Saat jarum pendek jam dinding menunjuk ke angka empat dan jarum panjang naik sedikit dari angka sembilan, Devin baru saja keluar dari kamar kecil di dalam ruang tidurnya. Dia yang sendirian sedang melangkahkan kaki menuju cermin yang berada di sebelah lemari. Melalui pantulan cermin, dia melihat bayangan dirinya yang kini dengan sorot mata cerah dan bibir yang tidak kering. Mirip seperti bunga yang baru mekar.Dia saat ini tinggal sendirian di dalam rumah. Kevin yang biasa menemaninya saat sang kepala keluarga di luar kota tidak terlihat untuk sementara waktu. Dia juga baru saja mendapat kabar kalau besok ayahnya pulang, dan besok juga Kevin harus pulang ke Bekasi.Dia yang sedang bercermin sekarang menatap bayangan dirinya dengan wajah bingung. Ada yang berbeda dan itu membingungkan pikiran yang mungkin butuh waktu lama untuk bisa mencerna segala kejadian. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, makanya saat keluar dari kamar mandi tadi dia butuh jawaban pasti.
Pulang dari halte bus, Jingga sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang terletak di komplekas perumahan persis di pusat kota. Bagi warga Jakarta, mencari tempat tinggal dengan harga yang terjangkau bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Semuanya bisa ditemukan dengan mudah, dibantu pula dengan internet yang semakin canggih. Di perumahan itu sendiri, hampir semua kepala menitipkan anggota keluarga. Bulan depan pula mereka akan kedatangan tetangga baru.Setelah mengantarkan Alden ke pemberhentian bus, dia langsung pulang ke rumah tanpa memikirkan tujuan lain. Di dalam kepala, dia sudah membayangkan apa yang akan dilakukan. Hal yang paling utama adalah mandi dan membersihkan diri setelah berada di luar rumah hampir seharian. Dia juga sudah memikirkan kalau dia akan tidur sebentar setelah mandi. Membayangkan rencana indah itu membuat jantungnya berdebar dan tidak sabar menanti.Dia yang sudah masuk ke halaman depan rumah mengulurkan tangan ke arah gagang pintu yan
Dalam rangka merayakan berbagai hal yang telah terjadi satu minggu belakangan ini, anggota Fantasy Club mengundang Sagara dan Caraka untuk hadir pada acara makan malam di sebuah restoran bintang lima. Tempat ini diundang khusus oleh Rama yang ingin menghabiskan waktu dengan kemewahan, serta dia juga kenal pemiliknya. Papanya berteman baik dengan pemilik restoran. Oleh karena itu, dia bisa datang kapan saja yang dia inginkan.Di tengah-tengah mereka, ada juga Leo yang duduk di sebelah Irene dan sedang mengobrol bersama Irene. Kini, sang puan sudah resmi menjadi kekasihnya dan hal itu tidak perlu ditutupi lagi. Mereka juga sebentar lagi akan melangsungkan resepsi pernikahan yang diadakan di Hotel Sanjaya, hotel bintang lima yang sering menjadi tempat pesta pernikahan. Mereka juga diundang agar datang. Makanya mereka berkumpul salah satunya merayakan kabar tersebut.Di antara anggota Fantasy Club, Irene menjadi orang pertama yang akan memiliki pasangan sehidup semati. Tid
Jingga yang mengikuti jejak berdasarkan penglihatan masa lalu kini berakhir di halaman belakang SMA Bina Bangsa. Dia mendadak berhenti di sana karena tidak melihat apa pun lagi yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan Leo. Di situasi seperti ini, dia harus memutar otak untuk menemukan berbagai macam cara yang digunakan Willy, orang yang memiliki kemampuan bayangan.Untuk kali ini, dia menemukan titik buntu. Menyentuh apa pun tidak membantu. Dia sudah mencobanya sendiri dengan menyentuh seluruh permukaan yang menjadi saksi bisu. Di sini, hampir tidak ada benda mati kecuali tumbuhan dan hewan kecil.“Gue pasti kelewatan sesuatu,” tuturnya berbicara sendiri. Dia yakin pasti ada yang dia lewatkan, hanya saja dia tidak sadar. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mencari kembali.Di tengah pencarian, dia mendengar suara hewan mengaum yang memiliki suara menggelegar datang dari arah seberang. Dia menoleh sebentar dan berhenti melakukan pencarian untuk
Aroma embun pagi yang masih menguar kala mentari masih seperempat di ufuk timur akan terasa lengkap jika bersama satu cangkir kopi. Oleh karena itu, Leo yang baru hadir di kantor guru ingin menemani hari bersama kopi. Selain menjadi pasangan yang cocok untuk menghabiskan waktu, kopi juga bisa menambah energi walau tidak banyak seperti satu cangkir minuman gandum.Setelah menyapa beberapa guru yang berada di meja untuk guru piket, dia melangkahkan kaki menuju dapur kecil yang letaknya ada di sebelah ruang staf TU. Ruang itu diapit juga oleh tangga yang membawa murid SMA Bina Bangsa ke lantai dua di mana ada ruang kelas. Selain guru, dia juga membalas sapaan para murid yang kebetulan lewat di sana.Mengulurkan tangan ke gagang pintu, dia mendorong pintu ke depan lalu masuk tanpa pikir dua kali. Punggungnya menghilang dari balik pintu ketika pintu ditutup. Di saat itu, dia mendadak berhenti di tempat. Matanya membulat dan membeku. Dia tampak tidak bisa berkata-kata ketika
Gara-gara Devin yang mendadak tumbang seperti pohon, latihan pada sore ini berakhir dengan cepat. Dia dibawa ke dalam rumah Sagara, tepatnya di sebuah ruangan gelap yang hampir tidak memiliki celah udara. Dia kembali ke tempat ini lagi setelah berkunjung beberapa bulan sebelumnya dengan masalah yang hampir sama.Dia yang harus ditangani sudah duduk dengan meluruskan kaki di kursi relaksasi yang telah disediakan. Caraka yang bertugas menanganinya duduk di kursi kecil yang terletak di samping kursi relaksasi. Lelaki itu sedang dilakukan pemijatan agar dia mengantuk dan dibawa ke dunia alam bawah sadar. Mereka akan berhasil terhubung jika Devin sudah memejamkan mata dan tidur.Sementara itu, anggota Fantasy Club beserta Leo memperhatikan proses tersebut dari luar. Mereka bisa melihat dengan jelas melalui kaca tembus pandang. Sagara juga ada di luar sekaligus untuk mengawasi mereka. Walau latihan telah berakhir, tetapi mereka belum pulang ke rumah masing-masing. Mereka mal
Satu hari setelah memulai hubungan, Rama dan Jeslyn tidak ragu menunjukkan bagaimana perasaan mereka di depan orang lain. Bahkan mereka secara terang-terangan saling menggenggam tangan saat baru muncul di halaman belakang rumah Sagara untuk latihan. Aksi itu tentu saja mengundang atensi anggota lain yang melihat langsung dengan mata sendiri.Di detik itu juga, mereka berseru dengan berbagai macam reaksi. Ada yang senang, namun ada juga yang mengejek. Gara-gara itu, Sagara dan Caraka juga ikut memperhatikan hal macam apa yang terjadi. Leo juga mengalihkan pandangan ke arah yang sama.“Dih! Dalam rangka apa nih pegang-pegangan tangan?” seru Jingga yang tidak pernah mengenal kata kalem, apalagi ketika melihat sesuatu yang menarik di depan mata. Dia sebagai orang pertama yang melihat kejadian langka selama bertemu adalah orang pertama yang juga memberi celetukan.“Jangan bilang dalam rangka 17-an,” celetuk Alden yang menyambut dengan baik pen
Berkat bertemu Purnama yang mengenalkan diri sebagai senior Fantasy Club, Devin kini dibawa ke ruko milik pria itu. Dia juga diminta untuk berbaring di kasur yang telah disediakan pemilik rumah supaya bisa memulihkan diri. Untung saja, kejadian di pasar malam tadi tidak menimbulkan kehebohan bagi warga sekitar. Semuanya seolah-olah sudah lupa dalam waktu singkat. Seolah-olah juga tadi tidak ada kejadian aneh.Sepanjang jalan, Purnama memperkenalkan diri dan memberi tahu semua identitas pribadi yang tidak diketahui orang lain. Sebagai anggota Fantasy Club, dia juga memberi tahu kekuatannya. Dia bisa memindahkan orang ke dimensi lain dengan keadaan yang sama. Sagara juga pernah meminta bantuannya saat mengumpulkan mereka setahun yang lalu. Makanya mereka bisa bertemu.Sementara Mentari yang ada di samping Devin tidak berniat meninggalkannya. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan erat, walau Devin tadi sudah meminta agar tidak khawatir. Akan tetapi, tetap saja sang pua
Berdasarkan rencana yang telah disusun beberapa menit sebelum acara, Devin dan Mentari sudah berada di dalam mobil yang dikendarai sendiri oleh Devin dari rumah. Dia sudah mengantongi izin dari papanya dan sudah memberi alasan jelas pula. Makanya dia tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi dan sampai minta izin kepada sopir pribadi papanya. Dia bisa membawa mobil itu dengan bebas, asalkan sudah ada tujuan dari awal.Berada di perjalanan, mereka rencananya ingin menghabiskan waktu di pasar malam. Kebetulan di akhir pekan ini tidak ada pertemuan lagi dengan anggota Fantasy Club. Juga mereka punya banyak waktu kosong. Oleh karena itu, mereka memutuskan berkencan di sana sampai menjelang tengah malam.Mengisi keheningan, Devin yang menyetir sedang menggumamkan lagu yang diputar melalui pemutar musik bawaan dari mobil. Dia tampaknya hafal keseluruhan nada dari lagu tersebut, walau ada yang sumbang. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah. Sorot matanya juga pada sore ini tampak cer
Selama lebih kurang 2 jam latihan untuk meningkatkan kemampuan, latihan itu sebentar lagi akan berakhir. Oleh karena itu, Sagara meminta mereka semua berkumpul di satu tempat untuk menyampaikan beberapa patah kata sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang juga tidak memiliki hal lain lagi ikut berbaris.“Sejauh yang kuamati, latihan kalian tadi sudah bagus. Hanya saja kalian perlu mengasah kemampuan itu lagi. Tadi aja masih ada yang kurang sampai aku harus turun tangan,” ujar Sagara menerangkan kesimpulan latihan pada sore ini. Mereka yang mendengar hal itu hanya diam dan ikut menyimak. “Sebelum itu, aku minta kalian jangan pulang dulu. Ada yang ingin kusampaikan,” tambahnya. Secara tidak langsung juga, dia meminta mereka duduk dan berkumpul di satu tempat.Tanpa pikir panjang, anggota Fantasy Club duduk kembali untuk mendengar apa yang ingin disampaikan Sagara. Di belakangnya, ada Leo yang ikut menyimak pembicaraan mereka walau
Sekolah baru saja berakhir saat matahari berada di sudut 30 derajat dari ufuk barat. Terlihat para murid SMA Bina Bangsa baru saja keluar dari gedung dan melangkahkan kaki ke pintu gerbang. Mereka akan pulang ke rumah masing-masing setelah seharian berada di sana dan mengikuti mata pelajaran dari awal. Ada yang menggunakan sepeda motor, namun ada juga yang jalan kaki karena jarak rumah yang tidak terlalu jauh.Termasuk juga para guru yang keluar paling belakangan. Mereka menunggu sampai sekolah sepi, baru mereka bisa keluar. Sudah ada satpam juga yang mengatur keramaian dan mengawasi agar tidak terjadi kemacetan. Biasanya di saat seperti ini, jalan akan macet karena ramai.Mengikuti barisan para guru, ada Leo juga yang baru bisa keluar setelah sekolah hampir sepi. Dia pulang dengan bus, makanya dia harus jalan kaki ke halte. Menempuh perjalanan itu tidak membutuhkan waktu lama. Kira-kira butuh waktu selama 5 menit dimulai keluar dari gerbang.Berjalan kaki sambi